Wednesday, August 11, 2010

Hak atas Tanah: Hak Masyarakat untuk Sejahtera dan Bahagia

“Kepentingan masyarakat dan kepentingan perorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya” (Pasal 2 ayat 3).
(Dikutip dari: Memori Penjelasan atas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria)

Pertanian merupakan sektor dengan kontribusi PDRB tertinggi di Maluku Utara dan menjadi basis mata pencaharian masyarakat terutama di perdesaan.
(Dikutip dari Master Plan Pembangunan Pertanian Maluku Utara 2010 – 2014. Teks di http://malut.litbang.deptan.go.id)



Apakah ada hak masyarakat (termasuk masyarakat adat atas tanah) dalam sistem hukum Nasional? Jawabnya ada. Apakah di lindungi, dihormati dan dipenuhi? Soal lain!

Jika disimak dari UU Pokok Agraria (UU 5/1960) yang merupakan satu-satunya peraturan perundang-undangan yang tersisa, yang didebatkan dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini, pemuatan kata masyarakat dalam konteks bumi, air dan ruang angkasa, merujuk pada sejumlah gagasan kemerdekaan Republik, yaitu:

- Membangun masyarakat yang adil dan makmur (Konsideran);

- Mencapai sebesar-besarnya kemakmuran-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum yang merdeka berdaulat, adil dan makmur (Ps. 2 ayat (3));

Masalah utama terkait hak atas tanah, saat ini tidak lain tidak bukan adalah soal ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Tanah menjadi komoditas, diperjualbelikan. Karena komoditas, maka siapa yang mempunyai modal atau uang, ia dapat memiliki dan menguasai tanah. Apa yang disebut dengan tanah ulayat atau tanah adat, tidak luput dan tidak terhindar dari transaksi jual-beli ini.

Ada yang tidak adil, ada yang timpang dan ada yang tidak imbang dalam kehidupan sehari-hari. Ukuran yang paling mudah adalah, luas lahan yang dimiliki rumah tangga untuk pertanian dan perkebunan, dibandingkan dengan luas yang dimiliki perusahaan. Ketimpangan ini mengakibatkan munculnya petani tak bertanah, buruh, tani atau mencari kerja menjadi buruh di kota.


*****

Orde Lama, terlepas dari banyak kelemahannya, telah menerbitkan peraturan hukum yang membuka jalan untuk pelaksanaan landreform, antara lain:
- Perpu 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian;
- UU 2/1960 tentang Bagi Hasil;
- PP 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah;
- PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian.

Kesemua pasal dan ayat yang melindungi hak masyarakat tetap ada. Namun dalam praktik kebanyakan tidak berdaya. Sebagai contoh, sejak 1967, diterbitkan UU Pokok Kehutanan, dan selanjutnya PP Penguasaan Hutan, yang memunculkan dan melahirkan pemegang konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH) lewat alas Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar. Hak masyarakat hukum adat sejak itu, seakan tidak berdaya karena cara-cara perolehan tanah dan penguasaan tanah menurut hukum adat dianggap tidak pernah ada.

Contoh lain, sejak diterbitkannya PP 40/1996 yang mengatur Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, telah menyimpang dari UUPA dengan memuat HGU yang berasal dari tanah negara diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun (Ps. 8). Dalam UUPA, HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun, kecuali bagi perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama. Dalam UU 25/2007 tentang Penanaman Modal bahkan HGU dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun. Hal ini berlaku juga untuk Hak Guna Bangunan selama 80 tahun (50 tahun; 30 tahun) dan Hak Pakai selama 70 tahun (45 tahun; dan dapat diperbarui selama 25 tahun). Patra M Zen, dkk sebagai kuasa pemohon, tidak lama setelah UU Penanaman Modal disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (Perkara 22/PUU-V/2007). Dalam putusan yang dibacakan pada 25 Maret 2007, MK membatalkan anak kalimat ’di muka sekaligus’ dan ’sekaligus dimuka” dalam Pasal 22 UU Penananam Modal.


*****

Hukum dan perundang-undangan adalah salah satu alat peradaban yang paling efektif untuk mencapai keadilan. Tetapi ditangan pembuat kebijakan yang mengabaikan keadilan, hukum dan perundang-undangan juga menjadi alat kekuasaan yang paling cepat dan ampuh mencabut hak-hak masyarakat dan melahirkan pelanggaran hak asasi manusia.

Norma dan standar hak asasi manusia telah memberikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip hubungan dua pihak yaitu pemegang hak yaitu warga negara dan masyarakat disatu sisi, dan pemegang kewajiban yaitu Negara. Negara, dalam hal ini, memastikan seluruh manfaat dan klaim pemegang hak terpenuhi. Standar hak asasi manusia mesti dijamin dalam hukum sehingga menjadi hak hukum pemegang hak. Kewajiban menghormati, seringkali dipersamakan dengan kewajiban negatif, dimana negara diwajibkan untuk tidak melakukan intervensi. Sebaliknya kewajiban positif, memberikan mandat kepada negara untuk tidak abstain dari tindakan tertentu.

Secara singkat, dalam disiplin hukum hak asasi manusia, dikenal 3 tipe atau level kewajiban negara - yang dalam perkembangannya mulai diperluas menjadi kewajiban yang mengikat juga bagi entitas non-negara. Kewajiban yang dimaksud, yaitu:

1. Menghormati: dilarang melakukan apa pun untuk mencegah akses secara langsung maupun tidak langsung

2. Melindungi: mencegah siapa pun yang dapat membatasi akses; mencegah pihak ketiga melakukan intervensi negatif; mencegah perlakuan diskriminatif; memberikan perlindungan kepada kelompok marjinal: anak-anak, perempuan, difabel, usia lanjut; mencegah praktik tradisional yang dinilai membatasi dan melanggar

3. Memenuhi (memfasilitasi dan menyediakan): proaktif menggunakan akses, sumber daya dan alat; mengadopsi legislatif, administratif, anggaran, yudisial, promosi dan upaya yang diperlukan untuk realisasi hak secara penuh; penerbitan kebijakan dan rencana yang detail untuk pemenuhan hak; melaksanakan riset dan menyediakan akses informasi.

Wujud esensialnya pemenuhan hak, berupa, antara lain: ketersediaan (availability) - pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur; adanya akses (accessibility); akseptibilitas (acceptability) bentuk dan substansi; kesesuaian (adaptability), termasuk kesesuaian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan kualitas (quality) pemenuhan hak.

Sebelum Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights) di adopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 16 Desember 1966, UUPA sudah memuat ketentuan ”Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” (Ps. 6) yang menjamin hak kolektif masyarakat atas tanah. Fungsi sosial mempunyai makna:

”...hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara”.
(Dikutip dari Memori Penjelasa atas RUUPA)

Pertanyaannya kemudian, apakah masyarakat Maluku Utara sudah sejahtera dan bahagia?

Karenanya, saya lebih cenderung mengunakan istilah advokasi kesejahteraan dan kebahagiaan untuk mencegah konflik-kekerasan di Maluku Utara.

Selamat berdiskusi.

Ternate, 2 Agustus 2010

* Komite Pengarah Jaringan Advokat Pembela Kepentingan Publik (Pil-Net)
** Pengantar Diskusi pada Seminar dan Lokakarya, “Advokasi Isu Agraria yang Potensial Menciptakan Konflik di Maluku Utara”, Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Ternate bekerjasama dengan Serasi-Usaid. Ternate, 1 – 3 Agustus 2010.
Read More..
Load Counter