Pengantar
Memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) tanpa ideologi merupakan pekerjaan sia-sia. Ideologi politik dapat mendorong pemenuhan HAM dan sebaliknya dapat menjadi aral bagi pemajuan hak-hak asasi. Jika ini argumennya, mengapa tidak kita pikirkan, menjadikan HAM sebagai sebuah ideologi politik? Kemudian, lingkup batas ‘HAM’ yang mana yang hendak diposisikan sebagai ideologi?
Tulisan ini akan mengeksplorasi tema ideologi politik dan HAM. Dalam artikel singkat ini akan mengeksplorasi tema promosi HAM didunia saat ini termasuk di Indonesia. Selanjutnya, artikel ini hendak mendeskripsikan klaim ideologi politik HAM – terutama yang dibangun oleh elite badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan aktivis HAM. Tulisan ini relatif bersifat pembuka untuk mengetahui: apakah ideologi dan HAM itu saling terpisah satu sama lain; ataukah HAM itu bisa posisikan sebagai ideologi politik?
Kepentingan menyusun artikel ini lebih ditujukan untuk mendiskusikan dua tema besar tersebut. Tidak berlebihan jika banyak komentator, menyatakan sekarang kita tinggal di abad HAM.[1] Sementara, ideologi juga merupakan tema yang hidup hingga sekarang. Bahkan, ideologi, menjadi konsep yang paling elusive dalam keseluruhan ilmu sosial.[2]
Sebuah alat bantu dalam menyusun artikel ini, yakni buku berisi kumpulan artikel yang diedit Roger Eatwell dan Antony Wright berjudul ‘Contemporary Political Ideologies’. Dalam buku ini, Eatwell dan Wright mengkompilasi 10 ideologi politik yang berkembang di abad 20, yakni: (1) liberalism; (2) conservatism; (3) socialism and social democracy; (4) marxism and communism; (5) anarchism; (6) nationalism; (7) facism; (8) feminism; (9) ecologism; serta (10) islam and fundamentalism. Kategori terakhir tidak dimuat dalam edisi pertama. Sementara dalam buku ini, isme hak asasi manusia - HAMisme (human rightism) – yang menjadi obyek tulisan ini – tidak dimuat sebagai sebuah ideologi politik.
Dalam pengantar buku tersebut Eatwell menyatakan buku ini berisikan ideologi-ideologi politik yang dipahami sebagai “a relatively coherent set of values – a set of ‘isms’ which have been, and in most cases remain, central to the language of post-Enlightement politics.”[3] Dengan demikian, ideologi-ideologi ini “have a variety of more concrete effects, including both inspiring and constraining behavior and policy.”[4] Menurutnya, dari sekian banyak pendekatan yang menopang argumen rupa ideologi, tema ini dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yakni: (1) ideologi sebagai pemikiran politik (political thought); (2) Ideologi sebagai sistem kepercayaan (beliefs) dan norma-norma (norms); (3) ideologi sebagai bahasa (language), simbol-simbol (symbols) dan mitos (myths); serta ideologi sebagai kekuasaan elite (élite power).[5]
Pendekatan tersebut, dalam kalimat Eatwell, “are not entirely exclusive”, namun keempat kategori tersebut “point to different areas of primary study”.[6] Menurutnya, kategori pertama, studi diarahkan pada isme-isme besar (great ‘isms’) dan para pemikir utamanya (key thinkers). Kelompok kedua, berkaitan dengan pandangan orang kebanyakan, yang relatif kurang sistematis. Pendekatan ketiga, melihat lebih pada diskursus (discourse) dan ikonografi (semiotics). Sementara, pendekatan keempat, berhubungan lebih pada bagaiman elites mencari dan memastikan dukungan, lewat beragam cara, seperti represi fisik, media, atau sistem pendidikan.
Selanjutnya, Eatwell menyatakan ideologi-ideologi (ideologi politik) yang dimuat dalam bukunya, mesti mempunyai seperangkat atribut, yang secara khusus ideologi: “has an overt or implicit set of empirical and normative views” which are goal-oriented about: (1) human nature; (2) the process of history; (3) the socio-political structure.”[7]
Karena ‘aturan’ tersebut, maka menurutnya, democracy tidak dapat disebut sebagai sebuah ideologi politik. Karena alasan sederhana, demokrasi lebih pas disebut sebagai sebuah sistem pemerintahan, dimana semua ideologi-idologi utama berupaya memonopoli term ‘democracy’.[8]
Jika merujuk pada argument Eatwell tersebut maka ‘democracy’ tidak dikategorikan sebagai ideologi politik telah mendapat dasar. Namun, bagaimana jika argument tersebut diterapkan pada HAM: “human rights as an ideology” dan ‘human rightism’ as political ideology”? Pertanyaan semacam ini memunculkan kontroversi tentunya. Untuk itu, ada baiknya jika dideskripsikan lagi beberapa rumusan ideologi dan ideologi politik.
Dalam sebuah kamus filsafat (Oxford Dictionary of Philosophy), ideologi dirumuskan sebagai berikut:
“Any wide-ranging system of beliefs, way of thought, and categories that provide the foundation of programmes of political and social action: an ideology is a conceptual scheme with a practical application…[9]
Eatwell sendiri, mendefinisikan ideologi politik (political ideology) yang digunakan untuk mendeskripsikan ‘ism’, dalam bukunya, sebagai ideologi politik:
“A political ideology is a relatively coherent set of empirical and normative beliefs of thought, focusing on the problem of human nature, the process of history, and socio-political arrangement. It is usually related to a programme of specific short run concern. Depending on its relationship to the dominant value structure, an ideology can act as either a stabilizing or radical force. Single thinkers may embody the core of an ideology, but to call a single person n ‘ideologist’, or ‘ideologue’, would normally be seen as pejorative. The term of ‘political philosopher’ or ‘political theorist’, therefore, seems more appropriate for a thinker capable of developing a sophisticated level of debate. Political ideologies are essentially the product of collective thought. They are ‘ideal types’, not to be confused with specific movement, parties or regimes which may bear their name.”[10]
Sistem kepercayaan (beliefs) dan pola pikir (thought) tersebut, merujuk, Raymond Williams, dibedakan kedalam bentuk-bentuk formasi ideologi, yakni: (1) “residual” ideological formations, yakni rupa-rupa ideologi yang saling bergantian mendominasi, namun tetap bersiklus dalam beragam cara; (2) “emergent” ideological formations, yakni ideologi-ideologi baru, yang sedang berproses memantapkan pengaruhnya (3) “dominant” ideological formations, yakni ideologi – yang oleh Louis Althuser diistilahkan sebagai “ideological state apparatuses”; seperti, sekolah (schools), pemerintah (government), polisi dan militer.[11]
Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebagai kata benda (noun), hak (right) dapat diartikan secara abstrak (an abstract sense) dengan makna keadilan (justice), sesuatu yang secara etik dianggap benar (ethical correctness) atau disejajarkan artinya dengan norma hukum (rules of law) atau prinsip-prinsip dasar moralitas (principles of marals). [12] Selanjutnya, secara konkret (a concrete sense), berarti kekuasaan (power), keistimewaan (privilege), atau tuntutan (demand) yang inheren dimiliki seseorang dan incident dengan yang lain; dimana hak secara umum dapat diartikan sebagai “powers of free action”. [13] Dalam bahasa hukum, istilah hak, didefinisikan sebagai: “a capacity residing in one man of controlling, with the assent and assistance of the state, the actions of others.”[14] Sementara, hak (right) sebagai kata sifat, berarti kebenaran moral, sejalan dengan prinsip-prinsip etika atau norma hukum positif. Hak (rights) sebagai kata sifat, menjadi lawan kata dari unjust, wrong dan illegal.[15]
Merujuk definisi dari Black’s Law Dictionary tersebut, tentu tidak memadai untuk menjelaskan apa yang menjadi arti dari “human rights” (hak asasi manusia). Namun pengertian dalam kamus hukum ini, berguna bagi kita untuk, paling tidak, melihat praktek-praktek pemenuhan HAM, yang oleh banyak kalangan, menggunakan prosedur hukum. Dengan memakai logika dalam kamus ini, maka HAM dapat diartikan kemampuan sesorang untuk melakukan kontrol prilaku aparat Negara (dan pelaku Non-Negara), dengan persetujuan dan bantuan Negara. Paling tidak, definisi seperti ini diadopsi dalam beragam norma dan standar internasional HAM, dimana dinyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab Negara, terutama Pemerintah.[16]
Batas lingkup saat ini, agaknya sudah berakhir, di meja para anggota Komite yang dibentuk oleh perjanjian internasional HAM. Salah satu fungsi Komite ini yakni mengelaborasi definisi dan ruang lingkup hak-hak asasi yang dimuat dimuat, dikategorikan dan diatur dalam pasal-pasal dalam perjanjian internasional kovenan dan konvensi HAM.[17] General Comment dan General Recommendation yang dirumuskan oleh masing-masing Komite, merupakan versi formal penjelasan pasal-pasal dalam perjanjian internasional HAM. Secara formal, penjelasan inilah yang kemudian lebih dirujuk sebagai referensi bagi banyak aktivis HAM atau jurist, bahkan apparatus Negara Pihak.
Dalam sejarahnya, banyak pemikir yang dianggap punya kontribusi untuk menjelaskan definisi dan batas lingkup HAM – dan juga mengevaluasi dan mengajukan kritik terhadap konsep HAM. Patrick Hayden, membagi kategori para pemikir ini mewakili empat persepektif.[18] Perspektif HAM klasik, diwakili para pemikir seperti Plato, Aristoteles, Cicero, St. Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius. Perspektif kedua: perspektif modern, diwakili para pemikir antara lain: Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, Edmund Burk, Thomas Paine, Mary Wollstonecraft, Immanuel Kant, Jeremy Bentham, Karl Marx, dan Johan Stuart Mill. Selanjutnya, Hayden, mengkategorikan para pemikir yang mewakili perspektif kontemporer, antara lain H.L.A. Hart, Maurice Cranstaon, Joel Feinberg, Thomas W. Pogge, Martha C. Nussbaum, Richard Rorty dan Jacques Derida.
Dari Heyden, ketiga perspektif itu mewaliki perspektif Barat (Western). Selanjutnya, perspektif Non-Barat, diklasifikasikan Heyden diwakili oleh ajaran dan tulisan Confusius, Mo Tzu, Buddha, Dalai Lama, dan para pemikir seperti Kwasi Wiredu dan Abdullahi Ahmed An-Naim.
Bagaimana persepektif para pemikir Indonesia? Tentu beragam. Namun kecendrungannya, aktivis HAM – terutama dari kalangan aktivis Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) dan Jurist, memakai perspektif PBB untuk mendeskripsikan dan mengemukakan batas lingkup HAM. Lebih dalam, perspektif HAM di Indonesia cenderung mentok di jurist, karena dari sekian kasus, para petani justru lebih percaya kepada NGOs yang program-programnya mengerjakan advokasi hukum, termasuk beracara di Pengadilan, ketimbang para korban petani mempercayakan penyelesaian kasus lewat sebuah Partai Politik, atau membangun Partai Politik dan organisasi revolusioner lain secara mandiri dengan tujuan untuk mencapai tujuan pencapaian kesejahteraan, termasuk menjalankan agenda pembaruan agraria.
Dari sisi praktik HAM, kasus Bulu Kumba, merupakan pelajaran bagi konsep HAM. Hak atas tanah merupakah HAM. Beberapa waktu lalu, sejumlah petani Bulu Kumba, Sulawesi Selatan, ditangkap aparat kepolisian. Keluarga para petani kemudian banyak mengungsi. Penangkapan ini menjadi ujung dari konflik pertanahan antara petani dengan korporasi internasional PT London Sumatra. Masing-masing pihak mengklaim punya hak atas tanah yang disengketakan.
Konflik tanah tersebut, cuma mewakili satu kasus, dari ribuan kasus yang lain. Yayasan LBH Indonesia menerima pengaduan kasus tanah dari masyarakat, utamanya keluarga petani mencapai ratusan kasus pertahun.[19] Tahun 1995 tercatat 366 kasus; tahun 1996 sebanyak 352 kasus; tahun berikutnya 455 kasus; tahun 1997 dan 1998 masing-masing 553 dan 577 kasus. Dari ribuan kasus tanah selama periode 1995 – 1998, muncul juga konflik tanah yang mengajukan hak atas tanah dengan konsep kepemilikan komunal bukan individual. Ketiadaan organisasi revolusioner atau Partai Politik yang beranggotakan para petani dan intellectual organic yang bersimpati pada perjuangan petani, menyebabkan gerakan reclaiming tanah macet dipenghujung tahun 2001. Situasi yang sama, juga dirasakan para buruh.
Ideologi HAM sama dengan Ideologi PBB?
Sejak diadopsinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 1948 oleh PBB, badan supra-nasional ini secara sistematis mempromosikan perlindungan dan pemenuhan HAM disemua penjuru dunia. Tentu saja definisi-definisi ideologi tidak menjadi pokok bahasan utama dalam badan-badan PBB yang berkaitan dengan pemenuhan HAM. Namun demikian, paling tidak sejak dekade 60-an, muncul pernyataan HAM merupakan sebuah ideologi bagi PBB. De Mello, Komisioner Tinggi HAM PBB pernah mengutip pernyataan Abdul Rahman Pazhwak, Presiden Majelis Umum PBB, yang menyatakan “if the United Nations could be said to have any ideology, it must be that of human rights”[20]
Lewat Badan PBB, pertumbuhan norma dan standard PPB tentang HAM sangat subur: deklarasi, perjanjian (treaties) baik covenant maupun convention; rencana serta platform aksi, dan seterusnya. Bahkan, seorang komentator menyebut saat ini sebagai ‘abad hak asasi’ (the age of rights). PBB boleh dikatakan tengah mendorong sebuah ide HAM yang universal. Bukan hanya dilakukan apparatus PBB, promosi dan perlindungan HAM universal, yang sekarang dikerjakan jutaan, bahkan milyaran orang, termasuk di Indonesia. Apakah gejala ini bisa disebut dengan proses pembentukan HAM sebagai sebuah “ideology”?
Dokumen UDHR dapat dikatakan menjadi sebuah dokumen untuk menutup trauma Perang Dunia ke-2. Penduduk dunia, merujuk pada dokumen ini untuk masuk ke era baru: era perdamaian yang menjunjung tinggi HAM. Namun era baru ini didampingi dengan facet dari Perang Dunia ke-2, sebuah era ‘Perang Dingin’ dimana terjadi pertentangan dua ideologi: liberalism dan communism. Menariknya, kedua system politik ini menyetujui ide HAM, dimana pada 1966, General Assembly – yang beranggotakan negara-negara dari kedua blok ini – menyetujui diadopsinya dua perjanjian: the international covenant on civil and political rights (ICCPR) dan the international covenent on economic, social and political rights (ICESCR).
Bubarnya Uni Soviet pada 1991, kemudian, membuka era baru perkembangan promosi dan perlindungan HAM, dimana PBB melaksanakan seri konferensi dunia. Dimulai pada 1992, di Rio de Janeiro (UN Conference for Environment and Development); pada 1993 di Vienna (UN Conference on Human Rights); Di Kairo pada 1994, the World Summit for Society Development; setahun kemudian, the Fourth World Conference on Women di Beijing; pada 1996 di Istanbul dilaksanakan the Habitat Conference; the Food Sumit pada 1996 di Roma, hingga the World Summit on Sustainable Development di Johannesburg pada 2002.
Merujuk pada perkembangan tersebut, Shulamith Koenig, Direktur Eksekutif Gerakan Rakyat untuk Pendidikan Hak Asasi Manusia (PDHRE) pernah menyatakan proses tersebut pada dasarnya telah mendorong kelahiran sebuah ideologi politik baru di abad ke-21. Ideologi baru ini tidak lain HAM.[21] Koenig merefer definisi ideologi dari Webster’s Dictionary, yakni: “a systematic body of concepts about human life or culture; the integrated assertions, theories that constitute a sociopolitical programme.”
Dalam tulisannya, Koenig menyatakan dirinya sadar betul memasuki sebuah zona berbaya (danger-zone) mendiskusikan HAM sebagai sebuah ‘political ideology’. Salah satu bahaya, menurutnya, istilah ‘idology’ dan ‘political’ dapat menciptakan hambatan yang tak perlu bagi realisasi HAM dan membatasi kemampuan untuk mengintrodusir pendidikan HAM (human rights education) dalam semua sektor masyarakat.
Koenig menyatakan, ideologi HAM dikonstruksikan dengan bertahap dan didefinisikan secara jelas. Norma dan standard HAM ditopang oleh filsafat, yang menurut Koening sebagai ‘ideology of hope’. Ideologi ini, agaknya yang dianut oleh PBB dan NGOs. Deretan norma dan standar internasional tentang HAM yang diadopsi PBB dan ditandatangani Negara Pihak menyediakan dasar bagi aksi komprohensif dan mobilisasi melawan ancaman bagi human dignity and security.
Membaca tulisan Koenig, untuk selanjutnya, dipersandingkan dengan tulisan Eatwell yang berisikan parameter sebuah ideologi, maka memang klaim HAM sebagai ideologi bisa saja muncul, sebagaimana kompilasi Eatwell yang memuat feminism, ecologism, atau islam/fundamentalism sebagai rupa-rupa ideologi-ideologi politik.
Hamisme Sebagai Ideologi Politik?
Dalam sebuah tulisan, Alwyn Thomson, peneliti pada ECONI menyatakan HAM merupakan agama baru Western liberalism.[22] Agama ini berkitab UDHR dengan para denominasi: Amnesty Internasional dan Human Rights Watch. Para advokat dan aktivis HAM sebagai ‘priests’.
Dalam prakteknya, tidak mengejutkan, karena dianggap sebagai turunan dari Western liberalism, promosi hak-hak sipil dan politik (hak sipol) yang dimuat dalam the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) maju pesat ketimbang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob), terutama terasa diera Perang Dingin. Muncul apa yang diistilahkan sebagai ‘marjinalisasi’ hak-hak ekosob. Marjinalisasi ini dapat dilihat dari beberapa rupa. Paska Perang Dunia ke-2, Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi pilar bagi promosi dan perlindungan hak sipil dan politik dibawah payung kebebasan sipil mengambil sikap pasif terhadap promosi hak ekosob. Hal ini disebabkan, apa yang dikatakan Marry Robinson, High Commissioner on Human Rights sebagai alasan-alasan ideologis (ideological reasons).[23]
Secara umum, Eropa Barat dan AS berpegang pada prinsip-prinsip liberalism, individualism, dan market in economics.[24] sebaliknya Uni Soviet (USSR) menganut Marxism in practice.[25] Ajaran Marx menekankan prinsip communality dan equality in sense of economics access.[26] Pertarungan ideologi politik ini dilapangan HAM, menghasilkan dua dokumen terpisah: the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICCPR (1966) dan the International Covenant on Civil and Political Rights – ICESCR (1996).
Secara lebih detail, marjinalisasi hak ekosob dapat dilihat dari aspek sistem pengawasan bagi implementasi hak ekosob. Komite Hak-hak Ekosob (CESR) baru terbentuk pada 1987, sedangkan Komite Hak Asasi Manusia (CHR) – yang tidak disebut dengan Komite Hak-hak Sipil dan Politik (CPPR) – telah dibentuk sejak ICCPR berlaku (entered into force) pada 23 Maret 1976. Hingga sekarang, belum diadopsi optional protocol yang menyediakan prosedur komplain dibawah Kovenan Internasional Hak Ekosob.[27] Sebaliknya, the optional protocol Kovenan Hak Sipol menyediakan peluang bagi petisi individu.[28] Marjinalisasi hak ekosob, juga dapat dilihat dari aspek non-treaty based procedure dalam sistem PPB.
Secara umum, terdapat ketertinggalan elaborasi normative ketentuan yang dimuat dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Dukungan internasional termasuk gerak dorong NGOs sejak lama memfokuskan pada hak sipol.[29] Sebagai konsekwensi, sangat terlihat kesenjangan fasilitas untuk mempromosikan dan melindungi hak ekosob, jika dibandingkan fasilitas yang dicurahkan pada promosi dan perlindungan hak sipol. Bagi NGOs yang bekerja di rana hak sipol, dengan dukungan funding agency atau lembaga donor, dukungan terhadap kerja-kerja promosi hak sipol lebih lebih besar.
Marjinalisasi hak ekosob juga dapat dibuktikan dari aspek jsutisiabilitas hak-hak ini.[30] Dilevel domestik, terjadi ketertinggalan promosi dan perlindungan dalam ketentuan-ketentuan konstitusi, kelembagaan dan prosedur nasional.[31] Pencapaian hak ekosob cenderung menjadi capaian kebijakan negara, ketimbang diatur sebagai sesuatu yang justiciable.
Beragam fakta marjinalisasi tersebut, menyebabkan banyak problem dilevel teknis dan operasional untuk mengimplentasikan hak-hak ekosob. Sebagai contoh, masyarakat sipil menghadapi kesulitan untuk melakukan pengawasan pemenuhan hak ekosob. Lebih lanjut, masalah menjadi kompleks, saat pelaku kejahatan terhadap hak-hak ini tidak saja pelaku negara (state apparatus) melainkan juga non-state actors (pelaku non-negara) seperti korporasi.
Problem intellectual clarity, sebagai tambahan, menampilkan bentuk marjinalisasi yang lain. Kesenjangan pengetahuan muncul saat mendefinisikan dan mengambil batas lingkup hak-hak ekosob. Sebagai contoh, sebuah laporan konferensi Komisi Internasional Jurist (ICJ),[32] menunjukkan jurists cenderung tidak mengambil peran aktif dalam mempromosikan pencapaian hak ekosob. Ketidakperhatian dan prilaku konservatif para jurist ini tentu saja menyulitkan upaya perlindungan dibidang hukum saat terjadi kejahatan hak-hak ekosob.[33] Problem pengetahuan dan keterampilan ini memang telah menjadi bagian dari kerja dan perhatian bagi banyak aktivis NGOs.[34]
Dekade gelap promosi hak-hak ekosob kiranya berakhir. Jurist dan aktivis NGOs saat ini, dapat dikatakan, bergiat untuk membangun dan mengelaborasi hak-hak ekosob, termasuk memperkokoh definisi, batasab lingkup, justiciability dan biaya pemenuhan.[35] Faktanya memang cukup menggembirakan.[36] Demikian juga agen-agen PBB yang bekerja dibidang HAM. Komite Hak Ekosob PBB, telah mengadopsi General Comment dari serangkaian pasal-pasal yang dimuat dalam ICESCR, diantaranya pasal 2 ayat (1), 11, 11.1, 12, 13, 14, 17 and pasal 22.[37]
Dilevel regional, di Eropa, pembangunan mekanisme perlindungan hak-hak ekosob, lewat teks European Social Charter Text dan dokumen yang berkaitan dengan piagam ini. Di Afrika, perlindungan hak ekosob mempunyai alas dasar beberapa dokumen, diantaranya: the African Charter on Human and Peoples' Rights, the African Economic Treaty and the Organization of African (OAU) treaties seperti the Bamako Convention on the Environment and the African Economic Treaty. Selanjutnya, didataran Amerika, terdapat the American Convention on Human Rights and Additional Protocol (Protocol of San Salvador).[38]
Dilevel dometik, sebagaimana dinyatakan Sandra Liebenberg, dibeberapa negara, terdapat trend baru dimana hak-hak ekosob didorong menjadi hak yang justiciable. Hak ekosob diposisikan sebagai hak yang secara langsung justiciable oleh Konstitusi Afrika Selatan 1996.[39] Beberapa contoh dimana negara memasukkan hak-hak ekosob kedalam konstitusinya sekaligus sebagai subyek dari bentuk proses-proses yudisial, seperti Kanada, Finlandia, Jerman, Hungaria, Italia, Lithuania, Selandia Baru, Portugal, dan bahkan di Amerika Serikat.[40] Selanjutnya, menurut, Rodolfo Stavenbargen, in Amerika Latin: Argentina, Brazil, Colombia, Nikaragua and Paraguai, merupakan contoh-contoh negara yang memuat hak-hak budaya penduduk asli (indigenous cultural rights) kedalam konsitusi atau amandemen konstitusi negaranya.[41]
Lebih jauh, terdapat juga kasus-kasus sebagai bahan yang diperuntukkan bagi referensi dan studi lanjutan tentang perlindungan hak ekosob lewat proses yudisial. The European court of Human Rights telah mengeksaminasi kasus-kasus kejahatan terhadap hak ekosob, seperti Lopez Ostra v. Spain[42]; Belgian Linguistic cases[43]; Salesi v. Italy[44]; Schuler-Zgragegen v. Switzerland. Upaya mereklaim hak-hak ekosob ini juga penah dilakukan di level domestik, seperti Eldrige v. British Colombia (Attorney General) in the Canadian Supreme Court,[45] Plyer v. Doe and Golberg v. Kelly (US Supreme Court),[46] Viceconte, Mariela Cecilia v. Ministry of Health and Social Welvare (the National Court of Appeals in Argentina),[47] Upaya judicial review tentang hak-hak ekosob di UK[48], serta putusan di pengadilan tingkat banding Guyana memutuskan hak-hak ekosob dalam konstitusi negara ini dengan tegas dinyakatan “are not mere political rhetoric” and “justiciable”.[49]
Di Indonesia sendiri, konsep HAM telah diadopsi dalam ketentuan konstitusi, menjadi hak konstitusional. Pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 tentang HAM telah menjadi alas dasar bagi seluruh peraturan dan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional HAM – table 2.
Tabel 1
Instrumen Internasional HAM Utama yang Telah Diratifikasi Indonesia
Konvensi Yang Diratifikasi
Inkorporasi dalam Hukum Domestik
1. CERD (the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination)
UU No. 29/1999
2. CAT (the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
UU No. 5/1998
3. CEDAW (the International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)
UU No. 7/1994
4. CRC (the Convention on the Rights to Child)
Keppres No. 36/1990
5. Hak-hak Perempuan
UU No. 68/1959
Indonesia merupakan sebuah Negara di dunia, yang pada dasarnya mengadopsi ‘universalisme HAM’ yang dimuat dalam perjanjian internasional. Asumsinya, ketentuan-ketentuan dalam CERD, CAT, CEDAW atau CRC menjadi hukum dilevel nasional. Karenanya, dalam praktik, diperlukan sinkronisasi perundang-undangan, yang selanjutnya membenarkan dan menjadi acuan bagi segala bentuk kebiasaan masyarakat dilevel local agar berkesesuaian dengan norma dan standard HAM ini.
Jika dilihat dari sejarah UDHR, promosi universalisme HAM yang dimuat dalam standard dan norma internasional HAM semakin cepat denyutnya paska bubarnya Uni Soviet. Sebelum lewat tengah malam, pada 10 Desember 1948, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi UDHR, dengan 48 Negara menyatakan setuju; dan 8 Negara bersikap abstain: USSR, Ukrania, Belarusia, Yugoslavia, Polandia (enam negara blok Komunis); Saudi Arabia dan Afrika Selatan.
Keberatan Arab Saudi terutama pada pasal 16 dan pasal 18 UDHR tentang “equal marriage rights” dan hak setiap orang untuk bebas (memeluk, dan berpindah) agama. Mengapa hanya Arab Saudi, sementara Negara yang juga berpenduduk Muslim, seperti Siria, Iran, Turki dan Paksitan menyatakan persetujuannya terhadap UDHR. Sementara, abstainnya Afrika Selatan, khusunya berkaitan dengan isu diskriminasi rasial yang dilarang dalam UDHR, dimana rezim Apartheid Afrika Selatan masih berkuasa pada saat itu. Hal yang menarik, jika UDHR ini merupakan representasi dari Western Liberalism, seharusnya Blok Uni Soviet menyatakan penolakan, bukan pernyataaan abstain – karena dalam banyak hak Liberalism berkontradiksi antagonis dengan Marxism dan Communism.
Per 9 Juni 2004 Negara-negara pada 1948 menyatakan abstain terhadap pengadopsian UDHR, yakni Federasi Rusia – sebelumnya USSR, Saudi Arabia dan Afrika Selatan telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional HAM yang utama – sebagaima terlihat dalam table 1.
Tabel 2
Status Ratifikasi Perjanjian Internasional HAM di 3 Negara: Federasi Rusia, Saudi Arabia dan Afrika Selatan
Per 9 Juni 2004
Sumber: Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights.
Sebagai tambahan Republik Rakyat Cina, juga tercatat telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional HAM. Cina telah meratifikasi CESCR (27 Juni 2001), menandatangani CCPR (5 Oktober 1998), serta meratifikasi CERD, CEDAW, CAT dan CRC beserta dua Optional Protokol dibawah CRC. Sementara Kuba telah meratifikasi CERD, CEDAW, CEDAWOP, CAT serta CRC beserta dua Optional Protokolnya.
Cina dan Kuba, dua Negara, yang banyak kalangan diklasifikasikan menjalankan Marxism – Communism, secara formal, menerima perjanjian internasional menjadi hukum positif di Negaranya. Dilevel masyarakat sipil – para aktivis HAM dari segenap penjuru menyatakan memperjuangkan HAM, dimana seringkali, definisi HAM dirujuk dari dokumen perjanjian internasional HAM yang diadopsi PBB.
“Mereka tidak tahu, tapi mereka melakukannya”
Dalam Oxford Dictionary of Philosophy, ideologi juga di rumuskan sebagai berikut:
…(d)erogatorily, another person’s ideology may be thought of as spectacles that distort and disguise the real status quo….[50]
Selanjutnya, dinyatakan:
“Promises that political philosophy and morality can be freed from ideology are apt to be vain, since allegedly cleansed and pure programmes depend, for instance, upon particular views of human nature, what counts as human flourishing, and the conditions under which it is found.[51]
Merujuk Slavoj Zizek, definisi yang paling dasar dari ideologi, diambil dari frase dalam tulisan Marx, “Sie wissen das nicht, aber sie tun es" (“mereka tidak tahu, tetapi mereka melakukannya”).[52] Definisi tersebut pada dasarnya merumuskan ideologi sebagai sebuah false ideas dimana ideologi diletakkan sebagai “other of science” – atau dalam kamus diatas diistilahkan “…as spectacles that distort and disguise the real status quo”. Menurut Eatwell, kerja Engels yang mengajukan argument ‘false consciousness’ – yang kemudian menjadi kerja utama bagi Marxist.[53] Kesadaran palsu ini merujuk pada situasi atau pandangan sosial, yang menopang sebuah sistem tertentu. Sebagai contoh dari kesadaran palsu, antara lain dinyatakan Eatwell, dengan mengangap ‘Negara Demokrasi Liberal’ adalah ‘netral’: dengan kata lain, percaya bahwa individu dan kelompok mempunyai persamaan didepan hukum, aparat Negara tidak melayani kepentingan-kelas, dan seterusnya. Karenanya, bagi Marx dan Engels, hukum mempunyai tujuan utama bagi perlindungan kapitalism dan kepemilikan, dimana keduanya merupakan corak utama dari Negara Demokrasi Liberal.
Dengan demikian, bagaimanakah mendamaikan elemen-elemen Western Liberalism yang disadur oleh pasal-pasal dalam perjanjian-perjanjian internasional HAM dengan elemen-elemen Marxism dan Consevatism, sebagai ideologi politik residual. Upaya untuk mendamaikan isme lain, antara agama dan sekularisme, pernah dilakukan Abdullahi A. An-Na’im, dalam konteks pemenuhan dan pemajuan HAM. Namun, An-Na’im dalam tulisannya memposisikan HAM, agama dan sekularisme, masing-masing sebagai paradigma.
Hak asasi manusia, didefiniskan An-Na’im, sebagai: “hak yang bersifat universal yang melekat atas semua manusia sesuai dengan hak mereka sebagai manusia, tanpa ada perbedaan dengan alasan apapun seperti ras, jenis kelamin, agama, bahasa, atau kebangsaan”.[54] Menurut, Na’im, kata kunci dalam pengertian partikular ini, adalah universalisme. An-Na’im dalam tulisannya, mengajukan argumentasi adanya sinergitas antara HAM, agama dan sekularisme, dimana ketiganya, saling bergantung. Hak asasi manusia, memerlukan keduanya untuk mencapai dan memenuhi tuntutannya.
Argument An-Na’im yang menjelaskan HAM sebagai paradigma, bisa dipakai, untuk menjelaskan mengapa Cina dan Kuba, dalam level praktik, juga menandatangai atau meratifikasi beberapa perjanjian-perjanjian internasional HAM. Dengan menggunakan paradigma HAM, lebih lanjut, ada benarnya jika ada pendapat baik liberals dan para penentangnya, walaupun banyak berbeda premise, menyetujui sebuah keperluan kerangka kerja yang universal dan plural, dimana setiap individu dapat hidup tanpa harus membunuh dan merepresi individu yang lain. Faktanya, dalam hukum internasional HAM, Negara Pihak, diberikan peluang untuk melakukan aksesi dan reservasi terhadap pasal-pasal dalam perjanjian internasional. Prosedur aksesi dan reservasi ini, walaupun banyak dikritik, boleh jadi sebagai upaya mendamaikan partikularisme.
Dari uraian tersebut, jika klaim HAM sebagai sebuah “ideologi politik” maka ideologi ini tengah berkembang dan meningkat pengaruhnya. Lebih jauh, problem yang muncul: dimanakah HAM, sebagai ‘ism’ atau HAMism, ditaruh dalam spektrum politik. Kalau hak asasi manusia tidak pantasi diklaim sebagai ideologi lalu apakah hak asasi manusia hanya sebatas paradigma? Semua pembaca mendapat undangan untuk menanggapinya.*****
DAFTAR PUSTAKA
Bellamy, Richard, ‘Liberalism” in Roger Eatwell and Anthony Wright (eds.), Contemporary Political Ideologies. 1999. Pinter: London and New York, 2nd edition.
Black, Henry Campbell. 1979. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co., p. 1189.
Blackburn, Simon. 1996. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford; New York: Oxford University
Bobbio, N, 1996. The Age of Rights. A. Cameran (translator). Cambridge: Polity Press.
Craven, Matthew. (2001). ‘The UN Committee On Economic, Social, Cultural Rights’. In Economic, Social, Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 455 – 472. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Eatwell, Roger and Anthony Wright (eds.). 1999. Second Edition. Contemporary Political Ideologies. London and New York: Pinter.
Eatwell, Roger ‘Introduction: What are Political Ideologies’ in Roger Eatwell and Anthony Wright (eds.), Contemporary Political Ideologies, Pinter: London and New York, 2nd edition, 1999.
English, Kathryn and Adam Stapleton. 1995. The Human Rights Handbook, A Practical Guide to Monitoring Human Rights, Human Rights Center, University if Essex.
Hayden, Patrick. 2001. Philosophy of Human Rights: Reading in Context. St. Paul: Paragon House.
Hunt, Paul. 1996. Reclaiming Social Rights: International ad Comparative Perspective, Aldershot: Dartmouth.
Jessop, Bob, State Theory. Putting Capitalist State in their Place, Polity Press, Oxford, 1990.
Leckie, Scott. 2001. ‘‘The Human Rights to Adequate Housing’. In In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 149 – 168. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Liebenberg, Sandra. 2001. ‘The Protection of Economic and Social Rights in Domestic Legal Systems’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 55 – 84. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
McLellan, David. 1995. Concept in Social Thought Ideology, University of Minnesota Press, Minneapolis, 2nd edition.
McLellan, David. 1995. Idology. Buckingham: Open University Press.
Novak, Manfred. 2001. ‘The Right to Education’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 245 – 271. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Shelton, Dinah L. 1984. ‘Individual Complaint Machinery under the UN 1503 Procedure and the Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights’. In Guide to International Human Rights Practice. (ed.). Hurst Hannum, pp. 59 – 73. London: Macmillan Press.
Scheinin, Martin. 2001. ‘Economic and Social Rights As Legal Rights’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 29 – 54. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Stavenhagen, Rodolfo. 2001. ‘Cultural Rights: A Social Science Perspective’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 85 – 109. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Szyszczak, Erika, ‘Protecting Social Rights in the European Union’ In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 493 – 513. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.
Tucker, Robert C. (ed.), The Marx-Engels Reader, Princeton University, New York and London, 1978.
Williams, Raymond. 1980. Problems of Materialism and Culture. Verso: London.
Zizek, Slavoj. 1989. The Sublime Object of Ideology. London; New York: Verso
Artikel di Jurnal
An-Na’im, Abdullahi A.. “Hak Asasi Manusia, Agama dan Sekularisme: Haruskah Menjadi Suatu Pilihan?”. Jurnal Diponegoro 74. Tahun VIII/2004/No.11/Februari –Mei 2004.
Articles dan material di Web Page:
AAAS and Hurridocs. ‘Thesaurus of ECSR http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet
CESCR. General Comment on ICESCR implementation, Text in http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm
Koenig, Shulamith. “Human Rights Education, Human Rights Culture and the Community of Non-Governmental Organizations: the Birth of a Political Ideology for the Twenty-First Century”. Teks dapat dibaca di website PDHRE.
Hansen, Stephen A. “Developing Methodologies and Resources for Monitoring Violations of
Economic Social and Cultural Rights”, paper on the Huridocs International Conference,
Gammarth, Tunisia, 22-25 March 1998. Text in http://www.huridocs.org/hansen.htm.
ICJ. Report and Banglore Declaration and Plan of Action on these rights. Text in http://www.icj.org/escr/bangalore.htm
ICJ. Report of the Region seminar on economic, social and cultural rights organized by the ICJ in
collaboration with The African Development Bank (ADB), 9-12 March 1998. Text in http://www.icj.org/escr/loa.htm
Thomson, Alwyn. “What’s Wrong With Rights’. Teks dapat dibaca di http://www.econi.org/LionLamb/021/rights2.html ECONI
Perundang-undangan
Undang-undang Dasar 1945
UU No. 29/1999
UU No. 5/1998
UU No. 7/1994
Keppres No. 36/1990
UU No. 68/1959
Dokumen Perserikatan Bangsa-bangsa
UN Doc. Statement by the High Commissioner for Human rights Sergio Viera De Mello to the Fifty-Ninth Session of the Commission on Human rights, Geneva, 21 March 2003.
CCPR/C/3/Ref.6
24 April 2001
Rules of Procedure of the Human Rights Committee.
E/CN.4/RES/2001/27
20 April 2001
Commission on Human Rights Resolution, Effect of structural adjustment policies and foreign debt on the full enjoyment of all human rights, particularly economic, social and cultural rights;
E/CN.4/2001/62,
21 December 2001
Draft optional protocol to the ICESCR.
E/CN.4/2000/53
14 March 2000
Open-ended working group on structural adjustment programmes
E/CN.4/2000/51
14 January 2000
Joint report by the Independent expert on Structural adjustment policies, and the Special Rapporteur on foreign debt
E/CN.4/1999/112/Add.1
4 March 1999
Note by the Secretariat on the draft Optional Protocol to the ICESCR.
E/CN.4/1999/36
14 January 1999
Report of the Independent Expert on the effects of structural adjustment program policies on the full enjoyment on human rights
E/CN.4/1999/112
7 January 1999
Note by the Secretariat on the draft Optional Protocol to the ICESCR.
E/CN.4/DEC/1998/102
9 April 1998
Commission on Human Rights Decision, Effect of structural adjustment policies on the full enjoyment of human rights
E/CN.4/1998/84
16 January 1998
Report of the Secretary General on the Draft optional protocol to the ICESCR
E/CN.4/DEC/1997/103
3 April 1997
Commission on Human Rights Decision, Effect of structural adjustment policies on the full enjoyment of human rights
E/C.12/1994/12
Draft Optional Protocol: Report submitted by Mr. Phillip Alston
E/CN.4/1997/105
18 December 1996
Status of the International Covenants on Human Rights, Draft optional to the ICESCR, Note by the Secretary-General
E/1996/22
12 December 1996
Report on the Twelfth and Thirteenth sessions (1-19 May 1995, 20 November – 8 December 1995)
GA Resolution, 2200A (XXI)
16 December 1966
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights
GA Resolution, 2200A
16 December 1966
International Covenant on Civil and Political Rights
Daftar Kasus
Pengadilan Eropa:
· Lopez Ostra v. Spain
· Belgian Linguistic cases
· Salesi v. Italy
· Schuler-Zgragegen v. Switzerland.
Pengadilan Domestik:
· Eldrige v. British Colombia (Attorney General) in the Canadian Supreme Court
· Plyer v. Doe and Golberg v. Kelly (US Supreme Court)
· Viceconte, Mariela Cecilia v. Ministry of Health and Social Welvare (the National Court of Appeals in Argentina).
Lainnya
Palmer, Ellie ‘Judicial Review’. Class lecture material in International Human Rights Law programme. University of Essex (2001)
‘Righting wrongs’, The Economist, August 18th 2001.
The Economist, September 18th 2001.
YLBHI. Kompilasi Data Penanganan Kasus. Direktorat Hak Asasi Manusia. 2004.
Catatan Belakang:
[1] Lihat N. Bobbio. 1996, p. 32.
[2] David McLellan. 1995. p. 1.
[3] Roger Eatwell. 1999. p. vii.
[4] Ibid.
[5] Ibid. p. 3.
[6] Ibid.
[7] Ibid., p. 14.
[8] Ibid, p. 13.
[9] Simon Blackburn. 1996, p. 185
[10] Roger Eatwell. Op.cit, p. 17.
[11] Lihat Raymond Williams. 1980, pp 31-49.
[12] Dikutip dari Henry Campbell Black. 1979, p. 1189.
[13] Ibid, p. 1189.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Di Indonesia, rumusan ini diadopsi dalam konstitusi UUD 1945, pasal 28I ayat (4).
[17] Masing-masing perjanjian international, mempunyai badan yang mengawasi pelaksanaan ketentuan dalam perjanjian. Badan ini disebut dengan Komite. Sebagai contoh Committee on Economic, Social and Cultural Rights dan Committee on Civil and Political Rights, dua komite yang dibentuk oleh International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).Untuk mengetahui prosedur ini, antara lain Lihat, English Kathryn and Adam Stapleton. 1995.
[18] Lihat Patrick Hayden. 2001.
[19] Kompilasi Data Penanganan Kasus. Yayasan LBH Indonesia. Direktorat Hak Asasi Manusia. 2004.
[20] Dikutip dari Statement by the High Commissioner for Human rights Sergio Viera De Mello to the Fifty-Ninth Session of the Commission on Human rights, Geneva, 21 March 2003. Pernyataan Pazhwak tersebut, dinyatakan di Majelis Umum PBB pada 1966.
[21] Lihat Shulamith Koenig. “Human Rights Education, Human Rights Culture and the Community of Non-Governmental Organizations: the Birth of a Political Ideology for the Twenty-First Century”. Teks dapat dibaca di website PDHRE.
[22] Lihat Alwyn Thomson. “What’s Wrong With Rights’. Teks dapat dibaca di http://www.econi.org/LionLamb/021/rights2.html ECONI merupakah sebuah lembaga berbasis di Irlandia Utara, yang bekerja melayani umant Nasrani, terutama Evangelicals dalam membangun perdamaian dan rekonsiliasi.
[23] Statemen ini dikutip dari The Economist, September 18th 2001.
[24] Ajaran John Stuart Mill tentang (1806-73) dan F.A. Hayek (1899-1992) tentang individual freedom berpengaruh luas di US dan Eropa Barat. Lihat Richard Bellamy, ‘Liberalism” in Roger Eatwell and Anthony (eds.) 1999, p. 25-48. Secara khusus, mengenai idologi di Amerika Serikat, lihat David McLellan. 1995, p. 46-47, 55. Lihat juga, Bob Jessop. 1990, pp.145-169.
[25] Sementara di Soviet Union dan Eropa Timur, dipengaruhi oleh project Karl Marx (1818-83) and Friedrich Engels (1820-95). Lihat David McLellan. Ibid, pp. 19, 25, 47; Roger Eatwell. Op.cit, pp. 12-13.
[26] Tentang ajaran Karl Marx-Engels dapat dilihat dalam Robert C. Tucker (ed.), 1978, terutama, pp. 93-101;525-541.
[27] Draft optional protocol dibawah ICESCR, lihat UN Doc. E/C.12/1994/12; E/CN.4/2001/62, 21 December 20001. UN Doc. Related with this issue: E/CN.4/1997/105, E/1996/22, E/CN.4/1998/84, E/CN.4/1999/112 and E/CN.4/1999/112/Add.1. Lihat juga Matthew Craven dalam Eide, Krause and Rosas 2001, pp. 468 – 71; Martin Scheinin dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., pp. 48-9;
[28] UN Doc. CCPR/C/3/Rev.6. Lihat juga Dinah L. Shelton (1984) dalam Hurst Hannum (ed.), pp. 59-73.
[29] ‘Righting wrongs’, The Economist, August 18th 2001.
[30] Tentang isu ini lihat Paul Hunt. 1996. Reclaiming Social Rights: International ad Comparative Perspective, Aldershot: Dartmouth. pp. 24-31.
[31] Ibid., p. 1.
[32] ICJ Report on Banglore Conference, October 1995, http://www.icj.org/escr/bangalore.htm
[33] Report of the Region Seminar of ESCR, 9-12 March 1998. http://www.icj.org/escr/loa.htm
[34] Lihat Stephen A. Hansen, Developing Methodologies and Resources for Monitoring Violations of Economic Social and Cultural Rights, http://www.huridocs.org/hansen.htm.
[35] Lihat Banglore Report, Op.cit.
[36] Sebagai contoh, proyek dikerjakan AAAS and Huridocs menyusun thesaurus hak ekosob. Versi online pada: http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet
[37] Dokumen tersebut dapat dibaca di: http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm
[38] Lihat Leckie dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., p. 152; Szyszczak dalam Eide, Krause and Rosas 2001. pp. 493 – 513.
[39] Liebenberg. dalam Eide, Krause and Rosas. 2001, p. 61.
[40] Ibid. pp. 61, 69, 71; P. Hunt. Op.cit., p. 29; Scheinin. Op.cit., p. 51.
[41] Rodolfo Stavenhargen dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., p. 107.
[42] Scheinin. Op.cit. p. 41.
[43] Novak. dalam Eide, Krause and Rosas (2001), p. 260.
[44] Scheinin. Op.cit., p. 37.
[45] Liebenberg, Op.cit., p. 71.
[46] Ibid., pp. 72 – 3.
[47] Ibid., p. 79.
[48] Lihat Ellie Palmer ‘Judicial Review’. Class lecture material in International Human Rights Law programme. University of Essex (2001)
[49] P. Hunt. Op.cit.
[50] Simon Blackburn. 1996. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford; New York: Oxford University Press. 185
[51] Ibid., p. 185
[52] Slavoj Zizek. 1989. p. 28.
[53] Roger Eatwell. Op.cit, p. 5.
[54] Abdullahi A. An-Na’im. “Hak Asasi Manusia, Agama dan Sekularisme: HAruskah Menjadi Suatu Pilihan?”. Jurnal Diponegoro 74. Tahun VIII/2004/No.11/Februari –Mei 2004., h. 9.