Monday, April 30, 2007

Mal Praktik: Wacana di Seputarnya

Dalam bahasa sederhana mal-praktik, diartikan semua kesalahan tindakan profesi. Kesalahan ini dalam praktik dapat disebabkan tindakan yang tidak tepat atau tidak etis, diakibatkan ketiadaan pengetahuan dan keterampilan (lack of knowledge and skill), seseorang yang berstatus profesional. Atau sebaliknya, tidak melakukan sesuatu (pembiaran) padahal berdasarkan pengetahuan dan keterampilannya mesti dilakukan tindakan atau perbuatan. Karenanya istilah mal-praktik bisa diaplikasikan untuk semua jenis profesi, termasuk advokat dan dokter atau tenaga medis atau lembaga pelayanan publik, termasuk rumah sakit.

Artikel singkat ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis masalah mal-praktik yang dilakukan oleh dokter atau tenaga medis, dengan tujuan mendiskusikan aspek-aspek yang terkait dengan masalah ini.


Mal-praktik: pengaturannya dalam hukum di Indonesia

Mal-praktik adalah gabungan 2 suku kata mal (salah) dan praktik (tindakan). Setiap profesi mempunyai kode etik dan juga terikat dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal ini, mal-praktik dapat dikategorikan mal-praktik etik dan/atau mal-praktik hukum. Dalam persidangan, majelis hakim akan memeriksa dan memutus gugatan pidana dan/atau perdata terhadap mal-praktik hukum.

Untuk gugatan terhadap rumah sakit atau instansi kesehatan, maka digunakan gugatan perdata. Sementara, gugatan pidana dan perdata dapat diajukan terhadap dokter atau tenaga medis untuk meminta pertanggungjawabannya (personal liability), jika dinilai melakukan tindak pidana.

Tabel 1

Beberapa pasal yang berkaitan dengan ”mal-praktik” dalam KUHP
Pasal
Rumusan pasal
Ancaman pidana
”mal-praktik”

322(1)
Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu,
penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
Membocorkan rahasia kedokteran

322(2)
Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu

344
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
penjara paling lama dua belas tahun
Euthanasia

347(1)
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya
pidana penjara paling lama dua belas tahun
Aborsi yang tidak diperbolehkan, tanpa indikasi medis dan persetujuan

347(2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut
penjara paling lama lima belas tahun

348(1)
Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan

248(2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut
pidana penjara paling lama tujuh tahun

Dalam perspektif awam, maka seorang dokter mesti melakukan tindakan yang “benar” atau rumah sakit harus memberikan pelayanan yang “baik“ kepada pasien atau masyarakat. Masih dalam pikiran awam, tindakan dokter tentu bertujuan untuk menyembuhkan pasien. Karenanya, Tidak mudah untuk membuktikan terjadinya mal-praktik karena perlu dibuktikan apakan tindakan pelayanan atau tindak medis yang dilakukan seorang dokter atau tenaga medis tidak sesuai dengan standar yang ada: termasuk standar tindakan yang seharusnya dilakukan oleh dokter atau tenaga medis lainnya jika terjadi situasi yang sama. Perlu digarisbawahi, tentu saja ”awam” tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit yang dideritanya, tindak medis, atau obat-obatan yang diberikan oleh dokter.

Namun, persetujuan itu, sepanjang sesuai dengan standar medis/kedokteran yang ada. Dalam konteks ini, peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran sudah mengatur tentang ”standar pelayanan” yang berlaku bagi dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran. ”Standar pelayanan” ini merupakan pedoman yang harus diikuti oleh setiap dokter dan dokter gigi.[1] Berdasarkan UU ini, standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.[2]

UU tersebut juga mengatur kewajiban setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilakukan dokter atau dokter gigi mendapat persetujuan dari pasien atau keluarganya.[3] Salah satu tindak pidana yang dinyatakan dalam UU ini yakni, jika dokter atau dokter gigi dengan sengaja tidak membuat rekam medis, dengan ancaman pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50 juta.[4]

Selain UU itu, No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, juga dapat menjangkau profersi kedokteran, sebagai contoh kontrak terapeutik antara dokter dan pasiennya, diklasifikasikan sebagai kontrak jasa atau hubungan perjanjian antara dokter atau rumah sakit selaku produsen jasa pelayanan kesehatan (health producers) dengan pasien selaku konsumen pelayanan kesehatan (health consumers).[5]


Pengalaman gugatan LBH Jakarta

LBH Jakarta adalah salah satu kantor dari 15 kantor cabang YLBHI. Pada 2004, pernah mengajukan gugatan perbuatan melanggar hukum (PMH) kepada Para Tergugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat: RSCM, RS Pelni dan RS PMI, serta para dokter diketiga RS ini.

Dalam Gugatan PMH itu, LBH Jakarta bertindak sebagai Kuasa Hukum dari Indra Syafri Yacub, suami dari almarhumah Ny. Adya Vitry Harisusanti. Para Kuasa Hukum Mendalilkan Para Tergugat telah melanggar peraturan perundang-undangan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1365 ayat (3) KUH Perdata:”(t)iap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Penggugat mengajukan fakta-fakta antara lain, tindakan dokter di RS tersebut diambil tanpa persetujuan keluarga. Operasi juga pernah batal dilakukan karena seorang dokter tidak datang dan tidak ada dokter yang menggantikannya. Seorang dokter juga menyuntikkan atau memasang Central Vena Preassure (CVP) lewat leher kepada almarhum Ny. Adya, yang belakang hari diketahui belum mempunyai kualifikasi untuk melakukan anestesi.[6]

Dalam proses persidangan, Majelis Hakim yang diketuai Cicut Sutiarso mengabulkan eksepsi dari Para Tergugat, karena pengajuan gugatan tidak disertai visum dan menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Gugatan ini, dinyatakan prematur dan error in persona – atau salah mengajukan gugatan kepada tergugat. Saat itu, menurut Majelis Hakim yang menyidangkan perkaran ini, seharusnya gugatan diajukan terhadap pemerintah c.q. Departemen Kesehatan, baru kemudian Rumah Sakit yang bersangkutan.[7]

Gugatan diatas, merupakan bentuk gugatan perdata untuk memperkarakan dugaan ”mal-praktik” karena seseorang atau pihak keluarga menilai adanya kerugian (damages), yang diderita akibat ketidakprosesionalan dokter atau tenaga medis. Bentuk kerugian antara lain berakibat pada cacat (fisik) maupun kematian (korban jiwa).

Setelah gugatan perdata tidak diterima, dalam perkembangannya, Indra Syafri Yacub juga menempuh upaya hukum pidana. Ia melaporkan RSCM ke pihak kepolisian atas dugaan tindak pidana kealpaan yang menyebabkan orang lain meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP.[8]

Dalam hukum acara pidana, pihak kepolisianlah yang melakukan proses penyidikan untuk selanjutnya dilimpahkan ke pihak kejaksaan. Jika pihak kejaksaanlah yang melakukan penuntutan untuk dilimpahkan perkaranya ke pengadilan yang berwenang mengadili.

Dalam persidangan, unsur-unsur tindak pidana diatas yang hendak dibuktikan, dimana para penggugat akan mengajukan alat bukti yang sah, berupa: (1) keterangan saksi; (2) keterangan ahli; (3) surat; (4) petunjuk, dan; (5) keterangan terdakwa – sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 KUHAP. Jika penggugat dapat membuktikan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan berdasarkan keyakinan hakim suatu tindak pidana benar-benar terjadi, maka terdakwa dapat dijatuhkan pidana – berdasarkan Pasal 183 KUHAP.

Dalam praktik tidaklah mudah bagi penggugat untuk membuktikan dalil gugatannya dipersidangan. Dapat dikatakan, walaupun tidak sedikit pengajuan gugatan ”malpraktik”, namun dapat dihitung dengan jari pihak penggugat memenangkan perkaranya. Salah satunya, gugatan yang diajukan Sri Haryanti atas RSIB (Rumah Sakit Ibu dan Anak) Evasari pada 2003 lalu. Penggugat menilai rumah sakit itu telah melakukan tindakan yang tidak profesional yang berakibat anaknya kehilangan setengah ruas jari kelingkingnya. Ketua Majelis Hakim Silvester Djuma yang memerika dan memutus perkara ini menghukum RS Evasari membayara ganti kerugian karena terbukti melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur medis dan akibatnya merugikan orang lain.[9]


Catatan penutup

Diluar masalah hukum yang berlaku diatas, penting juga mendiskusikan peran profesi dokter sebagai pihak yang mempunyai peran sosial dan pemajuan hak asasi manusia – terutama hak atas kesehatan.[10] Dokter dan tenaga medis lainnya sebaiknya juga mendedikasikan keahliannya untuk membantu masyarakat miskin dan marjinal.[11]

Dalam standar hak asasi manusia, peran dokter dalam promosi dan perlindungan diakui secara universal, sebagaimana dinyatakan dalam publikasi Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights No. 29:

”Doctor and other medical professionals who threat and rehabilitate victims of human rights violations can also be viewed as human rights defenders in the context of such work; and doctors have special obligations by virtue of the Hippocratic oath.”[12]

Demikian juga perlu dipromosikan peran sosial rumah sakit, agar masyarakat miskin juga memperoleh akses pemenuhan hak kesehatannya. Dengan demikian, rumah sakit, dokter dan tenaga medis lainnya, memperoleh simpati yang luas dari khalayak publik.

Selamat bersimposium dan terima kasih.

* Pengantar diskusi pada Simposium “Upaya Menanggulangi Tuntutan Malpraktek”, diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia Cabang Kutai Kartanegara, Tenggarong, 20 Agustus 2006.


[1] Lihat UU No. 29/2004. Penjelasan Pasal 44 ayat (1).

[2] UU No. 29/2004. Pasal 44 ayat (3).

[3] UU No. 29/2004. Pasal 45 ayat (1) jo. ayat (5).

[4] UU No. 29/2004. Pasal 79 huruf (b).

[5] Lihat Chrisdiono M Achadiat. “UU Praktik Kedokteran dalam Perspektif Malpraktik Medis“ dalam Kompas. 8 Juli 2004.

[6] Lihat antara lain, Hukumonline. 30 September 2004. ”Tiga Rumah Sakit Lolos dari Gugatan Malapraktik”; Lihat juga Kompas. 7 Oktober 2004. “RSCM Dilaporkan ke Polda dengan Tuduhan Malpraktik”.

[7] Hukumonline. 30 September 2004. ”Tiga Rumah Sakit Lolos dari Gugatan Malapraktik”; Lihat juga Tempointeraktif. 30 September 2004. ”Gugatan Malpraktik Terhadap Tiga Rumah Sakit Kandas”

[8] Tempointeraktif. 7 Oktober 2004. ”LBH Jakarta Adukan Malapraktek ke Polda”

[9] Lihat Tempointeraktif. 26 April 2006. “Lagi, Malpraktek Akan Disidangkan”.

[10] Lihat antara lain. OHCHR. Fact sheet No. 19, “National Institution for the Promotion and Protection of Human Rights.”

[11] Lihat antara lain. OHCHR. Fact sheet No. 23. “Harmful Tradition Practices Affecting the Health of Women and Children”

[12] OHCHR. Fact sheet No. 29. “Protecting the Right to Defend Human Rights” , p. 7.
Load Counter