Monday, April 30, 2007

Terorisme: Standar Hukum Internasional dan Persoalan di tingkat Hukum Domestik

Tulisan ini akan mendeskripsikan dan menganalisis kerangka hukum internasional yang berkaitan dengan masalah ‘terorisme’. Ada dua tujuan dari artikel ini. Pertama, untuk memberikan gambaran tentang prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh komunitas internasional dalam hubungan antar negara dan norma-norma yang berlaku sebagai pedoman bagi institusi negara dalam melakukan tindakan yang berkaitan dengan pencegahan dan penganggulangan ‘terorisme’. Kedua, menjadi salah satu alat untuk mengukur baik atau buruknya kebijakan dan prilaku institusi negara yang ‘tengah’ melakukan upaya menjawab ancaman ‘terorisme’. Ketiga, memberikan perspektif alternatif bahwa problem yang dihadapi bukan sebatas kejahatan terror melainkan juga masalah yang berkaitan dengan keadilan dan demokrasi serta pemenuhan hak asasi manusia yang mesti dipromosikan oleh komunitas domestik dan internasional.

Dalam soal ‘terorisme’, terdapat 12 konvensi termasuk aturan protokol utama yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Perjanjian-perjanjian internasional ini pada prinsipnya mengatur norma-norma termasuk tanggungjawab negara dalam menjawab problem ‘terorisme’. Jika ditelisik tidak ada satu pun perumusan definisi terorisme dalam standar hukum internasional yang diadopsi oleh PBB, baik perjanjian internasional maupun resolusi-resolusi yang dikeluarkan Dewan Keamanan atau Majelis Umum. Karenanya, instrumen hukum yang memuat persoalan ‘terorisme’ secara langsung menyebut situasi dan kejadian atau insiden yang spesifik.

Situasi atau insiden yang dirumuskan sebagai terorisme antara lain: kejahatan yang dilakukan di atas pesawat terbang atau juga seringkali disebut dengan kejahatan terhadap keamanan penerbangan (Konvensi Tokyo, 1963). Kejahatan pembajakan pesawat udara (Konvensi Hague, 1970); Secara spesifik juga diatur soal kejahatan yang dilakukan terhadap penerbangan sipil (Konvensi Montreal, 1971). Singkatnya, tindakan kejahatan ini dapat dikatakan mengancam atau berakibat negatif terhadap hak atas hidup (the right to life), kebebasan (liberty) dan keamanan seseorang (security of person) dan mempunyai implikasi luas bagi keamanan dan perdamaian global.

Di awal era 70-an standar hukum internasional yang diadopsi oleh PBB terutama berkaitan dengan kejahatan terhadap individu-individu yang secara hukum internasional dilindungi keselamatannya. Individu-individu ini antara lain pejabat pemerintah senior dan para diplomat. Aturan ini misalnya dimuat dalam Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap Individu Yang Dilindungi Menurut Hukum Internasional tahun 1973.

Kemudian juga diadopsi aturan-aturan seperti: standar hukum internasional tentang kejahatan penyanderaan ("Hostages Convention", 1979); Konvensi kejahatan penggunaan material nuklir ("Nuclear Materials Convention", 1980); Konvensi Kejahatan terhadap Keamanan Navigasi Maritim (1988); Konvensi yang berkaitan dengan kejahatan penyediaan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk sabotase (1991); Konvensi Anti Teroris yang Menggunakan Bom atau bahan-bahan peledak (1997), dan Konvensi tentang Pembiayaan Kegiatan Terorisme (1999).


Prinsip-prinsip apa yang mesti dipatuhi?

Dari kerangka hukum internasional tersebut ada beberapa prinsip dasar yang mesti dipatuhi oleh negara dalam menjalankan kewajiban internasionalnya mencegah dan menjawab problem-problem yang berkaitan dengan kejahatan ‘terorisme’. Setidaknya ada 4 prinsip utama.

Pertama, situasi dan kejadian atau insiden yang terjadi melanggar hukum pidana (offences against penal law), karenanya kejahatan yang dilakukan mesti dibuktikan unsur-unsur pidananya, dan bukan semata-mata berdasarkan asumsi-asumsi atau bersandar pada teori konspirasi. Dalam konteks ini terdapat juga prinsip mesti adanya alasan pembenar yang kuat (reasonable grounds) untuk melakukan suatu tindakan-tindakan yang masuk akal (reasonable measures) baik dalam melakukan pencegahan (reasonable preventive measures) mencegah maupun mengatasi kejahatan dengan mengacu pada kebutuhan-kebutuhan yang memang diperlukan (necessity principle)

Kedua, semua tindakan negara tidak diperkenankan dilakukan bersasarkan pertimbangan-pertimbang diskriminatif baik secara politik maupun berdasarkan diskriminasi ras dan agama (non-discrimination principles).

Ketiga, prinsip yang penting lainnya adalah perlakuan yang benar dan adil (fair treatment principle). Negara diwajibkan untuk menjamin perlakuan yang fair berdasarkan standar internasional yang berlaku di setiap level atau disetiap tahapan atau proses hukum yang dilakukan. Perlakuan yang fair ini seperti tidak dibenarkan pejabat negara atau otoritas negara melakukan kejahatan hak asasi manusia: kejahatan terhadap hak hidup seseorang atau yang lebih dikenal dengan hak-hak yang tidak bisa dilanggar (non-derogable rights).

Keempat, dalam rangka kerja-kerja pencegahan dan penanggulangan ‘terorisme’ PBB juga mengadopsi ketentuan tentang kedaulatan negara (sovereign rights of a State). Secara kerangka hukum internasional, tidak dibolehkan adanya interpretasi-interpretasi yang dibuat oleh sebuah negara dengan tujuan untuk melanggar kedaulatan negara lain.

Merujuk pada kerangka hukum diatas maka sebenarnya dapat ditentukan penilaian terhadap materi Perpu No. 1/2002 Anti Terorisme. Tidaklah ada keberatan untuk melawan kejahatan atau mencegah terjadinya kezaliman-kezaliman yang merugikan masyarakat domestik dan komunitas internasional. Namun demikian, perlulah dipertimbangkan dan dijalankan aturan main yang dapat menjaga keseimbangan social politik yang berkesinambungan.

Dalam konteks Indonesia, aturan main ini bisa saja dibuat dengan prasyarat untuk memperkuat konsolidasi demokrasi dan membangun sistem negara yang demokratis, bukan malah memperlemah. Dengan demikian, jika malah memperlemah, jawabannya: tidak diperlukan membuat aturan yang dibuat-buat. Bisa saja Indonesia mengadopsi aturan-aturan internasional yang sudah ada, misalnya meratifikasi terlebih dulu dua kovenan induk dan selanjutnya meratifikasi konvensi-konvensi yang berkaitan dengan persoalan ‘terorisme’.

***

Dalam soal ‘terorisme’, merujuk pada norma internasional, patut dicatat negara juga mempunyai wajib melindungi hak-hak warga negaranya yang oleh otoritas negara lain dituduh sebagai pelaku kejahatan. Dilain sisi, satu negara diwajibkan memberikan informasi sesegera mungkin tanpa penundaan-penundaan kepada suatu otoritas di negara lain yang dianggap dapat melindungi hak-hak asasi si ‘tersangka’. Kewajiban ini juga termasuk memberikan peluang ‘si tersangka’ untuk dikunjungi oleh pejabat atau perwakilan negara yang dianggap mempunyai otoritas dalam hal perlindungan hak-hak ‘si tersangka’.

Lebih dari itu, dalam banyak perjanjian internasional atau konvensi dimuat konsideran piagam PBB. Sebagai catatan, Indonesia sebagai anggota PBB tunduk pada pasal 55 yang intinya melekatkan diri pada kesadaran untuk menciptakan kondisi keadilan dan perdamain global, negara-negara anggota PBB diwajibkan untuk mempromosikan tiga kondisi utama: (1) adanya standar hidup yang tinggi, tersedianya lapangan pekerjaan dan terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial warga negara dan pembangunan; (2) terlibat dalam merumuskan dan mengimplementasikan solusi-solusi internasional untuk menjawab problem-problem ekonomi, social, kesehatan dan pendidikan warga negara; (3) penghormatan universal dan pemenuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar tanpa diskriminasi berdasarkan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.

Dengan demikian, disatu sisi negara wajib melakukan upaya efektif dalam menjawab problem ‘terorisme’ dengan melakukan kerjasama internasional. Disisi lain, negara dituntut juga melakukan kewajiban-kewajibannya untuk memfasilitasi terciptanya kondisi dimana rakyat menikmati keadilan, kemakmuran dan keamanan kolektif.
Load Counter