Monday, April 30, 2007

Pemenuhan Hak atas Informasi dan Kebebasan Pers: Menguntungkan Pejabat Publik

Pentingnya hak untuk mendapatkan informasi, telah dinyatakan dalam berbagai standar internasional hak asasi manusia. Hak ini mempunyai keterkaitan erat dengan pemenuhan hak asasi lainnya, termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob). Standar internasional semestinya melengkapi peraturan perundang-undangan yang berlaku dilevel domestik (nasional).

Komentar Umum No. 1, yang diadopsi Komite Hak-hak Anak pada 2001, dinyatakan, terpenuhinya hak atas pendidikan hanya dapat terwujud jika secara bersamaan hak atas informasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 17 Konvensi Hak-hak Anak juga diwujudkan.[1] Komite juga menyampaikan pentingnya hak atas informasi untuk dijamin Negara, dalam rangka mewujudkan standar kesehatan yang tinggi bagi anak dan remaja.[2]

Hak untuk mendapatkan informasi juga mendapat perhatian dalam standar internasional hak asasi manusia yang berkaitan dengan jaminan hak-hak masyarakat adat.

Hal yang serupa, juga dinyatakan dalam Deklarasi Hak-hak Orang Cacat, dimana orang cacat (disfable), keluarganya dan komunitas, mesti mendapat informasi, melalui beragam cara yang dapat dilakukan, tentang hak asasi yang dimiliknya.[3]

Sebagai tambahan, dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan untuk Korban dan Penyalahgunaan Kekuasaan, yang diadopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), secara khusus dinyatakan hak setiap korban untuk mendapat informasi tentang hak-haknya dalam mencari keadilan lewat semua mekanisme yang tersedia,[4] termasuk mendapatkan informasi dan akses untuk mendapatkan pelayanan sosial dan kesehatan serta bantuan lainnya.[5]

Ancaman atas Hak atas dan Kebebasan Informasi di Indonesia

Bagaimana pemenuhan hak atas informasi dan kebebasan informasi di Indonesia? Bandul hak dan kebebasan ini, agaknya merangkak ke arah yang negatif. Paling tidak, dapat dilihat dari ngototnya Pemerintah c.q. Departemen Pertahanan mengusung isu “pentingnya rahasia negara”.

Saat ini, draft RUU Rahasia Negara (RUU RN) telah disampaikan Presiden kepada DPR melalui Surat tertanggal 12 September 2006 tentang pengajuan RUU RN.[6] Dalam Rapat Badan Musyawarah DPR pada 3 Oktober 2006, diputuskan Komisi I DPR diberikan mandat untuk membahas RUU ini.

Agaknya RUU Rahasia Negara tersebut, hendak “menghambat” RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP) yang telah lebih dulu dibahas di DPR. Indikasinya, dapat dilihat dari 2 fakta. Pertama, usulan agar disahkan terlebih dahulu UU KMIP dari masyarakat, baru kemudian dibahas RUU RN tidak digubris sama sekali. Kedua, dari substansi RUU RN, definisi dan ruang lingkup “rahasia negara”, jelas memberikan kewenangan berlebihan kepada Pemerintah untuk membatasi hak atas informasi dan kebebasan informasi bagi masyarakat.

Dalam praktik, nantinya – jika substansi RUU tidak berubah – UU ini akan menjadi dasar hukum yang efektif untuk menyembunyikan informasi yang seharusnya dibuka untuk publik berkaitan dengan peristiwa kejahatan berat hak asasi manusia dan tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat publik serta kebijakan yang merugikan keuangan negara.[7]

Sebagai ilustrasi, ketertutupan informasi sangat berpeluang merugikan keuangan negara, dapat dilihat dari kasus pembelian sejata MI-17 beberapa waktu lalu. Menurut Djoko Susilo, jika skandal ini pembelian senjata ini tidak terbongkar, maka negara diperkirakan menderita kerugian tidak kurang dari 4 juta dollar AS.[8]

Kasus-kasus tersebut, kemungkinan akan banyak lagi terjadi jika UU Rahasia Negara ditetapkan tanpa ada perbaikan substansi. Draft RUU RN versi Agustus 2006, masih memuat rumusan karet, sebagai berikut:

“informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan melalui mekanisme kerahasiaan, yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Republik Indonesia dan/atau dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional, dan/atau ketertiban umum, yang diatur dengan atau berdasarkan Undang-undang ini.”[9]

Jenis rahasia negara dalam RUU RN diklasifikasikan sebagai informasi, benda dan aktivitas, dengan lingkup bidang yang meliputi: (1) pertahanan dan keamanan negara; (2) hubungan luar negeri – dalam draft sebelumnya digunakan “hubungan internasional”; (3) proses penegakan hukum; (4) ketahanan ekonomi nasional (5) persandian negara; (6) intelijen negara, dan (7) pengamanan asset vital negara.[10]

Belum lagi UU disahkan, baru-baru ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Mohamad Ma’ruf meminta pegawai negeri sipil (PNS) diinstansinya ikut menjaga dokumen negara.[11] Sebelumnya, Ma’ruf juga sempat menerbitkan Instruksi Mendagri No. 7/2004 yang memuat perintah kepada pegawai negeri untuk menjaga dan tidak membocorkan rahasia negara yang diketahui untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain. Masalahnya, Mendagri sendiri tidak menjelaskan dokumen apa yang disebutnya sebagai “rahasia negara”.

RUU RN selain mengancam hak informasi masyarakat, juga mengancam kebebasan pers. Dengan UU ini, nantinya pers kembali dikontrol oleh Pemerintah. Pers dipaksa untuk memberitakan informasi berdasarkan kemauan kepentingan sekelompok orang yang berkuasa, bukan informasi yang mesti diketahui masyarakat. Disinilah pokok masalah, yang ada didalam RUU RN, yakni masalah definisi dan ruang lingkup “rahasia negara”. Dibanyak negara, Rahasia Negara hanya berkaitan dengan pertahanan. Sebagai contoh di Prancis, digunakan istilah “tres secret”, “secret defense”, “confidential defense” dan “diffusion restrinte”. Bahkan, di Swis, tidak dikenal istilah “tres secret” atau “top secret” atau “sangat rahasia”. Swis hanya mengenal pengklasifikasian “geheim”, “vertraulich” dan “armee intern”. Merujuk pada UU Rahasia Negara Swis, maka hanya rahasia ketentaraan yang berkaitan dengan masalah pertahanan negara, yang tidak dapat diketahui publik.

Karenanya, RUU RN yang memasukan lingkup bidang diluar bidang pertahanan, patut dicurigai. Tidak ada argumen yang kuat, misalnya, Dephan, selaku pembuat RUU RN, memasukan bidang penegakan hukum dalam RUU ini. Pendek kata, cuma akal-akalan saja! Lebih dari itu, UU ini nantinya membawa era “reformasi” ke era “kegelapan”.


Kebebasan Memperoleh Informasi Publik

Masyarakat sejak lama telah mendorong adanya UU Kebebasan Informasi Publik. Hal ini dimaksudkan agar jaminan hak masyarakat ini dapat direalisasikan berbanding dengan kewajiban Negara untuk pemenuhannya. Di tahun 2003 lalu, tepatnya pada 18 Februari, Rapat Paripurna DPR RI menyejutui pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk membahas RUU KMIP – sebuah RUU inisiatif DPR. RUU KMIP sendiri sudah mulai muncul diawal tahun 2000, terutama dikampanyekan oleh lembaga swadaya masyarakat, antara lain oleh Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi Publik.

Meskipun UU KMIP belum disahkan, sejumlah daerah bahkan telah mengesahkan peraturan daerah yang memuat jaminan hak masyarakat untuk mendapakan informasi publik, seperti Perda Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) No. 4/2005 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Kalbar. Dalam Perda ini dinyatakan juga kewajiban badan publik untuk menyediakan informasi publik bagi masyarakat.[12] Sebelumnya, Pemerintah Kota Gorontalo, pada 13 Maret 2002 telah menetapkan Perda No. 3/2002 tentang Tranparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kota Gorontalo, yang juga memuat jaminan hak masyarakat atas informasi publik.

Pengadopsian peraturan perundang-undangan semacam itu, perlu diapresiasi, karena secara normatif, Pemrov Kaltim dan Pemkot Gorontalo menetapkan sebuah peraturan daerah yang muatannya menjamin hak masyarakat.

Sebaliknya, memperoleh keuntungan bagi pemerintah sendiri. Dengan adanya peraturan yang menjamin hak informasi publik, setidaknya ada 3 manfaat yang dinikmati oleh pemerintah yang bersangkutan:

Pertama, masyarakat turut mengawasi jalannya pemerintahan, bahkan dapat terlibat aktif. Dengan kata lain pemerintah mendapat ”cermin” dan respon balik dari masyarakatnya. Ketiadaan respon dan evaluasi kinerja pemerintahan dari masyarakat, salah satunya disebabkan masyarakat tidak memperoleh informasi yang cukup tentang kebijakan, program dan aktivitas pemerintahan. Dengan demikian, kerja pemerintahan menjadi semakin maksimal.

Kedua, pengawasan internal yang selama ini dilakukan dinstansi pemerintah dapat dilengkapi dengan pengawasan yang dilakukan masyarakat. Para kepala daerah dapat terkurangi bebannya karena mendapat informasi-informasi dari masyarakat.

Ketiga, partisipasi publik dapat digalang seluas-luasnya oleh pemerintah dengan cara penyampaian informasi ke publik itu sendiri.

Sebaliknya, upaya menutup akses publik, mendorong munculnya kebijakan dan perilaku yang tidak terawasi masyarakat. Akibatnya, peluang penyalahgunaan kekuasaan termasuk prilaku korup, semakin besar. Menutup akses informasi publik yang dilakukan pejabat publik, dapat dipersamakan dengan mengupayakan secara sistematis dirinya sendiri untuk berbuat kesalahan bahkan tindak pidana.


Hak Ekosob: Langkah Pencegahan bagi Pejabat Masuk Penjara dan Memenangkan Pilkada

Sekedar mengandai-andai, dari ilustrasi skandal pembelian senjata MI-17 sebagaimana disinggung diatas, dana 4 juta dollar AS dapat saja melayang, dan merugikan keuangan negara jika tidak diungkap DPR RI. Dana sejumlah itu, sangat besar manfaatnya jika dialokasikan untuk pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) masyarakat. Alokasi APBN 2006 saja, dana yang disediakan untuk pendidikan hanya 9 persen dari total anggaran keseluruhan, atau sekitar Rp 36,7 trilyun.[13]

Ketertutupan informasi juga seringkali dimanfaatkan dalam proses pembahasan APBN/D. Namun, ketertutupan semacam ini, menyebabkan kerugian yang dialami sendiri oleh para anggota parlemen, karena menyorong mereka ke posisi dan kursi pesakitan, sebagai tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi. Berdasarkan data DPR, tidak kurang 265 perkara korupsi DPRD yang diproses kejaksaan, yang melibatkan 967 orang.[14] Data lain, tidak kurang 1.062 anggota DPR diduga melakukan tindak pidana korupsi saat proses penyusunan APBD.[15]

Jika dikumpulkan, dana APBD yang dikorupsi tentu saja tidak sedikit jumlahnya. Sebagai contoh: dana korupsi yang dibagikan kepada 45 anggota DPRD Surabaya mencapai Rp 2,7 miliar,[16] kasus APBD Sumbar tahun 2002, sebesar Rp 5,904 miliar[17] atau kasus korupsi APBD 2002 DPRD Depok, senilai 7,35 miliar – berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi.[18]

Dengan prosedur pembahasan yang transparan dan melibatkan publik seluas-luasnya, para pejabat pemerintah dan parlemen, pada dasarnya sudah ”menjaga dirinya sendiri” supaya tidak terperosok menyalahgunakan kewenangan dan tugasnya.

Saat ini kita membutuhkan para pemimpin dan pejabat yang mengerti betul aspirasi dan perwujudan hak ekosob masyarakat, antara lain hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas lahan dan air, hak menikmati standar kesehatan yang tinggi. Ketertutupan informasi berbanding sejajar dengan rendahnya pemenuhan hak ekosob ini. Sebaliknya akses terhadap informasi publik yang luas akan meningkatkan pemenuhan hak ekosob. Fenomena Bupati Jembrana dan Bupati Banyuwangi yang menang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) telah membuktikan betapa masyarakat rindu para pemimpin yang memberi perhatian pada pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat.[19]


Tabel 1

Jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Pendapatan Asli Daerah

Kabupaten Jembrana (2000 – 2004)
Tahun
APBD
PAD

(dalam Rupiah)

2000
66.911.688.691
2.551.526.749

2001
131.599.246.286
5.540.224.419

2002
171.703.401.395
11.555.147.609

2003
193.157.562.548
11.055.956.008

2004
205.000.287.634
9.785.500.000


Sumber: Dharma Santika Putra dan Nanoq da Kansas. 2004: 218.

I Gede Winasa, Bupati Kabupaten Jembrana meraih sejumlah penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI): (1) inisiator program sekolah gratis bagi SD, SMP, dan SMA pada 2004; (2) pelayanan kesehatan gratis melalui program JKJ; (3) proyek pengolahan air mineral dari air laut; (4) membebaskan pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi lahan sawah; (5) memperoleh prosentase suara terbanyak dalam Pilkada pada 12 Oktober 2005, yakni 88,56 persen suara dari total suara yang sah – dengan kata lain hampir 90 persen masyarakat Jembrana memilihnya.[20]

Secara politik, sepak terjang Bupati Winasa, secara otomatis – mau tidak mau, suka tidak suka – berdampak positif terhadap posisi dan jabatannya. Bahkan pengaruhnya bukan saja terhadap dirinya. Image positif dimasyarakat, bahkan menular kepada isterinya.

Isteri Winasa, Ratna Ani Lestari, kemudian terpilih menjadi Bupati Banyuwangi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 20 Juni 2005 lalu. Berpasangan dengan Yusuf Nurhadi Iskandar, Ratna dicalonkan oleh 18 partai politik kecil, yang bahkan sama sekali tidak mendudukkan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banyuwangi. Pasangan ini meraih 39,3 persen suara dari total suara yang sah.


Tabel 2

Contoh Indikator Pemenuhan Hak-hak Ekosob di Kabupaten Jembrana
Indikator
Tahun
Perubahan

2001
2002

Keluarga Miskin
19,4%
10,9%
Berkurang 44%

Kematian Bayi (per 1.000 lahir hidup)
15.25
8,39
Berkurang 45%

Tingkat kegagalan menyelesaikan sekolah (drop-out) Sekolah Dasar
0,08%
0,02%
Berkurang 75%


Sumber: Diolah dari Yayasan Tifa. 2005: 5.


Pertanyaannya, kabupaten atau provinsi mana lagi yang menyusul? Keterbukaan informasi diharapkan akan mendorong Jembrana-jembrana berikutnya.

Inisiatif Malang Corruption Watch, untuk menerbitkan buku yang menghimpun gagasan tentang kebebasan informasi, patut diberi penghargaan. Tentu saja diucapkan, selamat kepada MCW. Ikhtiar ini, diharapkan dapat berkontribusi terhadap meningkatnya kesadaran masyarakat dan juga meningkatnya inisiatif pejabat publik untuk menyediakan akses informasi seluas-luasnya. Semoga!


Jakarta, Oktober 2006



[1] Lihat UN doc. CRC. General Comment No. 1: The aims of education. Twenty-sixth session (2001), para. 6.

[2] Lihat UN doc. CRC. General Comment No. 4: Adolescent health and development in the context of the Convention on the Rights of the Child, para. 21.

[3] Lihat UN doc. Declaration on the Rights of Disabled Person. Proclaimed by General Assembly resolution 3447 (XXX) of 9 December 1975, para. 13, Lihat juga UN doc. Principles for the Protection of persons with mental illness and the improvement of mental health care. Adopted by General Assembly resolution 46/119 of 17 December 1991, Principle 11, 12, 15.

[4] UN doc. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power. Adopted by General Assembly resolution 40/34 of 29 November 1985, para. 5.

[5] Ibid., paras. 5., para. 14.

[6] Lihat Kompas. 4 Oktober 2006. “RUU Rahasia Negara Dibahas di Komisi I”.

[7] Lihat antara lain Kompas. 27 September 2006. “RUU Rahasia Negara Upaya Perlawanan Balik Koruptor”; Lihat juga Kompas. 3 Mei 2006. “RUU RN Belenggu Demokrasi. Dikhawatirkan Suburkan Korupsi”.

[8] Lihat A. Patra M. Zen, “Mulai Senjata Hingga Plastik: Untuk Siapa (R)UU Rahasia Negara?”, Paper pada Editors Meeting tentang RUU Rahasia Negara, YLBHI, Jakarta 16 Mei 2006. hal. 1. Mengenai kelemahan-kelemahan RUU Rahasia Negara, lihat juga A. Patra M. Zen, “Rahasia Negara: Rahasia untuk Apa? Tinjauan RUU Rahasia Negara dari Perspektif Disiplin Hukum Hak Asasi Manusia”, Paper pada FGD “Menyoal Kerahasiaan Negara secara Komprehensif dalam Sistem Negara Demokratik”, Imparsial, Jakarta 9 – 10 Februari 2006; A. Patra M. Zen. 2006. Membedah Sesat Pikir RUU Rahasia Negara. 2006. Laporan YLBHI No. 9, November 2005.

[9] Lihat RUU Rahasia Negara, versi Agustus 2006, Pasal 1 (1).

[10] Ibid., Pasal 3 dan 4.

[11] Lihat Kompas. 30 September 2006. “Mendagri Peringatkan Stafnya Tak Bocorkan Informasi”.

[12] Lihat Perda Provinsi Kalimantan Barat No. 4/2005, Pasal 6.

[13] Lihat Kompas. 9 Februari 2006. “Waspadai Kebohongan Publik”; lihat juga Kompas Online. 6 Juni 2006. “Menkeu: Sulit Capai Anggaran Pendidikan 20 Persen”; Kompas. 29 Oktober 2005. “Kejanggalan dalam APBN 2006. Mekanisme Penyusunan Anggaran Harus Ditata Ulang”.

[14] Lihat Kompas. 5 Oktober 2006. “Jaksa Agung Membantah. DPR Cuma Ingin Penegakan Hukum yang Adil dan Proporsional”.

[15] Lihat Republika Online. 4 Oktober 2006. “Membaca Data Korupsi”.

[16] Lihat Kompas. 18 Desember 2003. “Kasus Korupsi DPRD Surabaya”.

[17] Lihat Kompas. 27 Desember 2004. “Terpidana Korupsi DPRD Sumbar Divonis Lebih Berat”.

[18] Lihat Kompas. 22 September 2006. “Ketua DPRD Depok Akan Ajukan Kasasi”.

[19] Lihat A. Patra M. Zen. “Cara Mudah Menjadi Kepala Daerah: Dari Komitmen Pemenuhan Hak Ekosob Rakyat Menuju Dukungan Suara Mayoritas”, paper pada Pendidikan kritis untuk aktivis partai politik, “Penegakan Demokrasi dan Pemenuhan Hak-hak Ekosob”, LBH Bandar Lampung dan FES Jakarta, Bandar Lampung 23 – 25 Februari 2006.

[20] Tempo Interaktif. 6 Februari 2006. “Raih Suara Terbanyak, Bupati Jembrana Masuk MURI”.
Load Counter