Monday, April 30, 2007

Hak-hak Kelompok Minoritas dalam Norma dan Standar Hukum Internasional Hak Asasi Manusia

Artikel ini akan memaparkan sekaligus menganalisis bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi kelompok minoritas, yang sedang, dapat atau mungkin terjadi, berdasarkan norma dan standar internasional hak asasi manusia. Diharapkan, artikel ini dapat berguna sebagai alat bantu advokasi hak-hak kelompok minoritas, terutama dalam melakukan advokasi hukum dan kebijakan (nasional dan lokal).

Pada bagian pertama, akan diberikan gambaran singkat menggunakan alat bantu standar dan norma hukum internasional hak asasi manusia dalam menganalisis peristiwa hukum. Selanjutnya, bagian kedua dideskripsikan hak-hak sipil dan politik kelompok minoritas. Dibagian ketiga, dimuat satu bagian dari katalog hak sipil dan politik yang sangat relevan dengan kehidupan sehari-hari kelompok minoritas, yakni soal kebebasan berkeyakinan, berkepercayaan dan beragama. Dibagian keempat, dideskripsikan ketentuan-ketentuan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Tulisan ini ditutup dengan analisis terhadap salah satu hasil penelitian dari program Yayasan Interseksi dan Syirah-Desantara: masyarakat adat Wet Semokan, yang ditulis Heru Prasetia.

Hasil-hasil penelitian dalam buku ini menjadi sangat bermanfaat untuk para pembuat kebijakan dan organisasi masyarakat sipil dalam melakukan perannya: untuk menjadi sadar terhadap kondisi dan nilai-nilai yang hidup dan dihidupi masing-masing komunitas masyarakat. Penelitian di 5 komunitas di 5 wilayah ini[1] perlu diapresiasi positif sebagai kontribusi menyediakan referensi membangun kebijakan dan melakukan advokasi kebijakan multikultural di Indonesia.


Keperluan Norma dan Standar Hak Asasi Manusia

Di negara-negara beradab, perlindungan hak asasi manusia merupakan program pokok Negara. Dalam rangka perlindungan hak asasi, Negara tidak boleh menjalankan praktik diskriminatif, hanya melindungi individu atau kelompok masyarakat tertentu.

Di Indonesia, celakanya, kebijakan dan praktik non-diskriminatif bukanlah dilakukan dalam konteks pemenuhan obligasi Negara dalam perlindungan hak asasi, melainkan dilaksanakan dalam konteks kejahatan hak asasi manusia. Sebagai contoh, jarang terjadi politik pilih kasih dalam kasus penggusuran paksa (tanah dan permukiman): tidak memandang etnis, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan atau pandangan politik, dan seterusnya. Semuanya menjadi korban penggusuran!

Dalam kasus-kasus penggusuran paksa, kadangkala masalah jumlah (kuantitas) menjadi kurang relevan. Dalam hal ini, soal powerful dan powerless-lah yang menjadi masalah pokok. Pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan dalam arti luas – ekonomi, politik dan seterusnya – menjadi pihak yang merampas hak-hak kelompok yang tidak memiliki kekuasaan.

Kasus lain, diranah pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Ambil contoh, pemenuhan hak atas pendidikan. Akses masyarakat terhadap pendidikan, dapat disebabkan masalah etnis dan dominan berkaitan dengan masalah ekonomi. Dengan kata lain, kelompok yang memiliki uanglah yang saat ini mempunyai akses untuk dapat menikmati pendidikan. Maka bisa muncul istilah: “orang miskin dilarang sekolah”. Dalam konteks hak asasi manusia, Negara melakukan kejahatan dibidang hak atas pendidikan, bukan berdasarkan pada soal mayoritas atau minoritas, melainkan lagi-lagi disebabkan Negara tidak melindungi hak-hak masyarakat miskin.

Lantas, terdapat kasus dimana sebuah komunitas, yakni masyarakat Samin yang memiliki keunikan - memiliki kesepakatan kolektif agar warganya tidak diperkenankan sekolah – diwajibkan oleh Negara untuk menyekolahkan anak-anaknya dibangku sekolah dasar (SD Inpres), dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan hak asasi yang dilakukan Negara?[2] Dalam soal ini ada dua aspek yang penting untuk didiskusikan. Pertama, features esensial obligasi Negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan masyarakat antara lain compulsory (wajib) dan free of charge (cuma-cuma). Dalam hal ini, menyediakan sarana dan prasarana pendidikan menjadi kewajiban Negara, termasuk memastikan adanya akses terhadap pendidikan formal bagi siapa pun tanpa diskriminasi. Mewajibkan orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya untuk menikmati pendidikan formal seperti bersekolah di SD, tidak dapat dipandang sebagai kejahatan hak asasi manusia. Kedua, dalam teori dan praktik pemenuhan hak asasi manusia, dikenal klasifikasi derogble rights (hak-hak yang sifatnya dapat dibatasi) dan non-derogable rights (hak-hak yang tidak dapat dibatasi dan dilimitasi sebagian atau seluruhnya). Hak atau kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat dalam skala tertentu dapat dibatasi dengan basis adanya argumen yang beralasan (reasonable) dan tepat (objective).

Dalam kasus tersebut, kejahatan hak asasi (dapat) terjadi jika, antara lain: (1) Negara tidak melakukan upaya positif memastikan pendidikan yang diberikan berkesesuaian dengan budaya (culturally appropriate)[3] dimasyarakat Samin; (2) Negara melakukan kejahatan hak-hak sipil dan politik masyarakat Samin, seperti melakukan kekerasan terhadap masyarakat ini, seperti melakukan penyiksaan terhadap para orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya.

Membaca hasil-hasil penelitian yang diorganisir Yayasan Interseksi dan Syirah Desantara, kita kembali diingatkan: kita hidup dikeanekaragaman: bahwa persoalan yang ada dalam masyarakat tidaklah sederhana. Demikian juga, kebijakan Negara yang perlu dikeluarkan dan dijalankan mesti dilakukan dengan cermat. Contoh yang dinyatakan Desantara tentang kebijakan “sekolahisasi” masyarakat Samin adalah contoh yang baik untuk menunjukkan bahwa Negara tidak dapat sekedar membangun SD Inpres, lalu mewajibkan orang tua memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Namun lebih dari itu, Negara diwajibkan untuk membangun sistem sekolah (a system of school), termasuk pendekatan pembangunan bangunan kelas atau sekolah, penyediaan program pendidikan, menyediakan materi pengajaran, guru-guru yang terlatih dan memiliki standar kualifikasi, dan seterusnya.[4] Tentu, merupakan kesalahan, jika penolakan masyarakat Samin untuk menyekolahkan anaknya ke SD Inpres “dimaknai” sebagai tindakan subversif – hal yang biasa di era Orde Baru. Mungkin akan berbeda, jika Negara dalam hal ini pemerintah daerah membangun sistem sekolah yang cocok dan berkesuaian dengan cara hidup masyarakat Samin, sehingga komunitas ini tidak merasa hidup di “dunia lain”, terlepas dari identitasnya. Dilevel praktik, dapat saja dilakukan upaya merekrut tenaga pengajar atau tenaga pendidikan yang berasal dari komunitas ini, serta melakukan upaya promosi pendidikan lintas-budaya (inter-cultural education).

Keperluan menentukan alat penilaian yang didasarkan norma dan standar hukum internasional, paling tidak, bisa membantu kita untuk melakukan advokasi kebijakan, hukum dan advokasi kasus yang dihadapi kelompok minoritas, termasuk upaya untuk mendorong Negara melakukan tindakan pencegahan agar kejahatan-kejahatan hak asasi terhadap kelompok minoritas dapat dihindari. Advokasi kebijakan dan hukum adalah salah satu bentuk perjuangan: tidak ada hak asasi yang diberi!


Hak-hak Kelompok Minoritas

Terdapat dua pasal unik dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Hak Sipol) – yang memuat ‘katalog’ hak dan kebebasan seseorang (individual) – yakni pasal 27 dan 18. Unik, karena pasal ini sebenarnya juga menjamin hak komunitas atau kelompok, atau tepatnya hak seseorang dalam komunitasnya (secara kolektif). Pasal 27 memuat hak-hak kelompok minoritas, sementara pasal 18 menjamin kebebasan dalam berkeyakinan dan memeluk agama atau berkepercayaan.[5]

Selanjutnya, Komite Hak Sipol pada 1994 mengadopsi elaborasi dan penjelasan mengenai pasal 27.[6] Dalam General Comment No. 23, setidaknya dapat diketahui lingkup “minoritas” yang eksis dalam sebuah Negara (atau yurisdiksi territorial) dapat berbasiskan atas: (1) etnis; (2) agama atau kepercayaan, dan; (3) minoritas dalam lingkup “bahasa”.[7]

Atas dasar lingkup tersebut, maka seseorang yang menjadi anggota kelompok minoritas, oleh Negara, wajib diberikan jaminan konstitusi dan hukum untuk menikmati kebudayaan, mempraktikan agamanya, dan menggunakan bahasa yang dimiliki.[8] Sebagai contoh, dalam proses yudisial, seseorang – yang berasal dari kelompok minoritas – wajib disediakan fasilitas penerjemah, jika dirinya tidak mengerti bahasa resmi yang digunakan dalam persidangan.[9] Menjadi kewajiban pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dan upaya positif agar individu sebagai anggota kelompok minoritas dapat menikmati hak-haknya[10], termasuk memberikan perhatian untuk pelibatan kelompok dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang mempunyai efek atau dampak langsung maupun tidak langsung terhadap komunitas.[11]

Kebebasan Berkeyakinan, Memiliki Kepercayaan atau Agama

Pasal 18 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik tentang kebebasan berkeyakinan, memiliki kepercayaan dan agama (freedom of thought, conscience and religion) sangat relevan untuk terus didialogkan di Negeri ini. Penjelasan tentang tema ini, dapat dilihat dalam General Comment No. 22 yang diadopsi oleh Komite Hak-hak Sipil dan Politik (Hak Sipol). Dalam paragraf pertama Komentar Umum ini, dinyatakan:

“The right to freedom of thought, conscience and religion (which includes the freedom to hold beliefs) in article 18.1 is far-reaching and profound; it encompasses freedom of thought on all matters, personal conviction and the commitment to religion or beliefs, whether manifested individually or in community with others”.[12]


Selanjutnya, pada paragraf kedua, Komite Hak Sipol menyatakan:

“Article 18 protects theistic, non-theistic and atheistic beliefs, as well as the right not to profess any religion or belief. The terms “beliefs” and “religion” are to be broadly construed. Article 18 is not limited in its application to traditional religions or to religions and beliefs with institutional characteristics or practices analogous to those traditional religions. The Committee therefore views with concern any tendency to discriminate against any religion or belief for any reason, including the fact that they are newly established, or represent religious minorities that may be the subject of hostility on the part of a predominant religious community”.[13]

Terdapat sebuah fakta, disejumlah Negara – termasuk di Indonesia – sebuah agama diakui sebagai sebagai agama resmi. Jika terdapat situasi semacam ini, Komite mengingatkan, menjadi obligasi Negara untuk memastikan tidak terjadi praktik diskriminasi terhadap para pemeluk atau penganut agama “tidak resmi” seperti tidak diperbolehkan adanya praktik restriksi atau pembatasan untuk menjadi pegawai negeri atau mengambil peran dalam urusan pemerintahan. Pasal 18 dalam perlindungan dan pemenuhannya, berkait erat dengan pasal 26 Kovenan Sipol perihal jaminan persamaan hak setiap warga Negara, dan secara khusus berkaitan dengan jaminan hak-hak kelompok minoritas.[14]


Promosi, Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Konteks perlindungan hak asasi kelompok minoritas, yang menjadi obligasi Negara, dalam norma dan standar internasional hak asasi manusia, terutama berkaitan dengan rumusan “the right of everyone” (hak setiap orang) yang wajib dilindungi Negara tanpa memandang seseorang tersebut berasal dari kelompok minoritas atau dalam konteks prinsip non-diskriminasi dalam perlindungan hak asasi semua orang. Hal ini, dapat dilihat dalam banyak paragraf dalam General Comment yang dikeluarkan sejumlah Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai contoh, perlindungan dan pemenuhan: hak atas perumahan;[15] hak atas ketercukupan pangan;[16] hak atas pendidikan;[17] hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai (hak atas kesehatan)[18], serta; hak atas air.[19]

Dari sudut pandang lain, perhatian terhadap kelompok minoritas ini, menjadi hal yang penting disebabkan kelompok ini – bersama-sama dengan kelompok rentan lainnya, seperti kelompok perempuan, anak-anak, orang usia lanjut – berpeluang besar menjadi korban diskriminasi. Dalam kasus penggusuran paksa, kelompok minoritas dan kelompok rentan lainnya, tidak jarang mengalami dampak yang lebih serius, seperti dinyatakan oleh Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob): “(w)omen, children, youth, older persons, indigenous people, ethnic and other minorities and other vulnerable individuals and groups all suffer disproportionately from the practice of forced eviction”.[20] Karenanya, terdapat kewajiban tambahan bagi Pemerintah, berdasarkan pasal 2 ayat (2) dan (3) Kovenan Internasional Hak-hak Ekosob, untuk memastikan adanya upaya pencegahan penggusuran paksa dan perlindungan penduduk tanpa bentuk-bentuk diskriminasi.[21]

Sebagai tambahan promosi, perlindungan hak-hak ekonomi sosial dan budaya dan kelompok minoritas juga dimuat dalam sejumlah konvensi pokok hak asasi manusia. Hak atas pendidikan dan kesehatan, misalnya dimuat dalam Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial,[22] Konvensi Hak-hak Anak[23] dan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.[24]


Masyarakat Adat Wutulelu: Sebuah Pelajaran[25]

Di wilayah (kecamatan) Bayan, komunitas Wet Semokan masih eksis. Eksis, dalam artian masih menghidupi dan menggunakan identitasnya, termasuk beragama, menggunakan bahasa komunitas ini (bahasa Sasak Lauk Gunung) dan melaksanakan kebudayaan (budaya dan tradisi) yang secara turun-temurun. Dalam penelitian yang telah dilakukan, terdapat sejumlah informasi yang sangat bermanfaat untuk melakukan advokasi selanjutnya, antara lain:

Pertama, informasi tentang Wututelu yang dihidupi dan dijalankan kelompok masyarakat di Wet Semokan. Dalam konteks ini, advokasi dan tantangan yang dihadapi bukan saja pada upaya mendorong Negara untuk memberikan perlindungan, namun juga dilevel masyarakat agar mengembangkan nilai-nilai toleransi dan dialog antar sesama pemeluk agama.

Kedua, informasi tentang cara hidup keseharian komunitas di Wet Semokan, seperti lebih mempercayai belian – orang yang dianggap dapat menyembuhkan penyakit, ketimbang tenaga medis dalam proses kelahiran anak, keengganan untuk membuat jamban. Cara hidup ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, tentu saja, dengan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak atas kesehatan.

Sebagai catatan, tidak semua praktik sehari-hari yang berkaitan dengan budaya komunitas dapat dibenarkan. Sebagai contoh Komite Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (CERD) memiliki perhatian terhadap praktik tradisional (budaya dan tradisi), dimana dilakukan pemotongan alat reproduksi perempuan (female circumcision or genital mutilation).[26] Bahkan, Negara diminta untuk melakukan upaya untuk mencegah praktik semacam ini.[27]

Ketiga, informasi bahwa dikawasan Wet Semokan jarang terdapat sekolah (formal). Sebagai contoh, hanya ada 4 (empat) SD dan tidak ada sekolah setingkat SMP dan SMA. Fakta ini, dapat dieksaminasi dalam klasifikasi pemenuhan hak atas pendidikan, terutama soal ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (accessibility) untuk anak-anak usia sekolah dalam komunitas Wet Semokan. Selanjutnya, untuk 4 SD yang sudah ada di wilayah ini, dapat juga didorong untuk pemenuhan prinsip akseptibilitas (acceptability) yang mencakup bentuk dan substansi pendidikan di sekolah dasar yang diselenggarakan, termasuk kurikulum, metode pengajaran, serta; prinsip kesesuaian (adaptability) penyelenggaraan pendidikan, dimana penyelenggaraan sekolah diwajibkan merespon kebutuhan para siswa/pelajar yang berasal dari beragam latar sosial dan budaya.

Dengan menggunakan prinsip-prinsip pemenuhan hak asasi manusia seperti diatas, program pembangunan di wilayah Wet Semokan dapat benar-benar bermanfaat bagi kelompok masyarakat ini, termasuk pemenuhan hak partisipasi kelompok ini dalam proses penyusunan kebijakan dan perundang-undangan yang akan berpengaruh dan berdampak pada komunitas Wet Semokan.

Keempat,, aksi atau tindak kekerasan Negara terhadap komunitas Wet Semokan; atau Negara membiarkan terjadi kekerasan yang dilakukan anggota masyarakat lain terhadap komunitas Wututelu. Jika aksi atau tindak kekerasan secara signifikan merupakan problem keseharian yang dihadapi komunitas ini, tentu perlu dilakukan advokasi sesegera mungkin, termasuk melakukan dialog dengan aparat kepolisian setempat untuk memberikan perlindungan.

Kelima, sebagai tambahan, berkaitan dengan penurunan jumlah anggota masyarakat Wututelu direntang waktu 1965 sampai dengan 1967. Dikatakan, sebelum tahun 1965, komunitas Wututelu mencapai kurang lebih 20 persen dari total penduduk di Lombok dan tinggal (berdomisili dan menetap) di berbagai daerah di NTB. Namun di tahun 1967, jumlah warga Wututelu berkurang amat drastis, hingga hanya 1 persen dari total penduduk saat itu. Dapat saja informasi ini ditindaklanjuti dengan aktivitas pencarian fakta.

Sebagai penutup, sekali lagi, apa yang diikhtiarkan Yayasan Interseksi dan Syirah-Desantara sangat penting, terutama mengingat situasi dan kondisi real: dimana kejahatan hak asasi manusia, bukan saja secara keseharian menimpa “kelompok masyarakat minoritas”, tetapi juga “masyarakat mayoritas”. Karenanya, tantangan advokasi yang dilakukan atau hendak dikerjakan tentu lebih besar.*****


Catatan Belakang:

[1] Penelitian dilakukan di wilayah komunitas Sedulur Singkep dusun Bombong-Bacem, Sukolilo, Pati Jawa Tengah; Tana Toa Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan; Dayak Meratus Pitap Kecamatan Awayan Kabupaten Balangan Kalimantan Selatan, dan; komunitas Wetutelu Kecamatan Bayan, Lombok Barat Nusa Tenggara Barat.

[2] Lihat TOR Desantara. “Penguatan Wacana Multikultural Melalui Advokasi Kelompok-kelompok Minoritas Etnis di Lima Kelompok Sasaran”. Versi Revisi 10 Juni 2004, h. 1 – 2.

[3] Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 13: The right to education (art. 13). Twenty-first session (1999). para. 50.

[4] Lihat Ibid.

[5] Satu pasal lainnya, pasal 22 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang memuat kebebasan berorganisasi (freedom of association).

[6] UN Doc. CHR. General Comment No. 23 (Rights of minorities). Fiftieth session (1994); lihat juga UN doc. GA Resolution No. 47/135 of 18 Desember 1992. Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities. Minoritas juga dapat didasarkan pada ras, lihat Convention on the Elimination of Racial Discrimination. Konvensi ini sudah diratifikasi Indonesia. Selain konvensi ini, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (CEDAW), dan Konvensi Hak Anak (CRC), dan sejumlah konvensi lainnya.

[7] Lihat UN Doc. CHR. General Comment No. 23 (Rights of minorities). Fiftieth session (1994)., para. 1.

[8] Ibid., para. 5.2.

[9] Ibid., para. 5.3.

[10] Ibid., para. 6.2.

[11] Ibid., para. 7.

[12] UN doc. CHR. General Comment No. 22: Article 18 (Freedom of thought, conscience or religion). Forty-eight session (1993)., para. 1.

[13] Ibid., para. 2.

[14] Ibid., para. 9.

[15] Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant), para. 2.

[16] Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 12: The right to adequate food (art. 11). Twentieth session (1999)., para. 3.

[17] Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 13: The right to education (art. 13). Twenty-first session (1999). para. 50.

[18] Lihat, UN doc. CESCR. General Comment No. 14. The right to the highest attainable standard of health (art. 12). Twenty-second session (2000)., paras. 12 and 34.

[19] Lihat , UN doc. CESCR. General Comment No. 15. The right to water (arts. 11 and 12 of the Covenant). Twenty-ninth session (2002)., para. 16.

[20] UN doc. CESCR. General Comment No. 7: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant): Forced Evictions., para. 10.

[21] Lihat Ibid., para. 10; lihat juga UN doc. CRC. General Comment No. 3: HIV/AIDS and the rights of the child. Thirty-second session (2003)., paras. 18 and 27; General Comment No. 4: Adolescent health and development in the context of the Convention on the Rights of the Child. Thirty-third session (2003)., para. 12; General Comment No. 5: General measures of implementation of the Convention on the Rights of the Child (arts. 4, 42 and 44, para. 6). Thirty-fourth session (2003).

[22] Mengenai hak atas pendidikan, lihat antara lain UN Doc. CERD. General recommendation XXVII on discrimination against Roma. Fifty-seventh session (2000)., para. 18.

[23] UN doc. CRC. General Comment No. 1: The aims of education. The significance of article 29 (1). Twenty-sixth session (2001). Lihat antara lain, para. 6.

[24] UN doc. CEDAW. General Comment No. 14: Female circumcision. Ninth session (1990).

[25] Bagian ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Heru Prasetia “Masyarakat Adat Wet Semokan: Ditengah Ketegangan Ujaran dan Ajaran”.

[26] Secara khusus, masalah tersebut dijabarkan dalam UN doc. CERD. General Recommendation No. 14: Female circumcision. Ninth Session (1990); Lihat juga UN doc. CERD. General recommendation No. 19: Violence against women. Eleventh session (1992), para. 20.

[27] UN doc. CERD. General recommendation No. 19., para. 24 (l).


Daftar Referensi

Prasetia, Heru “Masyarakat Adat Wet Semokan: Ditengah Ketegangan Ujaran dan Ajaran”. Draf Penelitian.

Yayasan Interseksi dan Syirah Desantara. “Penguatan Wacana Multikultural Melalui Advokasi Kelompok-kelompok Minoritas Etnis di Lima Kelompok Sasaran”. Term of Reference versi revisi 10 Juni 2004


United Nations documents (UN docs)

International Covenant on Civil and Political Rights

International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights

Convention on the Rights of the Child

Convention on the Elimination Discrimination Against Women

Convention on the Elimination of Racial Discrimination


General Assembly (GA)

Resolution No. 47/135 of 18 Desember 1992. Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities.

Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR)

General Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant)

General Comment No. 7: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant): Forced Evictions.

General Comment No. 12: The right to adequate food (art. 11). Twentieth session (1999).

General Comment No. 13: The right to education (art. 13). Twenty-first session (1999).

General Comment No. 14. The right to the highest attainable standard of health (art. 12). Twenty-second session (2000).

General Comment No. 15. The right to water (arts. 11 and 12 of the Covenant). Twenty-ninth session (2002).


Committee on Human Rights (CHR)

General Comment No. 23 (Rights of minorities). Fiftieth session (1994);

General Comment No. 22: Article 18 (Freedom of thought, conscience or religion). Forty-eight session (1993)


Committee on the Rights of the Child (CRC)

General Comment No. 1: The aims of education. The significance of article 29 (1). Twenty-sixth session (2001).

General Comment No. 3: HIV/AIDS and the rights of the child. Thirty-second session (2003)., paras. 18 and 27;

General Comment No. 4: Adolescent health and development in the context of the Convention on the Rights of the Child. Thirty-third session (2003).,

General Comment No. 5: General measures of implementation of the Convention on the Rights of the Child (arts. 4, 42 and 44, para. 6). Thirty-fourth session (2003).


Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD)

General Recommendation No. 14: Female circumcision. Ninth Session (1990);

General recommendation XXVII on discrimination against Roma. Fifty-seventh session (2000).

General recommendation No. 19: Violence against women. Eleventh session (1992)


Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW)

General Comment No. 14: Female circumcision. Ninth session (1990).
Load Counter