Monday, April 30, 2007

Kebebasan Berserikat: Mencegah Menjadi Bangsa Koeli

Kebebasan berserikat-berorganisasi dan adanya sistem hukum perburuhan yang mendukung kebebasan ini, merupakan faktor yang dapat melicinkan apa yang diistilahkan dengan perundingan bersama (collecting bargaining) antara serikat buruh dengan majikan/pengusaha. Dalam konteks inilah, sebaiknya diskusi tentang kebebasan berserikat dan berorganisasi diletakkan.

Artikel singkat ini akan mendeskripsikan dan menganalisis salah satu hak fundamental: kebebasan berserikat. Diawali dengan kembali soal perundingan bersama. Selanjutnya, diuraikan singkat adanya jurang norma dengan praktik. Artikel ini ditutup dengan, menyinggung soal mekanisme internasional perlindungan hak buruh untuk berserikat.


Kebebasan Berserikat menuju Perundingan Bersama

“Perundingan bersama” (collective bargaining), mempunyai makna sebuah proses negosiasi langsung antara majikan/pengusaha dan serikat/organisasi buruh untuk menentukan upah dan kondisi kerja lainnya – seperti jam kerja. Selain proses, dapat juga diartikan sebagai sebuah cara atau metode yang umumnya menghasikan sebuah perjanjian tertulis yang disepakati. Selanjutnya, Konvensi ILO No. 98/1949 – yang sudah diratifikasi Indonesia[1] - merumuskan collective bargaining sebagai berikut:

"Voluntary negotiation between employers or employers' organizations and workers' organizations, with a view to the regulation of terms and conditions of employment by collective agreements."


Menurut Sriyan de Silva, terdapat beberapa ciri-ciri dasar dari “perundingan bersama”, yakni:[2]
- Tidak dapat dipersamakan dengan perjanjian bersama, karena perundingan bersama adalah proses atau mekanisme sedangkan perjanjian bersama merupakan hasil yang dimungkinkan akibat perundingan;
- Metode ini digunakan serikat buruh untuk meningkatkan situasi dan kondisi kerja bagi semua anggota serikat buruh;
- Menjawab soal ketidaksetaraan posisi antara buruh dan majikan/pengusaha;
- Jika menghasilkan sebuah perjanjian, sifatnya memperbaiki, ketimbang menggantikan, perjanjian perjanjian yang dibuat secara individual, karena metode ini tidak menghasilkan hubungan antara majikan/pengusaha dengan individu buruh;
- Prosesnya dilakukan secara langsung (bipartite). Namun di banyak negara-negara berkembang, Negara memainkan peran sebagai konsiliator pada saat tidak terjadi kesepakatan, atau pada saat “perundingan bersama” dianggap bertentangan dengan kebijakan pemerintah.

Dari ciri-ciri tersebut, perlu untuk memperhatikan ciri khas Negara Berkembang, dimana Indonesia termasuk di dalamnya, yang menunjukkan adanya peran “khusus” pemerintah sebagai pihak ketiga. Intervensi pemerintah, seperti dikemukakan Sriyan, dapat terjadi manakala: tidak ada kesepakatan bersama yang dihasilkan dalam sebuah perundingan, dan; jika hasil perundingan dianggap bertentangan dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Pertanyaan yang muncul: bagaimana jika pemerintah tidak dalam posisi “netral”, cenderung menopang sepihak kepentingan pengusaha?; bagaimana jika kebijakan pemerintah tidak menguntungkan serikat buruh?

Penting dicatat, sejumlah peraturan perundang-undangan yang dianggap “dapat mendorong pemenuhan hak asasi” yang dirujuk dalam Kerangka Acuan, disahkan atau ditetapkan dalam di era Bung Karno dan suasana “tahun muda reformasi” era pemerintahan transisi Presiden B.J. Habibie, dan Abdurrahman Wahid, seperti terlihat dalam tabel 1. Dalam periode awal reformasi, semangat perubahan relatif masih hidup terang, karenanya tidak mengherankan ideal hak asasi terbawa masuk dalam rumusan-rumusan pasal peraturan-perundang-undangan meski tidak sepenuhnya.

Tabel 1
Pengesahan dan Penetapan Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dan Perburuhan


Kewajiban Pemerintah dan Hak Asasi Buruh – yang Masih Banyak Dilanggar

Dalam disiplih hukum hak asasi manusia, Pemerintah berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi, termasuk memfasilitasi, memberikan bantuan dan mempromosikan hak asasi manusia. Obligasi (kewajiban). Hal yang sama diterapkan dalam hak-hak buruh.

Dilevel normatif, secara khusus peran Negara dalam hal ini Pemerintah dan “penguasa” melindungi hak berserikat dan berorganisasi, secara eksplisit dimuat dalam pasal 9 UU No. 21/2000[3] yang menyatakan pemerintah tidak boleh melakukan intervensi (dalam bentuk tekanan maupun campur tangan) dalam pembentukkan serikat buruh. Sebelumnya, ketentuan yang sama dimuat dalam pasal 3 ayat 2 Keputusan Presiden (Keppres) No. 83/1998[4] dimana penguasa yang berwenang harus mencegah adanya campur tangan yang dapat membatasi hak-hak berserikat dan berorganisasi. Keppres ini juga memuat ketentuan, “penguasa administratif” tidak boleh membubarkan atau melarang kegiatan organisasi pekerja.[5]

Sebagaimana dikutip dalam Kerangka Acuan acara hari ini, lagi, dilevel normatif, pasal 43 UU No. 21/2000 dengan tegas memuat sanksi pidana penjara dan/atau denda, bagi siapa pun yang menghalang-halangi atau memaksa buruh membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota, dan menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat buruh.

Namun dilevel implementasi, “masih jauh panggang dari api”. Perhatian terhadap problem buruh di Indonesia baru-baru ini antara lain sempat dikemukakan Ulf Edström mewakili Kelompok Buruh pada pertemuan laporan Komite Kebebasan Berserikat (CFA) ke-336, 23 Maret 2005. Edström merujuk Kasus No. 2236 yang diajukan kepada CFA, ia menyerukan adanya perubahan prilaku non-kooperatif dari pemerintah dan segera mengimplentasikan secara efektif peraturan perundang-undangan yang melarang praktik-praktik diskriminasi terhadap serikat buruh. Selanjutnya, Edström menyatakan, buruh Indonesia masih tidak secara efektif mendapat perlindungan, sebagai contoh para pekerja yang mengupayakan pembentukan serikat buruh kemudian dipecat oleh perusahaan – dimana tidak ada langkah apa pun yang diambil pemerintah untuk meminta pertanggunjawaban perbuatan melanggar hukum oleh pengusaha.[6]

Perhatian terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kebebasan berserikat dan perundingan bersama juga pernah menjadi obyek studi Patrick Quinn semasa ia Kepala Penasihat Teknis proyek Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Indonesia. Dalam kertas kerjanya, Quinn memberikan perhatian terhadap UU No. 21/2000 yang membuat pesatnya pertumbuhan dan beragamnya serikat buruh.[7] Terdapat trend peningkatan jumlah serikat buruh, akibat ketentuan yang memungkinkan 10 orang buruh dapat membentuk sebuah serikat buruh – diatur dalam pasal 5 ayat (2). Tercatat per Februari 2003, tidak kurang 66 federasi serikat buruh diregistrasi dilevel nasional dan lebih dari 11.000 serikat buruh dilevel perusahaan. Celakanya, dinyatakan Quinn, tidak ada mekanisme efektif yang menentukan siapa yang seharusnya menjadi agen perundingan jika terdapat lebih dari satu serikat buruh dalam sebuah perusahaan.[8] Sebagai tambahan, Quinn juga sempat menyinggung persoalan aparat kemanan yang seringkali campur tangan dalam perselisihan industrial – yang tentu saja merugikan pihak serikat buruh dan anggotanya.[9]


Mekanisme Internasional sebagai Pelengkap Advokasi di level Domestik

Pada dasarnya, di level internasional, prosedur perjanjian dan non-perjanjian yang tersedia dapat digunakan untuk pelengkap advokasi yang dilakukan dilevel domestik. Mekanisme internasional yang biasa digunakan, antara lain mengajukan pengaduan kepada Komite Kebebasan Berserikat (Committee on Freedom of Association (CFA)).

Paska diadopsinya Konvensi ILO No. 87 dan 98 tentang kebebasan berserikat dan “perundingan bersama” dibentuk prosedur pengawasan pemenuhan prinsip-prinsip ini. Untuk keperluan ini, dibentuklan CFA pada 1951, yang berfungsi untuk memeriksa pengaduan dari serikat buruh dan pengusaha perihal kejahatan/pelanggaran terhadap hak fundamental kebebasan berserikat, tidak terbatas terhadap negara yang sudah meratifikasi konvensi.

Sumber: Committe on Freedom of Association. Teks di http://www.ilo.org/public/english/standards/norm/applying/freedom.htm

Komite ini dipimpin oleh ketua independen dan beranggotakan 3 wakil dari pemerintah, pengusaha dan buruh. Komite ini akan memutuskan apakah mereka akan memeriksa pengaduan, untuk selanjutnya dikomunikasikan dengan pemerintah yang bersangkutan. Komite ini mengeluarkan sebuah laporan sekaligus rekomendasi solusi, termasuk meminta pemerintah melakukan sesuatu/atau tidak melakukan sesuatu untuk mengatasi situasi.

Organisasi Buruh Internasional seperti the International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) and the World Confederation of Labour (WCL) pernah menggunakan prosedur ini pada 1994. Kedua lembaga ini mengajukan pengaduan perihal kejahatan atas hak-hak serikat buruh dan aktivis gerakan buruh. Lewat CFA yang menghimpun solidaritas internasional untuk mendesak pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah-masalah yang diajukan, termasuk meminta pemerintah membebaskan aktivis, buruh yang dipenjara akibat memperjuangkan hak-hak buruh. Dalam perkembangannya, Serikat Buruh Indonesia seringkali juga menggunakan prosedur ini.

Tentu, karena mekanisme internasional bersifat pelengkap, maka pokok advokasi tidak lain, suka atau tidak, dilakukan dilevel domestik: hukum, ekonomi dan politik!


* Paper pada Diskusi dan Peluncuran Buku Pelanggaran Kebebasan Berserikat di Era Reformasi. KSBSI, Jakarta 9 Desember 2005.


Catatan Belakang:

[1] UU No. 18/1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripadanya Hak Untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama (LN Tahun 1956 No. 42, TLN No. 1050).

[2] Lihat Sriyan de Silva. “Collective Bargaining Negotiatios” Teks di http://www.ilo.org/public/english/dialogue/actemp/papers/1998/srscbarg.htm

[3] UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

[4] Keppres No. 83/1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi.

[5] Keppres No. 83/1998, pasal 4.

[6] Lihat Statement by Mr. Ulf Edström (Sweden) on behalf of the Workers Group on the 336th Report of the Committee on Freedom of Association (CFA), 23.03.05.

[7] Lihat ILO doc. WP. 15. Patrick Quinn. Freedom of Association and Collective Bargaining. A study of Indonesian 1998 – 2003. International Labour Office, September 2003.

[8] Ibid., p. 27.

[9] Lihat Ibid., pp. 29 – 31.
Load Counter