Monday, April 30, 2007

YLBHI dalam Menghadapi Arus Perubahan Sosial

Pengantar Diskusi

“YLBHI secara politik harus menjadi lembaga bantuan hukum yang sungguh-sungguh berpihak kepada kedaulatan rakyat. Lembaga bantuan hukum ini harus membuktikan kemandiriannya tidak sebagai alat kekuasaan politik (negara)”
Adnan Buyung Nasution, dikutip dari Andi Suryadi Culla, 2006: 140

“YLBHI Kedepan tidak saja membela perkara-perkara yang menyangkut kepentingan rakyat, tapi juga ikut merombak tatanan yang menyebabkan mereka terus menerus terbelakang, miskin, tertindas, dan terlupakan.”
Munarman, dikutip dari Andi Suryadi Culla, 2006: 146.


Istilah rekonstruksi masyarakat sipil, memang menarik didiskusikan. Rekonstruksi dapat dikatakan bagian dari seni, apalagi menkonstruksi kembali (re-konstruksi). Aktivitas mengkonstruksi dapat mempunyai 2 makna: memperbaiki ”konstruksi” yang lama, atau membangun sesuatu yang baru. Apa yang yang dibangun kembali? Dalam buku Bung Adi Cula, tentu saja, pemahaman dan ide tentang masyarakat sipil.

Buku ini hendak melihat sekaligus terlibat dalam mengombinasi ide kedalam sebuah rangkaian obyek-obyek pemikiran. Pekerjaan berat ini, telah berhasil dilakukan, dengan menginterpretasi teks-teks dan aksi-aksi yang dilakukan 2 organisasi non-pemerintah – yang mewakili masyarakat sipil: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Pengantar ini akan membahas soal YLBHI, dimana saat ini saya bekerja. Jika ingin, bisa dibilang kita sedang berhadapan dengan situasi dimana hubungan sosial tengah berubah, dan tentu saja membawa konsekwensi perubahan atau transformasi struktur-struktur sosial masyarakat. Dapat dilihat bagaimana perubahan perilaku masyarakat dan bagaimana perubahan dalam kehidupannya, termasuk perubahan dalam tingkat yang paling domestik. Perubahan sosial semacam ini perlu dipahami, sebagai “hasil” advokasi yang dilakukan masyarakat sipil secara luas, termasuk YLBHI: mengikuti setiap kontestasi dan kompetisi ide serta gagasan.

Disadari dengan segala kekurangannya, dapat dikatakan selama 35 tahun, YLBHI telah sistematik dan non-sistemis telah menjalankan aktivitas dan mengikuti proses membangun, memimpin, dan mengonstruksi ide-gagasan: ”mendorong perwujudan negara hukum yang demokratis dan berkeadilan yang memenuhi hak asasi manusia (keadilan sosial dan kebebasan masyarakat) dengan berdasar prinsip non-diskriminasi”.

Gagasan itu, kemudian hendak dicapai melalui pelaksanaan bantuan hukum struktural (BHS). Lewat teks dan aktivitas BHS, maka YLBHI mengambil peran dalam melakukan advokasi hukum (litigasi) dan diluar jalur pengadilan. Selama itu juga, YLBHI mencari cara, agar bisa bertahan, termasuk untuk tetap hidup dan dihidupkan, walaupun diterpa krisis keuangan untuk mendanai operasional lembaganya. Menariknya, sebagaimana pernyataan Affan Gaffar, yang dikutip Adi, YLBHI dinilai “memiliki kemandirian yang cukup tinggi”.[1]

Dalam buku Adi, telah dilakukan interpretasi ulang soal “kemandirian” tersebut dengan cara mengumpulkan kembali bukti dan fakta-fakta yang tidak sedikit diketahui publik, namun berceceran.


Siapa mendukung “hidupnya” YLBHI?

Tidak sedikit, dan sukar disebutkan satu per satu – bahkan hingga saat ini – menghidupi YLBHI, dengan 15 kantor LBH di 15 provinsi Indonesia. Bang Ali (Ali Sadikin), mantan Gubernur DKI Jakarta; Adnan Buyung Nasution, Mr. Lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, bahkan Ali Murtopo.[2] Dibabak awal, media mencatat, paling tidak hingga era 1985-an dana LBH sangat tergantung pada subsidi Pemda DKI Jakarta mencapai tidak kurang dari 85%.[3] Putusnya subsidi dimasa Gubernur R. Soeprapto menyebabkan LBH menerima donor Asing, mencapai 95% per periode 1995-an. Dalam periode kepengurusan 2002 – 2006, kembali Badan Pengurus mencari cara agar YLBHI dapat hidup dengan kontribusi dalam negeri. Karenanya dukungan dari Pemerintah, akan sangat membantu mewujudkan ini. Ketua YLBHI sebelumnya Munarman, bahkan dengan tegas sempat menyampaikan “YLBHI “siap menerima dan menyalurkan dana bantuan” dari Pemerintah.[4] Kebijakan ini juga sedang dan hendak diteruskan Badan Pengurus (ad interim) saat ini.

Mengikuti fakta tersebut, maka suka atau tidak, secara seloroh, kasus-kasus yang ditangani 1970 – 1985, merupakan kasus dari biaya Pemda, sementara diperiode 1985 – 2003 dilakukan atas dominan biaya “Asing”. Dana “luar negeri inilah” yang digunakan untuk membeli kertas dan tinta untuk menulis pembelaan, meterei, biaya perkara serta ongkos para advokat dan pekerja bantuan hukum saat membela kepentingan hukum kliennya. Periode 2003, digunakan saat momentum Badan Pengurus menyatakan keperihatiannya terhadap agresi Irak oleh Pemerintah George W. Bush.[5] Selanjutnya, baru pada periode 2005, YLBHI kembali mendapat pendanaan dari LDF – AUSAID, dan sempat bekerjasama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, dengan dana The Asia Foundation, untuk melakukan kegiatan seminar di Banda Aceh pasca Tsunami. Berdasarkan Laporan tahun 2004 YLBHI, sumber dana diperoleh dari Novib, CIDA Canada, Partnership for Governance Reform, Dana Publik, Dana Internal, Dewan Pembina, dan sumbangan Badan Pengurus.[6] Per Juli 2006, aktivitas Badan Pengurus YLBHI yang didanai donor Asing, akan habis programnya, per Agustus dan September tahun ini. Terhitung sejak 2003, muncul “tradisi baru” menyampaikan laporan keuangan publik melaui media massa, seperti Jakarta Post, Kompas, Koran Tempo, Sinar Harapan dan Rakyat Merdeka.


Manfaat Penelitian Adi Cula

Disertasi doktoral Bung Adi telah menginspirasi Badan Pengurus YLBHI untuk memikirkan kritik-kritik yang disampaikan dan dimuat. Namun, untuk itu perlulah kami mendapat masukan dari forum yang penting disini.

1. Bagaimana menjaga independensi Organisasi Non-Pemerintah/Lembaga Swadaya Masyarakat, termasuk ”garang” terhadap modal?[7]
2. Adakah dampak negatif dan pengaruh positifnya jika civil society menjadi mitra dan stakeholders dalam mengelola negara?[8]
3. Hingga sekarang, masih diyakini bahwa tidak sedikit aktivis Ornop/LSM benar-benar pejuang rakyat; namun, sebagaimana dinyatakan James Petras dan Henry Veltmeyer, apakah benar tidak sedikit juga ”aktivis” yang termasuk rumpun ”kaum reaksioner akar rumput yang melengkapi kerja IMF dengan cara mendorong privatisasi dari bawah dan mendemobilisasikan gerakan-gerakan rakyat, sehingga menghacurkan resistensinya”?[9]
4. Bagaimana agar aktivis LSM/Ornop dapat menjadi ”agen perubahan sosial” yang dapat menghindari perangkap neoliberalisme berkedok humanisme universisal?[10]; dan apakah memang ada kedok itu?
5. Adakah yang salah dan negatif dari bergumulnya Ornop/LSM dengan masalah berdimensi politik?[11]
6. Bagaimana menjadi Ornop/LSM mewujudkan kemandirian (autonomy), keswadayaan (self-supporting), dan keswasembadaan (self-generating)?[12] Apakah ada LSM/Ornop saat ini sudah demikian?

Dan tentu saja masih banyak yang perlu didiskusikan.


Penutup

Kepercayaan bahwa LSM/Ornop, terlepas dari kritiknya – dari semua pihak -, tidak ada salahnya ”bermimpi” YLBHI dan kantor-kantor LBH tetap dan harus ”hidup” sampai visinya terwujud, dimana kantor-kantornya ”dimaksudkan sebagai monumen...di Indonesia bagi perjuangan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan yang sama bagi semua orang tanpa membeda-bedakan suku, agama, asal keturunan, keyakinan politik maupun latar belakang sosial dan budaya”. Kata-kata yang disusun Abdul Rahman Saleh, sebagaiman ditoreh di sebuah batu yang diletakkan didepan kantor ini.

Jakarta, 14 Juli 2006


[1] Adi Surya Culla. 2006. Rekonstruksi Civil Society. Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta: YLBHI & LP3ES, h. 85.

[2] Lihat antara lain Kompas. 17 Januari 2006. “Metamorfosa YLBHI: Ketika Negara Tak Lagi Menjadi Musuh”. Teks di http://www.kompas.com/utama/news/0601/17/103241.htm

[3] Lihat antara lain Kompas. 17 Januari 2006. “Metamorfosa YLBHI: Ketika Negara Tak Lagi Menjadi Musuh”. Teks di http://www.kompas.com/utama/news/0601/17/103241.htm

[4] Lihat Hukumonline, 25April 2006. “YLBHI Siap Terima dan Salurkan Dana dari Pemerintah”. Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=14777&cl=Berita

[5] Kompas. 26 Maret 2003. “YLBHI Hentikan Kerja Sama Lembaga Donor AusAiD”.

[6] A. Patra M. Zen, Daniel Hutagalung, Munarman, dkk. 2005. Laporan Tahun 2004 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Jakarta: YLBHI, h. 27 – 23.

[7] Lihat Munarman, “Refleksi atas Peran Strategis dan Kesadaran Ideologis” dalam Adi Surya Culla, Op.cit, h. xxxii, xxxiv, dan xxxv.

[8] Ibid., h. xxxiii.

[9] Lihat Ibid., h. xxxvi.

[10] Lihat Ibid., h. xxxvi.

[11] Andi Suryadi Culla. Op.cit., h. 140.

[12] Ibid., h. 219.
Load Counter