Monday, April 30, 2007

Akses Mendapatkan Keadilan: Undang-undang (Penyedia) Bantuan Hukum, Sekarang Juga!

A. Patra M. Zen dan Robi Anugrah Marpaung


Akes setiap orang untuk mendapatkan keadilan dalam proses peradilan pidana adalah hak asasi manusia. Artikel ini akan mendeskripsikan sekaligus memberikan pandangan mengenai pentingnya sebuah Undang-undang, yang secara khusus mengatur perihal hak atas bantuan hukum cuma-cuma bagi individu dan kelompok masyarakat miskin dan marjinal.

Hak mendapatkan keadilan dan bantuan hukum merupakan sebuah jaminan sekaligus perlindungan, yang menjadi obligasi (kewajiban) Negara untuk pemenuhannya. Di Indonesia, hak ini telah dijamin dalam konstitusi dalam bentuk hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.[1] UUD 1945, juga menjamin hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi atau ditunda pemenuhannya dalam keadaan apa pun.[2]

Hak konstitusional dan hak hukum tersebut antara lain bercirikan, setiap orang mendapatkan perlindungan hukum dan perlindungan dalam semua proses hukum, termasuk menerima bantuan hukum, hak untuk untuk diam dan tidak menyampaikan sesuatu (the right to remain silent), proses peradilan yang cepat, adil (fair) dan perlindungan saat menjadi saksi dimuka persidangan. Kesemua ciri ini, secara singkat juga dikenal dengan “due process of law”.

Selain itu, hak untuk mendapatkan keadilan, juga mencakup hak setiap warga negara untuk dilindungi dari perilaku sewenang-wenang aparat Negara, termasuk aparat hukum. Karenanya, setiap tindakan yang dilakukan oleh aparat hukum mesti sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Dalam konteks peradilan pidana, karena berkaitan juga dengan hak hidup dan kebebasan individu, maka prosesnya mesti dilakukan sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, yang memberikan jaminan dan penghargaan martabat manusia.

Kesemua katalog hak fundamental tersebut, merupakan masalah akses mendapatkan keadilan (access to justice), yang dalam praktiknya, bukan sekedar problem hukum, melainkan masalah ekonomi-politik dilevel Negara. Karena itu, masalah hak setiap orang atas bantuan hukum tidak dapat dibebankan hanya pada pekerja bantuan hukum, advokat atau masyarakat, melainkan menjadi obligasi negara untuk mempromosikannya (to promote), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil) – berikut menyediakan fasilitas (to facilitate) dan penyediaannya (to provide).


A. Problem “akses” dan “hak-hak tersangka/terdakwa” dalam Proses Peradilan

Dalam praktiknya, walaupun terdapat prinsip dan jaminan konstitusional bahwa “setiap orang sama dimuka hukum”, namun tidak serta merta sama pelaksanaannya. Dalam banyak kasus, perlakuan seringkali berbeda karena masalah “akses” setiap orang yang berbeda satu sama lainnya. Salah satu akses yang relevan dibahas adalah akses setiap orang untuk mendapatkan bantuan hukum. Akses bantuan hukum berarti, adanya jaminan “untuk mendapatkan”, “ketersediaan” dan “kemampuan” “untuk mendapatkan” bantuan hukum.

Masyarakat atau seseorang yang secara ekonomi rendah atau miskin, seringkali mendapat perlakuan tidak adil, termasuk karena ketiadaan akses mendapatkan bantuan hukum dari advokat. Akses terhadap bantuan hukum mempunyai lingkup makna, adanya jaminan kepada setiap orang untuk menikmati dan menggunakan upaya hukum yang tersedia, termasuk upaya hukum yang dapat dilakukan dalam proses peradilan pidana.

Ketiadaan advokat atau pendampingnya, menyebabkan seseorang secara otomatis kehilangan akses untuk mendapatkan “ jasa hukum”, yang mencakup akses mendapatkan konsultasi hukum, bantuan hukum, diwakili, didampingi dan dibela secara hukum oleh advokat, sebagai kuasa hukumnya.[3] Lubang ketiadaan akses inilah yang tidak kurang dari 35 tahun, hendak ditutupi oleh para pengacara, advokat dan pekerja bantuan hukum LBH (Lembaga Bantuan Hukum).[4]

Ketiadaan akses masyarakat miskin mendapat pembelaan oleh advokat, tidak melulu karena problem advokat tidak mau memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Namun, juga terdapat masalah “ketersediaan” (availability) advokat yang jumlahnya sangat kecil dibandingkan jumlah para pencari hukum. Data yang ada di Mahkamah Agung, jumlah advokat yang ikut dalam organisasi diperikarakan 14.000 orang.[5] Bandingkan dengan para pencari keadilan yang datang mengadukan kasusnya ke LBH Jakarta misalnya, rata-rata diatas 1000 kasus.[6]

Selain itu, terdapat juga faktor dan upaya advokasi dilevel struktur kekuasaan Negara, khususnya struktur dan kelembagaan lembaga kekuasaan kehakiman, kepolisian dan kejaksaan, yang menyebabkan masyarakat miskin seringkali menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan dan gagal memperoleh keadilan dalam proses peradilan pidana.

Masalah pokok yang seringkali dialami masyarakat miskin, walaupun sudah mendapat pembelaan oleh advokat atau pekerja bantuan hukum, yakni kualitas perlakuan yang adil oleh aparat penegak hukum, juga kualitas keadilan dalam putusan yang ditetapkan majelis hakim. Munculnya lelucon “maling ayam ditahan, sementara koruptor bebas berkeliaran”, pada dasarnya ungkapan masyarakat yang mempertanyakan kualitas keadilan.

Demikian juga dalam pemenuhan hak setiap orang yang dijamin dalam undang-undang yang berlaku. Keadilan terkadang tidak sesempit apa yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan, kata ini merupakan sebuah konsep yang mengandung prinsip moral dan perlakuan yang adil dari kaca mata masyarakat atau sering diistilahkan “rasa keadilan masyarakat” – dimana perilaku atau putusan yang diambil oleh aparat penegak hukum bukan hanya “tepat” secara hukum tetapi juga “benar” dimata masyarakat yang beradab.


B. Hak Setiap Orang Mendapatkan Bantuan Hukum adalah Hak Asasi Manusia

Setelah KUHAP ditetapkan[7], banyak pengamat menyampaikan pandangan perlunya Undang-Undang untuk mewujudkan pemenuhan salah satu hak asasi fundamental ini.[8] Dalam pasal 54 KUHAP dinyatakan, “(g)una kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan...”. Karenanya, UU ini pada dasarnya telah memberikan sebuah panduan pentingnya pemenuhan hak setiap orang dalam mendapatkan bantuan hukum.

Selain Pasal 54 itu, KUHAP juga memberikan jaminan bagi tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya, termasuk berhak agara mengupayakan akses terhadap bantuan hukum.[9] Dalam Bab VII KUHAP, bahkan dimuat bab “bantuan hukum” berkaitan dengan peran penasihat hukum dalam memberikan bantuan hukum kepada kliennya.[10] Obligasi aparat penegak hukum untuk menginformasikan hak setiap orang mendapat bantuan hukum juga dinyatakan dalam Pasal 114 KUHAP, dimana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum atau hak untuk didampingi penasihat hukum.[11]

Dalam hukum acara perdata juga dikenal istilah berperkara secara cuma-cuma (prodeo).[12] Dalam Pasal 884 Reglemen Acara Perdata, dinyatakan:

“Dalam hal penyelesaian yang sangat buru-buru sambil menuggu putusan mengenai permohonanya, ketua majelis, ... dapat mengizinkan permohon untuk berperkara secara prodeo atau dengan tarip yang dikurangi.”

Selanjutnya, hak setiap orang mendapat bantuan hukum juga diadopsi dalam sebuah asas yang dituangkan dalam UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.[13] Dalam Penjelasan Pasal 35, dinyatakan, “(m)erupakan suatu asas yang penting bahwa seorang yang terkena perkara mempunyai hak untuk memperoleh bantuan hukum...”. Hal ini, tetap dipertahankan dalam Pasal 37 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pada 23 September 1999, hak asasi fundamental tersebut, secara eksplisit dinyatakan dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 18 ayat (4) UU ini menyatakan: “(s)etiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Selanjutnya, perhatian secara khusus terhadap anak-anak untuk memperoleh bantuan hukum, dinyatakan dalam Pasal 65 ayat (6), “(s)etiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.”

Kemajuan lain, pada 28 Oktober 2005 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasioal tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Pasal 14 huruf d Kovenan menyatakan, setiap orang berhak:

“untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela dirinya secara sendiri atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri; untuk diberitahu tentang haknya atas bantuan hukum apabila ia tidak mempunyai pembela, dan untuk mendapatkan bantuan hukum jika kepentingan keadilan menghendaki demikian, dan tanpa pembayaran darinya, apabila ia tidak memiliki cukup sarana untuk membayarnya”.[14]

Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, secara fakta hukum: hak atas bantuan hukum dan mendapatkan keadilan setiap warga negara dijamin sebagai hak asasi manusia di negeri ini. Pertanyaannya: how? Bagaimana memastikan pemenuhan hak ini?


C. Undang-Undang: Mendorong justisiabilitas Hak atas Bantuan Hukum

C.1. Mengapa Penting Sebuah UU (Penyedia) Bantuan Hukum?

Dalam konstitusi Indonesia, dinyatakan, “(u)ntuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.[15] Sebagai salah satu “hak asasi manusia”, sudah semestinya, akses setiap orang atas bantuan hukum diatur dalam sebuah undang-undang (UU), sebagai derivasi dari Pasal 28D dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Ilustrasi ini semoga dapat meyakinkan pentingnya peraturan perundang-undangan mengenai bantuan hukum:
Seorang advokat membela 2.580 orang miskin

Pada 2005 saja, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 62 juta jiwa atau sekitar 28,44 persen dari total penduduk 218 jiwa.[16] Sebelumnya, ditahun 2004, penduduk miskin berdasarkan data BPS mencapai 42,8 juta jiwa atau 20% dari total 214 jiwa.[17] Penduduk miskin ini umumnya buta hukum dan rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia dan korban penyalahgunaan kekuasaan aparat negara, termasuk korban dalam sistem peradilan, ketika menjadi tersangka/terdakwa perkara tindak pidana.

Berapa jumlah advokat? Berdasarkan data Mahkamah Agung, yang dikutip pada 2004, jumlah advokat yang bergabung dalam organisasi advokat tidak lebih dari 14.000 orang.[18] Pukul rata, jumlah advokat dikalikan dua, maka saat ini mungkin 24.000 advokat, yang mesti memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada lebih dari 62 juta jiwa atau seorang advokat mesti menjalankan fungsi “jasa hukumnya”, termasuk bantuan hukum kepada sekitar 2.580 orang miskin.

Hampir sama, catatan dari Adnan Buyung Nasution, advokat senior ysng juga Dewan Pembina YLBHI, berdasarkan fakta jumlah kasus hukum di Indonesia sangat besar, contohnya kasus hukum yang masuk ke Mahkamah Agung (MA) sebanyak 13.000 kasus per tahun. Kasus yang diadukan ke YLBHI dengan 15 kantornya, tidak kurang dari 18.000 kasus per tahun: perkara yang masuk ke pengadilan tinggi, pengadilan negeri, perkara yang masih dalam proses hukum di kepolisian, ataupun di kejaksaan. Sementara, menurutnya, jumlah advokat yang tergabung dalam Peradi (Persatuan Advokat Indonesia), baru mencapai kurang lebih 17.000.[19]

Di Indonesia, menurut “Bang Buyung” – panggilan akrabnya, kemampuan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan hukum masih sangat rendah, baik secara finansial maupun pengetahuan hukum. Karenanya, pendidikan dan bantuan hukum masih menjadi kebutuhan utama yang mesti difasilitasi Negara.[20] Dalam konteks ini, para penyedia bantuan hukum tidak hanya membela kepentingan hukum kliennya dalam proses persidangan, juga mempunyai tanggungjawab untuk memberikan pendidikan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu.
Kewajiban: Memasang plang/papan yang menyatakan “Firma atau Kantor Hukum ini menyediakan Bantuan Hukum cuma-cuma untuk Masyarakat Miskin”!

Kantor YLBHI dan 15 kantor cabangnya, didatangi masyarakat miskin karena masyarakat tahu benar bahwa kantor ini menyediakan bantuan hukum cuma-cuma. Fakta berikut image ini telah dibangun lebih dari 35 tahun.

Mengapa masyarakat miskin tidak datang ke kantor atau firma hukum para advokat yang dijalankan mulai dari rumah pribadi di gang-gang sempit hingga berkantor disebuah lantai gedung menjulang langit yang harga sewa per ruangannya ratusan juta rupiah per bulan? Jawabnya mudah ditebak: masyarakat miskin tidak punya uang untuk membayar jasa hukum para advokat ini!

Dengan senang hati YLBHI misalnya akan merekomendasikan kantor-kantor hukum yang hendak memberikan jasa huku cuma-cuma, jika didepan kantornya dipasang sebuah papan pengumuman: “Masyarakat miskin berhak mendapat bantuan hukum cuma-cuma di kantor ini!”

Percayalah, berbondong-bondong korban maupun keluarga korban hak asasi, tersangka/terdakwa atau keluarganya akan datang meminta bantuan. Jika tak percaya, boleh dicoba.

Dari kedua ilustrasi diatas, yang pesan yang hendak disampaikan adalah: tidak bisa pemenuhan hak atas bantuan hukum itu semata-mata dibebankan pada advokat, pada firma/kantor hukum, atau bahkan hanya pada lembaga bantuan hukum seperti YLBHI. Pemenuhan hak atas bantuan hukum dan akses terhadap keadilan mesti inherent sebagai obligasi (kewajiban) Negara dalam pemenuhannya. Karena itu perlu diatur dalam sebuah Undang-Undang, termasuk difasilitasi pendanaanya dari APBN/APBD. Karenanya, ia berbeda jauh dari apa yang hanya diatur dalam Pasal 22 UU No. 18/2003 tentang Advokat, yang persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Jika hanya sebatas aturan yang menjadi derivasi UU Advokat, sama artinya, membebankan kewajiban memberikan bantuan hukum cuma-cuma hanya kepada advokat, dan sama sekali tidak menjadi bagian dari obligasi Negara.

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, tidak ada satu pun perihal obligasi Negara dalam memfasilitasi pemenuhan hak tersebut. Hal ini tentu saja sudah benar, karena PP ini nantinya hanya merupakan penjabaran dari pasal yang mewajibkan setiap advokat “memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu”.[21]

UU (Penyedia) Bantuan Hukum, mengatur hal-hal yang beyond dari sekedar Pasal 22 UU Advokat. UU ini, sekali lagi, akan menjabarkan Pasal 28D dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Selain itu UU ini juga merupakan penjabaran dari Pasal 28I ayat 5 UUD 1945, yang menyatakan:

“Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.

UU Bantuan Hukum, semestinya mengatur, setidaknya 6 hal pokok, seperti:

- Kewajiban (obligation) Negara dalam memenuhi hak setiap orang atas bantuan hukum dan akses setiap orang memperoleh keadilan, termasuk pengalokasian APBN/APBD untuk pemenuhan hak ini;

- Hak Masyarakat miskin dan marjinal mendapat Bantuan Hukum;

- Kriteria individu atau kelompok masyarakat miskin dan marjinal yang berhak mendapat bantuan hukum cuma-cuma;

- Tanggungjawab (responsibility) penyedia bantuan hukum: Lembaga Bantuan Hukum;

- Kriteria lembaga bantuan hukum (LBH) dan pekerja bantuan hukum (PBH);

- Dewan Bantuan Hukum (Legal Aid Board);

- Ketentuan Pidana atau Sanksi Pidana.

UU (Penyedia) Bantuan Hukum tersebut, nantinya juga dapat digunakan untuk “menertibkan” kantor-kantor hukum, yang mengatasnamakan LBH (Lembaga Bantuan Hukum), LKBH (Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum), KBH (Kantor Bantuan Hukum) dan rupa-rupa nama lainnya, yang pada praktiknya tidak memberikan bantuan hukum cuma-cuma, melainkan beroperasi sebagaimana layaknya firma atau kantor hukum profit.

C.2. Kampanye dan Sosialisasi UU (Penyedia) Bantuan Hukum: Siapa Mendukung?

Dalam rangka mempromosikan Undang-undang Bantuan Hukum, YLBHI dan LBH Jakarta, paling tidak sejak Rapat Kerja Nasional YLBHI di Denpasar Bali pada Juli 2005 telah memutuskan advokasi RUU Bantuan Hukum menjadi salah satu program utama YLBHI dan kantor-kantor cabangnya.

Menindaklanjuti Hasil Rakernas tersebut, YLBHI meminta LBH Jakarta dan LBH Surabaya sebagai co-lead program promosi RUU Bantuan Hukum tersebut.[22] Sebagai rangkaian kampanye dan sosialisasi pentingnya UU Bantuan Hukum, pada April 2006, YLBHI – LBH Jakarta menyelenggarakan Seminar, Lokakarya dan Konferensi Puncak “Akses atas Keadilan dan Bantuan Hukum”. Konferensi Puncak dibuka oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. [23] Ketika itu Presiden SBY menyatakan harapannya, pertemuan puncak yang diselenggarakan dapat menghasilkan suatu keputusan dan rencana aksi yang akan sangat berguna dalam pembangunan hukum, utamanya penegakan dan bantuan hukum di negeri ini.[24] Menariknya Presiden SBY dalam kesempatan itu juga sempat menyatakan:

"Pemerintah yang saya pimpin tidak pernah merasa tersinggung, marah atau jengkel terhadap langkah hukum yang dilakukan YLBHI dan lembaga sejenis lainnya. Bagi kami, tindakan yang ditempuh pihak mana saja sepanjang dilandasi itikad baik menegakkan keadilan dan superemasi hukum harus disambut baik. Walaupun kadang suaranya terdengarkeras dan lantang,"[25]

Setelah pembukaan, dilakukan serangkaian diskusi, yang sempat dihadiri narasumber antara lain Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dan Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan. Dukungan atas UU (Penyedia) Bantuan Hukum pun mengalir dari para pejabat Negara dan anggota DPR yang hadir saat itu.

Tidak mengherankan jika dukungan datang dari Abdul Rahman Saleh dan Trimedya Panjaitan, yang memang alumni LBH. Namun, menarik jika menyimak pernyataan dari Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, menurutnya, tidak sedikit orang berpendapat setiap pekerja bantuan hukum yang akan melakukan pendampingan hukum harus memiliki izin beracara. Konsekwensinya ruang bagi pemberian bantuan di luar advokat justru dihambat. Padahal, menurut Ketua MA, advokat diuntungkan dengan adanya LBH.”[26] Karenanya Bagir Manan mendukung gagasan pembentukan UU Lembaga Bantuan Hukum.[27] Lanjutnya, "... orang yang tidak mampu itu belum juga berkurang. Jadi LBH tidak boleh berkurang”.

Sebelum pertemuan puncak tersebut, diselenggarakan juga seminar yang menghadirkan pembicara kunci, seperti Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, Menhukham Hamid Awaludin, dan Adnan Buyung Nasution, dan Soetandyo Wigjosoebroto. Selain itu para narasumber yang ikut curah pemikiran juga berasal dari sejumlah Negara: Thailand, Taiwan, Afrika Selatan dan Australia.

Merespon rencana kampanye RUU Bantuan Hukum, Hamid Awaludin sempat menyatakan bahwa proses legislasi harus menjamin aksesbilitas setiap orang untuk mendapatkan keadilan, karenanya dirinya selaku Menhukham mendukung rencana RUU Bantuan Hukum cuma-cuma.[28] Bahkan ketika itu Hamid Awaludin juga menyatakan bahwa institusi yang dipimpinnya sedang meminta DPR RI untuk menyediakan anggaran dalam rangka pemberian bantuan hukum bagi masyarakat tidak mampu.[29] Untuk kegiatan bantuan hukum didaerah, menurut Hamid, dapat diambil melalui APBD, karena Pemerintah Daerah semestinya menyediakan anggaran dan sekaligus memberikan aksesibilitas masyarakat terhadap hukum.[30]

Menhukham juga sempat menyatakan bantuan hukum akan dimasukan ke dalam komponen APBN 2007.[31] Sebagai tambahan, Menhukham pada 2005 telah mengeluarkan Peraturan Menteri No. M.01.PR.02.10 tahun 2005 tentang Rencana Strategi Dephukham tahun 2005 – 2009, diantaranya memasukan Program Peningkatan Pelayanan dan Bantuan Hukum.[32] Kajian tentang Bantuan Hukum juga menjadi aktivitas Balitbang HAM Dephukham. Pada tahun anggaran 2004, Balitbang telah melakukan kajian “Pemenuhan Hak Bagi Setiap Orang untuk Mendapatkan Bantuan Hukum Semenjak Penyidikan sampai Putusan Pengadilan”.[33]

C.3. Bantuan Hukum: Dalam Jaminan Konstitusi dan Undang-Undang di Negara Lain

Perhatian negara terhadap akses terhadap bantuan hukum, sangat serius. Hal ini paling tidak dapat disimpulkan dari presentasi beberapa narasumber Asing dalam Seminar tersebut antara lain Hakim Agung Afrika Selatan Dunstan Mlambo, Jeri Cheng (Taiwan) dan Casandra Goldie (University of New South Wales).[34]

Afrika Selatan telah menetapkan UU Bantuan Hukum sejak 1969 (Legal Aid Act No. 22 of 1969). Kemudian, berdasarkan Konsititusi Afrika Selatan 1996, dibentuk Dewan Bantuan Hukum (Legal Aid Board (LAB)). Di negara ini, pada tahun anggaran 2006/2007, menyediakan US$ 77,734,666 (Tidak kurang Rp 703.498.727.300) untuk fasilitas pemenuhan hak warga negara mendapatkan bantuan hukum (lihat Tabel 1).[35] Berdasarkan kajian LAB, masyarakat marjinal di Afrika Selatan yang perlu difasilitasi mendapakan bantuan hukum dan akses atas keadilan, yakni anak-anak, perempuan, tuna kisma (the landless), orang cacat, usia lanjut/pensiunan dan korban-korban kejahatan (victims of crime).[36]

Tabel 1

Legal Aid Board: Funding and Budget
Year
Government allocation to legal aid*
LAB Budget**

2004/2005
R417,681,210 (US$69,613,535)
R464,681,210 (US$71,446,868)

2005/2006
R442,742,087 (US$73,790,347)
R422,742,087 (US$73,790,347)

2006/2007
R466,408,000 (US$77,734,666)
R466,408,000 (US$77,734,666)


Source: SA National Report April 2006

Note: *US$ = approximately R6,00

**The LAB budget is higher than government allocation, it includes unspent funds carried from previous year.

Taiwan juga telah menetapkan UU Bantuan Hukum pada 2004 lalu. Dukungan pendanaan juga disediakan Pemerintah Taiwan kepada The Legal Aid Foundation yang dibentuk. Periode 1 Juli 2004 – 30 Juni 2005, The Foundation mengalokasikan anggaran NT$ 217,978,649. Tahun anggaran berikutnya, dana ini meningkat menjadi NT$ 300.000.000, dan diperkirakan akan meningkat lagi mencapai NT$4000.000. Menurut catatan Jerry Cheng, seorang pengacara Taiwan, periode 2004/2005, setiap pembayar/wajib pajak turut menyumbang NT$ 10.8 dan meningkat menjadi NT$20. Dengan kata lain, periode 2006/07, tiap wajib pajak di Taiwan menyumbang sekitar Rp 5.545,5101 per perkara yang difasilitasi bantuan hukum cuma-cuma.[37]

Dinegara tetangga kita, Thailand merupakan contoh negara yang menjamin hak setiap orang mendapat bantuan hukum dalam Konstitusi negara ini (Section 242). Sementara, Australia, masing-masing Negara Bagian menetapkan undang-undangnya (act) sendiri. Negara, bagian Western Australia, pada 1976 menetapkan Legal Aid Commission Act. Pada 1977 Negara Bagian Australian Capitol Territory menetapkan Legal Aid Act. Selanjutnya: Negara Bagian Victoria (Legal Aid Commission Act 1978); Negara Bagian New South Wales (Legal Aid Commission Act 1979); Negara Bagian Nothern Territory (Legal Aid Act 1990) dan ditahun yang sama ditetapkan Legal Aid Commission Act di Negara Bagian Tasmania.[38]


D. Penutup

Harapannya, akses terhadap keadilan dan bantuan hukum tidak sebatas mandeg diruang-ruang seminar, tak hanya menghabiskan tinta toner untuk menulis makalah dan paper. Hak fundamental ini mesti diperjuangkan. Dorongan untuk ditetapkannya UU (Penyedia) Bantuan Hukum, merupakan salah satu panggilan kerja bersama untuk menjadikan hak ini justisiabel.

Semoga tak lama terwujud.


CV Ringkas


A. Patra M. Zen

Saat ini Ketua ad interim Badan Pengurus YLBHI; Ketua Pokja Papua; peneliti pada Institut Riset Sosial dan Ekonomi (InrisE), dan Koordinator Seknas Koalisi Kebijakan Partisipatif.


Penerima the Chevening Scholarship Award: LL.M in International Human Rights Law at University of Essex (2001/02); Political Short course (University Birmingham, Civil Service Colloge (2000)). Sarjana Hukum Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Sriwijaya.

Penulis: Tak Ada Hak Asasi yang Diberi (2005). Co-writers: Menuju Reformasi Birokrasi. Pentingnya Profesionalisme dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (2006); Pelayan Publik (Bukan) untuk Publik. Malang (2006); Inkonsistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergolak? (2005); Sengketa Konstitusional Lembaga-lembaga Negara (2005); Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembentukkan Perundang-undangan yang Partisipatif (2005); Refleksi dan Penyusunan Strategi Mewujudkan Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Buku Pintar. 60 Menit Memahami (Mengawasi) Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2004); Considering General Election in Aceh under the Martial Law (2004); Koalisi Partisipasi (2003). Co-editors: Instrumen Pokok Internasional Hak Asasi Manusia (2006); Buku Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (2006); Hukum Perdata di Indonesia (2001).


Robi Anugrah Marpaung

Saat ini Staff Direktorat Advokasi dan Hukum Badan Pengurus YLBHI. Kritik dan saran melalui robbys_m@yahoo.com


[1] UUD 1945, Pasal 28D. Konstitusi Indonesia memang tidak memuat secara eksplisit kata “bantuan hukum”.

[2] Lihat UUD 1945, Pasal 28I.

[3] Lihat UU No. 18/2003 tentang Advokat, Pasal 1 angka (2).

[4] Istilah LBH merujuk pada kantor atau lembaga bantuan hukum dibawah naungan Yayasan LBH Indonesia, yang didirikan pada 1970 oleh para advokat Peradin – sekarang Ikadin, termasuk oleh tokoh pendirinya Dr. Adnan Buyung Nasution. Mengenai sejarah LBH, lihat antara lain Adnan Buyung Nasution. “Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia”, makalah pada Seminar “Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marjinal dalam Konteks Hak Asasi Manusia” YLBHI – LBH Jakarta, IALDF, UNDP dan PGRI, Jakarta 21 April 2006. Lihat juga A. Patra M. Zen, “Is Legal Aid on the Verge of Collapse?”, paper presented at International Legal Aid Conference. Kuala Lumpur Malaysia, 21 – 23 July 2006.

[5] Lihat A. Patra M. Zen, “Justiciability Hak Ekosob dan Law on Legal Aid (Workers), paper presented at International Legal Aid Seminar, organised by YLBHI, IALDF, UNDP and PGRI, Jakarta 21 April 2005.

[6] Lihat antara lain LBH Jakarta. Laporan Penanganan Kasus 2000 – 2005; A. Patra M. Zen, Daniel Hutagalung, Munarman, dkk. 2005. Laporan Tahun 2004 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Jakarta: YLBHI, hal. 63 – 102.

[7] UU tentang Hukum Acara Pidana, atau dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditetapkan lewat UU No. 8/1981 pada 31 Desember 1981.

[8] Lihat antara lain Hukumonline. 25 Januari 2005. “Wawancara. Albert Hasibuan: KUHAP Harus Segera Disesuaikan dengan Perkembangan.” Teks di http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14100&cl=Wawancara

[9] Lihat KUHAP, Pasal 59 jo. 60. Bantuan Hukum, dalam praktik telah diatur dalam R.I.B (Reglemen Indonesia yang Diperbarui atau Het Herzienne Inlandsch Reglement), yang mengatur hukum acara dalam lingkungan peradilan umum (HIR Staatblad Tahun 1941 Nomor 44).

[10] Lihat KUHAP, Pasal 69 – 74.

[11] Mengenai hak tersangka/terdakwa dalam hukum acara pidana, antara lain A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung (Eds). 2006. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia. Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: YLBHI, PSHK dan IALDF, h. 236 – 255.

[12] Lihat Reglement op de Rechtsvordering, S. 1847-52 jo. 1849-63, Pasal 887, 879, 882 dan 884

[13] Lihat UU No. 14/1970, Pasal 35 jo. Pasal 37.

[14] Terjemahan pasal dikutip dari Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen (Penyunting). 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Edisi ke-3. Jakarta: YLBHI dan YOI, h. 161.

[15] UUD 1945, Pasal 28I ayat (5).

[16] Lihat Media Indonesia Online. 16 September 2005. “Jumlah Penduduk Miskin 62 Juta Jiwa”.

[17] Lihat Martaja. “Menyimak Peta Kemiskinan Tahun 2000”, dalam Sinar Harapan. 3 Februari 2005.

[18] Lihat A. Patra M. Zen, “Justiciability Hak Ekosob and the Legal Aid (Workers) Act”, paper at Legal Aid Conference. YLBHI – LBH Jakarta, IALDF, UNDP dan PGRI, Jakarta April 2006, p. 8.

[19] Lihat Kompas. 24 April 2006. “Pemerintah Perlu Prakarsai UU Bantuan Hukum Warga Miskin”

[20] Lihat Ibid.

[21] UU No. 18/2003, Pasal 22 ayat (1).

[22] Dukungan kemudian didapat antara lain dari Indonesia-Australia Legal Development Facility (IALDF), yang mendanai sejumlah aktivitas berkaitan dengan kampanye serta penyusunan Naskah Akademik dan RUU Bantuan Hukum.

[23] Mengenai rangkaian tersebut, lihat antara lain Presidensby.info. 24 April 2006. ”Presiden Buka Acara YLBHI”.

[24] Lihat Presidensby.info. 24 April 2006. ”Presiden Buka Acara YLBHI”.

[25] Detikcom. 24 April 2006. “SBY Minta Pers Koreksi Dirinya dan Pejabat Publik”.

[26] Ibid.

[27] Detik.com. 24 April 2006. “Bagir Manan Dukung Gagasan Pembentukan UU Bantuan Hukum”

[28] Lihat Dephukham.go.id. 21 April 2006. “Seminar Bantuan Hukum.”

[29] Hukumonline. 21 April 2006. “Membandingkan Bantuan Hukum Indonesia dengan Negara Lain”. 25 April 2005. “YLBHI Siap Terima dan Salurkan Dana Dari Pemerintah. Dana Bantuan Hukum”.

[30] Lihat Depkumham.go.id. “Seminar Bantuan Hukum di Indonesia”.

[31] Lihat Hukumonline. 5 Juli 2006. “Problem Finansial LBH dan APBD”.

[32] Lihat Depkumham.go.id. “Laporan Tahunan Bagian Renram Biro Perencanaan Tahun 2005”.

[33] Depkumham.go.id. “Daftar Judul Penelitian dan Pengkajian yang Dilaksanakan Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Tahun Anggaran 2001 s/d 2004“.

[34] Lihat Hukumonline. 21 April 2006. “Membandingkan Bantuan Hukum Indonesia Dengan Negara Lain”.

[35] Lihat Judge D. Mlambo. “Legal Aid Board South Africa. South African National Report”, paper presented at Legal Aid Conference. YLBHI – LBH Jakarta, IALDF, UNDP dan PGRI Jakarta April 2006, Slide 5.

[36] Ibid., Slide 6.

[37] Jerry Cheng. “The Legal Aid Movement in Taiwan and Its Present Status”, paper presented at Legal Aid Conference. YLBHI – LBH Jakarta, IALDF, UNDP dan PGRI, Jakarta April 2006, p. 8.

[38] Lihat Cassandra Goldie. “Legal Aid and Access to Justice in Australia”. paper presented at Legal Aid Conference. YLBHI – LBH Jakarta, IALDF, UNDP dan PGRI, Jakarta April 2006, p. 9.


Daftar Pustaka

Nasution, Adnan Buyung dan A. Patra M. Zen (Penyunting). 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Edisi ke-3. Jakarta: YLBHI dan YOI, h. 161.

Peraturan Perundang-undangan

UUD 1945

UU No. 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasioal tentang Hak-hak Sipil dan Politik).

UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

UU No. 18/2003 tentang Advokat

UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana

UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

HIR Staatblad Tahun 1941 Nomor 44 (Reglemen Indonesia yang Diperbarui atau Het Herzienne Inlandsch Reglement)

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.01.PR.02.10 tahun 2005 tentang Rencana Strategi Dephukham tahun 2005 – 2009


Reglemen Acara Perdata

Reglement op de Rechtsvordering, S. 1847-52, 1849-63



Laporan

A. Patra M. Zen, Daniel Hutagalung, Munarman, dkk. 2005. Laporan Tahun 2004 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Jakarta: YLBHI.

LBH Jakarta. ”Laporan Penanganan Kasus 2000 – 2005”.


Makalah/Paper/Artikel

Cheng, Jerry. “The Legal Aid Movement in Taiwan and Its Present Status”, paper presented at Legal Aid Conference. YLBHI – LBH Jakarta, IALDF, UNDP dan PGRI, Jakarta April 2006.

Goldie, Cassandra. “Legal Aid and Access to Justice in Australia”. paper presented at Legal Aid Conference. YLBHI – LBH Jakarta, IALDF, UNDP dan PGRI, Jakarta April 2006.

Martaja. “Menyimak Peta Kemiskinan Tahun 2000”, dalam Sinar Harapan. 3 Februari 2005.

Mlambo , D.. “Legal Aid Board South Africa. South African National Report”, paper presented at Legal Aid Conference. YLBHI – LBH Jakarta, IALDF, UNDP dan PGRI Jakarta April 2006.

Nasution , Adnan Buyung. “Sejarah Bantuan Hukum di Indonesia”, makalah pada Seminar “Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marjinal dalam Konteks Hak Asasi Manusia” YLBHI – LBH Jakarta, IALDF, UNDP dan PGRI, Jakarta 21 April 2006.

Zen, A. Patra M, “Is Legal Aid on the Verge of Collapse?”, paper presented at International Legal Aid Conference. Kuala Lumpur Malaysia, 21 – 23 July 2006.

----------, “Justiciability Hak Ekosob dan Law on Legal Aid (Workers), paper presented at International Legal Aid Seminar, organised by YLBHI, IALDF, UNDP and PGRI, Jakarta 21 April 2005.


Berita

Detikcom. 24 April 2006. “SBY Minta Pers Koreksi Dirinya dan Pejabat Publik”. Teks di http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/24/time/155818/idnews/581132/idkanal/10

--------. 24 April 2006. “Bagir Manan Dukung Gagasan Pembentukan UU Bantuan Hukum” Teks di http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/04/tgl/24/time/155855/idnews/581131/idkanal/10

--------. 21 April 2006. “Membandingkan Bantuan Hukum Indonesia Dengan Negara Lain”. Teks di http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14758&cl=Berita

Dephukham.go.id. 21 April 2006. “Seminar Bantuan Hukum.” Teks di http://www.depkumham.go.id/xDepkumhamWeb/xBerita/berita1.htm

---------. “Seminar Bantuan Hukum di Indonesia”. Teks di http://www.depkumham.go.id/templates/NewsComment.aspx?pm3nc=1¶ms=Z3VpZD0lN2JDRDc3QkQyNC02QzE2LTRENkMtODNDNi1BNkVGQkM1MEQwM0IlN2Q%3D

---------. “Laporan Tahunan Bagian Renram Biro Perencanaan Tahun 2005”. Teks di http://www.depkumham.go.id/xdepkumhamweb/xbiro/xperencanaan/info.htm

---------. “Daftar Judul Penelitian dan Pengkajian yang Dilaksanakan Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Tahun Anggaran 2001 s/d 2004“. Teks di http://www.depkumham.go.id/NR/rdonlyres/BE6D2E30-E9C0-4A15-86FA-FDCBC4E828A9/0/DAFTARJUDULPENELITIANDANPENGKAJIAN.htm

Hukumonline. 5 Juli 2006. “Problem Finansial LBH dan APBD”. Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=15000&cl=Fokus

--------. 25 April 2005. “YLBHI Siap Terima dan Salurkan Dana Dari Pemerintah. Dana Bantuan Hukum”. Teks di http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14777&cl=Berita

----------. 21 April 2006. “Membandingkan Bantuan Hukum Indonesia dengan Negara Lain”. Teks di http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14758&cl=Berita.

----------. 25 Januari 2005. “Wawancara. Albert Hasibuan: KUHAP Harus Segera Disesuaikan dengan Perkembangan.” Teks di http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14100&cl=Wawancara
Kompas. 24 April 2006. “Pemerintah Perlu Prakarsai UU Bantuan Hukum Warga Miskin”

Media Indonesia Online. 16 September 2005. “Jumlah Penduduk Miskin 62 Juta Jiwa”.

Presidensby.info. 24 April 2006. ”Presiden Buka Acara YLBHI”. Teks di http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/04/24/446.html


Lainnya

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma.
Load Counter