Monday, April 30, 2007

Undang-Undang Penyiaran: Problematik Isi UU Ditinjau dari Rezim Hukum Internasional

Meskipun persetujuan Rancangan Undang-undang (UU) tentang Penyiaran sempat batal dalam Rapat Sidang Paripurna, namun pada Sidang Paripurna selanjutnya, UU ini pun disahkan menjadi UU. Aturan ini penuh kontroversi. Ada kalangan yang menilai beberapa ketentuan dalam UU ini dapat dianggap sebagai sebuah kemajuan. Sebaliknya, UU ini bukan tanpa masalah dan bahkan mengandung bahaya besar.

Dari perspektif kemajuan, isi UU ini dianggap berpeluang menjamin keragaman informasi, mengakomodasi keberadaan media siaran komunitas dan berpihak pada pekerja penyiaran serta telah mengadopsi aturan tentang pembentukan sebuah lembaga independen: Komisi Penyiaran Independen (KPI). Sebaliknya, selain dari problem yang langsung berkaitan dengan industri penyiaran, utamanya perusahaan yang telah menyelenggarakan penyiaran secara nasional. Bahaya yang paling besar adalah “kebebasan pers” itu sendiri.

Tulisan ini akan mendiskusikan dan menganalisis kekhawatiran masyarakat dan kalangan pers berkaitan dengan “kebebasan pers” yang terancam oleh pasal-pasal yang dimuat dalam UU. Analisis akan menggunakan rezim hukum internasional yang berlaku saat ini.

Problematik utama isi UU

Secara singkat, problem pertama yang nampak jelas dalam UU yakni, berkaitan dengan posisi dan wewenang KPI dalam menjalankan fungsinya: mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan media siaran. KPI harus melibatkan pemerintah. KPI juga diharuskan untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk menyusun peraturan-peraturan pelaksana seperti mengenai lembaga penyiaran publik; pembatasan kepemilikan silang; lembaga penyiaran berlangganan; kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing; sistem stasiun jaringan; rencana dan persyaratan teknis siaran; tata cara dan persyaratan perizinan; tata cara pemberian sanksi administrative; serta soal pemberian dan perpanjangan izin siaran.

Selain itu, secara khusus, peluang pemerintah melakukan intervensi terutama berkaitan dengan wewenang pemerintah untuk melakukan seleksi atau sensor para pihak untuk memperoleh izin penyiaran atau perpanjangan izin. Selanjutnya, wewenang KPI dalam soal izin frekuensi hanya sebatas memberikan usul. Penentu akhirnya berada di pemerintah. Sementara usulan kalangan pers UU memuat ketentuan yang meniadakan sama sekali peluang pemerintah melakukan intervensi termasuk soal izin dan penentuan alokasi frekwensi yang diharapkan menjadi kewenangan KPI tanpa ada campur tangan lembaga eksekutif. Merujuk pada ketentuan hukum lainnya seperti UU Telekomunikasi No 36/1999, masalah penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian frekuensi pada dasarnya bisa dilakukan oleh KPI sebagai badan regulasi independen.

Kedua, adanya aturan yang mewajibkan untuk diselenggarakannya sensor atas film maupun iklan oleh lembaga yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan ini dipercaya menjadi ancaman bagi kebebasan pers.

Ketiga, kekhawatiran akan sanksi yang diatur dalam UU yang dapat berupa pidana penjara maupun denda. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam UU berupa pidana penjara lima tahun dan denda Rp 1 milyar untuk radio dan penjara lima tahun dan denda Rp 10 milyar untuk televisi. Pers tidak diperbolehkan untuk menyiarkan hal-hal yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, maupun mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan; memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Evaluasi UU merujuk pada kerangka hukum internasional

Kebebasan pers prima facie hak publik untuk mengeluarkan pendapat dan berekspresi. Karenanya, kematian kebebasan pers, mengubur juga hak-hak publik. Dalam konteks kerangka hukum internasional, Indonesia adalah anggota Perserikatan Bangsa-bangsa. Sebagai konsekwensinya, Negara berkewajiban untuk menghormati hak-hak publik ini, seperti dimuat dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Selanjutnya, Indonesia berkewajiban untuk menggeluarkan kebijakan-kebijakan termasuk undang-undang yang menjamin hak-hak tersebut. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan mesti memberikan jaminan terhadap publik maupun kalangan pers untuk dapat menikmati hak-hak ini. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang secara inheren juga meliputi kebebasan berbicara dan melakukan diseminasi informasi yang mana oleh rezim hukum internasional telah diadopsi sebagai dasar bagi semua kebebasan-kebebasan (fundamental freedom) yang ada dan fundamen demokrasi bagi sebuah negara.

Merujuk pada rezim tersebut, fungsi pers dalam negara demokratis yakni: menginformasikan (to inform), melakukan penyelidikan (investigate), menyebarluaskan informasi mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku negara maupun non-negara (expose abuse) dan memberikan pendidikan (educate) masyarakat. Fungsi-fungsi ini sangat penting diamin dan hanya dapat dipenuhi oleh pers jika mass media termasuk media penyiaran bebas dari hambatan-hambatan yang tidak perlu (unnecessary constraints).

Berdasarkan uraian tiga problematic utama, UU Penyiaran diatas, terdapat peluang yang besar bagi Negara untuk gagal memberikan jaminan yang sewajarnya (adequate protection) kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam hukum internasional memang dikenal prinsip derogasi atau pembatasan yang dapat dilakukan negara. Namun demikian, derogasi dapat dilakukan Negara jika terdapat kasus-kasus pengecualian yang mendasar (highly exceptional cases). Dalam konteks “Penyiaran”, pengecualian dapat dilakukan diantaranya terdapat terdapat alasan kuat (reasonable ground) isi siaran secara sengaja (by design) dapat mengancam keamanan Negara secara langsung. Preseden hukum internasional, pengecualian seperti ini utamanya terdapat suatu kondisi dimana isi penyiaran secara sistematis berpeluang menciptakan terror dan kekerasan di masyarakat. Pejabat publik dalam hal ini wajib memberikan alasan untuk menghentikan penyiaran atau memberikan sanksi terhadap pihak yang bertanggunjawab.

Adanya aturan yang menjamin kebebasan-kebebasan tersebut bertujuan antara lain: mengindari praktek-praktek intervensi Negara berdasarkan kepentingan politik dengan menggunakan hukum positif domestik terhadap wartawan atau jurnalis serta masyarakat yang memberikan informasi. Kasus yang sering terjadi, intervensi yang paling sering terjadi yakni, dilakukannya limitasi akses media bagi lawan-lawan politik atau oposisi. pemerintah yang sedang berkuasa.

Dalam konteks penyelenggaraan sensor, bahaya terbesar sebenarnya jika pers sendiri melakukan sensor pada dirinya sendiri (self-censorship) secara belebihan akibat dari ketakukan pers menyiarkan isi siaran. Ketakutan ini sendiri sebenarnya merupakan efek lanjutan dari adanya aturan yang memang secara sengaja dibuat tanpa parameter yang jelas atau di Indonesia sering disebut dengan “pasal-pasal karet”. Ketakutan yang berlebihan jelas merugikan masyarakat, seperti: informasi yang diberikan “terpotong” vise versa anggota masyarakat sebagai konsumen siaran tidak mendapat informasi yang lengkap.

Saat ini yang diperlukan, disatu sisi adanya jaminan hukum (legal protection) terhadap kebebasan pers. Disisi lain, diperlukan juga industri penyiaran yang transparan dan memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas seiring dengan tuntutan terhadap jurnalis yang professional. Hal ini untuk mendapatkan nilai kredibilitas dimata publik, sehingga dengan demikian publik sendiri yang akan melakukan pembelaan jika Negara melakukan intervensi atau memberikan sanksi yang nota bene merupakan pelanggaran dari kebebasan pers itu sendiri. Lantas, apa UU ini mau direvisi lagi? Duh, para “wakil rakyat”!
Load Counter