tag:blogger.com,1999:blog-93352992024-02-28T23:06:20.452+07:00apatraBlog ini memuat kompilasi artikel tentang hukum, hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan di Indonesia.ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comBlogger61125tag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-35857776776747725932010-08-11T19:52:00.003+07:002010-08-11T20:00:01.656+07:00Hak atas Tanah: Hak Masyarakat untuk Sejahtera dan Bahagia“Kepentingan masyarakat dan kepentingan perorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya” (Pasal 2 ayat 3).<br />(Dikutip dari: Memori Penjelasan atas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria)<br /><br />Pertanian merupakan sektor dengan kontribusi PDRB tertinggi di Maluku Utara dan menjadi basis mata pencaharian masyarakat terutama di perdesaan.<br />(Dikutip dari Master Plan Pembangunan Pertanian Maluku Utara 2010 – 2014. Teks di http://malut.litbang.deptan.go.id)<br /><br /><br /><br />Apakah ada hak masyarakat (termasuk masyarakat adat atas tanah) dalam sistem hukum Nasional? Jawabnya ada. Apakah di lindungi, dihormati dan dipenuhi? Soal lain!<br /><br />Jika disimak dari UU Pokok Agraria (UU 5/1960) yang merupakan satu-satunya peraturan perundang-undangan yang tersisa, yang didebatkan dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini, pemuatan kata masyarakat dalam konteks bumi, air dan ruang angkasa, merujuk pada sejumlah gagasan kemerdekaan Republik, yaitu:<br /><br />- Membangun masyarakat yang adil dan makmur (Konsideran);<br /><br />- Mencapai sebesar-besarnya kemakmuran-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum yang merdeka berdaulat, adil dan makmur (Ps. 2 ayat (3));<br /><br />Masalah utama terkait hak atas tanah, saat ini tidak lain tidak bukan adalah soal ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Tanah menjadi komoditas, diperjualbelikan. Karena komoditas, maka siapa yang mempunyai modal atau uang, ia dapat memiliki dan menguasai tanah. Apa yang disebut dengan tanah ulayat atau tanah adat, tidak luput dan tidak terhindar dari transaksi jual-beli ini.<br /><br />Ada yang tidak adil, ada yang timpang dan ada yang tidak imbang dalam kehidupan sehari-hari. Ukuran yang paling mudah adalah, luas lahan yang dimiliki rumah tangga untuk pertanian dan perkebunan, dibandingkan dengan luas yang dimiliki perusahaan. Ketimpangan ini mengakibatkan munculnya petani tak bertanah, buruh, tani atau mencari kerja menjadi buruh di kota.<br /><br /><br />*****<br /><br />Orde Lama, terlepas dari banyak kelemahannya, telah menerbitkan peraturan hukum yang membuka jalan untuk pelaksanaan landreform, antara lain:<br />- Perpu 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian;<br />- UU 2/1960 tentang Bagi Hasil;<br />- PP 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah;<br />- PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian.<br /><br />Kesemua pasal dan ayat yang melindungi hak masyarakat tetap ada. Namun dalam praktik kebanyakan tidak berdaya. Sebagai contoh, sejak 1967, diterbitkan UU Pokok Kehutanan, dan selanjutnya PP Penguasaan Hutan, yang memunculkan dan melahirkan pemegang konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH) lewat alas Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar. Hak masyarakat hukum adat sejak itu, seakan tidak berdaya karena cara-cara perolehan tanah dan penguasaan tanah menurut hukum adat dianggap tidak pernah ada.<br /><br />Contoh lain, sejak diterbitkannya PP 40/1996 yang mengatur Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, telah menyimpang dari UUPA dengan memuat HGU yang berasal dari tanah negara diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun (Ps. 8). Dalam UUPA, HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun, kecuali bagi perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama. Dalam UU 25/2007 tentang Penanaman Modal bahkan HGU dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun. Hal ini berlaku juga untuk Hak Guna Bangunan selama 80 tahun (50 tahun; 30 tahun) dan Hak Pakai selama 70 tahun (45 tahun; dan dapat diperbarui selama 25 tahun). Patra M Zen, dkk sebagai kuasa pemohon, tidak lama setelah UU Penanaman Modal disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (Perkara 22/PUU-V/2007). Dalam putusan yang dibacakan pada 25 Maret 2007, MK membatalkan anak kalimat ’di muka sekaligus’ dan ’sekaligus dimuka” dalam Pasal 22 UU Penananam Modal.<br /><br /><br />*****<br /><br /><span class="fullpost">Hukum dan perundang-undangan adalah salah satu alat peradaban yang paling efektif untuk mencapai keadilan. Tetapi ditangan pembuat kebijakan yang mengabaikan keadilan, hukum dan perundang-undangan juga menjadi alat kekuasaan yang paling cepat dan ampuh mencabut hak-hak masyarakat dan melahirkan pelanggaran hak asasi manusia.<br /><br />Norma dan standar hak asasi manusia telah memberikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip hubungan dua pihak yaitu pemegang hak yaitu warga negara dan masyarakat disatu sisi, dan pemegang kewajiban yaitu Negara. Negara, dalam hal ini, memastikan seluruh manfaat dan klaim pemegang hak terpenuhi. Standar hak asasi manusia mesti dijamin dalam hukum sehingga menjadi hak hukum pemegang hak. Kewajiban menghormati, seringkali dipersamakan dengan kewajiban negatif, dimana negara diwajibkan untuk tidak melakukan intervensi. Sebaliknya kewajiban positif, memberikan mandat kepada negara untuk tidak abstain dari tindakan tertentu.<br /><br />Secara singkat, dalam disiplin hukum hak asasi manusia, dikenal 3 tipe atau level kewajiban negara - yang dalam perkembangannya mulai diperluas menjadi kewajiban yang mengikat juga bagi entitas non-negara. Kewajiban yang dimaksud, yaitu:<br /><br />1. Menghormati: dilarang melakukan apa pun untuk mencegah akses secara langsung maupun tidak langsung<br /><br />2. Melindungi: mencegah siapa pun yang dapat membatasi akses; mencegah pihak ketiga melakukan intervensi negatif; mencegah perlakuan diskriminatif; memberikan perlindungan kepada kelompok marjinal: anak-anak, perempuan, difabel, usia lanjut; mencegah praktik tradisional yang dinilai membatasi dan melanggar<br /><br />3. Memenuhi (memfasilitasi dan menyediakan): proaktif menggunakan akses, sumber daya dan alat; mengadopsi legislatif, administratif, anggaran, yudisial, promosi dan upaya yang diperlukan untuk realisasi hak secara penuh; penerbitan kebijakan dan rencana yang detail untuk pemenuhan hak; melaksanakan riset dan menyediakan akses informasi.<br /><br />Wujud esensialnya pemenuhan hak, berupa, antara lain: ketersediaan (availability) - pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur; adanya akses (accessibility); akseptibilitas (acceptability) bentuk dan substansi; kesesuaian (adaptability), termasuk kesesuaian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan kualitas (quality) pemenuhan hak.<br /><br />Sebelum Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights) di adopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 16 Desember 1966, UUPA sudah memuat ketentuan ”Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” (Ps. 6) yang menjamin hak kolektif masyarakat atas tanah. Fungsi sosial mempunyai makna:<br /><br />”...hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara”.<br />(Dikutip dari Memori Penjelasa atas RUUPA)<br /><br />Pertanyaannya kemudian, apakah masyarakat Maluku Utara sudah sejahtera dan bahagia?<br /><br />Karenanya, saya lebih cenderung mengunakan istilah advokasi kesejahteraan dan kebahagiaan untuk mencegah konflik-kekerasan di Maluku Utara.<br /><br />Selamat berdiskusi.<br /><br />Ternate, 2 Agustus 2010<br /><br />* Komite Pengarah Jaringan Advokat Pembela Kepentingan Publik (Pil-Net)<br />** Pengantar Diskusi pada Seminar dan Lokakarya, “Advokasi Isu Agraria yang Potensial Menciptakan Konflik di Maluku Utara”, Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Ternate bekerjasama dengan Serasi-Usaid. Ternate, 1 – 3 Agustus 2010.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-88125325856199839192008-11-04T19:12:00.006+07:002008-11-04T21:51:37.661+07:00Privatisasi Emas Biru: Standard Setting, Kasus Dan Kemungkinan TerburukI. PROLOG<br /><br />Para pemain sepak bola mencuri waktu untuk minum saat pertandingan dihentikan sesaat oleh wasit pemimpin pertandingan, agaknya ada dua orang pemain terkapar dilapangan rumput. Haus! Beruntung tersedia, kemasan botol – tentu saja dengan kualifikasi air sehat dan bersih. Kita tak akan membicarakan panjang lebar soal pertandingan sepak bola. Tapi soal air, yang tidak hanya dibutuhkan pemain bola karena kelelahan menyerang dan mempertahankan gawangnya. Air yang dibutuhkan seluruh penduduk dunia, milyaran jiwa!(1)<br /><br />Air, mengutip Professor Budi Widianarko dari Universitas Katolik (Unika) Soegipranata, Semarang, sesuatu yang menurut pengetahuan berasal dari hujan kosmik yang telah berlangsung empat milyar tahun.(2) Sangat jauh sebelum diketemukannya ilmu ekonomi. Perkembangannya, ilmu ekonomi telah menghantarkan korporasi berkehendak menguasai hasil hujan kosmik ini lewat jalur privatisasi.<br /><br />Minimal, kita membutuhkan 50 liter air setiap hari: untuk minum, masak, mencuci, sanitasi. Tak muncul masalah jika jumlah air – sehat dan bersih – berbanding seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Realitasnya, pertumbuhan penduduk berbanding dengan kelangkaan air. Kelangkaan air meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun. Kondisi ini menghasilkan satu dari lima jiwa yang hidup didunia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Sumber air yang dikuras – dampak dari proyek-proyek raksasa semacam pembangkit tenaga listrik dan pertambangan – termasuk penghancuran hutan, dan pencemaran sumber air – polusi, limbah dan pestisida, turut mempercepat proses kelangkaan air. Akibat terbatasnya jumlah air, terjadi perang untuk memperebutkannya, terjadi ketimpangan penggunaan, serta terjadi represi oleh yang Kuat atas yang Lemah.<br /><br />Tulisan ini tidak akan membahas secara detail mengenai ketimpangan penggunaan air penduduk dunia – seperti seorang warga di Amerika Serikat (AS) yang rata- rata menggunakan 250-300 liter air setiap hari, sementara dibelahan dunia lain, seperti Somalia, setiap hanya (mampu) bertumpu pada 9 liter air per hari,(3) tetapi lebih ditujukan untuk memberikan gambaran tentang perang. Sebuah pertempuran yang melibatkan miliaran jiwa penduduk dunia. Sebuah perang antara rakyat, Negara dan pelaku non-negara (PNN). Lebih lanjut tulisan ini akan mengeksaminasi problem privatisasi sektor keairan – dilevel internasional dan domestik, untuk kemudian diberikan perkembangan standar setting hak asasi manusia (HAM) yang menyangkut masalah ini, dengan ditutup sebuah rekomendasi perlunya dibentuk sebuah Komisi Nasional Sumber Daya Air (Komnas SADAR).<br /><br /><br /><span class="fullpost">II. AIR, MASALAH MENGALIR SAMPAI JAUH<br /><br />A. Krisis Air<br /><br />A.1. Ancaman Global<br /><br />Di kota-kota besar, pasokan air bersih berkurang sekitar 40 persen oleh berbagai sebab.(4) Setidaknya ada 3 sumber kelangkaan sumber-sumber daya alam yang paling berharga yakni peningkatan populasi, polusi dan perubahan cuaca.(5) Dari Koichiro Matsura, Direktur Jenderal Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (UNESCO) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kita diberi peringatan, "(d)ari semua krisis sosial maupun alam yang kita alami krisis air adalah yang paling utama untuk kelangsungan kehidupan kita dan planet bumi ini."(6) <br /><br />Diprediksi, ditahun 2025, penduduk akan menderita kekurangan air yang parah, mencapai sekitar 2,7 milyar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia.(7) Selanjutnya, dalam sebuah Laporan UNESCO(8) dinyatakan, diperkirakan pada tahun 2050, populasi penduduk dunia meningkat hingga 2 milyar jiwa, atau tidak kurang dari 9,3 milyar jiwa, dengan pesebaran di 48 negara. Diprediksikan, lebih dari 7 milyar di 60 Negara – utamanya di Negara-negara Berkembang – akan menderita kekurangan dan krisis air bersih.<br /><br />Bahaya polusi terhadap sumber-sumber air menjadi sumber terburuk rusaknya ketersediaan air bersih secara berkesinambungan. Per hari, 2 ton limbah mencemari sungai, danau dan sumber-sumber lain. Tidak kurang dari 12 km2 sumber air dunia yang tercemar. Jika tak dihalangi, akan terjadi peningkatan sumber air yang tercemar, mencapai 18 ribu km2 ditahun 2050 atau sama dengan sembilan kali lipat jumlah air yang dapat dipakai untuk irigasi tanaman pangan saat ini. Dari aspek, perubahan cuaca, peningkatan suhu planet bumi (global warming) – akibat prilaku (kejahatan) manusia, turut berkontribusi pada sumber-sumber air. Situasi ini menyebabkan, pola curah hujan berubah dan mutu air menurun akibat perubahan temperatur – dan juga polusi.<br /><br />Dibenua Afrika, menurut laporan PBB,(9) lebih dari 300 juta orang menghidupi situasi kekurangan air dan tidak punya akses atas air bersih. Sekitar 385 juta lainnya kekurangan akses pada sanitasi. PBB juga mencatat, sedikitnya 17 negara di Afrika merupakan negara yang langka air bersih. Air bersih dengan mutu terbaik, masih hanya dapat dinikmati oleh penduduk Finlandia.(10)<br /><br />Tak ayal, krisis global ini telah menjadi perhatian komunitas internasional. Bersyukur, aktivis HAM, lingkungan hidup, dan “anti-globalisasi” baik dari Negara Berkembang maupun Negara Maju bahu membahu mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Secara parallel, Organisasi PBB sendiri, mencanangkan kebutuhan penyediaan dana sekitar sekitar US$ 12,6 milyar per tahun(11) untuk mengurangi separuh jumlah penduduk dunia yang tidak punya akses atas air bersih dan sistem sanitasi dasar, hingga tahun 2015 – seperti dicanangkan dalam Development Millenium Goals (MDGs).(12)<br /><br />Sebagai tambahan, World Water Council (WWC), misalnya mengupayakan penyediaan dana sebesar 180 milyar dollar AS untuk penghematan air, sanitasi, pertanian, dan pembangunan pembangkit listrik tenaga air, serta mengelola cadangan air – untuk jangka waktu 3 tahun. Ditahun 2003, WCC menyediakan anggaran sebesar US$ 80 milyar.(13) Sementara, khusus untuk kawasan Asia dan Pasifik, pemerintah Australia berjanji menyediakan anggaran US$ 80 juta, untuk aktivitas keairan.(14)<br /><br />A.2. Krisis Air di Indonesia<br /><br />Data reflektif dari keprihatinan dunia, bisa dilihat di Sumatra hingga Papua Barat.(15) Untuk pulau Jawa – pulau dengan populasi terpadat di Indonesia, krisis air sempat dikemukakan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim.(16) Nabiel menyatakan, defisit air di pulau ini meningkat dari 4 bulan per tahun menjadi sekitar 6 bulan. Menurutnya, selain perkara kuantitas, kualitas air pun buruk. Pendapat Nabiel, peningkatan defisit air ini salah satunya diakibatkan dengan penebangan hutan di Pulau Jawa.<br /><br />Di Jawa Barat (Jabar), faktor manajemen keairan juga berdampak pada krisis air. Apun Affandi, Kepala Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jabar menjelaskan, eksploitasi air tidak terkontrol dan banyak terjadi pengalihan fungsi lahan yang digunakan untuk daerah tangkapan air, menjadi dua faktor penyumbang krisis air di wilayah ini. Contoh juga diberikan Apun tentang kondisi ekologi daerah aliran Sungai Citarum yang jauh merosot dibanding awal tahun 1990. Kurun waktu, 12 tahun, akibat penyusutan luas areal hutan – dari dari 21,4 persen menjadi 14,2 persen – dan penurunan jumlah luas lahan pertanian – dari 56 persen menjadi 27,5 persen – serta pengalihan fungsi daerah resapan air: situ dan bukit menjadi vila dan perumahan mewah “orang berduit”, krisis air pun menjadi fenomena dan kenyataan tak terhindari.(17)<br /><br />Krisis air diakibatkan oleh pencemaran, antara lain terungkap dalam kasus yang terjadi di Dusun Karanganyar, Kecamatan (Kec.) Banyumanik, Jawa Tengah (Jateng). Penduduk tak dapat menikmati air bersih – diduga akibat limbah PT Mega Safe Tyre Industri, sebuah pabrik ban. Sumur-sumur penduduk tercemar minyak solar dari pabrik yang bertempat di Jalan Perintis Kemerdekaan Semarang.(18) Sekitar 100 keluarga di Dusun ini berdomisili tepat dibelakang tembok pabrik. Harapan warga sederhana, pabrik diminta untuk memulihkan air diwilayahnya dan menghentikan pencemaran lingkungan.<br /><br />Di wilayah ibukota Negara dan sekitarnya tak berbeda. Situasi krisis air ditunjukkan dengan situasi dimana sungai-sungai yang melintasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi (Jabotabek) mengering. Sungai yang masih berair, menyempit, dangkal dan tercemar limbah.(19) Sepuluh tahun lalu, diwilayah ini, air tanah bisa dinikmati warga, dengan hanya menggali sedalam 7 – 12 m.(20) Tidak sekarang, dibanyak tempat, penduduk yang memanfaatkan air tanah, paling tidak mesti menggali 20 – 55 m. Problemnya air tanah tidak hanya dimanfaatkan rumah tangga, tapi juga industri, sekarang saja mencapai 9 juta per kubik per detik – dengan perkiraan 10 tahun mendatang akan mencapai tidak kurang dari 33 juta per kubik per detik.(21) <br /><br />Tentu saja, pemanfaatan air tanah bukan tanpa aturan. Regulasi Pemerintah DKI Jakarta mengatur penggunaan air tanah hanya diperbolehkan hingga kedalaman 12m untuk keperluan rumah tangga dan maksimal 100m untuk keperluan industri. Pelanggaran ketentuan ini, “seperti biasa” dilakukan. Sejumlah industri, menyedot air dan mengebor hingga kedalaman 200 m.(22) Data Kementerian Lingkungan Hidup mengungkapkan, 2 tahun belakang, krisis air sudah mendera 11 kecamatan – dari 43 kecamatan. di Jakarta. Sebanyak 17 kecamatan mengalami kerawanan air.(23) Sebelum tahun 2000, sumur-sumur di Jakarta mencapai 3.117 buah dengan kapasitas pengambilan air tanah mencapai 16.4 juta per kubik per tahun. Angka ini meningkat menjadi 3224 sumur dengan kapasitas 17,5 juta meter per kubik per tahun.(24) <br /><br />B. Air: Perang, krisis dan artinya bagi kelompok marjinal dan tak teruntungkan<br /><br />B.1. Air: Perang, Krisis dan Nasib Petani<br /><br />Konflik perebutan sumber-sumber air serta kemarau panjang dan kekeringan memiliki makna dan dampak langsung bagi jutaan penduduk di Indonesia. Kondisi parah dan menyedihkan dialami petani secara rutin.<br /><br />Perang air tidak mustahil terjadi – dengan segala konsekwensinya. Konflik penduduk dengan perusahaan sudah banyak terjadi. Satu contoh terjadi di Kabupaten (Kab.) Banyumas. Sejumlah petani di Desa Kawungcaran, Tambagsora dan Karanggintung mengeluh karena kesulitan irigasi.(25) Penduduk menyatakan sumber-sumber air yang sejak lama dipergunakan untuk irigasi, seperti di Kawungcarang sekarang dikuasai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Banyumas – mata air diwilayah ini sudah dimanfaatkan penduduk sejak tahun 1928 sewaktu masih pemerintahan Kolonial Belanda. Ratusan kolam ikan dan puluhan hektar tanaman pangan kekuarangan air. Petani merugi. Sebelumnya petani 1 kali masa tanam, bisa memanen 6 – 8 kwintal gabah. Tidak sekarang, petani hanya bisa memanen 2 kwintal gabah. Begitu pun petani pengelola kolam ikan – yang mesti gulung tikar karena tak mendapat air. Pihak PDAM sendiri, seperti pernyataan Priyambodo, Direktur Teknik PDAM, menyangkal perusahaannya sebagai sumber kekurangan air di tiga desa ini. Priyambodo menyatakan kekurangan air disebabkan faktor alam.<br />Tahun lalu (2002), kekeringan yang mendera salah satu kawasan krisis air, Kidul, DIY menyebabkan penduduk yang sebagian keluarga petani harus mengeluarkan Rp 60.000 – Rp 80.000 untuk satu tangki air ukuran 8.000 liter.(26) Untuk keluarga dengan anggota lebih dari 5 orang, 1 tangki ini hanya cukup untuk kebutuhan 1 minggu. Harga yang tinggi ini tentunya memberatkan penduduk. Salah seorang warga Desa Karang Asem, mengaku harus menjual 2 ekor kambing, ternaknya dan dua batan kayu jati untuk membeli air, makanan dan kebutuhan ternak yang dimilikinya. Kondisi ini bukan tanpa sepengetahuan Pemerintah Daerah setempat. Bambang Ismadi, Kepala Desa Karang Asem mengamini kondisi yang dialami warga. Ungkapnya, warga di desanya mulai menjual ternak dan kayu jati untuk menjual air. Dan kondisi ini terjadi setiap tahun. Krisis air menyebabkan ternak kurang pakan, lading petani tidak dapat ditanami rumput gajah dan jagung. Jika membeli petani mesti mengeluarkan Rp 200 per batang dari pedangan. Tentu saja sangat memberatkan. Satu ekor sapi bisa menghabiskan ratusan batang sekali makan. Akibatnya ternak menjadi kurus. Harga jual pun turun. <br /><br />Periode 2002, wilayah Jawa Timur (Jatim), menurut Ir Mohammad Maksum MSc, Kepala Dinas Pertanian propinsi ini, potensi kehilangan padi mencapai 25.000 ton atau sekitar Rp 30 milyar dari lahan seluas 5.000 ha yang ditanami.(27)<br /><br />Ditahun yang sama, di Jateng, tercatat, sebanyak 7 dari 16 Kec.: Banjarejo, Kunduran, Ngawen, Kradenan, Todanan, Kedungtuban, dan Blora, mengalami kesulitan dan krisis air yang parah – 130 dari 295 desa di Kab. Blora. Selain kesulitan air minum, kekeringan menyebabkan petani gagal panen. Catatan Sri Sutarni, Kepala Dinas Pertanian (Dipertan) Kab. Sukoharjo, bulan Januari 2002 lalu, total sawah puso akibat kekeringan di Kab. Sukoharjo 386 hektar: Kec. Nguter (339 hektar), Kec. Bulu (13 hektar), dan Kec. Weru (34 hektar). Di Sukohardjo, Sragen dan Blora tidak kurang 1.124 hektar tanaman padi puso akibat kekeringan.(28)<br /><br />Di Jabar, Akibat kekeringan ini, ratusan hektar sawah di Desa Cibarusah tak dapat ditanami. Para petani, pada akhirnya banyak yang bekerja sebagai kuli serabutan. Sedangkan mereka yang punya keahlian lain dan masih berusia muda, memilih berangkat mengadu nasib ke ibukota Jakarta.(29) <br /><br />B.2. Perempuan dan anak-anak: Perlu kebijakan affirmatif<br /><br />Anak-anak menderita berbagai penyakit akibat kekurangan air bersih – penyakit infeksi ditularkan sebagian besar terjadi akibat penggunaan air yang tidak bersih. Karena peran tradisional perempuan di sektor reproduksi, ia dan anak-anaknya adalah pihak yang paling menderita akibat tidak memiliki akses atas air bersih.<br /><br />Di Kab. Grobogan, Jateng akibat kekeringan, selama periode Januari – Juni 2002, sejumlah 3.716 jiwa menderita diare. Dari jumlah ini, 60 persen adalah anak-anak. Puskesmas Kedungjati – yang letaknya terpencil dan menjadi satu-satunya harapan penduduk,(30) dalam sepekan melayani 173 pasien penyakit diare. Sarmidjo, seorang staf di Kec. Kedungdjati, memberikan informasi, penderita diare diwilayahnya meningkat antara lain akibat dropping air ke desa ini tersendat.(31) Wabah diare terjadi juga ditahun 2001, utamanya di Kec. Panawangan, saat itu, sehari terdapat kasus 70 penduduk terserang diare. Penyebabnya, menurut sebuah penelitian, karena keracunan makanan dan kesulitan air bersih. Menurut keterangan dr Singgih Pudjirahardjo, Kepala Dinas Kesehatan dan Sosial (DKS) Kab. Grobogan, penduduk di daerah kekeringan – seperti Grobogan, juga rentan menderita penyakit demam berdarah dengue (DBD). Di periode Januari – Juni 2002, pihaknya mencatat 2 orang warga meninggal dunia akibat penyakit ini.<br /><br />Data lain. Saat membuka Sesi Keempat Kelompok Kerja Hak Atas Pembangunan, Komisioner Tinggi PBB untuk HAM menyatakan, 2/3 penduduk dunia yang buta huruf adalah perempuan.(32) Setiap 1 dari 48 perempuan di Negara Ketiga meninggal dunia pada saat melahirkan. Sejumlah 11 juta anak-anak meninggal dunia tiap tahun sebelum mencapai usia 5 tahun, umumnya akibat menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Bagaimana dengan akses terhadap air? Di Forum lainnya, Forum Kyoto (Third World Water Forum – TWWF), Sergio Viera de Mello, menyatakan akses setiap penduduk atas air tak bisa dikompromikan.(33) Catatannya, 1 juta penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air yang aman, dan lebih dari 2 juta penduduk tidak mempunyai akses atas sanitasi yang memadai serta lebih dari 3 juta penduduk meninggal dunia akibat penyakit yang berkaitan dengan ketidakadaan air sehat dan bersih.(34)<br /><br />Ketimbang laki-laki, kaum perempuan, terdepan menjadi korban akibat tidak memiliki akses terhadap air bersih. Situasi ini disebabkan adanya pembagian kerja tradisional. Kaum perempuan dibebani tanggungjawab dan aktivitas domestik, seperti mengambil dan membawa air, mencuci pakaian, memasak dan memandikan anak. Situasi ini memang telah memperburuk kondisi perempuan yang memang sangat buruk, seperti di ungkap, Kunio Waki, Wakil Eksekutif Direktur Dana PBB untuk Kependudukan (UNFPA). Waki menyatakan, dewasa ini tercatat, setiap menit 380 perempuan hamil – separuh dari jumlah itu tidak menginginkan kehamilannya; setiap menit sekitar 110 perempuan mengalami kehamilan dengan penderitaan komplikasi dan penyakit; setiap menit setiap perempuan melakukan aborsi; serta setiap menit, 11 perempuan terinfeksi HIV.(35) <br /><br />Penelitian yang dilakukan oleh International Development Research Center (IDRC)(36) mengungkap fakta, di beberapa wilayah di Afrika Barat, perempuan menggunakan 27 persen kalorinya untuk mencari air bersih. Terungkap, 6 – 8 jam waktu yang digunakan perempuan untuk aktivitas mencari dan mengambil air. Kondisi serupa dialami oleh 2/3 dari seluruh rumah tangga di Afrika Selatan (Afsel), yang mesti mencari air jauh dari rumah, tempat tinggal mereka. Kondisi semacam ini boleh jadi tak jau berbeda di Indonesia – perlu penelitian berdasarkan data dampak krisis air.(37)<br /><br />Akses atas air bersih yang tidak dimiliki penduduk di Afrika Sub-Sahara menyebabkan tingginya angka kematian bayi. Ditahun 2000, terdokumentasi, angka kematian bayi mencapai 172 per 1.000 kelahiran hidup.(38) Data lain, mengungkapkan, lebih dari 50 juta anak perempuan usia sekolah diplanet ini tak bersekolah karena harus mengambil air dan mencari kayu.(39) <br /><br /><br />III. PRIVATISASI: SIAPA MENGAIL UNTUNG DIAIR BERSIH<br /><br />A. Sepak terjang Korporasi Raksasa dan Lembaga Keuangan Internasional dibidang Keairan<br /><br />Menarik memang, nilai strategis dan arti penting air bagi hajat hidup manusia pun diakui oleh para petinggi pelaku Non-Negara (PNN).(40) Faktanya, Bukan rahasia lagi, perusahaan raksasa, atau lebih dikenal dengan perusahaan trans/multi nasional (TNCs/MNCs) yang berkantor pusat di kapital-kapital negara maju, telah menentukan nasib milyaran umat manusia yang hidup diplanet bumi. Di negara Azerbaijan hingga Zaire, perusahaan-perusahaan ini mengeruk provit, sekaligus membawa masalah kemanusiaan. Pun, perilaku lembaga-lembaga keuangan internasional (IFIs) semacam Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).<br /><br />PNN tersebut dengan kompak bergandengan merintis dan menata jalan privatisasi. Cara efektif telah dibangun, lewat menjadikan privatisasi sebagai keharusan setiap Negara, sebagai prasyarat (kondisionilitas) diberikannya hutang oleh IFIs. Selanjutnya, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional – yang mesti dipatuhi – bagi setiap Negara Penghutang antara lain melaksanakan deregulasi dan privatisasi sektor keairan.<br /><br />Miris memang, aksi PNN tersebut, paralel dengan dukungan pemerintah-pemerintah Negara Maju. Sebut saja, hasil pertemuan para Menteri di Doha, Qatar, dengan terang, Uni-Eropa (European Union) dan Negara maju lainnya mengusulkan untuk memasukkan air sebagai satu jasa lingkungan di bawah GATS (General Agreement on Trade in Services).(41) Disepakati, adanya pengurangan hambatan tarif dan non-tarif untuk jasa dan produk lingkungan untuk Negara-negara Ketiga, dengan syarat membuka jasa layanan sektor keairan. Lewat kesepakatan ini, tidak kurang 109 negara diminta untuk memprivatisasi jasa layanan suplay air.<br /><br />Aksi PNN – dan pemerintahan Negara Maju – juga dilakukan dengan cara mengintervensi dan meloby lembar per lembar dokumen dan hasil penelitan lembaga-lembaga di PBB. Alur evaluasi, kritik seringkali “dihempas” dengan pemuatan rekomendasi yang kontroversial: apalagi, kalau bukan mendorong privatisasi air disektor keairan – seperti terungkap dalam sebuah laporan UNESCO yang dirilis di Paris, Prancis baru-baru ini.(42)<br /><br />Rintisan PNN – plus pemerintah Negara Maju – yang dimulai setidaknya 10 tahun lalu – bahkan jauh dari itu – agaknya mulai berbuah. Hal ini bisa dilihat dari kemiripan – kalau tak hendak disebut seragam – dari pasal-pasal dalam Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Sumber Daya Air (SADAR) di semua Negara Berkembang. Sebagai catatan, di Indonesia, Bank Dunia mengeluarkan kebijakan Water Resources Sector Adjusment Loan (WATSAL), sebuah program dana yang mencapai US$ 300 juta untuk membiayai reformasi total disektor keairan global.(43) <br /><br />Dari Business Watch Indonesia (BWI), publik makfum, peranan WTO amat signifikan dalam proses privatisasi di Indonesia. Menurut studi dari lembaga ini, rangkaian privatisasi, buah kompensasi untuk WTO karena telah memberikan paket hutang sejumlah US$46 miliar. Selanjutnya, BWI menyatakan, telah berjalan “gerakan” sistematis untuk proses privatisasi pelayanan dasar masyarakat: listrik, kesehatan, juga air bersih.(44)<br /><br />Dilevel global, tangan-tangan PNN terus menjulur. Tahun lalu, World Sumit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afsel telah berhasil dijadikan forum untuk melegitimasi privatisasi air oleh PNN ini. Ironis memang, forum “Pertemuan Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan” telah “kecolongan” mengagendakan “Pertemuan Dunia untuk Privatisasi Berkelanjutan”.<br /><br />Privatisasi air mengkhawatirkan dapat dilihat dari banyak kaca mata. Kemiskinan, salah satunya. Satu dari tiga orang di dunia ini sekarang hidup dengan pendapatan kurang dari dua dollar AS per hari. Dari jumlah ini, sekitar 800 juta orang di antaranya tidur dalam keadaan lapar setiap malamnya. Setengah dari mereka berada dalam tingkat kemiskinan yang buruk dan hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 1 per hari.(45) Privatisasi bagi penduduk miskin, bermakna mengalokasikan lagi pendapatan yang sudah sedikit untuk kebutuhan yang paling fundamental.<br /><br />B. Privatisasi di Indonesia<br /><br />Di Indonesia, paling tidak, sejak tahun 1998, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebenarnya sudah tercium menjadi salah satu agenda pemerintah. Sebut saja, dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 103/1998 tentang Tim Evaluasi Privatisasi BUMN lalu setahun kemudian, keluar Keppres No. 126/1999 tentang Tim Kebijakan Reformasi BUMN – kedua Keppres ini kemudian dicabut dan diganti pada 21 Februari 2001 dengan Keppres No. 24/2001 tentang Tim Konsultasi Privatisasi BUMN, yang kala itu ditandatangani Presiden Aburrahman Wahid.<br /><br />Dalam Kepres No. 24/2001 tersebut, tim konsultasi – yang diketuai Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian(46) – ini menjalankan dua fungsi utama: Pertama, memberikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan mengenai: (a) BUMN yang akan diprivatisasi; (b) Perkiraan dana yang dapat diperoleh sebagai hasil privatisasi. Kedua, membahas dan memberikan jalan keluar atas permasalahan yang timbul dalam proses privatisasi BUMN sehubungan dengan kebijakan sektoral Pemerintah. Keppres Tim Ahli disusun dengan mengingat pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua UUD 1945. Selanjutnya, Dalam konsiderans menimbang, Keppres No. 24/2001 tersebut dinyatakan:<br /><br />“Program privatisasi Badan Usaha Milik Negara merupakan kebijakan Pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja Badan Usaha Milik Negara yang meliputi perbaikan struktur permodalan, perubahan budaya perusahaan dan penciptaan nilai tambah perusahaan dengan berdasarkan pada prinsip good corporate governance yang didasarkan kepada transparansi, kemandirian dan akuntabilitas”(47)<br /><br />Perkembangan selanjutnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tidak banyak berperan. Privatisasi BUMN langsung dieksekusi oleh Menteri Negara BUMN. Buah pikiran sederhana, kalau pemerintah, yang nyata-nyata mempunyai obligasi untuk melindungi dan memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) masyarakat tidak menjalankan fungsinya, apalagi sektor privat dengan modus kalau bisa 110 persen untung.(48) <br /><br />Penilaian tersebut mungkin akan berlebihan, jika saja tidak terdapat contoh konkret. Prakteknya, problem korporasi yang hanya mementingkan profit, jauh meninggalkan kepentingan pelayanan publik ditangkap Hameda Deedat. Peneliti dari International Labour Resource and Information Group ini memberikan contoh gamblang. Pengamatannya, menunjukkan, swastanisasi air bersih di Propinsi KwaZulu Natal di Afsel secara fatal telah menegasikan hak rakyat atas air: "Pemasokan air dihentikan ketika orang miskin tidak bisa membayar biaya langganan air.”(49) <br /><br />Fundamen problem privatisasi di Indonesia sekarang: prosesnya bukan atas dasar kepentingan bangsa, melainkan desakan IFIs – neo-liberalisme dengan agenda pokok seperti liberalisasi ekonomi termasuk agenda privatisasi – konon jauh berbeda dari pengalaman Rumania dan negara tetangga, jiran Malaysia.(50) Alih-alih selalu bertujuan untuk menambal-sulam defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah tutup mata dan sumbat telinga, jalan terus melakukan privatisasi.<br /><br />Apa benar ada desakan IFIs? Bisa disimak dari secarik kliping koran. Ditahun 2002, IMF sempat (lagi) menjewer kuping pemerintah. Di bulan September, Daniel Citrin, Ketua Tim Kaji Ulang (Review) dan Kepala Perwakilan IMF untuk Asia dan Pasifik, meminta Pemerintah Indonesia untuk terus melanjutkan program-program pemulihan ekonomi yang diresepkan IMF, termasuk memprivatisasi BUMN sesuai dengan jadwal yang ada.(51) Jika terjadi penundaan privatisasi, menurutnya, menjadi sinyal yang buruk bagi investasi di Indonesia. Kala itu, Menteri Negara BUMN, Laksama Sukardi langsung menanggapi dengan pernyataan pemberian jaminan proses privatisasi BUMN akan terus dilaksanakan!(52)<br /><br />Privatisasi BUMN – akhirnya – mewarnai perjalanan “pembangunan ekonomi” di Negeri ini. Berturut-turut, seperti: privatisasi PT Semen Gresik, BCA, Bank Niaga dan PT Indosat TBK. Kasus yang terakhir, telah menarik pergumulan seantero negeri. Proses divestasi saham Indosat sejumlah 41,94% kepada Singapore Technologies Telemedia (STT) mengundang sejumlah pertanyaan. Kemunduran akal pemerintah boleh jadi telah terjadi. Dari aspek ekonomi, penjualan saham ini tidak menguntungkan – terlalu murah, dan tidak sebanding dengan deviden yang secara regular diterima pemerintah dari perusahaan ini. Dari aspek yang tak kalah strategis, tak lagi bangsa ini memiliki otoritas atas satelit luar angkasa, dengan konsekwensi rahasia dan informasi strategis yang berkaitan dengan sumber daya alam dan keamanan Negara tak bisa lagi “dimonopoli” Negara. Sebuah ironi, dimana keamanan di Negeri ini, dipercaya bisa diatasi hanya oleh serdadu-serdadu memegang senjata, tanpa didukung teknologi. Dari aspek legal, kontroversi pun merebak. Ketetapan (TAP) MPR No.VI/MPR/2002, mengamanatkan penyusunan UU tentang privatisasi. Belum lagi UU ditetapkan, Indosat pun telah “dijual”. Belakangan, tidak kurang 170 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersekutu – mengexercise hak angket – untuk membatalkan divestasi BUMN ini.<br /><br />Periode APBN tahun 2002, pemerintah menargetkan penerimaan dari privatisasi BUMN sebesar Rp 4,4 triliun – meningkat dari Rp 3,95 triliun diperiode sebelumnya. Hingga bulan Juni 2002, pemerintah hanya mendapat pemasukkan Rp 966 milyar ke Kas Negara, termasuk hasil divestasi saham PT Indosat.(53) <br /><br />B.1. Sedikit tentang RUU BUMN<br /><br />Ditahun 2002, target pemerintah dengan lantang memekik, memperoleh 6,5 trilyun pada tahun 2002, diantaranya dari aktivitas privatisasi.(54) Bak supir angkot (angkutan kota) yang mengejar “sewa”, lewat Kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kebijakan mengejar £setoran” dilakukan. Periode 1 Semester 2002, pada awal tahun sudah rencana privatisasi 7 BUMN dikebut: PT Indosat Tbk, PT Wisma Nusantara Indonesia, PT Indo Farma Tbk, PT Kimia Farma, PT Angkasa Pura II, PT Indocement, dan PT Tambang Batubara Bukit Asam - merupakan kelanjutan (carry over) dari BUMN yang akan diprivatisasi tahun sebelumnya.(55) Perkembangan tak baik, yang dirasa pemerintah, akibat tak ada peraturan perundang-undangan dalam proses privatisasi, mendorong pemerintah – dan juga parlemen – mengagendakan pembahasan dan penetapan UU BUMN yang memuat aturan privatisasi.<br /><br />Pembahasan RUU tentang BUMN yang memuat perihal privatisasi – walaupun memang diperlukan dan agak terlambat – mengundang nyana menimbulkan debat sekaligus kekhawatiran mendalam. Pasalnya, privatisasi dalam RUU mencerminkan agenda liberalisasi ekonomi di semua sektor, mencakup pelayanan publik. Tentu saja, akan memarjinalkan kepentingan rakyat banyak. Sayang memang, RUU yang akan berdampak pada hajat hidup ini, hanya didiskusikan terbatas ditingkat elite. Konon, dapat dipastikan RUU ini akan rampung pertengahan Mei 2003.<br /><br />Keberatan atas RUU ini, setidaknya berhilir dari problem alasan keberadaan dan ketentuan dalam UU. Panitia Khusus (Pansus) RUU BUMN Komisi V DPR tidak mengadopsi amanat pasal 33 konstitusi. Revrisond Baswir mencatat statemen Ketua dan Wakil Ketua Pansus yang teramat melukai perasaan kita.(56) Wakil Ketua Pansus Penyusunan RUU BUMN, Azwir Dainy Tara, dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar) menyatakan penyusunan RUU ini memang dimaksudkan untuk melegitimasi privatisasi. Sementara, Ketua Pansus, Irmadi Lubis dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), secara tegas menyatakan bahwa penyusunan RUU BUMN ini memang tidak dimaksudkan untuk menjabarkan pasal 33 UUD 1945, melainkan untuk "menyiasati" pasal tersebut. Tak jelas apa yang dimaksud Irmadi, makna kata “menyiasati”. Tapi yang jelas, dua anggota parlemen ini tidak dikenal publik memiliki track record pembela rakyat, karenanya ungkapan-ungkapan tersebut, sebenarnya tidak membuat kita heran.<br /><br />B.2. RUU tentang Sumber Daya Air (SADAR): melegalkan privatisasi<br /><br />RUU tentang Sumber Daya Air (SADAR) sudah diserahkan pemerintah ke DPR. Rencana privatisasi dibidang keairan ini sudah semakin dekat. Sedekat hidung dengan mata.(57) Sama kasus dengan RUU tentang BUMN, RUU SADAR ini tak lari dari agenda liberalisasi ekonomi – sebuah pil yang “harus ditelan” sebagai konsekwensi adjusment loan dari Bank Dunia dan IMF.<br /><br />Tak seperti komentar Ketua dan Wakil Ketua Pansus RUU BUMN, pernyataan Wakil Ketua DPR cukup melegakan. Muhaimin Iskandar sempat memberikan pandangannya, "Kalau perlu DPR akan mengabaikan RUU tersebut dan menundanya. Karena privatisasi selama ini ternyata tidak ada manfaatnya. Masyarakat tetap kesulitan mengakses air bersih".(58) Masih menurut Muhaimin,(59) privatisasi itu merugikan bangsa Indonesia dengan terjadinya pencaplokan aset-aset negara oleh pihak asing. Lanjutnya, air adalah satu-satunya sumber daya yang bisa langsung dinikmati rakyat. Kalau itu diprivatisasi, artinya rakyat terusir dari Buminya sendiri. Dalam sebuah diskusi - "Dampak Privatisasi Air Terhadap Hak Publik Atas Air Bersih, Sehat, dan Murah" – di Jakarta, Muhaimin, dari Partai Kebangkitan Bangsa ini sempat berjanji, akan melakukan lobi lintas fraksi untuk menghambat pembahasan RUU SADAR.(60) <br /><br />Tantangannya – untuk kita, mengutip Muhaimin, "DPR tidak memiliki data cukup berkaitan dengan RUU yang dibahas, sehingga selalu kalah ketika berdebat dengan pemerintah mengenai substansinya".(61) Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KOAR), sebuah koalisi yang dimotori beberapa Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) – yang belum lama ini terbentuk – akan jadi sangat berharga pendapatnya, jika parlemen mau bekerja sebahu.<br /><br />Lobi lintas fraksi, seperti ujar Muhaimin memang diperlukan. Simak saja, dalam RUU SADAR – dalam pasal 7 – pasal 9, terdapat kategorisasi hak penggunaan air: hak guna pakai dan hak guna usaha. Dalam klasifikasi ini, pertanian sawah termasuk kedalam hak guna pakai air, sedangkan untuk usaha pertanian diluar sawah, perkebunan, tambak dan perikanan dikategorikan hak usaha air. Dengan ketentuan ini, ibu dan bapak petani harus mengurus dan mengeluarkan biaya administrasi perubahan hak guna air dari sawah ke perkebunan, tambak – atau lainnya. Ujung-ujungnya, tentu saja membebani petani.<br /><br />Bahaya lain, privatisasi dimuat jelas dalam RUU tersebut pasal 46 ayat (3) dalam RUU SADAR menyatakan, pengusahaan sumber daya air dapat dilaksanakan oleh badan usaha, perorangan atau kerja sama antara badan usaha dengan izin dari pemerintah, pemerintah provinsi atau pun pemerintah Kab./kota sesuai kewenangannya. Sebelumnya, memang sudah terjadi privatisasi air seperti di Jakarta. Namun, pada waktunya nanti, benar-benar terjadi lomba privatisasi atas dasar UU ini.<br /><br />B.3. Dibalik kisah privatisasi yang sudah dan tengah berjalan<br /><br />Investigasi jurnalistik yang dilakukan oleh the Center for Public Integrity (CPI) atas privatisasi air di Jakarta menghasilkan penemuan “yang tidak baru”. Privatisasi air, secara pasti mulai berjalan diawal tahun 90-an, tepatnya sejak 1991, bersamaan dengan perjanjian kesepakatan antara Bank Dunia dengan pemerintah. Ketika itu, Bank Dunia menyetujui pemberian hutang ke pemerintah untuk tujuan meningkatkan infrastruktur PDAM Jaya, dengan jumlah US$ 92 juta. Konsekwensi dari hutang ini, pemerintah diwajibkan untuk membuka keran privatisasi dalam sektor keairan. CPI menemukan keterlibatan anak dan kroni mantan Presiden Soeharto, terlibat dalam proses privatisasi dan bisnis air ini.<br /><br />Ada kisah menarik, dibalik pembelian saham PDAM Jaya oleh Thames dan Suez. Kiprah dua perusahaan ini tidak berawal dari proses penawaran, lelang terbuka, melainkan lewat penunjukkan langsung. Lagi-lagi KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dua perusahaan ini masuk akibat beraliansi dengan perusahaan domestik yang dekat dengan pusaran kekuasaan.(62) <br /><br />Di Jateng, lain lagi. Menurut testimoni Wijanto Hadiputro, dari Unika Soegijapranata, kampusnya diminta untuk melakukan studi kelayakan dengan biaya Rp 100 juta, dengan syarat “Si Pemesan”, para peneliti mesti mengaku menerima Rp 200 juta. Studi kelayakan ini merupakan upaya penjajakan kerjasama PDAM Semarang dengan swasta asing. "…(i)ni jelas kami tolak. Kalau soal studi kelayakan saja sudah korupsi apalagi lainnya."(63) Dana Rp 200 juta ini kelak akan ditanggung penduduk Semarang jika kooporasi telah diberikan hak pengelolaan, tentunya dengan cara menangggung kenaikan tarif secara regular. Sebagai tambahan rencana (upaya) privatisasi juga berjalan di beberapa PDAM antara lain, di Manado, Pekanbaru, dan Bandung.<br /><br /><br />IV. MITOS EFESIENSI …<br /><br />A. Perkara di dunia, bukan sekedar kasus!<br /><br />Korina Horta, seorang pakar ekonomi-lingkungan memukakan, perusahaan minyak internasional, telah memberikan janji-janji dan harapan akan manisnya hasil pembangunan untuk penduduk lokal, namun prakteknya, operasi perusahaan semacam ini telah menggusur tanah dan harta kepunyaan (property resources) penduduk.<br /><br />Dalam tulisannya, Horta mengemukakan contoh operasi proyek pipa dan minyak Chad-Kamerun (the Chad-Cameroon Oil and Pipeline Project).(64) Proyek ini, menurutnya, telah menyediakan contoh dan bukti yang tak terbantah, peningkatan marjinalisasi rakyat miskin dan masyarakat adat (indigenous people). Proyek ini telah mengambil alih lahan kepemilikan penduduk atas alas klaim lahan kosong dan tidak ada pemiliknya. Tidak dijumpai ganti kerugian atas lahan dan kompensasi atas tumbuh-tumbuhan yang telah menghidupi penduduk. Selain itu, problem lain yang muncul, penduduk disekitar proyek ini kekurangan air, akibat aktivitas pengeboran minyak meminta dan menggunakan air dengan jumlah besar. Dapat ditebak, sumur-sumur penduduk menjadi kering. <br /><br />Contoh lain, di Kolumbia misalnya, korporasi mengeruk untung besar. Di negeri ini, semenjak masuknya PNN (swasta), seluruh sumber air wajib punya lisensi. Tidak terkecuali, sumur-sumur air tanah. Bahkan, petani diharuskan membeli lisensi air, sekedar untuk menampung air hujan mengairi tanah pertaniannya.(65)<br /><br />B. Perkara domestik: Saat ini dan yang segera menyusul<br /><br />B.1. Beruntai cerita PDAM Jaya<br /><br />Apakah dengan privatisasi menjadi lebih baik: peningkatan efesiensi; pengikisan korupsi; peningkatan pelayanan dan distribusi hasil untuk rakyat? Jawabnya berpotensi ya, dan tidak. Mengutip Budi Widianarko, dalam sebuah sesi di TWWF, salah seorang eksekutif Suez, Alain Mathys, menyatakan pilihan privatisasi sama sekali tidak diperlukan, jika perusahan-perusahan Negara disektor publik mampu beroperasi efisien dan menyediakan air yang mencukupi – kualitas dan kuantitas – kepada konsumen.(66) <br /><br />Setuju. Tak perlu pilihan privatisasi! Bukti kuat, bisa diambil dari pengalaman Negeri Paman Sam, sumber inspirasi dan produksi Neo-Liberalisme. Di AS, sarang pengagum dan pusat kapitalisme, investasi besar dalam proyek yang terkait air dan reformasi makro-oekonomi, tidak berhasil merangsang dan gagal mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.(67)<br /><br />Tak usah susah, disini kita pun punya contoh. Pengalaman Perusahaan Air Minum (PDAM) Jakarta Raya bisa menjadi bahan evaluasi. BUMN ini bermitra dengan dua perusahan perusahaan raksasa tersebut. Orang Betawi bilang, “Nggak ngaruh!”. Malah, seperti dinyatakan Zainal Abidin, Ketua Serikat Pekerja PDAM Jaya,(68) sejak Thames dan Suez, terlibat dalam pengelolaan air di Jakarta, persoalan yang dihadapi PDAM Jaya menjadi semakin rumit: anggota Badan Pengelola dalam tubuh BUMN ini menjadi tidak independen.<br /><br />Soal harga? Jangan ditanya, keterlibatan dua korporasi ini, menurut Abidin, telah menyebabkan, tarif meningkat dua kali lipat. Pendapatan PDAM Jaya sendiri, dari penjualan air minum masih belum dapat menutup "biaya air" (“water charge") yang ditetapkan Thames dan Suez – yang tentu saja penetapan biayanya tanpa ada proses konsultasi dengan masyarakat pengguna. Buktinya, sejak dilakukan privatisasi, tiap hari di masing-masing rayon, petugas menerima 20 sampai 30 keluhan pelanggan akibat air mati.<br /><br /><div style="text-align: center;"><span class="fullpost">Tabel 1</span><br /><span class="fullpost">Penyakit PDAM Jaya</span><br /></div><span class="fullpost"></span> <table class="MsoNormalTable" style="border: medium none ; border-collapse: collapse;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="border: 1pt solid black; padding: 0cm 5.4pt; width: 109.8pt;" valign="top" width="146"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="" lang="NL">Keluhan Warga<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: black black black -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 75.6pt;" valign="top" width="101"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">Jumlah<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">Pelanggan<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: black black black -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 90pt;" valign="top" width="120"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt;" lang="NL">Lokasi<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: black black black -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 186.85pt;" valign="top" width="249"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">Keterangan<o:p></o:p></span></b></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 109.8pt;" valign="top" width="146"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="" lang="NL">Pasokan air mengecil dan sering terhenti.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 75.6pt;" valign="top" width="101"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">200 (1500 jiwa)<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 90pt;" valign="top" width="120"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="NL">Pademangan Barat dan Kampung Bahari, Tanjung Priok. </span><st1:city st="on"><st1:place st="on"><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">Jakarta</span></st1:place></st1:City><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB"> Utara<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 186.85pt;" valign="top" width="249"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">Terjadi kurun waktu lebih dari 6 bulan. Meskipun pasokan air macet, tagihan pemakaian jalan terus (lancar). </span><span style="font-size: 10pt;" lang="ES">Seorang warga mengungkapkan, rata-rata, warga diwajibkan membayar Rp 60.000 – Rp 75.000.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 109.8pt;" valign="top" width="146"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="NL">Aliran PDAM tidak lancar dan sering terhenti<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 75.6pt;" valign="top" width="101"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="NL"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 90pt;" valign="top" width="120"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="ES">Ciputat dan Meruya Ilir, dan sebagian Jakarta Utara<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 186.85pt;" valign="top" width="249"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="ES">Tak ada tanggapan serius dari PDAM atas keluhan warga.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 109.8pt;" valign="top" width="146"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="ES">Pasokan air dari PDAM Jaya seringkali macet. Dibeberap rumah warga, air PDAM terhenti total.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 75.6pt;" valign="top" width="101"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="ES"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 90pt;" valign="top" width="120"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="ES">Kelurahan Koja Selatan, Jakarta Utara<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 186.85pt;" valign="top" width="249"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="ES">Warga terpaksa membeli dari pedagang air keliling dengan harga Rp 1000 per pikul (sekitar 10 liter). Rata-rata warga mengeluarkan Rp 5.000 (5 pikul) untuk keperluan memasak dan mandi pagi. </span><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">Sore hari pada umumnya tidak mandi untuk menghemat air. <o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 109.8pt;" valign="top" width="146"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">Pasokan air tidak lancar akan tetapi tagihan jalan terus.</span><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 75.6pt;" valign="top" width="101"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 90pt;" valign="top" width="120"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">Kelurahan Kampung Utan Kayu Utara Kec. Matraman Jakarta Timur<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 186.85pt;" valign="top" width="249"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB">Meskipun air sering terhenti, pelanggan terus diwajibkan membayar tagihan, bahkan seringkali tagihan melonkak. Seperti pengalaman seorang pelanggan, dibulan Mei (2002), tagihannya masih dianggap wajar Rp 39.410, lalu tiba-tiba melejit menjadi Rp 78.410 di bulan Juni. Contoh lain, dialami warga lain, Ny. Sri. Setelah hanya diwajibkan membayar abonemen Rp 7.960 dibulan Juli, tagihannya melonjak: bulan-bulan berikut Rp 136.130 (Agustus) dan Rp 120.530 (Oktober),<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><i><span style="font-size: 10pt;" lang="EN-GB"></span></i></b><b><span style="color: black;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></b></p> Sumber: Diolah dari kompilasi data Divisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Yayasan LBH Indonesia<br /><span class="fullpost"><br />Tingkat kebocoran air yang menjadi tanggungjawab PDAM Jaya, amat memprihatinkan, mencapai angka rata-rata diatas 47 persen.(69) Kebocoran ini, meliputi kebocoran pipa, sambungan liar dan problem transparansi dan sistem administrasi pengelolaan air.(70) <br /><br />B.2. Siapa menyusul?<br /><br />Di Indonesia terdapat sekitar 292 PDAM. Ratusan perusahaan ini jika sampai waktunya – andai tanpa ada penolakan massal dan massif dari rakyat – akan dikelola pihak swasta, dikendalikan dari meja-meja gedung bertingkat dari ribuan mil di negara-negara Maju. Tidak berbeda dengan PDAM Jaya, tingkat kebocoran pengelolaan air mencapai rata-rata 20 persen.(71) Soal problem keluhan warga, tak jauh berbeda. Umumnya, air lancar mengalir dari PDAM hanya jika ada rencana kenaikan tarif. Sudah tarif dinaikkan, air macet kembali menjadi rutinitas.<br /><br />Setelah kenaikan tarif PDAM Kota Semarang, sebesar 220 persen hingga 250 persen disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, toh pelayanan PDAM tidak terjadi.(72) Simak ilustrasi dibawah ini – terjadi 2 bulan paska Pansus DPRD Kota Semarang menyetujui kenaikan tarif air PDAM:<br /><br />“Selamat pagi, ada yang bisa dibantu Pak?" ujar Andar, penerima telepon nomor (024) 8315514 Sabtu (12/10) pagi. Jalur telepon itu disediakan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang untuk menerima pengaduan pelanggan. Penelepon, Amiruddin, warga Perumahan Sambiroto, Kedung Mundu, segera mengungkapkan, sejak Rabu (9/10), tidak mendapat pasokan air PDAM.<br /><br />Namun, Andar ternyata petugas Satuan Pengaman (SatPDAM) yang sedang jaga, dan meminta Amiruddin menelpon kembali pukul 08.00 setelah petugas tiba. Waktu Amirud-din menelepon, jam menunjukkan pukul 06.00. Tepat pukul 08.00, Amiruddin kembali menelepon dan diterima petugas bernama Nyoto. "Kami mau menagih janji, katanya air akan mengalir pukul 01.00 (Sabtu) tetapi sampai sekarang kok tidak mengalir," tanya Amiruddin.<br /><br />Menanggapi keluhan Amiruddin, Nyoto menjelaskan, pasokan air macet karena debit air baku di Instalasi Pengolah Air (IPA) Pucang Gading merosot, normalnya 70 liter/detik, sekarang tinggal 40 liter/detik.<br /><br />Mendapat jawaban seperti itu, Amiruddin bertanya mengapa aliran air di Perumahan Klipang berlimpah, padahal sama-sama mendapat pasokan dari IPA Pucang Gading. Dan, mengapa pasokan air PDAM tidak sampai ke Sambiroto yang berjarak tiga kilometer dari Klipang.<br /><br />Nyoto meminta Amiruddin menunggu disambungkan ke petugas teknik. Dering telepon nada transfer terdengar beberapa detik kemudian putus. Saat Amiruddin menelepon lagi, terdengar nada sibuk dan tidak dapat masuk.”(73) <br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost">Tabel 2</span><br /><span class="fullpost">Penyakit PDAM di Indonesia</span><br /></div> <table class="MsoNormalTable" style="border: medium none ; border-collapse: collapse;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="border: 1pt solid black; padding: 0cm 5.4pt; width: 134.65pt;" valign="top" width="180"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Keluhan Warga<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: black black black -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 79.2pt;" valign="top" width="106"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Jumlah<span style=""> </span>Pelanggan<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: black black black -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.4pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Lokasi<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: black black black -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 144pt;" valign="top" width="192"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Keterangan<o:p></o:p></span></b></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 134.65pt;" valign="top" width="180"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Seharusnya dimusim penghujan, air PDAM dapat lancar mengalir. Tapi tidak kenyataannya tidak. Aliran air, dilakukan bergilir antara 3 – 14 hari. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 79.2pt;" valign="top" width="106"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.4pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><st1:city st="on"><st1:place st="on"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kota</span></st1:place></st1:City><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"> Jayapura, Papua Barat<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 144pt;" valign="top" width="192"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kebocoran pipa PDAM<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 134.65pt;" valign="top" width="180"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Pasokan air PDAM macet. Ketika warga mengeluh, tidak mendapat pelayanan yang baik oleh petugas PDAM.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 79.2pt;" valign="top" width="106"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">15.000 pelanggan: 5.000 pelanggan di Semarang Timur; 5.000 di Kedung Mundu dan sekitarnya; serta 5.000 lainnya di Tanah Mas dan Semarang Utara. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.4pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Semarang Timur, Tanah Mas, dan Kedung Mundu (Tembalang), Jawa Tengah.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 144pt;" valign="top" width="192"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Tarif air minum PDAM Kota Semarang dinaikkan – sejak 1 Oktober 2002. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Tidak ada perbaikan pelayanan yang dilakukan PDAM.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 134.65pt;" valign="top" width="180"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Pelayanan PDAM tidak lancar. Pasokan air macet dialami sebagian warga perumahan Bayumanik, di daerah Tanah Mas, Kedungmundu, Ngaliyan, dan di beberapa daerah sekitar.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 79.2pt;" valign="top" width="106"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">111.663 pelanggan<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.4pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><st1:city st="on"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kota</span></st1:City><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"> <st1:city st="on"><st1:place st="on">Semarang</st1:place></st1:City>, Jawa Tengah.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 144pt;" valign="top" width="192"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Tak ada tanggapan serius dari PDAM atas keluhan warga.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 134.65pt;" valign="top" width="180"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Ratusan warga setiap hari terpaksa harus antri menunggu air bersih yang dipesan melalui Posko Penyediaan Air.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 79.2pt;" valign="top" width="106"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Lebih dari 115 pelanggan<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.4pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><st1:city st="on"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Balikpapan</span></st1:City><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">, <st1:place st="on">Kalimantan</st1:place> Timur.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 144pt;" valign="top" width="192"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Hampir sebulan air dari PDAM di kota ini tidak mengalir<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 134.65pt;" valign="top" width="180"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Ratusan pelanggan air PDAM Tirta Kertarahardja mengeluhkan terhentinya pasokan air.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 79.2pt;" valign="top" width="106"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.4pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Kec. Batuceper, Kota Tangerang. Kab. Tanggerang. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Banten.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 144pt;" valign="top" width="192"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">PDAM Tirta Kertarahardja termasuk perusahaan yang seringkali lalai melayani masyarakat. Tercatat beberapa kasus: pipa jebol, mengakibatkan lalulintas macet sepanjang 2 km.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 134.65pt;" valign="top" width="180"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Pasokan air tidak lancar<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 79.2pt;" valign="top" width="106"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.4pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Wilayah Reservoir Empat (R4), yakni: sekitar Kec. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Bantarjati, Tanah Sareal, Pajajaran, dan sebagian Bantar Kemang. </span><st1:city st="on"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kota</span></st1:City><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"> <st1:city st="on"><st1:place st="on">Bogor</st1:place></st1:City>, Jawa Barat<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 144pt;" valign="top" width="192"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Jika ada posokan, aliran kecil, keruh dan berbau.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 134.65pt;" valign="top" width="180"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga mengeluh pasokan air terhenti.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 79.2pt;" valign="top" width="106"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">30.000 pelanggan di Kota Bandar Lampung<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.4pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kota Bandar Lampung, yang terparah di daerah Way Riau, Lampung.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 144pt;" valign="top" width="192"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Halini Syahrie, Direktur Utama PDAM Way Riau, pernah mengakui agak terlambat menyikapi kesulitan konsumennya di <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:City> ini. Sementara pelanggan mengeluh, tidak ada solusi apa pun yang ditawarkan PDAM untuk mengatasi keluhan kesulitan air dari warga. <o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 134.65pt;" valign="top" width="180"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Pasokan air terhenti.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 79.2pt;" valign="top" width="106"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">2.500 keluarga.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.4pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kompleks permukiman Perumnas Way Halim, Lampung<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 144pt;" valign="top" width="192"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Tak ada tanggapan serius atas keluhan warga.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table> Sumber: Diolah dari kompilasi data Divisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Yayasan LBH Indonesia<br /><span class="fullpost"><br /><br />Efesiensi bukan semestinya sebatas diujung bibir. Penentuan prioritas dan perhitungan yang baik mesti dilakukan. Pengabaian prinsip ini berakibat fatal. Ada satu contoh baik untuk soal ini. Pelayanan air ke pelanggan belum memuaskan, PDAM Surabaya malah “mengembangkan sayap”, mengoperasikan proyek air dalam kemasan. Fatal!. Akibat merugi, ujung-ujungnya proyek ini ditutup. Kerugian proyek air kemasan – yang diambil dari sumber air Umbulan, Pandaan Malang – ini diperkirakan sedikitnya Rp 2 juta per bulan.(74) <br /><br /><br />V. BUAH PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK<br /><br />A. Privatisasi emas biru: besar rugi daripada untung<br /><br />Apa aksi penolakan privatisasi air hanya berlangsung di Negara Ketiga? Tidak juga. Aksi menyebar disemua pelosok dunia. Aksi-aksi serupa juga berlangsung, dan dilakukan di Negara-negara Maju – sebuah bukti akurat, pelaku privat memang sama tabiatnya dimana-mana. Gerakan anti-privatisasi air pun terjadi di Negeri Ratu Elizabeth. John Kidd, Ketua Komite Air Nasional Inggris (UNISON), mengungkapkan, masyarakat Inggris termasuk yang pertama menentang privatisasi air, karena proses ini terbukti telah membuat tarif air merambat naik dan menjadi mahal.(75) <br /><br />Bermula di Negara Maju, Eropa dan AS, privatisasi sektor pengelolaan air, kini memunculkan fakta, setelah satu dekade, tidak kurang 450 juta jiwa bergantung pada pasokan air dari perusahan swasta. Terdeteksi, partisipasi sektor swasta telah meningkat di bidang ini meningkat fantastic, dari US$ 297 juta dollar AS dikurun waktu 1984-1990 menjadi menjadi US$ 25 milyar selama periode 1990-1997. Pada tahun 1990-an, kurang lebih 140 perusahaan swasta di bidang pengadaan dan pengelolaan air bersih menentukan hidup kelompok masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah di berbagai negara.(76) Diperkirakan, ditahun 2015, jumlah penduduk yang bergantung pada korporasi-korporasi raksasa, akan mencapai 1,16 milyar jiwa. Celakanya, nasib umat manusia akan kebutuhan air kelak, dikontrol hanya oleh dua perusahaan saja, Vivendi dan Suez- Lyonnaise, dua buah korporasi multi-besar yang berpusat di Inggris dan Perancis. Saat ini saja, 2 perusahaan ini telah menguasai pengelolaan 70 persen air global.(77) <br /><br />B. Reaksi atas aksi<br /><br />Air, menurut istilah Sam Pablo dari Bolivia merupakan emas biru – menjadi rebutan antar penduduk, pemerintah dan korporasi. Si emas biru ini, secara langsung berhubungan dengan nafas seseorang. Pablo berujar, "Kalau mereka (koorporasi - pen) menguasai air kita, berarti kehidupan kita pun mereka kuasai".(78)<br /><br />Di negerinya, Bechtel, perusahaan raksasa berpusat di AS mengelola sekaligus mengambil alih sektor keairan. Sejak Bechtel ada, Pablo menyatakan, telah terjadi peningkatan pengeluaran penduduk untuk air, kaum miskin mengeluarkan 35 persen dari penghasilannya untuk air, yang lebih miskin bahkan mengeluarkan 75 persen pendapatannya untuk air.(79) Tentu, kenaikan harga yang ditetapkan Bechtel sama dengan mencekik leher penduduk.<br /><br />Penguasaan Bechtel, cerita lalu. Di Cochabamba, sebuah daerah di Negeri Pablo, penduduk mengambil alih pengelolaan air pihak swasta. Bechtel “terdepak”. Buntut dari kenaikan tarif yang amat tinggi, penduduk Cochabamba “menduduki” perusahaan ini. Dasar korporasi, yang tak mau sedikitpun rugi, saat ini pihak Bechtel menuntut pemerintah Bolivia membayar kerugian sejumlah US$ 25 juta akibat aksi penduduk. Adilkah?<br /><br />Penuturan Oscar Olivera,(80) Koordinator NGO Air dan Kehidupan dari Bolivia, bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menilai “keadilan”. Menurut Olivera, harga air bersih di Bolivia naik sampai 300 persen ketika perusahaan multinasional dari California tersebut, mengambil alih pengelolaan air bersih. TNC sektor keairan di Negeri ini meraup tidak kurang US$14 milyar dollar AS atau berbanding dengan dua kali GDP Bolivia!<br /><br /><br />VI. EPILOG: PROTEKSI, PROTEKSI DAN PROTEKSI<br /><br />A. Sosialisme a la Kampung Pulo dan Ideologi “Ridwanisme”<br /><br />Pada saatnya nanti jika privatisasi keairan berjalan – lagi-lagi kalau dibiarkan, perusahaan mungkin akan mengharap kemarau panjang. Dengan demikian, dapat menjual dengan harga yang tinggi – untuk dibeli. Tak ada cerita, seperti sosialisme a la Kampung Pulo atau “ideology Ridwanisme”.<br /><br />Alkisah, di desa Cibarusah dan Bojong, kekeringan mendera. Tanah retak, lahan persawahan tak dapat ditanami, jalan dan pepohonan yang masih ada berdebu. Karena kekeringan, penduduk di wilayah ini harus berjalan sejauh 5 km untuk mendapat sumber air di Kali Cipamingkis Desa Sinarjati dan Kali Cihoe di desa Ridogalih.(81) Sumber air ini hanya dapat digunakan untuk mandi dan mencuci. Sedangkan untuk air minum warga memanfaatkan satu-satunya sumber air di Kampung Pulo, Desa Sirnajati, Cibarusah, Kab. Bekasi, Jabar. Dikampung Pulo terdapat 7 sumur yang masih memancarkan air. Tidak kurang 7.680 penduduk memanfaatkan sumber-sumber air ini. Penduduk antre pagi, sore dan malam hari. Salah satu sumur yang dimanfaatkan penduduk, kepunyaan Pak Ridwan. Seorang warga menyatakan syukurnya. Ia bersyukur karena mereka yang sumurnya masih memancarkan air merelakan warga lain yang jumlahnya ribuan untuk mengambil air secara cuma-cuma.(82)<br /><br />B. Serahkan Masalah pada Ahlinya<br /><br />Saat musim penghujan, banjir. Dimusim kemarau, kekeringan air. Inilah situasi ulangan di Negeri kita. Jika saja air “banjir” ini bisa dimanfaatkan. Disini adagium “serahkan masalah pada ahlinya” terbukti benar. Di Negeri kita, tak kekurangan orang pandai dan ahli. Sebut saja Dr. Gatot Irianto.<br /><br />Winarso Drajad Widodo, Ph.D, seorang pakar budi daya pertanian, menyatakan “(p)enghematan air, bukan saja berarti menggunakannya dalam jumlah sedikit, tetapi yang terpenting adalah memperlama ketersediaannya sepanjang tahun.”(83) Berkaitan dengan pernyataan ini, sekali lagi, pembukaan kuping dan telinga pemerintah sebenarnya diuji. Lagi, jika saja pemerintah mau sebahu, maka krisis keairan dapat dicarikan solusi. Dalam sebuah artikel, Winarso mengulas teknik yang digunakan Dr. Gatot Irianto, seorang peneliti Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.<br /><br />Winarso menuturkan keberhasilan sebuah tim yang dipimpin Gatot di Kab. Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) - salah satu Kab. kering di Pulau Jawa. Tim ini mengupayakan penghambatan air hujan dari hulu ke hilir dan menyebarkan seluas-luasnya air ke tanah, dengan menggunakan teknik “Dam Parit”. Teknik ini berhasil menghambat derasnya aliran air sekaligus menjadi penampung air. Air dalam tampungan inilah yang diatur, digunakan dan dikelola dimusim kemarau dan kekeringan. Pendek kata, ini jurus “memanen air” (“rain harvesting”). Mau tahu kunci sukses keberhasilannya? Peran petani, sebagai pelaku langsung di lapangan.(84) <br /><br />C. Obligasi Negara<br /><br />Tercatat, setidaknya pemerintah Kab. Gresik dan Blora menunjukkan komitmen kerakyatannya.(85) Paling tidak seperti diungkap surat khabar, didua Kab. ini, pemerintah melakukan upaya mengatasi krisis air yang mendera masyarakat.<br /><br />Penduduk tak dapat menolak untuk membeli air walaupun mengetahui, seharusnya cuma-cuma alias gratis. Ini terjadi. Bantuan air bersih Pemerintah Kab. Gresik, misalnya. Untuk mendapatkan air bantuan ini, penduduk dimintai uang pengganti Rp 200 per jerigen. Seorang warga menyatakan:<br />"(s)emua sumber air bersih di desa sudah kering dan tidak menghasilkan air lagi. Makanya, ketika warga diminta membayar, mereka tidak menolak. …kami tetap mempertanyakan mengapa program air bersih gratis tidak benar-benar diberikan secara cuma-cuma kepada warga."(86)<br /><br />Basuki Widodo, Bupati Blora, menyatakan, pada periode APBD 2001, dianggarakan pembiayaan pengeboran 5 sumber air di Sendanghardjp, Ngampel dan Kedung Rejo. Dana mencapai Rp 1 milyar ini, sayangnya terbuang, kalau tak mau dibilang percuma. Pengalokasian dana berawal dari proposal dan pemaparan teknik dari pejabat Minyak dan Gas Pertaminan Daerah Operasi Hulu (DOH) Cepu, yang menyatakan diwilayah tersebut terdapat kandungan air denga debit yang besar. Selanjutnya pemerintah Blora menyerahkan dana ini ke lembaga Migas. Belakangan, air debit hasil pengeboran, sangat kecil. Argumen dari pihak Migas, sangat mengecewakan. Slamet PDAMudji, Kepala Humas Pemkab Blora, sempat menyatakan bahwa pihak Migas membela diri bahwa hasil kerja Migas yang tidak memuaskan ini karena “belum di redoi Tuhan”.(87) Argumen ini tentu banyak kelemahan. Dilain pihak, seorang pakar geologi dan ekslorasi migas, Ir Moch. Yohannes PK MSc menyatakan penentuan tentang ada atau tidaknya kandungan air akan diketahui jika sudah dilakukan penelitian geologi yang mendalam.(88)<br /><br />Contoh buruk juga dapat diketemukan di Negeri ini, dalam konteks pemenuhan hak atas air penduduk. Respons pemerintah seringkali lambat, misalnya tidak ada perhatian yang tanggap dari Pemerintah Kab. Bekasi atas kesulitan yang menimpa warga Cibarusah dan Bojong Mangu.(89) Selanjutnya, kita berharap hal yang membuat dada sesak akibat ulah anggota parlemen berulang. Sebagai contoh, perilaku anggota DPRD Blora.(90) Usulan pemerintah Kab. untuk penanggulangan bencana alam termasuk krisis, dipangkas hinga Rp 150 juta, ditahun anggaran 2002. Padahal di daerah Blora, penduduk menderita krisis air – secara regular utamanya dimusim kemarau. Diperiode anggaran yang sama, parlemen menyetujui dana dan “upah” akuntan sebesar Rp 250 juta untuk kegiatan auditing. Sedangkan untuk anggaran biaya perlehatan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Bupati, anggota DPRD di Kab. ini meminta anggaran ratusan juta rupiah.<br /><br />Komitmen pemenuhan hak rakyat atas air yang ditunjukkan pemerintah Kab. Gresik dan Blora pada hakikatnya merupakan perwujudan dari obligasi Negara yang tersebar di standar dan norma HAM, baik internasional maupun domestik. Sebaliknya, perilaku pemerintah Kab. Bekasi dan anggota DPRD Blora dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan HAM – dengan berbagai konsekwensi yang jelas, antara lain dapat dituntut dimuka badan peradilan.<br /><br />Dalam disiplin HAM, hak setiap orang atas air yang bersih (hak atas air) merupakan “temuan” baru. Hak atas air masih “segar” dalam standar hukum internasional HAM. Kemajuan dalam standar settingnya, dimulai November 2002, saat Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the committee on economic, social and cultural rights – CESCR) mengadopsi dan mengakui hak atas air sebagai HAM dalam General Comment No. 15.(91) Konsekwensinya, setiap Negara terikat dengan 3 layer obligasi dalam bidang HAM: tanggungjawab untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) hak atas air rakyatnya.(92) <br /><br />Hak atas air mengandung makna, setiap orang, tanpa ada diskriminasi apapun, memiliki hak untuk mendapatkan air, yang cukup (sufficient), sehat (safe), dapat diakses (physically accessible) dan terjangkau (affordable). Hak ini, saat erat kaitannya dengan pasal-pasal yang termuat dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) – dimana Indonesia belum meratifikasinya. Utamanya, pasal 11 dan 12 Kovenan. Hak atas air dapat diketemukan juga dalam pasal 5, 12 dan 14 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) – diratifikasi oleh Indonesia lewat UU No. 29/1999 dan pasal 24 dan 27 Konvensi International tentang Hak-hak Anak (the International Convention on the Rights of the Child) – diratifikasi Indonesia lewat Keputusan Presiden (Keppres) No. 36/1990.<br /><br />Hak atas air masuk arena perhatian dari tiga Pelapor Khusus (Special Raporteur - SR) PBB: Pelapor Khusus mengenai perumahan yang layak (SR on adequate housing), Pelapor Khusus tentang Hak atas pangan (SR on the right to food) dan Pelapor Khusus tentang hak atas kesehatan (SR on the right to the highest attainable standard of physical and mental health). Baru-baru ini, ketiga mekanisme khusus PBB ini mengeluarkan pernyataan bersama didepan TWWF. Dalam pernyataan ini dinyatakan:<br />”Water being an essential resource for life, is one of the most fundamental elements for survival and inextricably linked to the rights to adequate housing, food and the highest attainable standard of physical and mental health, all protected by the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights…”(93)<br /><br />Dalam pernyataan bersama tersebut juga dinyatakan, sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan orang banyak (essential public good), air, melampaui batas-batas benda yang dapat dikomodifikasi secara ekonomi.(94) Dalam konteks ini, privatisasi menjadi ancaman bagi upaya pelayanan air secara cuma-cuma untuk setiap orang, utamanya kelompok yang tidak teruntungkan dan marjinal.<br /><br />D. Rekomendasi: Perlu dibentuknya Komnas Sadar<br /><br />Perlu dibentuk Komisi Nasional Sumber Daya Air (Komnas Sadar). Fungsi dari Komnas SADAR ini, antara lain: merumuskan standar setting soal keairan, termasuk etika dan mekanisme judicial remedies; mengawasi pendanaan sektor keairan – termasuk mengawasi dana-dana hibah dari komunitas internasional yang diberikan kepada Negara; mengawasi pengelolaan sektor keairan; dan merekomendasikan kebijakan pelaksanaan pengelolaan dan penggunaan air, utamanya dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin dan marjinal. Komisi ini juga berfungsi untuk memastikan strategi dan pelaksanaan kebijakan yang menjadi tanggung jawab Negara menjadi bagian dari prosedur HAM, seperti hak setiap orang memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan disektor keairan. Selanjutnya, Komnas ini juga akan menjamin, air tidak digunakan sebagai instrumen ekonomi dan politik untuk merepresi HAM setiap orang. Kalau mau belajar, toh satu perusahaan saja, bisa mengeruk untuk sebanding dengan dua kali GDP sebuah Negara, seperti telah ditunjukkan di Bolivia! Ini pun menjadi tugas Komnas SADAR, untuk memastikan BUMN (PDAM) dapat mewujudkannya. Apa bisa ya?</span><br /><br />Catatan Belakang<br /><br /> (1) Tercatat, ditahun 2001, populasi penduduk jiwa telah mencapai 6,1 milyar jiwa. Kompas. 5 Maret 2003. <br /> (2) Kompas. 23 Februari 2003. <br /> (3) Ibid.<br /> (4) Kompas. 29 Agustus 2002. <br /> (5) Dikutip dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (UNESCO). Kompas. 5 Maret 2003. <br /> (6) Ibid.<br /> (7) Kompas, 17 Maret 2003. <br /> (8) Kompas. 5 Maret 2003. <br /> (9) Maria Hartiningsih, “Jender dan Ancaman Privatisasi dalam WSSD”. Kompas, 2 September 2002.<br /> (10) Dikutip dari Badan Pengawas Mutu Air PBB. Kompas 05 Maret 2003. <br /> (11) Ibid.<br /> (12) Mengenai MDGs dan Kepemimpinan Megawati, lihat tulisan penulis. “Hak Atas Pembangunan: Apa yang bisa diharapkan diakhir masa kepresidenan Megawati?”. Paper pada Karya Latihan Bantuan Hukum LBH Jakarta, 16 April 2003.<br /> (13) Kompas. <br /> (14) Kompas. <br /> (15) Lihat Annex tulisan ini.<br /> (16) Kompas. 7 Juli 2002. <br /> (17) Ibid.<br /> (18) Selain pencemaran, keluhan warga sejak lama atas aktivitas pabrik ban ini paling tidak sejak 5 tahun belakangan. Setiap hari butiran batu bara yang bertebangan dari cerobong pabrik mengotori air dan rumah-rumah penduduk.<br /> (19) Kompas, 23 September 2002.<br /> (20) Ibid.<br /> (21) Ibid.<br /> (22) Ibid. <br /> (23) Kompas. 26 Agustus 2002. <br /> (24) Ibid. <br /> (25) Kompas, 13 Agustus 2002. <br /> (26) Kompas 1 Oktober 2002. <br /> (27) Kompas. 7 Juli 2002. <br /> (28) Kompas. 21 Juni 2002. <br /> (29) Kompas, 23 September 2002. <br /> (30) Di Puskesmas ini, alat komunikasi yang tersedia hany pesawat handy talky (HT) 2 meter-an yang digunakan untuk komunikasi dengan kantor DKS di Kota Purwodadi. Kompas. 10 Juli 2002. <br /> (31) Ibid.<br /> (32) UN Doc. UN Press Release. 7 Februari 2003. “Opening Statemen of the High Commissioner for Human Rights to the Fourth Session of the Open-Ended Working Group on the Right to Development”.<br /> (33) UN doc. UN Press Release, 19 Maret 2003. “High Commissioner, UN Experts Tell Kyoto Forum that Water is Crucial to Realization of Human Rights”.<br /> (34) UN doc. UN Press Release, 17 Maret 2003. Statement by Sergio Vieira De Mello High Commissioner for Human Rights. Third World Water Forum. <br /> (35) Maria Hartiningsih. Op.cit..<br /> (36) Ibid.<br /> (37) Lihat Annex.<br /> (38) Maria Hartiningsih. Op.cit.<br /> (39) Ibid.<br /> (40) Ian Johnson, Kepala Jaringan Sosial dan Lingkungan Pembangunan Berkelanjutan Bank Dunia, pernah menyatakan, air bersih merupakan unsur paling penting untuk mengurangi angka kematian bayi dilapisan masyarakat miskin. Dikutip dari Maria Hartiningsih. Ibid..<br /> (41) Kompas. <br /> (42) Lihat Kompas. <br /> (43) Lembaga WATSAL ini, beranggotakan sekitar 45 orang - sebagian besar dari Indonesia – berfungsi dan bertugas membuat kebijakan nasional tentang sumber daya air.<br /> (44) Hukum Online, 7 April 2003. “Siapa Mengawasi Privatisasi?” Teks dapat dibaca di: http://www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=7773<br /> (45) Dikutip dari Kompas, 17 Maret 2003. Dr Mahmoud Abu-Zied, Presiden World Water Council – yang juga Menteri Sumber Daya Air dan Irigasi Mesir. <br /> (46) Keppres 24/2001, pasal 2. <br /> (47) Keppres 24/2001, pasal 3<br /> (48) Lihat Siaran Pers Divisi Hak-hak Ekosob Yayasan LBH Indonesia. No.: 01/SP/YLBHI/I/2003. Mengenai RUU tentang Sumber Daya Air. “Satu lagi upaya privatisasi yang (berpotensi). melanggar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat”. 9 Januari 2003.<br /> (49) Maria Hartiningsih. Op.cit<br /> (50) Lihat Kompas. 20 Desember 2001. Paska revolusi rakyat yang menumbangkan diktatoriat Nicolae Ceausescu, sejak 1991, Rumania melaksanakan privatisasi BUMN. Proses ini dikawal oleh pemerintah Rumania dengan mengembangkan mekanisme fair dan transparansi. Sedangakan resep yang dikembangkan pemerintah Malaysia dalam privatisasi BUMN-nya, sederhana: privatisasi mempertimbangkan kepentingan nasional dan rakyat banyak.<br /> (51) Kompas, 28 Oktober 2002.<br /> (52) Ibid.<br /> (53) Ibid.<br /> (54) Suhartono. “Privatisasi: Asas Manfaat Versus Asas Kepemilikan”. Kompas. 24 Maret 2003.<br /> (55) Kompas. 18 Februari 2002. Kejar Setoran APBN 2002. Tujuh BUMN Diprivatisasi.<br /> (56) Lihat Revrisond Baswir, “RUU (Privatisasi) BUMN?” Republika, 17 Maret 2003.<br /> (57) Pada dasarnya, proses privatisasi sudah berjalan. Seperti kerjasama PDAM Jaya dengan Vivendi dan Suez- Lyonnaise. Sejak empat tahun lalu, 95 persen saham PDAM Jaya sudah dikuasasi dua perusahaan asing ini, selebihnya 5 persen lagi, dipegang perusahaan domestik Tera Metafora. Begitu juga privatiasi yang berjalan di Batam, Riau – yang dikelola Biwater.<br /> (58) Kompas Online. 8 Januari 2003. “RUU Sumber Daya Air Bisa Menjadi Landasan Hukum Privatisasi Air”.<br /> (59) Kompas. 9 Januari 2003. <br /> (60) Ibid.<br /> (61) Ibid.<br /> (62) Public Citizen-Water Privatization Fiascos: Broken Promises and Social Turmoil. Maret 2003<br /> (63) Kompas. 23 Februari 2003. “Merebut Air. Merebut Kehidupan”.<br /> (64) Lihat Korina Horta. “Rhetoric and Reality: Human Rights and the World Bank.” Harvard Human Rights Journal Volume 15 Spring 2002, p. 234. Teks dapat dibaca di: <br />http://www.law.harvard.edu/studorgs/hrj/current/horta.shtml#fn1 <br /> (65) Kompas. 23 Februari 2003.<br /> (66) Budi Widianarko, “Perang Air, Profit Versus Hak Asasi. Catatan dari The Third World Water Forum (WWF3), Kyoto-Osaka-Shiga.” Kompas, 5 Mei 2003.<br /> (67) Kompas. 27 Maret 2003. <br /> (68) Kompas, 20 Maret 2003. <br /> (69) Sumber lain menyatakan tingkat kebocoran mencapai 49 persen. Lihat, Kompas Online. 29 Januari 2003. “PD PDAM Jaya Usulkan Kenaikan Tarif Air”.<br /> (70) Dikutip dari Buyung Samudro. Kompas, 23 September 2002. “Krisis Air Serius Ancam Jakarta dan Sekitarnya”.<br /> (71) Ibid.<br /> (72) Kompas. 24 Agustus 2002. <br /> (73) Kompas, 14 Oktober 2002. <br /> (74) Kompas, 12 Oktober 2002. <br /> (75) Kompas, 20 Maret 2003. <br /> (76) Kompas. 29 Agustus 2002. <br /> (77) Kompas, 20 Maret 2003. <br /> (78) Kompas. 23 Februari 2003. <br /> (79) Ibid.<br /> (80) Kompas. 29 Agustus 2002. <br /> (81) Kompas online. 23 September 2002.<br /> (82) Kompas. 30 September 2002. <br /> (83) Winarso Drajad Widodo, “Rain Harvesting. Jawaban Masalah Musim Kering”. Kompas. 5 Juli 2002.<br /> (84) Lihat Ibid.<br /> (85) Perlu sebuah studi tentang komitmen kerakyatan pemerintah sedemikian.<br /> (86) Kompas. 19 Oktober 2002. Pihak pemerintah sendiri hanya mampu menghimbau agar awarga tidak membayar sepeser pun. Proyek penyediaan air bersih secara cuma-cuma ini memang dianggarkan dalam APBD.” Kepala Bagian Sosial Kab. Gresik sempat menyatakan akan menindak tegas petugas penyalur air yang memperjualbelikan bantuan air. Sayang, tidak tersedia data, apakah tindakan tegas ini sudah dilakukan.<br /> (87) Kompas. 26 September 2002. <br /> (88) Ibid. Dengan kata lain, lewat perspektif hukum pidana, pihak Migas Cepu mesti mempertanggunjawabkan perbuatannya, antara lain dengan cara menunjukkan bahwa pihaknya telah melakukan riset yang mendalam – jika tidak, perlu ada sanksi pidana terhadap pejabat yang telah melakukan kejahatan.<br /> (89) Kompas. 23 September 2002.<br /> (90) Kompas. 20 Juli 2002. <br /> (91) General Comment CESCR No. 14 pada dasarnya sudah mengadopsi hak atas air, berhubungan dengan pemenuhan hak atas kesehatan. Dalam dokumen ini, dinyatakan, hak atas kesehatan meliputi juga hak setiap orang untuk memiliki akses atas air bersih dan sehat (safe and potable water), sanitasi yang memadai, kondisi kerja yang aman serta lingkungan hidup yang sehat. Namun, hak atas air secara khusus dielaborasi, baru pada UN doc. General Comment CESCR No. 15.<br /> (92) Mengenai Obligasi Negara, Lihat antara lain: the Vienna Declaration and Programme of Action yang diadopsi dalam Konferensi Dunia HAM tahun 1993; UN doc. CESCR. General Comment No. 3. The nature of State parties’ obligations (art. 2, para. 1, of the Covenant). <br /> (93) Dikutip dari UN doc. UN Press Release. Kyoto, 17 March 2003. Third World Water Forum.<br /> (94) Lihat Ibid.<br /><br /><br />Annex<br /><div style="text-align: center;">Tabel Masyarakat dan Krisis Air 2002 - Maret 2003<br /> </div><table class="MsoNormalTable" style="border: medium none ; border-collapse: collapse;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="border: 1pt solid black; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Deskripsi<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: black black black -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Jumlah Warga<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: black black black -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Lokasi<o:p></o:p></span></b></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kesulitan air diderita warga. Apabila tidak dicari alternatif lain guna mengatasi kekurangan air bersih di Jayapura, satu ketika warga <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:City> Jayapura akan kekurangan air sama sekali. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Beberapa kelurahan di Kota Madya Jayapura kekurangan air bersih: Wilayah Polimak, Base G, Kota Raja, sebagian wilayah Entrop, dan sebagian wilayah Abepura.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Untuk mendapat air, harus memompa air sumur dari kedalaman 250 m - 300 m, dengan tingkat kejernihan air yang rendah. Kelangkaan air, telah menyebabkan banyak terjadi gangguan kesehatan penduduk, terutama anak-anak di Kepulauan Seribu. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">18.000 jiwa<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Kepulauan Seribu, antara lain:<span style=""> </span>Pulau Pramuka, Kelapa, Harapan, Panggang, dan Pulau Kelapa Dua. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">DKI <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City>.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Sumur yang diperdalam tidak dapat dipakai karena asin akibat instrusi air laut. Untuk mencuci pakaian atau perkakas dapur dan rumah tangga, warga memanfaatkan kubangan. Sebagian warga tak mampu membeli air bersih. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kawasan Utara Tanggerang, seperti Kosambi, Teluknaga, Pakuhaji, Kronjo, dan Kresek. DKI <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City>.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Setiap tahun, sebagian warga pengguna air tanah setiap tahun mesti memperdalam sumur agar dapat memperoleh air. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Desa Rawabuntu, Kecamatan Serpong, Tangerang. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Banten<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga kesulitan air bersih. Sumur tidak dapat digunakan. Jika diperdalam, air yang keluar terasa asin - akibat intrusi air laut.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Wilayah Utara Kabupaten Tangerang, Banten</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Warga memanfaatkan sisa-sisa air di saluran irigasi untuk keperluan mencuci pakaian. Ribuan hektar sawah di daerah itu mengalami gagal panen atau puso.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kawasan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Datangnya El Nino menyebabkan warga menderita kabut asap dan kekurangan air bersih. Sejumlah warga terpaksa mengambil air dari parit, untuk mencuci dan mandi.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><st1:city st="on"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kota</span></st1:City><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"> <st1:city st="on">Pontianak</st1:City>, <st1:place st="on">Kalimantan</st1:place> Barat.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Ribuan warga terpaksa mencari air sendiri atau membeli dari para penjual air. Akibat krisis air, terjadi peningkatan jumlah warga yang menderita Muntaber, seperti bisa dilihat dari peningkatan jumlah pasien Muntaber di Rumah Sakit Umum (RSU) A Wahab Sjachranie, Samarinda. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><st1:city st="on"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kota</span></st1:City><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"> Samarinda, <st1:place st="on">Kalimantan</st1:place> Timur.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Di sepanjang jalan mengelilingi wilayah Kaltim bagian Tengah sampai Selatan dengan jarak sekitar 3.500 km dengan mudah dijumpai warga yang berburu air bersih dengan membawa drum. Dari tahun ke tahun, air sangat sulit diperoleh. Warga menduga hal ini akibat gundulnya hutan Kaltim. Di pelosok hutan Kaltim, warga mesti menempuh jarak 6 km untuk mendapat air. Di Kampung Tukuq, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat, masyarakat Dayak Bentian mesti berjalan kaki 6 km sekedar mencari air bersih..<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Seluruh pelosok Kalimantan Timur.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kesulitan air. Instrusi air laut terjadi diwilayah ini.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Sedikitnya 4.000 keluarga atau sekitar 20.000 jiwa<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Kawasan Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="ES"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Untuk mendapatkan air, warga harus berjalan sejauh 5 kilometer, mencapai Kali Cipamingkis di Desa Sirnajati dan Kali Cihoe di Desa Ridogalih.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="ES"><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">7.680 jiwa</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Cibarusah dan Bojong Mangu, </span><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Kabupaten Bekasi. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Jawa Barat<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Sumur warga berair kuning dan berbau. Beberapa warga mendapati air sumurnya berwarna hitam. Air sungai pun serupa. Warga menduga, kondisi ini diakibatkan pencemaran limbah dari pabrik. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Ariadi, Staf Bagian Umum Kecamatan Krangkeng mengatakan, ada <st1:city st="on"><st1:place st="on">lima</st1:place></st1:City> desa yang telah memasuki tahap krisis air bersih. Sumur-sumur warga sudah kering sama sekali. Jika keluar air, berasa asin dan berbau.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">23.000 penduduk<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Desa Singakerta, Luwunggesik, Krangkeng, Kalianyar, dan Tanjakan. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kecamatan Krangkeng.<span style=""> </span>Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Sumur-sumur warga kering. Sungai Cibeet yang selama ini menjadi alternatif pengganti kebutuhan air warga pun kering. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">30.000 warga.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Dua kecamatan di sebelah Tenggara, Kecamatan Cibarusah dan Bojongmangu, Kabupaten Bekasi. Jawa Barat.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga berjalan kaki sekurangnya 1 km untuk mendapatkan air dengan membawa drum/jerigen.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">500 kepala keluarga (KK)<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kampung Cijati, Citape, Cicadas, Cisarua, Pamuyanan, dan Tegalkadu, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Jawa Barat.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Warga menderita kesulitan dan krisi air yang parah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Depok, Jawa Barat.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Warga Kecamatan Jonggol mesti berjalan kaki belasan kilometre, memanggul jerigen, mencari dan mengangkut air. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kecamatan Jonggol dan Cileungsi, Jawa Barat.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Sumur, sungai, dan sumber mata air di wilayah tersebut telah lama kering. Akibatnya, warga bahkan mengonsumsi sisa-sisa air irigasi persawahan. Walau disaring dan didiamkan terlebih dulu, air tetap saja keruh dan berwarna coklat, terpaksa diminum warga.<span style=""> </span>Untuk mencuci pakaian dan mandi, warga memanfaatkan air selokan irigasi yang telah kotor bercampur lumpur dan kotoran manusia.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Desa Suka Sirna, Bangkongreang, dan Babakan Jati, sekitar 15 kilometer dari Bogor, Jawa Barat</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Humas Pemkab Grobogan mengemukakan, terdapat lebih 50 desa di 12 kecamatan yang penduduknya kekurangan air.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga menderita kesulitan air. 7 dari 16 kecamatan: Banjarejo, Kunduran, Ngawen, Kradenan, Todanan, Kedungtuban, dan Blora, mengalami kesulitan dan krisis air yang parah – 130 dari 295 desa di Kabupaten Blora.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kabupaten Blora, Jawa Tengah</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Selain kesulitan air minum, kekeringan menyebabkan petani gagal panen. Menurut Kepala Dinas Pertanian (Dipertan) Kabupaten Sukoharjo, bulan Januari 2002 lalu, total sawah puso akibat kekeringan di Kabupaten Sukoharjo 386 hektar:<span style=""> </span>Kecamatan Nguter (339 hektar), Kecamatan Bulu (13 hektar), dan kecamatan Weru (34 hektar). Di Sukohardjo, Sragen dan Blora tidak kurang </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">1.124 hektar tanaman padi puso akibat kekeringan.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Kabupaten Sukohardjo, Sragen, dan Blora Jawa Tengah.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="NL"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Sejumlah warga berjalan kaki sekitar 1 km untuk mendapatkan air bersih. Warga sempat dijanjikan bantuan air bersih dari Pemerintah Kota Semarang, tapi belum direalisasikan.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">500 kepala keluarga (KK)<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Kelurahan Pongangan, </span><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Gunung Pati, Kota Semarang. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Jawa Tengah.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga Pedukuhan terpencil ini, mengandalkan satu-satunya sumber air yang kian surut di hutan. Warga berjalan kaki sekitar dua kilometer mencapai sumber air. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">300 penduduk.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="NL">Dukuh Semanding, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah</span><span style="font-size: 8pt;" lang="NL"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga menderita kesulitan dan krisis air<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">2.500 warga<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. </span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga kesulitan air. Untuk berhemat, sejumlah warga yang buang air besar memilih ke laut, ke pematang, ke selokan atau ke semak-semak. Jika melewati pematang, selokan atau semak-semak tercium bau menyengat. Warga menyadari kondisi ini mengganggu kesehatan, namun tidak bisa berbuat banyak karena kondisi yang terpaksa.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Sekitar 15.000 penduduk<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kawasan Tanah Mas, Semarang Timur, dan Kedung Mundu, Jawa Tengah.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Secara rutin, dimusim kemarau warga kesulitan air bersih.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">200.000 penduduk<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">116 desa dalam 13 Kecamatan Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="ES"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Sumur mongering. Sebanyak 39 titik mata air di berbagai tempat juga mongering. Kekeringan terparah dialami Kecamatan Tambak, dan Sumpiuh. Selain kering, kesulitan air juga karena instrusi air laut. Intrusi sudah mencapai desa-desa dengan jarak 6-8 km dari garis pantai. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">9.266 keluarga. 3.597 keluarga di Kecamatan Tambak dan 3.017 keluarga di Kecamatan Ajibarang.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Sedikitnya di 39 desa tersebar di 10 kecamatan Banyumas, Jawa Tengah</span><span style="font-size: 8pt;" lang="ES"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Bagian Sosial dan Ekonomi Kabupaten Wonogiri menjelaskan, jumlah desa yang dilanda kekeringan 27 desa yang berpenduduk sekitar 14.557 keluarga atau 59.714 orang. Kekeringan di Paranggupito, melanda 8 Desa, meliputi 86 Dusun, 127 RT dan 38 RW. Dari 26 telaga dan sumber air di wilayah ini , hanya 2 yang masih berfungsi.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Total penduduk yang kekeringan di delapan desa, mencapai 20.581 jiwa.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kabupaten Wonogiri. Jawa Tengah.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Warga yang tinggal di pegunungan dibantu pemerintah lokal. Namun hanya didrop, tiga hari sekali dengan jumlah yang dianggap belum memadai. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Sekitar 15.000 keluarga<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Sedikitnya 48 desa di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="ES"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Selain kesulitan air, 2.709 hektar lahan pertanian milik petani di 12 kecamatan terancam gagal panen.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">7.500 keluarga di Grobogan; 3.135 keluarga di Kendal.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Jawa Tengah.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga menderita kesulitan dan krisis air yang parah.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">2.712 keluarga<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="ES"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga menderita kesulitan dan krisis air yang parah.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">1.726 keluarga<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="ES">Desa Sambirejo, Kawasan Prambanan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="ES"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga menderita kesulitan dan krisis air yang parah.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">2.217 jiwa<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Desa Giring Kecamatan Paliyan. Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa <st1:place st="on">Yogyakarta</st1:place>.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Warga menderita kesulitan dan krisis air yang parah.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">3.855 jiwa<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Desa Karangasem. Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa <st1:place st="on">Yogyakarta</st1:place>.<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color black black; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 253.35pt;" valign="top" width="338"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Sejumlah warga terpaksa mandi dikubangan bersama ternak sapi. Air minum sangat sulit didapat.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Sedikitnya 41.000 jiwa<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color black black -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 104.45pt;" valign="top" width="139"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB">Kecamatan Tepus dan Tanjungsari. Gunung Kidul, Daerah Istimewa <st1:place st="on">Yogyakarta</st1:place>.</span><span style="font-size: 8pt;" lang="EN-GB"><o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table> Sumber: Diolah dari kompilasi data Divisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Yayasan LBH Indonesia</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-16149250435196219922008-11-04T18:56:00.003+07:002008-11-04T19:11:06.321+07:00Sengketa Tanah: Perspektif Rezim Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Gagasan MengakhirinyaA. Pengantar<br /><br />Makalah singkat ini disusun dengan merujuk pada term of reference (TOR) yang disusun oleh LBH Bandar Lampung. Dari kerangka acuan ini, boleh dikatakan, problem perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) bergandeng erat dengan sengketa dibidang pertanahan. Karenanya, paper ini akan memberikan gambaran mengenai standar dan norma hukum internasional hak asasi manusia (HAM) yang berkaitan dengan hak-hak rakyat, utamanya hak ekosob yang dimiliki oleh kaum tani dan tuna kisma – termasuk masyarakat adat dan kaum perempuan. <br /><br />Paper ini berisikan tiga bagian. Bagian pertama, mendeskripsikan rezim hukum internasional yang mengatur tentang perlindungan warga negara terhadap hak atas tanah. Pendekatan yang hendak didiskusikan yakni, pendekatan hak rakyat atas standar hidup yang layak.(1) Lewat pendekatan ini, maka hak atas tanah merupakan prasyarat bagi rakyat, utamanya kaum tani untuk mencapai standar hidup yang layak ini. Pada bagian ini juga akan dimuat hal-hal yang relevan dalam isu hak penduduk atas tanah. <br /><br /><span class="fullpost">Bagian kedua, akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis strategi umum yang dipakai dalam upaya melindungi dan mendesak Negara untuk memenuhi hak atas tanah tersebut. Dalam bagian ini akan juga dimuat beberapa contoh gerakan advokasi dan kampanye yang dilakukan dibeberapa negara. Selanjutnya akan didiskusikan gagasan ‘justiciabiliti’ yang sebaiknya didesakkan perwujudannya sebagai hak konstitusi dan hak hukum.<br /><br />Bagian ketiga, akan didiskusikan skema program aksi ditingkat lokal, nasional dan internasional. Akan dilakukan analisis terhadap problem domestik dan masalah global seperti kaitan antara globalisasi dan lembaga keuangan internasional dengan kaum tani di Bandar Lampung khususnya, dan kaum tani di Indonesia, umumnya.<br /><br /><br />B. Rezim Internasional Hak Asasi Manusia sebagai Parameter<br /><br />Penggunaan norma dan standar hukum internasional ini dimaksudkan untuk membuat sebuah perbandingan terhadap norma dan standar hukum domestik (nasional). Tujuannya, memberikan sebuah parameter dalam artian positif dan bermanfaat bagi upaya perlindungan dan pemenuhan hak ekosob di negeri ini. <br /><br />Dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob secara eksplisit dimuat hak rakyat atas standar hidup yang layak. Dinyatakan, Negara mengakui hak setiap orang untuk mencapai standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluargannya, termasuk kecukupan pangan, pakaian dan perumahan, serta peningkatan kondisi kehidupan secara terus menerus. Dalam upaya memenuhi hak ini, Negara mempunyai kewajiban (obligasi) untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan – termasuk mengeluarkan kebijakan dan mengimplementasikannya. Sementara dalam Deklarasi HAM Universal dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak memiliki property (baca: termasuk tanah) baik secara perorangan maupun secara berkelompok – dengan orang lain.(2) Negara diwajibkan untuk memastikan tidak terjadi perampasan sewenang-wenang terhadap hak ini.(3) <br /><br />Dengan memakai ‘payung’ hak rakyat tersebut, maka hak atas tanah menjadi sebuah prasyarat bagi rakyat untuk mencapai kesejahteraan atau kondisi hidup yang layak. Dalam konteks ini, beberapa isu utama yang berkaitan dengan ‘hak atas tanah’ dalam rezim hukum internasional sebagai berikut:<br /><br />Ø Keamanan dan jaminan hukum pengakuan hak atas tanah<br /><br />Tanah merupakan alat produksi. Dengan mengolah tanah, petani berharap mendapatkan surplus produksi yang dapat dipergunakan untuk membiayai dirinya dan keluarganya serta dengan surplus ini petani dapat menabung. Maka yang diperlukan bagi kaum tani adalah keamanan dan jaminan hukum pengakuan hak atas tanah – termasuk hutan. Dengan kata lain, Negara dan/atau pelaku non negara (entitas privat) tidak dapat dengan sewenang-wenang mencabut hak atas tanah ini. Bahkan dalam masyarakat adat dikenal istilah dan konsep ‘time immemorial’ dan ‘ancestral land claim’, dengan makna, kepemilikan tanah ini sudah melekat pada komunitas jauh sebelum negara bangsa didirikan. Kolonialisasi dan imperialisme telah merampas tanah-tanah penduduk asli dan masyarakat adat. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, secara logic, maka penduduk asli dan masyarakat adat berhak untuk mendapatkan kembali hak-haknya.<br /><br />Perlindungan hukum dibutuhkan untuk mencegah adanya perampasan lahan dan penggusuran atau pemindahan orang secara paksa.(4) Pemindahan orang secara paksa mempunyai makna, pemindahan individu, kelompok atau komunitas yang dilakukan dengan bertentangan dengan kehendak individu, kelompok atau komunitas itu sendiri (against their will) dari rumah atau tanahnya, dilakukan secara melawan hukum, dan dilakukan tanpa perlindungan apa pun yang semestinya diberikan oleh Negara.(5) Hukum internasional berpandangan, Negara wajib mengambil langkah dan menetapkan kebijakan yang bertujuan untuk menjamin pengakuan dan jaminan hak penguasaan tanah oleh rakyat.(6) Prioritas jaminan mesti diarahkan kepada komunitas yang tak beruntung atau masyarakat kelas bawah dan miskin. Secara paralel, Negara wajib mengambil langkah untuk memfasilitasi kepemilikan tanah bagi tuna kisma (petani tak bertanah).(7) Salah satu kebijakan yang seharunya dikeluarkan yakni, hak atas tanah ditetapkan sebagai hak konstitusional dan hak hukum. <br /><br />Ø Reformasi Agraria dan Akses Sumber Daya Alam<br /><br />Komunitas internasional memberikan perhatiannya kepada nasib petani. Dalam Konferensi Dunia mengenai Reformasi Agraria dan Pembangunan Pedesaan yang dioranisir oleh sebuah badan PBB (the Food and Agricultural Organisation – FAO) pada tahun 1979 telah menghasilkan pengadopsian Deklarasi Prinsip-prinsip anda Program Aksi atau popular dikenal dengan ‘Piagam Kaum Tani’. Dalam dokumen ini strategi pembangunan di pedesaan mesti memasukan kebijakan dan pelaksaan redistribusi tanah dan jaminan hak atas tanah. Jaminan ini termasuk perlindungan bagi komunitas mengontrol akses sumber agraria dan sumber daya alam. <br /><br />Problemnya – bukan hanya terjadi di Indonesia – terdapat doktrin yang seringkali dipakai Negara, ‘regalian doctrin’ atau dalam konteks Indonesia dapat dipersamakan dengan konsep ‘Hak Menguasai Negara’. Doktrin ini pada dasarnya mengajarkan bahwa semua tanah adalah milik Negara. Dalam prinsip ini, proses pemberian hak menjadi mutlak wewenang Negara dan dilakukan lewat mekanisme pemberian hak kepemilikan privat, yang dalam perkembangannya ditunjukkan lewat secarik kertas sertifikat atau dokumen izin penguasaan yang dikeluarkan Negara. Dalam praktek Negara seringkali memberikan penguasaan dan pengelolaan tanah bukan kepada penduduk yang tak beruntung atau kaum petani kecil, melainkan diberikan kepada pemilik kapital besar, tanpa ada kontrak keuntungan dapat dinikmati oleh komunitas lokal utamanya si miskin. <br /><br />Lagi lagi, dibutuhkan proteksi ‘dari’ Negara kepada kaum tani. Jaminan berupa hak atas penggunaan dan penikmatan hasil merupakan inti dari program reformasi agraria. Karenanya kontrol yang absolute merupakan tantangan sekaligus perjuangan yang harus dilakukan pencapaiannya. Pembaruan agraria dan program redistribusi atau restitusi tanah mutlak semestinya dilaksanakan oleh pemerintah. Program ini mesti memperhatikan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.(8) <br /><br /><br />C. Strategi Umum<br /><br />Problem perampasan lahan, penggusuran atau pemindahan orang secara paksa seringkali disebabkan ‘pembangunan’.(9) Problem ini muncul ketika Negara dan pemilik kapital memerlukan lahan. Pada tahap ini, penting untuk menganalisis serta mengevaluasi kepentingan modal internasional dan ideologi pasar bebas. Perkebunan besar sebagai contoh, merupakan proses produksi yang melayani kepentingan pasar internasional. Petani kecil dalam ideologi pembangunan seperti ini dianggap tidak produktif dalam perolehan pendapatan Negara. Karenanya, Negara lebih memilih memberikan lahan bagi perkebunan besar baik kepada investor dalam negeri maupun luar negeri ketimbang memberikan proteksi dan memfasilitasi komunitas petani. Lebih memaksakan menanam kelapa sawit ketimbang mempertimbangkan lingkungan hidup dan produktifitas serta pendapatan kaum tani. <br /><br />Dibanyak negara berkembang gerakan petani sudah melewati batas isu domestik. Di India misalnya, telah muncul gerakan petani menentang kebijakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gerakan yang dimotori petani berlahan sempit, buruh tani, nelayan tradisional dan kelompok perempuan senantiasa mendiskusikan, mengkritisi kebijakan-kebijakan globalisasi. Tercatat, sebanyak 450 petani di negara bagian Andra Pradesh dan Karnataka melakukan bunuh diri sebagai aksi protes terhadap kebijakan WTO.<br /><br />Prosedur perlindungan hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang bersih dan efektif. Pemerintahan ini berciri: (1) mau melindungi kepentingan rakyat dan menegakkan kedaulatan; (2) memberantas korupsi dan kolusi; (3) melindungi dan memenuhi hak asasi manusia serta menegakkan hukum yang berkeadilan, dan; (4) menjalankan sistem negara yang demokratis termasuk melibatkan partisipasi warga negara dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan distribusi hasil dari kebijakan yang dilakukan. Jika prasyarat ini sudah dilaksanakan, maka secara praktikal, gagasan dan mekanisme prosedural perihal perlindungan rakyat dari penggusuran paksa dapat dilaksanakan. <br /><br />Mekanisme prosedural tersebut antar lain memberikan kesempatan bagi konsultasi yang sejati (genuine) dengan komunitas atau kelompok masyarakat yang terkena dampak ‘pembangunan’. Pembangunan selalu mesti menjawab manfaat apa yang didapat bagi rakyat. Kontestasi dari kepentingan rakyat dan pembangunan dipecahkan lewat mekanime sistem peradilan yang fair serta tersedianya legal remedies termasuk restitusi dan rehabilitasi. Jika mekanisme prosedural ini dilaksanakan, tidak seorang pun warga negara yang menolak program pembangunan! Tak seorang pun yang tak mau investor menanamkan modal di kampungnya! Siapa yang tak mau kalau proses penanaman modal, proses pembanguna akan meningkatkan kesejahteraan bagi diri dan keluarga???<br /><br />Rehabilitasi memiliki makna pemulihan kondisi baik bersifat hak atas properti maupun yang bekaitan dengan penderitaan atau kerugian yang bersifat mental atau fisik ataupun status seperti semula. Sedangkan, restitusi berarti kompensasi, berupa akses terhadap tanah yang produktif – sebagai sebuah upaya peningkatan standar hidup yang layak. Selain restitusi dan Rehabilitasi, Negara juga mesti melakukan upaya agar kaum tani bisa memiliki akses penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria termasuk juga akses atas sistem produksi yang baik, proses dan sistem pasar. <br /><br /><br />D. Skematik Program Aksi<br /><br />Melakukan strategi advokasi kasus per kasus selain ‘capek’ juga mengandung kelemahan tidak berubahnya sistem hukum yang memberikan perlindungan secara menyeluruh. Karenanya, strategi yang hendak dikembangkan adalah mengintegrasikan komunitas-komunitas korban, baik buruh, petani, nelayan, komunitas miskin urban dalam satu isu besar: menuntut standar hidup yang layak! Isu besar ini akan menggabungkan keseluruhan komunitas korban seperti para guru dengan gaji kecil, pengangguran dan usia kerja. Isu besar ini digunakan untuk ‘mencari’ dan mendesakkan sebuah pemerintahan yang berani dan efektif. <br /><br />Isu besar ini tentu saja mesti dielaborasi sesuai dengan ‘potret’ korban. Namun demikian, ‘korban’ memiliki sebuah kesamaan gagasan praktikal, antara lain mendesakkan hak klaim rakyat atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahwa hak ekosob ini justiciable, dapat “diukur” dengan demikian dapat diklaim pemenuhannya.(10) Sebagai ilustrasi, jika para pejabat mendapat dana bagi ‘studi banding’ ke luar negeri – yang boleh jadi sebuah pemborosan dana Negara – maka petani sebenar-benarnya subyek yang mesti mendapatkan prioritas dari dana tersebut. Dengan demikian, menjadi suatu kewajaran jika rakyat meminta pemerintah untuk memfasilitasi upaya pencapaian kesejahteraan. <br /><br />Negara wajib membuktikan bahwa institusi-institusi negara telah memaksimalkan semua sumber daya untuk melaksakanak program pengentasan kemiskinan, program kesejahteraan rakyat, dsb. Tanpa bisa membuktikan bahwa hal ini telah diupayakan oleh Negara, maka dalam perspektif HAM, telah terjadi pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya rakyat!<br /><br />Untuk menghentikan kejahatan HAM Negara, tak pelak lagi secara programatik, kerja-kerja yang sebaiknya dilakukan antara lain pendidikan popular komunitas, mobilisasi dan upaya uji-contoh litigasi sebagai cara. Sebaiknya dilakukan penjabaran dan elaborasi sekaligus evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, misalnya kebijakan pemerintah daerah yang (berpotensi) melanggar hak ekososb penduduk Lampung. Analisis ini sebaiknya sampai menunjukkan bahwa pemenuhan hak yang dimaksud justiciable, sampai pada hitungan kerugian ekonomis, dan solusi apa yang mesti dilakukan, restitusi dalam bentuk apa, kompensasi sejumlah apa, dan program apa yang mesti dilakukan. Mengambil manfaat dan pengetahuan dari kasus Ciceconte,(11) bisa saja para aktivis, pengacara dan advokat di Bandar Lampung mengajukan gugatan ke Pengadilan di Bandar Lampung untuk menetapkan sebuah keputusan pengembalian dan pemberian fasilitas bagi petani untuk mencapai kesejahteraan. Tentu saja dengan sebuah kesadaran adanya keterbatasan hukum dan proses peradilan yang fair. Namun, sebagai sebuah metode kampanye, kenapa tidak dicoba? <br /><br />Secara spesifik, untuk mengatasi problem pertanahan, salah satunya adalan mendesakkan pembentukkan Komisi Restitusi Tanah. Secara paralel ditetapkannya dan dilaksanakan kebijakan: (1) merestorasi tanah-tanah rakyat yang dirampas secara sewenang-wenang; (2) memberikan tanah bagi petani tak bertanah; (3) memberikan alternatif tanah jika tanah yang dirampas dirasa tidak dapat direstorasi; (4) memberikan kompensasi terhadap pemilik tanah akibat kejahatan yang telah dilakukan; (5) memberikan alternatif solusi seperti memberikan paket bantuan yang merupakan kombinasi dari point-point yang telah disebutkan, termasuk memberikan bantuan dan dana, pelayanan dan infrastruktur bagi korban; (6) para korban mendapatkan prioritas pengalokasian dan program pembangunan. <br /><br />* Pengantar pada Workshop Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Yayayan LBH Indonesia – LBH Bandar Lampung, 30 – 31 Januari 2003.<br /><br />Catatan Belakang<br /><br /> (1) Pasal 11 ICESCR. Sebagai catatan, Indonesia belum meratifikasi Kovenan ini.<br /> (2) DUHAM, pasal 17 (1).<br /> (3) Ibid. pasal 17 (2).<br /> (4) Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 7, para. 2. <br /> (5) Ibid., para. 3.<br /> (6) Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 4, para. 8 (a) inter alia CESCR. General Comment No. 7., para. 9.<br /> (7) Lihat. Ibid. para. 8 (e).<br /> (8) CEDAW. General Comment No. 21., para, 27.<br /> (9) Lihat General Comment No. 7., para. 15. Lihat juga IESCR. General Comment No. 23., para. 7.<br /> (10) Sebuah hak dapat disebut justiciable, jika dalam kerangka hukum yang ada dijamin dan diberikan peluang untuk individu maupun komunitas didepan hukum (badan peradilan) dan mekanisme prosedural untuk melakukan klaim atas hak tersebut. Keputusan badan peradilan atau adjudikator selanjutnya dapat dipaksakan untuk dipenuhi oleh Negara atau Pelaku Non-negara (entitas privat) yang mempunyai kewajiban (obligasi) hukum memenuhi hak tersebut.<br /> (11) Menarik untuk mendiskusikan kasus Mariela Ciceconte di Argentina. Ciceconte menggunakan pengadilan Argentina untuk meminta pemerintah membangun dan meproduksi pabrik vaksin untuk mengobati demam (hemorrhagic fever) yang terjadi dinegeri ini. Di tahun 1990-an, terjadi wabah demam yang mengancam 3,5 juta penduduk Argentina. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan vaksin yang ampuh, 95 persen efektif mengobati demam jenis ini adalah Candid 1 (“orpan vaccine”). Ciceconte mengajukan gugatan dengan argumen Pemerintah Argentina telah melanggar hak ekosob, karena ketidak tersediaan vaksin. Ciceconte meminta badan peradilan untuk menetapkan sebuah keputusan agar pemerintah menyediakan vaksin ini. Mahkamah Agung Argentina pada tahun 1998 memutuskan bahwa Negaea wajib memproduksi vaksin serta menetapkan jangka waktu untuk ketersediaan vaksin ini. Hakim Agung mendasarkan putusannya antara lain merujuk pada Deklarasi Amerika tentang Hak dan Kewajiban Manusia (the American Declaration on the Rights and Duties of Man), Deklasi HAM Universal, dan pasal 12 Kovenan Internasional Hak Ekosob, pasal 12 tentang Hak Rakyat atas Kesehatan. Sebagai catatan, proses peradilan kasus Ciceconte ini diiringi dengan demonstrasi masif dan massal di Argentina.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-92184213585496963532008-11-04T18:37:00.003+07:002008-11-04T18:52:30.266+07:00Hak atas Lingkungan yang Sehat: Prinsip dan Tanggungjawab PemerintahA. Lingkup dan Prinsip-prinsip dalam Pemenuhan Hak Rakyat atas Lingkungan yang Sehat<br /><br />Hak atas lingkungan yang sehat. Pemenuhan hak ini mencakup mencakup “lingkungan fisik” dan “lingkungan sosial”.<br /><br />Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) secara eksplisit, tema “lingkungan hidup” secara eksplisit dinyatakan dalam pasal 12 yang merupakan salah satu bagian dari “hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang paling tinggi yang dapat dicapai.” Dalam pasal ini, <span class="fullpost">sejumlah upaya yang seharusnya dilakukan Pemerintah untuk memenuhi hak atas kesehatan, diantaranya “peningkatan semua aspek kebersihan (hygiene) industri dan lingkungan hidup”,(1) yang mencakup upaya pencegahan wabah dan kecelakaan kerja; pencegahan dan pengurangan CESCR menginterpretasikan hak atas kesehatan secara inklusif, tidak hanya berkaitan dengan pelayanan kesehatan, tetapi juga faktor-faktor yang menopang kesehatan manusia, termasuk konsisi lingkungan dan pekerjaan yang sehat.(2) <br /><br />Selanjutnya dalam standar hukum internasional hak asasi manusia, “hak atas lingkungan yang sehat”, dinyatakan dalam sejumlah Komentar Umum yang diadopsi Komite yang dibentuk atas dasar perjanjian internasional (Kovenan dan Konvensi internasional hak asasi manusia). Keterkaitan kedua hak ini sangat jelas: lingkungan hidup yang sehat merupakan salah satu faktor sosio-ekonomi yang memunculkan kondisi dimana masyarakat dapat menikmati hidup yang sehat.<br /><br />Hak atas lingkungan hidup yang sehat, berkaitan erat dengan sejumlah hak asasi yang lain:<br />1. hak atas perumahan, terutama berkaitan dengan pemenuhan prinsip habitabilitas (kenyamanan bertempat tinggal). Dalam Komentar Umum Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR) dinyatakan “ineadequate and deficient housing and living conditions are invariably associated with higher mortality and morbidity rates”.(3) Untuk memastikan pemenuhan hak atas rakyat, Pemerintah diwajibkan untuk saling koordinasi antara menteri dan otoritas lokal dalam merumuskan kebijakan, berkaitan dengan kebijakan ekonomi, agrikultur, lingkungan, energi dan seterusnya);(4)<br />2. hak atas pangan, terutama bekaitan dengan kewajiban pemerintah dalam merumuskan kebijakan lingkungan hidup yang dapat menopang pemenuhan hak atas pangan ini.(5) Buruknya kebersihan lingkungan langsung maupun tidak langsung dapat menjadi bahaya besar atas keamanan pangan (food safety).(6) <br />3. hak atas pendidikan. CESCR menyatakan “(e)ducation has a vital role in empowering women, safeguarding children from exploitative and hazardous labour and sexual exploitation, promoting human rights and democracy, protecting the environment, and controlling population growth”.(7) <br />4. hak atas lingkungan pekerjaan yang sehat.(8) <br />5. hak setiap manusia untuk mendapat jaminan pencegahan, perawatan dan pengawasan terhadap wabah penyakit;(9) <br />6. hak atas air. Pemenuhan hak ini bertujuan untuk merealisasikan sejumlah hak-hak lainnya, termasuk hak atas lingkungan.(10) <br /><br /><br />B. Parameter Pemenuhan<br /><br />Dengan mengadopsi parameter “the right to the highest attainable standard of health”, hak atas lingkungan yang sehat dapat di ukur dari parameter sebagai berikut:<br /><br />1. ketersediaan (availability). Memfungsikan fasilitas yang dimiliki pemerintah termasuk kebijakan untuk menciptakan situasi dan kondisi lingkungan yang sehat;<br />2. aksesibilitas (accessibility). Lingkungan hidup yang sehat dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa diskriminasi;<br />3. akseptibilitas (acceptability). Semua fasilitas dan pelayanan, program dan teknologi lingkungan harus dikembangkan dengan menghormati budaya komunitas, sensitif terhadap gender dan ditujukan bagi peningkatan pelayanan untuk semua orang; <br />4. kualitas (quality). Untuk mencapai kualitas lingkungan hidup yang sehat, dibutuhkan kebijakan dan pelaksanaan program yang ditopang oleh sumber daya manusia dan teknologi yang baik.. <br /><br /><br />C. Hak Atas Lingkungan yang Sehat dalam Peraturan Perundang-undangan<br /><br />Dalam UUD 1945, jaminan setiap orang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat secara eksplisit dimuat dalam pasal 28H ayat (1), sebagai berikut:<br />“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”<br /><br />Selanjutnya, secara spesifik, wewenang dan tanggungjawab Pemerintah dimuat dalam UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, antara lain:<br />1. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;(11)<br />2. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;(12) <br />3. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika;(13) <br />4. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;(14) <br />5. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;(15) <br />6. menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat;(16) <br />7. mengelola lingkungan hidup secara terpadu;(17) <br />8. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;(18) <br />9. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup;(20) <br />10. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;(21) <br />11. mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;(22) <br />12. mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;(22) <br />13. memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup;(23)<br />14. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup;(24) <br />15. menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;(25) <br />16. memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup;(26) <br />17. mengawasi penataan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dibidang lingkungan hidup;(27) <br />18. melakukan kegiatan pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan;(28) <br />19. melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan;(29) <br />20. mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup;(30) <br />21. membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak;(31) <br />22. bertindak untuk kepentingan masyarakat, jika diketahui masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;(32) <br />23. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang lingkungan hidup;(33) <br /><br /><br />D. Tantangan, peluang dan strategi<br /><br />Komunitas adat senantiasa memberikan contoh menjaga kelestarian lingkungan. Contoh-contoh kearifan masyarakat semacam ini semestinya menjadi inspirasi bagi kebijakan pemerintah dalam menjaga dan mengelola lingkungan hidup. Sebagai contoh, suburnya tanah ulayat masyarakat Badui disebabkan antara lain adanya ketentuan tata ruang yang mereka hormati dan laksanakan meliputi kawasan ladang, kawasan permukiman dan kawasan hutan lindung.(34) Dikawasan hutan lindung, komunitas ini secara konsisten tidak menggunakan area untuk tujuan lain. <br /><br />Diluar fakta bahwa hak atas lingkungan yang sehat, masih menjadi problem besar di negeri ini, tercatat sejumlah kebijakan dan upaya positif yang perlu dikembangkan, antara lain:<br />1. program pembekalan bagi calon anggota DPR yang membidangi persoalan lingkungan. Program ini melibatkan Kantor Kementrian Lingkungan Hidup (KLH). Ditahun 2004, pembekalan ini dilaksanakan selama 3 hari di Pusat Pendidikan dan Latihan (Diklat) sarana pengendalian dampak lingkungan (Sarpedal) Serpong Bogor, dengan memanfaatkan dana tidak kurang dari Rp 200 juta;(35) <br />2. program pendidikan pelestarian lingkungan bagi taruna kepolisian. Diharapkan lewat program ini, taruna Akpol yang kelak menjadi pejabat kepolisian akan lebih tegas menegakkan hukum terhadap perusak lingkungan serta bertujuan memberikan kesadaran pentingnya menjaga kelestarian lingkungan;(36) <br />3. (rencana) pendidikan pengelolaan lingkungan hidup kepada siswa/I sejak sekolah dasar;(37) <br />4. pemberian penghargaan lingkungan hidup Kalpataru. Sebagai catatan, sepanjang periode 1980 – 2004, Kalpataru telah diberikan kepada 207 orang/kelompok. Penghargaan ini diberikan untuk 4 klasifikasi: (1) perintis lingkungan; (2) pangabdi lingkungan; (3) penyelamat lingkungan, dan; (4) pembina lingkungan.<br />5. pemberian penghargaan Adipura untuk kota/kabupaten yang memenuhi komitmen mewujudkan kota atau wilayah yang bersih dan hijau.<br /><br />Selanjutnya, sejumlah upaya yang dapat dilakukan antara lain:<br />1. menggunakan momentum peringatan hari lingkungan yang jatuh pada 5 Juni setiap tahunnya untuk promosi hak atas lingkungan;<br />2. memastikan keterlibatan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dalam setiap pembahasan kebijakan pemerintah termasuk tata ruang dan konservasi sumber daya alam;<br />3. memastikan keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses, implementasi dan pengawasan kebijakan yang membawa dampak pada hak atas lingkungan yang sehat.<br /><br /><br />Catatan Belakang<br /><br /> (1) ICESCR, pasal 12 ayat (2) huruf b. Lihat juga ICESCR General Comment No. 14: The right to the highest attainable standard of health (art. 12)., para. 4.<br /> (2) Lihat juga ICESCR General Comment No. 14: The right to the highest attainable standard of health (art. 12)., para. 11.<br /> (3) CESCR. General Comment No. 4: The right to adequate housing (article 11 (1) of the Covenant), para. 8 (d).<br /> (4) CESCR. General Comment No. 4: The right to adequate housing (article 11 (1) of the Covenant), para. 12.<br /> (5) CESCR. General Comment No. 11: The right to adequate food (art. 11), para. 4.<br /> (6) CESCR. General Comment No. 11: The right to adequate food (art. 11), para. 10.<br /> (7) CESCR. General Comment No. 13: The right to education (art. 13), para. 1.<br /> (8) CESCR. General Comment No. 14: The right to highest attainable standard of health (art. 12), para. 15; lihat juga CEDAW. General Recommendation No. 19: Violence against Women, para. 18.<br /> (9) CESCR. General Comment No. 14: The right to highest attainable standard of health (art. 12), para. 16.<br /> (10) CESCR. General Comment No. 15: The right to water (arts. 11 and 12 of the Covenant), paras. 6. 8, 22, 48<br /> (11) UU No. 23/1997. pasal 8 ayat (2) huruf a. <br /> (12) UU No. 23/1997. pasal 8 ayat (2) huruf b.<br /> (13) UU No. 23/1997. pasal 8 ayat (2) huruf c.<br /> (14) UU No. 23/1997. pasal 8 ayat (2) huruf d.<br /> (15) UU No. 23/1997. pasal 8 ayat (2) huruf e.<br /> (16) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (1).<br /> (17) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (2).<br /> (18) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (1).<br /> (19) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (2).<br /> (20) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (3).<br /> (21) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (4).<br /> (22) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (5).<br /> (23) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (6).<br /> (24) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (7).<br /> (25) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (8).<br /> (26) UU No. 23/1997. pasal 9 ayat (9).<br /> (27) UU No. 23/1997. pasal 22.<br /> (28) UU No. 23/1997. pasal 23.<br /> (29) UU No. 23/1997. pasal 25 ayat (1).<br /> (30) UU No. 23/1997. pasal 28.<br /> (31) UU No. 23/1997. pasal 33 ayat (1).<br /> (32) UU No. 23/1997. pasal 37 ayat (2).<br /> (33) UU No. 23/1997. pasal 40.<br /> (34) Lihat Kompas. 28 Juli 2003. “Jangan Rebut Hutan Kami”<br /> (35) Lihat Kompas. 10 Juni 2004. “Materi Lingkungan untuk Anggota Legislatif”<br /> (36) Lihat Kompas. 7 April 2003. “Taruna Akedemi Kepolisian Dididik soal Pelestarian Lingkungan”.<br /> (37) Lihat Kompas. 19 April 2003. “Pendidikan Lingkungan Perlu sejak Usia Dini”.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-1465114353092844682008-11-04T12:41:00.005+07:002008-11-04T12:56:29.878+07:00Dasar-dasar Peran Mulia AdvokatPhilip Pettit, menyampaikan analisa baru atas model republikanisme, dimana ia memandang tujuan dari negara pada dasarnya untuk mempromosikan kebebasan sebagai non-dominasi (freedom as non-domination).(1) Pettit memandang, gagasan kebebasan sebagai non-dominasi memberikan fundamental yang kaya bagi sebuah kebijakan politik yang radikal sekalipun, memberikan dukungan bagi sebuah konsepsi demokrasi dimana kontestabilitas mendapatkan tempat untuk memberi pesetujuan. Dalam kebebasan sebagai non-dominasi, rakyat dapat selalu menggugat dan mempertanyakan apa pun yang dilakukan negara.(2) <br /><br />Pandangan freedom as non-domination, dalam praktik, pada dasarnya telah dijalankan oleh para advokat yang mengembangkan sebuah konsepsi bantuan hukum, yang bukan saja mewakili kliennya dimuka peradilan, namun juga turut menggugat kebijakan dan peraturan yang ditetapkan negara. Para advokat ini telah turut mempromosikan paham konstitusionalisme di Indonesia, sebagai salah satu fokus perhatian Daniel S. Lev. Didalam ruang-ruang pengadilan maupun diluar ruang persidangan para advokat, menggugat dan mempertanyakan kebijakan dan aturan represif negara.<br /><br />Konstitusionalisme menurut Lev, memiliki makna, ”political process, with or without a written constitution, is more or less oriented to public rules and institutions intended to define and contain the exercise of political authority”.(3) Menurut Lev, inti dari konstitusionalisme adalah proses hukum, yang dipengaruhi kepentingan ekonomi, elite leverage dan nilai-nilai (values) yang ada dimasyarakat. Dalam konteks ini, gugatan dan aktivitas advokasi merupakan media kontestasi gagasan yang dilakukan para advokat versus penguasa dan otoritas politik yang berkuasa.<br /><br /><span class="fullpost">Lev telah turut memotret perjalanan sejarah advokasi di Indonesia. Beliau juga telah meletakkan dasar-dasar akademik bagi para advokat yang bekerja di lembaga bantuan hukum (LBH) melahirkan konsep bantuan hukum struktural (BHS) yang turut mendorong rezim konstitusional di Indonesia.<br /><br />Warisan Lev lainnya, pandangannya telah memberikan satu fundamen utuh bagi profesi advokat untuk mewujudkan apa yang diistilahkan dengan “officium nobile”. Artikel singkat ini, bertujuan untuk memaknai profesi advokat sebagai profesi mulia, dari kacamata Lev. <br /><br /><br />A. Advokat dalam Pembentukan Negara Hukum<br /><br />Lev dalam sebuah essaynya dengan jelas mendeskripsikan dan menganalisis proses mengonstruksi (pencarian) bentuk negara hukum di Indonesia sejak 1945.(4) Menurut Lev, advokat LBH berperan penting dalam proses pencarian jati diri negara hukum di Indonesia, terutama sejak 1970-an yang disponsori Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Lev menyatakan:<br /><br />”Private lawyers are a particularly important group in the history of constitutionalism, not because they are responsible for it or even all that essential to its evolution, but because they become the most articulate rationalizes of constitutionalist idea, in which they have a direct interest.”(5) <br /><br />Analisis yang diajukan Lev tersebut sangat relevan hingga sekarang. Saat demokrasi terpimpin, advokat profesional terkena dampaknya baik secara ekonomis maupun ideologis. Diera itu, para advokat profesional tidak dapat menjalankan praktik advokasi dimuka peradilan untuk membela kepentingan kliennya yang bersebrangan dengan Soekarno. Namun, kontribusi para advokat profesional terhadap kepentingan pembaharuan hukum menurun, seiring pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatannya.(6) <br /><br />Menurut penulis, menurunnya kontribusi advokat profesional dalam gerakan pembaruan hukum juga disebabkan ”lepasnya” LBH dari Peradin diawal 1980-an, dengan terbentuknya Yayasan LBH Indonesia, serta adanya perpecahan organisasi advokat di Indonesia.(7) <br /><br />Karenanya, gerakan pembaruan hukum di Indonesia, sejak 1980-an lebih dominan dilakukan oleh para advokat yang bergabung di Yayasan LBH Indonesia, termasuk kantor-kantor LBH di Indonesia, walaupun tetap didukung utamanya oleh advokat-advokat senior Peradin. Gerakan advokasi LBH, kemudian mengkristal menjadi konsep bantuan hukum struktural (BHS), dimana, meminjam istilah Lev, bantuan hukum yang dianut LBH, mewakili ”a highly sophisticated constitutionalist movement”.(8) <br /><br />BHS, menurut Lev pada dasarnya, penolakan para advokat dan pengabdi bantuan hukum di LBH atas pembatasan jasa hukum formal semata, ”...it has conceived its work more broadly as the cutting edge of political, social and even cultural reform”. Karenanya, lanjut Lev, ”(l)aw to the LBH is both means and end ideologically, but part of the end has to be understood as a state surrounded by political and institutional controls”.(9) <br /><br />Dengan konsep diatas, meminjam pendapat Lev, penanganan kasus atau perkara yang menjadi aktivitas sehari-hari para advokat dan PBH, merupakan dasar perluasan kerja, “to the representation of peasant and labor interests, social-legal and political criticsm, lobbying pressure for legal reform, defense in political trials that also provide a forum for political and legal commentary, and promotion human rights”.(10) <br /><br />Melihat peran advokat LBH tersebut, bahkan Lev pun, sempat memberikan apresiasinya kepada LBH, “(y)et the LBH has contributed substantially to the development of an ideology of political, constitutional, and legal reform, built around human rights emphasies, that drawn considerable support and is likely to endure.”(11) <br /><br /><br />B. Peran Advokat Hingga Detik-detik Krisis Organik Negara Orde Baru <br /><br />Dalam sebuah penelitian penulis dan Daniel Hutagalung, untuk Kelompok Kerja Pembaruan Hukum tentang paradigma pembaruan hukum di Indonesia, pernah disampaikan bahwa pada era Orde Baru, proses pencarian wujud negara hukum sempat terhenti karena kepemimpinan Presiden Suharto. Suharto telah mereduksi ketetapan normatif dalam praktik politik, yang selanjutnya menyebabkan krisis organik negara Orde Baru.(12) <br /><br />Orde Baru menerapkan kebijakan dan praktik authoritarian statism, dimana produk hukum dan ketentuan normative bukanlan didasarkan pada ide negara hukum, melainkan sebagai menjadikan seluruh ketetapan normatif dibawah praktik politik, sebagai proses konstruksi discourse politik Orde Baru, yang berujung pada perlindungan kepentingan Suharto dan kroninya. Apa dampaknya terhadap masyarakat? Diluar kroni Suharto, semua rentan menjadi politik kekerasan untuk menjaga hegemoni negara, termasuk para advokat yang dianggap punya potensi melakukan counter-hegemoni terhadap rezim Orde Baru. <br /><br />Sejak wafatnya tokoh-tokoh Peradin, peran advokat profit sangat berkurang untuk memberikan kritik terhadap kebijakan Suharto. Di era Suharto, peran penting mulai diemban para advokat LBH, utamanya dimotori Adnan Buyung Nasution. Bertahannya LBH dimasa Orde Baru, tidak lepas dari figur tiga serangkai: Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin(13) dan almarhum Adam Malik.(14) <br /><br />Beruntung Buyung, ia ditempa dan banyak dibantu tokoh-tokoh advokat yang memiliki karakter dan integritas, seperti Lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Hasyim Mahdan, Nani Razak dan Yap Thiam Hien.(15) <br /><br />Saat Buyung ditahan dan selepasnya ia dari penjara, para supporter dan advokat LBH terus melakukan advokasi hukum terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membangkang Soeharto. LBH juga terus melakukan advokasi membantu masyarakat yang menjadi korban politik, kebijakan dan terapan normatif rezim Orde Baru yang terus menjaga proses investasi dan akumulasi modal internasional melalui cara-cara kekerasan dan teror.<br /><br />Peran paling signifikan yang dimainkan advokat dan PBH LBH diera Orde Baru, tidak lain, sebagai kelompok yang secara rutin dan berani melakukan counter-hegemoni.(16) Ambil satu contoh saja: penanganan kasus subversi. Boleh jadi advokat LBH masuk dalam Muri (Museum rekor indonesia) sebagai advokat yang paling banyak menangani perkara-perkara subversi ketika Soeharto berkuasa. Counter hegemoni pertama yang dilakukan profesi advokat yakni kasus dakwaan subversi terhadap harian Nusantara pada 1969. Ketika itu Lukman Wiridinata, Hasyim Mahdan dan Adnan Buyung tampil sebagai pembela dakwaan subversi karena harian ini seringkali memuat karikatur, tajuk dan opini yang mengkritik Suharto, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, dan kroni Suharto lainnya. <br /><br />Counter-hegemony terus berlanjut, kasus hingga Suharto mengundurkan diri pada 1998. Sejarah selanjutnya mencatat, praktik politik a la Orde Baru akhirnya terhenti. Orde Baru mengalami apa yang diistilahkan Anthonio Gramsci sebagai krisis organik (organic crisis of the state)(17) akibat praktik politiknya sendiri. Pemicunya, tidak lain krisis ekonomi yang memaksa terjadinya perubahan politik. Rezim investasi internasional menilai kepemimpinan Suharto tidak lagi menyediakan iklim yang mampu melipatgandakan keuntungan lembaga-lembaga keuangan negara. Dengan kata lain, Suharto terpaksa mundur karena terjadi krisis hegemoni. <br /><br /><br />C. Peran Advokat dan Juridico Political Ideology Di Era Reformasi<br /><br />Pasca era reformasi 1998, merupakan titik penting dalam proses pembentukan “negara hukum”. Satu hal yang kadang dilupakan orang, dibalik semua kebaikan yang dapat dinikmati dari era reformasi, terdapat sebuah fakta: reformasi merupakan pintu pembuka masuknya rezim hukum neoliberalisme.(18) <br /><br />Sejak Suharto menandatangi letter of Intent IMF (International Monetary Fund) yang dipercaya oleh para penasihat ekonominya sebagai “cara terbaik” untuk keluar dari krisis ekonomi, tak pelak lagi peraturan perundang-undangan di Indonesia mesti disesuaikan dengan skema international finance institutions. Tidak kurang 43 Undang-Undang selama periode 1999 hingga 2003, tidak lain mengikuti logika dan hukum IMF.(19) Fakta termuktahir, yakni penetapan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, yang saat ini telah diajukan pengujian di Mahkamah Konstitusi, karena bertentangan dengan UUD 1945.(20) UU ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pada saat kampanye pemilihan presiden gemar bicara dan berjanji menerapkan ekonomi kerakyatan!(21) <br /><br />Produk perundang-undangan yang memberi landasan praktik neo-liberalisme(22) di Indonesia jelas bertentangan dengan juridico political ideology yang mesti diperjuangkan dalam kerangka Negara Hukum: keadilan sosial dan kebebasan mayarakat. Peraturan perundang-undangan yang mengikuti logika neo-liberalisme, jelas mengadopsi kepentingan ekonomi pihak pemilik modal yang kuat, dan meninggalkan gagasan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Gagasan ”pure market” secara otomatis akan merusak tatatan dan modal sosial masyarakat. <br /><br />Karenanya, sangat relevan bagi para advokat saat ini melakukan counter hegemony terhadap semua peraturan perundang-undangan yang menjamin modal ekonomi sebagai panglima, dan sebaliknya modal sosial ditinggalkan karena dianggap sebagai penyebab perekonomian menjadi kurang efisien. Karena, menjadi ”kewajiban” bagi para advokat LBH untuk menerapkan BHS, termasuk melakukan aksi hukum untuk memajukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) sebagai proyek dan gerakan mempromosikan modal sosial masyarakat sebagai salah satu benteng penahan belitan gurita globalisasi neo-liberalisme.<br /><br /><br />D. Penutup: Esai Lev Sumber Inspirasi yang Kaya bagi Profesi Advokat<br /><br />“But reformers among them provide the ideological rationalizations for political change, as indeed lawyers have done elsewhere through much of modern history. Legal systems, as they actually work, record essential codes of political relationship and authority…A small pride of professional advocates has had remarkable influence in framing the debate over legal and political change, and is likely to pursue them long into the future”.(23) <br /><br />Sebagai mana pendapat Lev, eksistensi advokat, baik advokat pro-bono yang bekerja untuk LBH atau advokat profit, akan terus hidup jika terus berkontribusi terhadap perwujudan ideal negara hukum. Diluar itu, profesi advokat tereduksi sebagai sebatas pembaca undang-undang dimuka pengadilan.<br /><br />Dari analisis Lev, maka jelas peran advokat sangat penting dalam pembaruan hukum dan pembentukan ideal Negara Hukum di Indonesia. Karenanya, peran LBH dan Peradi, sebagai satu-satunya organisasi advokat di Indonesia signifikan untuk gerakan pembaruan hukum di Indonesia.<br /><br />Salah satu kendala yang dihadapi, tentu lemahnya ”interest” para advokat saat ini untuk memperbaiki sistem hukum. Karena, problem ”mafia peradilan” atau problem ”bobroknya sistem peradilan”, atau ”problem korupsi di Indonesia, tidak membuat pendapatan para advokat profit menurun. Bahkan signifikan menjadi lebih tinggi. Karenanya optimisme yang bisa dipupuk yakni dari para advokat muda, yang terbatas sumber dayanya untuk ”memenangkan” perkara tanpa melakukan suap atau sogok, tetapi mengandalkan pengetahuan dan keterampilannya beracara dimuka badan-badan peradilan.<br /><br />Advokat profesional – profit dan pro-bono – tidak semata diukur dari kasus-kasus yang ditanganinya, melainkan juga diukur dari kontribusinya terhadap: (1) pembentukan negara hukum - konstitusionalisme, dan (2) perlindungan modal sosial masyarakat. <br /><br />Advokat profit, dengan mudah menjelaskan bahwa ia membela hak hukum kliennya, tidak peduli seorang Suharto, Wiranto, Polycarpus, Anthony Salim, badan hukum dan korporasi Freeport atau Newmont. Hal ini berlaku dibelahan dunia apapun. Sama seperti profesi dokter yang menerima uang jasa dari pasiennya, dari seorang koruptor atau penjahat hak asasi manusia, juga dari masyarakat biasa yang datang berobat kepadanya. Karenanya kurang relevan mempertanyakan dan memperdebatkan perkara apa yang dibela atau siapa yang dibela oleh seorang advokat, melainkan apa sumbangannya terhadap kedua hal tersebut.<br /><br />Esai-esai Lev, merupakan sumber yang kaya bagi inisiatif memuliakan peran advokat. Dari kaca mata Lev, dapat dilihat betapa advokat berperan dalam perjuangan kemerdekaan RI. Lev menyatakan, ”(i)t is possible, though a guess, that 75 percent of all ethnic Indonesian advocates were in some way organizationally involved in the pre-war nationalist movement”.(24) Selanjutnya peran advokat baik advokat Peradin maupun LBH memberikan kontribusi dalam mengkritik kebijakan demokrasi terpimpin Sukarno dan rezim Suharto. <br /><br />Peran advokat mesti terus belanjut. Sebuah peran mempromosikan dan mewujudkan mempromosikan sebuah juridico political ideology: keadilan sosial dan kebebasan masyarakat. Kepergian Professor Lev merupakan kehilangan besar, guru dimana para advokat dapat menajamkan pandangan tentang peran mulia sebuah profesi.<br /><br /><br />Catatan Belakang<br /><br /> (1) Lihat Philip Pettit. 1999. Republicanism: A Theory of Freedom and Government. Oxford: Oxford University Press.<br /> (2) Ibid., p. 66 – 69, 97 – 109.<br /> (3) Daniel S. Lev. “Social Movement, Contitusionalism and Human Rights” in Daniel S. Lev. 2000. Legal Evolution and Political Authority in Indonesia. Selected Essays. Hague, London, Boston: Kluwer Law International, p. 321.<br /> (4) Lihat Ibid., pp. 325 – 330.<br /> (5) Lihat Ibid., p. 328.<br /> (6) Lihat Ibid.<br /> (7) Pertemuan nasional organisasis advokat pada 1985 berujung ricuh, sejak saat itu organisasi advokat beranak pinak hingga ditetapkannya UU No. 18/2003 tentang Advokat. Pembentukkan Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) pasca UU Advokat juga masih menyisakan residu konflik, karena dianggap bukan terbentuk dari sebuah kongres advokat seluruh Indonesia. Perkembangan paling akhir, Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) juga mengalami perpecahan pada Musyawarah Nasional di Balik Papan.<br /> (8) Dikutip dari Daniel S. Lev. Op.cit, pp. 328 – 329. <br /> (9) Dikutip dari Ibid., p. 329.<br /> (10) Dikutip dari Ibid.<br /> (11) Dikutip dari Ibid.<br /> (12) Tentang hal ini, lihat lebih lanjut “Paradima Pembaruan Hukum di Indonesia: Agenda Lembaga-lembaga Negara”. 19 Desember 2003. Naskah penelitian Kelompok Kerja Pembaruan Hukum Alternatif.<br /> (13) Adnan Buyung dalam otobiografinya, menyebut Bang Ali sebagai benteng pelindungnya. Lihat Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Pahit Getir Merintis Demokrasi. Jakarta: Aksara Karunia, h. 129. Peran Bang Ali terhadap LBH sangatlah besar. Ia tidak saja memberikan bantuan dana, tetapi juga spirit dan moril keberanian dan kepemimpinan. <br /> (14) Selain Bang Ali, peran Adam Malik, boleh jadi, sangat signifikan mempengaruhi Suharto untuk tidak “me-Munir-kan” Adnan Buyung Nasution, utamanya pasca peristiwa Malari. Ketika Adnan Buyung Nasution dipenjara tanpa proses peradilan, Adam Malik saat itu menjabat Menteri Luar Negeri. Ia terus menerus melaporkan surat protes baik lisan maupun tulisan ke Suharto dari komunitas internasional, seperti International Commission of Jurist, perhimpunan ahli hukum Belanda, Amerika Serikat, Inggris atau surat protes dari Amnesty International. Kepedulian Adam Malik terhadap aktivitas LBH terus berlanjut sampai ia menjadi Wakil Presiden.<br /> (15) Lihat Ibid., h. 217.<br /> (16) Kiprah LBH tentu tidak akan diketahui secara luas tanpa tokoh-tokoh pers: diawal pendiriannya, LBH banyak didukung oleh, antara lain Moctar Lubis dengan Indonesia Raya. Tokoh lainnya, P.K Ojong dengan Kompas-nya.<br /> (17) Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung. Op.Cit., h. 24. Selanjutnya tentang krisis organik, lihat Antonio Gramsci. 1986. Selections from Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart, p. 210.<br /> (18) Lihat Patra M Zen dan Daniel Hutagalung. Ibid.., h. 24 – 33.<br /> (19) Lihat tabel inkorporasi agenda IFIs kedalam pembaharuan hukum di Indonesia. Ibid., h. 32.<br /> (20) Lihat antara lain Kompas. 6 September 2007. “MK Diminta Batalkan UU Penanaman Modal”. Lihat juga Detikcom. 27 Maret 2007. “YLBHI: RUU Penanaman Modal Rugikan Rakyat Kecil”; Antara News. 18 Mei 2007. “YLBHI Nilai 23 Pasal UU Penanaman Modal Langgar UUD 1945”. Teks di http://www.antara.co.id/arc/2007/4/18/ylbhi-nilai-23-pasal-uu-penanaman-modal-langgar-uud-1945/ <br /> (21) Lihat antara lain. Tempointeraktif. 11 Mei 2004. “SBY Lakukan Lawatan Ke Daerah”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/05/11/brk,20040511-05,id.html <br /> (22) “What is neoliberalism? A programme for destroying collective structures which may impede the pure market logic”. Pengertian neo-liberalisme ini dikemukakan Pierre Boirdieu untuk menjelaskan bahwa program neo-liberalisme tidak lain dari upaya untuk mewujudkan logika pasar secara murni. Dikutip dari Pierre Bourdieu, “The Essence of Neoliberalism” in Le Monde Diplomatique, December 1998.<br /> (23) Dikutip dari Lev. “Between State and Society: Professional Lawyers and Reform in Indonesia”. Op.cit., p. 305 <br /> (24) Dikutip dari Lev. “The Origins of the Indonesian Advocacy” in Daniel S. Lev. Op.cit., p. 275.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-2591911260875766392008-11-04T11:44:00.004+07:002008-11-04T12:30:09.643+07:00Bantuan Hukum Indonesia: Mengurai Gagasan dan Praktiknya lewat Perjalanan LBHAdnan Buyung Nasution benar; bantuan hukum yang mulai dicanangkannya pada tahun 1969 kongres III PERADIN di Jakarta, yang kemudian diwujudkan dengan membentuk LBH di tahun 1971, bukanlah sekedar pelembagaan pelayanan hukum buat golongan miskin, tetapi merupakan sebuah gerakan.<br />(Aswab Mahasin, 20 Mei 1981)<br /><br />Secuplik kalimat yang ditulis Aswab Mahasin, 25 tahun lalu, masih dapat dilihat kebenarannya. Memasuki angka 36 tahun, YLBHI dan kantor-kantor LBH tetap berkiprah menyediakan bantuan hukum kepada masyarakat miskin, buta hukum dan kelompok-kelompok masyarakat yang ter/dimarjinalkan.<br /><br />Artikel singkat ini akan mencoba mengurai dan memaparkan perkembangan bantuan hukum, dari perjalanan 36 tahun LBH.<br /><br /><br /><span class="fullpost">A. Menembus Batas: 36 tahun Lembaga Bantuan Hukum<br /><br />A.1. Bantuan Hukum: Isu dan Perkembangan Terkini<br /><br />Hak atas Bantuan Hukum adalah Hak Asasi Manusia: sebuah katalog hak dasar yang saat ini tengah menguat promosinya. Bantuan hukum, berkembang tidak saja dalam konteks pembelaan korban pelanggaran hak sipil dan politik, melainkan menjadi salah satu metode dalam promosi dan pembelaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob).<br /><br />Dengan melaksanakan aktivitas bantuan hukum, para advokat dan aktivis dapat mendorong perwujudan dan pemenuhan hak ekosob, dengan melakukan klaim didepan pengadilan. Gagasan inilah yang disebut justisiabilitas hak ekosob. Dimana para korban pelanggaran hak ekosob mempunyai hak hukum untuk mengklaim reparasi dan pemenuhan hak ekosob lewat mekanisme hukum, utamanya di pengadilan.<br /><br />Bantuan hukum juga mejadi salah satu metode dalam agenda global saat ini: memperluas akses keadilan (access to justice) dan pemberdayaan hukum bagi masyarakat miskin (legal empowerment of the poor).<br /><br />Di Indonesia, saat ini tengah dipromosikan dan diperjuangkan penyusunan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Dengan adanya sebuah Undang-undang, maka hak konstitusional semua orang untuk mendapat bantuan hukum mendapat sandaran hukum yang tegas: sekaligus membawa konsekwensi kewajiban (obligasi) Negara untuk mewujudkannya bagi semua orang.<br /><br />Di Indonesia, gerakan bantuan hukum, tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bedirinya sebuah lembaga bantuan hukum yang kemudian lebih dikenal dengan LBH. Berawal dari sebuah paper yang dipresentasikan Adnan Buyung Nasution pada Kongres Peradin, dalam perkembangannya, menjadi sebuah gerakan yang menginspirasi gerakan advokasi di Indonesia dan juga dinegara-negara lainnya. LBH dengan logo, seorang kurus, dengan kepala menengadah keatas, serta memegang timbangan – telah menjadi sebuah ikon – perjuangan melawan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.<br /><br />A.2. Lembaga Bantuan Hukum<br /><br />Menginjak usia ke-25, Daniel S Lev, sempat menyatakan, pada saat berdidi tahun 1970, banyak orang menduga bahwa LBH hanya akan bertahan paling lama lima tahun. Menurut Lev, kemampuan LBH tetap tegar berdiri selama 25 tahun sungguh diluar dugaan.(1)<br /><br />Kini LBH sudah memasuki 36 tahun, per 28 Oktober 2006. Akronim atau singkatan LBH, dapat dikatakan sudah menjadi singkatan yang diketahui masyarakat luas. Nomor telpon LBH diberbagai provinsi, menjadi salah satu nomor telepon penting dalam Yellow Pages, buku petunjuk penggunaan telepon terbitan Telkom. Kantor LBH, dipersamakan dengan kantor polisi atau kantor pemadam kebakaran: penting bagi masyarakat untuk menyimpan atau mengetahui nomor telponnya, untuk sewaktu-waktu bisa menghubungi.<br /><br />Demikian juga, akronim LBH telah dimuat dalam Kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Inggris. Menunjukkan singkatan LBH telah menjadi akronim sehari-hari.(2) Bahkan dalam fora regional dan internasional, pelafalan el-be-ha (LBH) telah dikenal luas, selain pelafalan el-bie-eic (LBH), dalam abjad bahasa Inggris.<br /><br />Tidak hanya ditingkat domestik, LBH juga dirujuk oleh publikasi regional dan internasional, sebagai salah satu lembaga penting yang memberikan pelayanan bantuan hukum, dan kerja hak asasi manusia.(3)<br /><br />Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan YLBHI hingga hari ini terus kokoh berdiri, setidaknya: LBH dengan para advokat dan aktivisnya memiliki karakter dan ciri khas; adanya dukungan para pemikir, intelektual, tokoh masyarakat; mendapat kepercayaan dan legitimasi dari masyarakat; tradisi transparansi dan akuntabilitas, serta; adanya dukungan pendanaan bagi aktivitas dan operasional bantuan hukum. LBH yang awal berdirinya, walaupun banyak dibantu pejabat Negara – berhasil meneguhkan independensi dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat kecil dan kelompok masyarakat marjinal dan dimarjinalkan.(4)<br /><br />A.2.1. Karakter dan Ciri Khas<br /><br />Ketika konsep pendirian LBH dipresentasikan pada 1970, Adnan Buyung Nasution baru berusia 30-an. Adnan Buyung Nasution, menyatakan, “…tokoh-tokoh advokat yang saya kagumi, seperti Lukman Wiriadinata, Suardi Tasrif, Hasyim Mahdan, Nani Razak, Yap Thiam Hien, dll…”(5) Adnan Buyung juga banyak belajar dari para tokoh Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) yang lain, seperti: Mohammad Room, Abidin, Djamaluddin Datuk Singomangkuto, Sukardjo, dan Haryono Tjitrosoebeno.(6) <br /><br />Adnan Buyung Nasution, berulangkali menyatakan bahwa advokat adalah profesi yang sangat tua, seperti profesi dokter, sudah ada sejak zaman romawi. Adnan Buyung menyatakan bahwa dirinya sangat terpengaruh pada figur-figur advokat yang menurutnya sebagai pendekar-pendekar hukum yang tangguh dalam upaya menegakkan keadilan.<br /><br />Bagi Buyung, model advokat ideal itu seperti Iskak, Suyudi dan Sastro Muljono – yang membela kasus Bung Karno di Pengadilan Landraad, Bandung. Menurutnya, advokat di Indonesia:<br /><br />“sejak pertama kehadirannya tidak semata-mata menjalankan profesinya sebagai mata pencaharian belaka, atau kemulian semata-mata, melainkan berbarengan dengan itu sadar dan berperan dalam perjuangan memerdekakan bangsanya dari penjajahan dan penindasan kekuasaan kolonial”.(7)<br /><br />Karakter LBH, selain dibentuk oleh Adnan Buyung Nasution, sangat banyak dipengaruhi para pendiri dan tokoh masyarakat yang terpandang pada awal-awal pendiriannya. Diawal-awal berdirinya LBH, para advokat senior dan tokoh masyarakat, seperti: Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hiem, Suardi Tasrif – memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi perkembangan YLBHI. Pembentukan karakter juga berasal dari tauladan para tokoh seperti Gubernur DKI Jakarta ketika itu Letnan Jenderal Marinir Ali Sadikin, Jenderal (Pol) Hoegeng Iman Santoso, Jenderal (Pol) Djayusman; Mochtar Lubis, dan tidak juga: Adam Malik Wakil Presiden RI ketika itu.<br /><br />Dalam pendapat Yap Thiam Hien, Lukman Wiriadinata – yang menjadi pelopor kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia – melebihi tokoh Cicero. Yap menyatakan:<br /><br />“Loekman melebihi negarawan Latin yang tersohor itu. Cicero meninggalkan kata-kata mutiara yang patut dipraketkkan oleh semua orang dibawah langit yang mencintai sesamanya dan bangsa lain. Tetapi Cicero sendiri tidak melaksanakan wasiat yang di tinggalkannya kepada umat manusia. Lain dengan almarhum Loekman. Dia lebih konsisten. Segenap praktek hidupnya adalah sesuai dan konsisten dengan imannya, prinsipnya dan ucapannya kepada kawan dan lawannya, dia berlaku adil seadil-adilnya. Hidupnya, sepak terjangnya, mencerminkan kejujuran, kesetiaan pada kata dan janji. Secara sengaja dan sadar, tidak pernah dia melukai perasaan orang lain, apalagi merugikan kepentingan orang lain”.(8)<br /><br />Yap Thiam Hien sendiri, sosok tauladan bagi semua advokat dan aktivis LBH. Yap, pernah dijebloskan ke penjara selama beberapa minggu karena mengungkap kasus pemerasan yang diduga dilakukan oleh pejabat kepolisian dan kejaksaan. Ia dituduh memfitnah Jaksa Tinggi Jakarta B.R.M. Simanjuntak dan Inspektur Jenderal Polisi Mardjaman, saat melakukan pembelaan di Sidang Pengadilan Istimewa Jakarta, 1967. Ia juga sempat mendekam di penjara karena dituduh telibat dalam kerusuhan Malari, 1974. Yap menolak dibebaskan dengan konsensi apapun, selain meminta agar penguasa segara membuktikan segala kesalahannya.(9)<br /><br />Adnan Buyung menyatakan pernah menggambarkan karakter Yap dalam buku otobiografinya, sebagai berikut:<br /><br />“…Yap Thiam Hien, bintangnya advokat waktu itu, berani membela Subandrio. Kalau tidak ada dia, tidak ada yang berani bela Subandrio yang ketika itu tersiksa, teraniaya, di condemn oleh masyarakat, dimusuhi semua orang.”(10)<br /><br />Adapun Suardi Tasrif, sebagaimana Abdul Hakim Garuda Nusantara menulis:<br />“Beliau adalah senior, guru, pembimbing, pengarah kami tidak saja dalam kedudukannya sebagai anggota Dewan Penyantun Yayasan LBH Indonesia, akan tetapi lebih dari itu sebagai seorang pengabdi hokum yang menghendaki Lembaga Bantuan Hukum terus bergerak di jalan lurus, teguh dalam pendirian, dan tidak keluar dari garis perjuangan awal yang juga dipahatkannya ketika lembaga ini berdiri: nilai-nilai dasriah Negara Hukum dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.”(11)<br /><br />Jika diselami, salah satu ciri khas advokat dan aktivis yang masih menular hingga sekarang yakni semangat kepeloporan dan kerja keras tanpa memikirkan upah – LBH seringkali menjadi tempat untuk mencari kepuasan bathin bagi para advokat dan aktivisnya. <br /><br />A.2.2. Dukungan intelektual organik dimasanya<br /><br />Banyak sekali akademisi yang berpengaruh dalam membentuk aktivis LBH dalam mengembangkan sekaligus menafsirkan “bantuan hukum struktural”. Diantara akademisi dan pemikir yang paling berpengaruh, seperti Paul Moedigdo, Soetandyo Wignjosoebroto, Satjipto Rahardjo. Para indonesianist, juga memberi pengaruh penting pada para aktivis LBH, seperti Daniel S. Lev.<br /><br />Para pemikir, tokoh, aktivis kala itu, seperti Abdurrahman Wahid – yang kemudian menjadi Presiden RI setelah B.J. Habibie, Sijono Dirjosiswoyo, Arbi Sanit, Aswab Mahasin, Adi Sasono, Frans Magnis Suseno, juga seringkali diundang menjadi pembicara dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan YLBHI sejak era 1980-an. Selanjutnya diera 1990-an, YLBHI kerap mengundang Goenawan Wiradi, Thamrin Amal Tomagola – kemudian sempat menjadi pengurus Dewan Pembina. <br /><br />Para aktivis dan akademisi itulah yang banyak menopang secara teoritik dan memberikan landasan pengetahuan bagi aktivis LBH.<br /><br />Jika diamati, masing-masing LBH mempunyai “akademisi” penopang “intelektual” dan “pengetahuan” para advokat dan aktivisnya. LBH Surabaya dengan Soetando Wigjosobroto dan Suwoto Mulyosudarmo. LBH Semarang dengan Satjipto Rahardjo. LBH Bandung, dengan Goenawan Wiradi. LBH Yogyakarta, dengan Ichlasul Amal.<br /><br />Sementara untuk aktivitas LBH Medan, tercatat akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang banyak mendukung kegiatan LBH di era 1980-an dan awal 1990-an antara lain Mariam Darus dan M. Solly Lubis.<br /><br />Para akademisi itu, menjadi narasumber langganan dalam acara-acara diskusi yang diselenggarakan kantor-kantor LBH, termasuk dalam forum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang dihadiri para pimpinan Dewan Penyantun – sekarang Dewan Pembina, pimpinan Badan Pengurus dan pimpinan kantor-kantor LBH. Para akademisi itu juga diminta untuk menulis disejumlah publikasi YLBHI, termasuk dalam jurnal-jurnal yang diterbitkan.(12)<br /><br />A.2.3. Kepercayaan dan Legitimasi dari Masyarakat<br /><br />Landasan kokoh berdirinya dan kesinambungan kerja YLBHI, tidak saja datang dari para pimpinan pengurus Yayasan dan kantor LBH, namun kekokohan itu, dapat dikatakan, didapat dari berbagai pihak yang percaya bahwa bantuan hukum yang menjadi ciri khas dan kompetensi utama YLBHI, memang sangat penting untuk dilakukan – dan mesti terus dilanjutkan.<br /><br />Legitimasi yang datang dari masyarakat semacam itu, memperkokoh keberadaan dan kelembagaan YLBHI sebagai sebuah lembaga. Perhatian dari semua pihak, serta dukungannya, membuat YLBHI mampu bertahan, dan diharapkan terus berkiprah memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin, kelompok masyarakat marjinal dan dimarjinalkan.<br /><br />Prinsip membela tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku, etnis, asal usul, agama, keyakinan politik, adalah prinsip yang mesti dipertahankan agar kepercayaan dan legitimasi dari masyarakat terus diperoleh. Lebih dari itu, posisi dan sikap keberpihakan kepada yang lemah, marjinal dan dimarjinalkan, mesti terus dipegang teguh para advokat dan aktivis LBH.<br /><br />Diawal berdirinya LBH, sejumlah kasus yang dapat mewakili keyakinan pembelaan semacam itu antara lain ditunjukkan oleh para advokat publik LBH: pembelaan para terdakwa yang dituduh terlibat G-30-S/PKI. Yap ThiamHien, Abdul Rahman Saleh dan Achmad Tamrella, diantara para advokat LBH Jakarta yang menjadi penasehat hukum Asep Suryaman, salah seorang pimpinan Partai Komunis Indonesia.(13) Kasus lainnya: tidak lain sengketa tanah Halim Perdana Kusumah, antara sekitar 500 KK versus Angkatan Udara (AURI) – sengketa pengadaan lahan seluas 1000 ha. Untuk lapangan udara Halim Perdana Kusumah di Kemayoran; kasus tanah kamping Simpruk – sekitar 700 jiwa dikampung itu digusur paksa karena lahannya hendak dibangun komplek perumahan modern; juga kasus tanah Sunter Timur, konflik lahan kepunyaan warga yan ghendak dijadikan komplek gudang entreport.<br /><br />Para advokat publik LBH juga melakukan pembelaan terhadap Jenderal H.R. Dharsono dan Hariman Siregar dalam kasus Malari, 1974. Ketika itu tim pembelanya, antara lain Suardi Tasrif, Adnan Buyung Nasution, Haryono Tjitrosubono, Amartiwi Saleh, Todung Mulya Lubis dan Luhut M.P. Pangaribuan.(14)<br /><br />Diera Orde Baru, sejumlah kasus besar yang sempat ditangani advokat publik LBH antara lain: pembelaan sejumlah aktivis pro-demokrasi, termasuk wartawan/jurnalis yang dituduh subversif di berbagai kota besar di Indonesia.<br /><br />Para advokat LBH mengambil peran penting dalam pembelaan para mahasiswa yang memprotes kebijakan Soeharto pada 1978, atau lebih dikenal dengan peristiwa “Dewan Mahasiswa Indonesia” atau “Buku Putih Mahasiswa Indonesia. Ketika itu 8 Dewan Mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan Universitas Sriwijaya (Unsri) berkumpul dikampus ITB menerbitkan kertas kerja yang menganalisis dan menelanjangi kebijakan pemerintahan Soeharto dibidang politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya, termasuk kebijakan militer. Akibatnya, kampus ITB diserbu tentara, dan para pimpinan mahasiswa ditangkap dan dipenjara. Maqdir Ismail, salah seorang pemimpin mahasiwa Yogyakarta, yang juga ditangkap – kemudian bergabung di LBH.<br /><br />Pembelaan juga dilakukan bagi para tokoh Kelompok Kerja Petisi 50. Kelompok ini mengeluarkan “Pernyataan Keprihatinan” terhadap kebijakan Presiden Soeharto, yang mengakibatkan tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjara. Petisi 50, antara lain beranggotakan Mohammad Natsir, Sanusi, H.R. Dharsono, Sjafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, SK Trimurti, Boerhanuddin Harahap. Diantara tokoh Petisi 50 yang tidak ditahan: Ali Sadikin.<br /><br />Para advokat LBH juga terlibat dalam pembelaan kasus Komando Jihad, peristiwa Tanjung Priok, HR Dharsono. Di akhir-akhir rezim Soeharto, para advokat dan aktivis juga menjadi motor penggerak bagi pembelaan Partai Demokrasi Indonesia dibawah pimpinan Megawati Soekarnoputri – yang kemudian menjadi Presiden RI – pasca penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro, 1996. Diberbagai kota dilakukan gugatan massal secara serentak.<br /><br />Selain kasus subversif dan perkara politik, para advokat publik, aktif membela warga dalam konflik dan sengketa agraria: Kedung Ombo dan Tanah Badega, pendampingan warga korban PT Tanjung Enim Lestari pulp paper (Sumatera Selatan);(15) pendampingan warga korban PT Inti Indorayon Utama (Sumatera Utara);(16) pendampingan warga korban teluk Buyat, PT Newmont Minahasa Raya.(17)<br /><br />Memasuki millennium baru, kasus yang mengemuka yang ditangani LBH antara lain kasus Abu Bakar Ba’asyir(18) dan para aktivis muslim yang ditangkap sewenang-wenang disejumlah tempat pada 2004.(19) Kantor-kantor LBH juga menjadi pembela kebebasan beragama dan kasus-kasus kelompok individu – antara lain pembelaan terhadap Ahmaddiyah,(20) Lia Eden(21) yang didakwa pasal penodaan agama. Walaupun banyak kritik, cacian bahkan tekanan dan teror, para advokat LBH tetap membela hak hukum para terdakwa.<br /><br />A.2.4. Transparansi dan Akuntabilitas<br /><br />Sejak awal, tradisi penerbitan laporan keuangan sudah dilakukan LBH. Di era Adnan Buyung Nasution memimpin LBH Jakarta, secara rutin laporan keuangan dimuat dalam publikasi LBH.(22) Sumber dana LBH ketika itu, dilaporkan berasal dari subsidi Pemda DKI Jakarta, sumbangan perusahaan dan individu, serta kotak donasi LBH, yang dipergunakan untuk gaji, honor dan biaya rutin/administratif. Pada 1973, total penerimaan dana untuk LBH sejumlah Rp 8.697.789. Jumlah ini naik menjadi Rp 9.846.001 pada 1974 dan kembali naik sejumlah Rp 12.008.000 pada 1974.(23) Sumbangan dari perusahaan kepada YLBHI juga dilaporan dalam publikasi LBH seperti dimuat dalam Laporan YLBHI 1984.<br /><br />Pada 2003, YLBHI menjadi lembaga swadaya masyarakat pertama, yang mempublikasikan laporan keuangannya, di 5 surat kabar nasional, termasuk harian berbahasa Inggris.<br /><br />A.2.5. Dukungan Pendanaan: Internal, Pemerintah Daerah, Pengadilan, Pengusaha, Publik dan Masyarakat Internasional<br /><br />Hingga saat ini, keberadaan dan keberlanjutan LBH, tidak lain karena dukungan pendanaan yang didapat dari 4 sumber utama: dana dari internal lembaga – berupa sumbangan dari dewan pembina dan badan pengurus dan kantor-kantor LBH; dana sumbangan masyarakat; alokasi anggaran dari pemerintah daerah, dan pendanaan dari lembaga dana internasional.<br /><br />Donasi rutin dari anggota Dewan Pembina, merupakan salah satu sumber penting saat ini. Demikian juga dari pimpinan Badan Pengurus dan pimpinan kantor-kantor LBH. Adnan Buyung Nasution, merupakan salah satu Dewan Pembina yang terus menyumbangkan dana bagi operasional kantor LBH. Sumbangan dan dukungan juga diberikan, anggota Dewan Pembina lainnya: Ali Sadikin, Toeti Herati Rooseno, Fauzi Bowo, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ake Arif. Baru pada Juli 2006, dalam sebuah rapat Dewan Pembina dengan Badan Pengurus, dihasilkan komitmen Dewan Pembina untuk menjadi donator tetap dan rutin. Ketika itu rapat dihadiri Adnan Buyung Nasution, Mas Achmad Sentosa, Tuti Hutagalung, Ake Arief, Chairil Syah, dan juga Abdul Rahman Saleh. <br /><br />Diawal-awal berdirinya LBH, lembaga ini banyak mendapat dukungan dana dari pemerintah daerah. Karenanya, subsidi yang diberikan Pemerintah Daerah DKI Jakarta kepada LBH Jakarta dan pengalokasian dana untuk pembangunan gedung YLBHI di Jalan Diponegoro, bukan sebuah hal yang baru sama sekali.<br /><br />Selain Pemda DKI, di awal 1980-an, Pemda Sumatera Utara, banyak memberikan bantuannya kepada LBH Medan.(24) Pemda Sumatera Barat pada 1983 mulai mengalokasikan APBD-nya untuk mendukung kegiatan-kegiatan LBH Padang.(25)<br /><br />Selain pemberian dana dari Pemda Sulawesi Selatan, LBH Manado, tercatat juga sempat mendapat dana bantuan hukum dari Pengadilan Negeri Manado dan Pengadilan Negeri Tondano.(26)<br /><br />Demikian juga pendanaan kantor LBH yang diperoleh dari sumbangan pengusaha dan masyarakat setempat, antara lain sudah didapat sejak awal 1980-an. LBH Medan, ketika itu mendapat dukungan materil dari pengusaha untuk melakukan aktivitasnya.(27) Di Jakarta, para pengusaha atau perusahaan, bahkan memberi sumbangan rutin per bulan, selain bantuan insidentil dan berupa barang.<br /><br /><div style="text-align: center;">Tabel<br />Donatur YLBHI: Melalui Folder<br /><br /></div><table class="MsoTableGrid" style="border: medium none ; width: 478.8pt; border-collapse: collapse;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" width="638"><tbody><tr style=""><td rowspan="2" style="border: 1pt solid windowtext; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"><p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">No.<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td rowspan="2" style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Nama Perusahaan<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td rowspan="2" style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 108pt;" valign="top" width="144"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Sumbangan <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">berupa <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">barang<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td colspan="2" style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 119.5pt;" valign="top" width="159"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Donasi (Rp)<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Jumlah<o:p></o:p></span></b></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Per bulan<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 58pt;" valign="top" width="77"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Insidental<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></b></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="NL">PT Garuda Diesel (Ltd.), Jl. </span><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES">Kramat Raya No. 160, Jakarta Pusat<o:p></o:p></span></p> </td> <td rowspan="6" style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 108pt;" valign="top" width="144"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td rowspan="7" style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">10.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td rowspan="2" style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 58pt;" valign="top" width="77"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">150.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">80.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES">PT Mutiara Record/PT Remaco, Glodok Plaza F/76, Jakarta Kota<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">150.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">PT Eurindo Combined, Jl. Dr. Sahardjo 266, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City> 12870<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 58pt;" valign="top" width="77"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">60.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">60.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">4.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Garden Hotel, Jl. Kemang Raya, Kebayoran Baru, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City> Selatan<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 58pt;" valign="top" width="77"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">50.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">50.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">5.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Shinto Paint Co, Jl. Semper Kebantenan Cilincing, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 58pt;" valign="top" width="77"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">20.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">50.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">6.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES">PT Mesindo Agung, Jl. Ancol III/12 Ancol Barat, Jakarta Utara<o:p></o:p></span></p> </td> <td rowspan="5" style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 58pt;" valign="top" width="77"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">50.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">20.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">7.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">PT Indoprom Company (<st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>) LTD. <st1:address st="on"><st1:street st="on">PO Box 2109</st1:Street>, <st1:city st="on">Jakarta</st1:City></st1:address>. <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 108pt;" valign="top" width="144"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Menyumbang 2 (dua) judul majalah/tiap bulan. <i style="">Reader’s Digest</i> dan <i style="">Fast Eastern Economic Review</i><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">50.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">8.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES">Kompas Gramedia Intisari, Jl. Palmerah Selatan 26 – 28 Jakarta<o:p></o:p></span></p> </td> <td rowspan="4" style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 108pt;" valign="top" width="144"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">125.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">750.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">9.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES">PT Super Mi Indonesia, Jl. </span><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">Raya Bogor Km. 24,8 <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City> 13740<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">150.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">150.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">10.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">PT Tunggal, PO Box. 9/JNG <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City><o:p></o:p></span></p> </td> <td rowspan="2" style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 61.5pt;" valign="top" width="82"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">100.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">800.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.35pt;" valign="top" width="48"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -32.4pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><span style="">11.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 158.2pt;" valign="top" width="211"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="NL">PT Percetakan “Sinar Offset”, Jl. </span><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES">Pejagalan I No. 72, Jakarta Kota <o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 58pt;" valign="top" width="77"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">50.000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 56.75pt;" valign="top" width="76"> <p class="MsoNormal" style="text-align: right;" align="right"><span style="font-size: 9pt; font-family: "Trebuchet MS";">50.000<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES">Sumber</span></b><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="ES">: <i style="">Diolah dari Laporan Tahunan YLBHI 1984 (YLBHI: 1985, 34-35)</i>.<o:p></o:p></span></p> Sumber dana lain, yakni pendanaan dari lembaga donor internasional. Dalam konteks ini, isu negatif berkaitan dengan sumber dana dari luar negeri yang diterima LBH, bukan barang baru dan baru sekarang-sekarang ini muncul. Bahkan pada 1985, telah disadari adanya ketergantungan LBH dari bantuan luar negeri.(28) <br /><br /><br />B. Bantuan hukum: berbagai pola memperluas akses keadilan bagi masyarakat<br /><br />“Pohon kelapa dan pohon-pohon lain kami tumbangkan untuk dijadikan palang-palang. Kamu buat barikade dari pohon-pohon itu…”Ini tanah milik rakyat, dilarang masuk berdasarkan pasal 155 dan 156 KUHP…Sebagian kampung kan sudah hancur, sudah rata dengan tanah, yang sebagian lagi belum; itulah yang kami tutup, kami pagar. Pagi-pagi pukul 8 kami sudah siap. Penduduk …berbaris membuat pagar betis.”(29)<br />(Adnan Buyung Nasution, 2004:253)<br /><br />Sejak kasus para advokat dan aktivis LBH berdiri bersama masyarakat melawan kekuasaan yang sewenang-wenang – saat kasus Simpruk di tahun 1970-an, saat itulah “Bantuan Hukum Struktural” sudah dipraktikan.<br /><br />Dalam lintasan aktivitas, sejak berdirinya YLBHI, beragam pola pemberian bantuan hukum yang dilakukan. Aktivitas bantuan hukum, dalam praktik, serasi dan diintegrasikan menjadi aktivitas pemberdayaan dan penguatan kesadaran politik masyarakat.<br /><br />Bantuan hukum, dalam kerangka kerja LBH merupakan salah satu aktivitas untuk memperluas akses masyarakat atas keadilan. Namun dalam memperluas akses keadilan bagi masyarakat, bantuan hukum di peradilan, bukan satu-satunya aktivitas. Makna memperoleh dan menikmati akses keadilan, bukan semata-mata individu atau kelompok masyarakat didampingi dalam proses pemeriksaan di kepolisian atau didampingi ketika persidangan di pengadilan, melainkan juga akses terhadap keadilan yang sesungguhnya. Kerangka berpikir seperti ini, menyebabkan advokasi litigasi (melalui mekanisme peradilan) disandingkan dan diparalelkan dengan aktivitas advokasi diluar ruang-ruang sidang, termasuk advokasi yang bersifat pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat.<br /><br />Praktik para pengacara publik dan penggiat bantuan hukum, tidak saja berdebat di ruang sidang, melainkan terjun langsung ke lapangan, dapat dikatakan dipelopori oleh aktivis LBH. Aktivitas semacam ini, dalam sejarah LBH, sudah dimulai sejak era awal YLBHI berdiri. Saat itu, Adnan Buyung Nasution memberikan contoh, jika diperlukan, aktivis LBH perlu mengambil sikap dan mengambil posisi berdiri bersama-sama klien atau kelompok masyarakat korban.<br /><br />Pencabutan patok-patok kayu kasus Kemayoran, merupakan salah satu momen awal dimulainya “Bantuan Hukum Struktural” secara praktik. Ketika itu, LBH membela warga kemayoran yang menuntut hak atas tanahnya kepada pihak AURI.<br /><br />Contoh tersebut, kemudian dikembangkan, baik secara otodidak oleh aktivitas LBH, juga akibat komunikasi dengan para tokoh dan akademisi, serta akibat buku bacaan yang dicerna para advokat dan aktivis LBH.<br /><br />Pertukaran informasi semacam itu, berkembang menjadi konsep pemberdayaan masyarakat, yang ditindaklanjuti dengan beragam aktivitas dan pola bantuan hukum berkembang ditubuh kantor-kantor LBH.<br /><br />B.1. Pola Penyuluhan Hukum<br /><br />LBH Medan di awal tahun 1980-an mempunyai cara unik dalam penyuluhan hukum kepada masyarakat. Di era kepemimpinan H.M. Kamaluddin, LBH Medan bekerja sama dengan tim kesehatan dari Rumah Sakit Dr. Pringadi Medan untuk memberikan pelayanan kesehatan, setelah itu baru diberikan penyuluhan hukum – dengan menggunakan logika dalam tubuh yang sehat terdapat pikiran yang sehat, kemudian baru diberikan informasi hukum.(30) <br /><br />Pendirian pos-pos kepanjangan dari kantor LBH merupakan salah satu pola yang dilakukan kantor-kantor LBH untuk memperluas akses keadilan kepada masyarakat. Di awal 1980-an, LBH Medan tercatat membentuk 7 pos yang terletak di daerah Labuhan Batu, Tebing Tinggi, Gunung Sitoli, Deli Serdang, Stabat, Asahan dan Tapanuli Selatan. Bahkan LBH Medan mempunyai sebuah pos di Langsa, Aceh Timur.(31)<br /><br />LBH Jakarta sejak era 1980-an telah memanfaatkan siaran radio, sebagai media penyebarluasan informasi tentang bantuan hukum, termasuk usaha penyadaran hukum bagi masyarakat. Pendidikan-pendidikan hukum juga sudah dimulai, dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat seperti kelompok buruh.(32) <br /><br />LBH Bandung, diera 1980-an juga mempergunakan siaran radio untuk menyebarluaskan informasi hukum. Kerjasama dilakukan dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung dengan mengisi siaran hukum sekali dalam sebulan.(33)<br /><br />LBH Manado diera yang sama, telah melakukan penyuluhan hukum dengan memanfaatkan TVRI Manado dalam Siaran Pedesaan dengan bentuk penyajian dengan fragment selama 30 menit, juga acara Topik dalam Lensa, wawancara tentang masalah hukum selama 30 menit. Diera kepemimpinan HJJ. Mangindaan, LBH Manado juga telah mengisi rubrik klinik hukum di harian Obor Pancasila Manado dan Warta Manado. Bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sulawesi Selatan, LBH Manado membentuk Tim Penyuluhan Hukum untuk masyarakat di kotamadya Manado dan Kabupaten Minahasa. Aktivitas lainnya, antara lain memberikan latihan kepada mahasiswa tentang teknik penyuluhan hukum kepada para mahasiswa yang akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).(34) <br /><br />LBH Yogyakarta dimasa kepemimpinan Artidjo Alkostar – saat ini Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI – juga menggunakan media TVRI dan RRI Yogyakarta serta stasiun radio swasta dalam siaran-siaran hukum. Penerbitan juga dilakukan oleh LBH Yogyakarta antara lain “Dunia Informasi” – berupa kliping, kumpulan berita tentang hukum. LBH Yogyakarta, sempat memiliki Pos di 2 wilayah: Bantul dan Sleman.(35) <br /><br />Penyuluhan hukum juga dilembagakan dalam bentuk piagam kerjasama YLBHI dengan sejumlah universitas, misalnya Piagam Kerjasama antara YLBHI dengan Universitas Ibn Khaldun Bogor yang bersepakat, pada 25 Maret 1984, menjalin kerjasama kegiatan penataran tenaga penyuluhan hukum untuk wilayah pedesaan.(36) Kegiatan ini semacam ini, dalam perkembangannya dikenal dengan Trainer of Trainers (TOT) atau Pelatihan untuk para Pelatih.<br /><br />B.2. Pola Pendidikan Hukum dan Pengembangan Paralegal<br /><br />Tercatat juga, LBH Yogyakarta bekerjasama Fakultas Hukum dengan Universitas Gajah Mada, pernah mengembangkan sebuah bentuk kerjasama: melibatkan para mahasiswa fakultas hukum untuk menjadi fasilitator penyelesaian perkara hukum di masyarakat. Pola semacam ini juga ditujukan sebagai salah satu media kaderisasi di LBH Yogyakarta.(37)<br /><br />Sejumlah mahasiswa, yang memiliki minat dan semangat untuk membantu masyarakat, dikelompokan kedalam sebuah tim bersama dengan para pengacara publik LBH Yogyakarta. Tim ini, kemudian, mendatangi wilayah pedesaan, dan mengidentifikasi tokoh masyarakat yang berpengaruh didaerah itu. Saat dilapangan, Tim ini mengumpulkan kasus-kasus hukum yang dihadapi masyarakat. Jika, perkara atau sengketa ringan, maka penyelesaiannya dilakukan dengan cara kekeluargaan diantara pihak yang bersengketa. Namun, jika diperlukan, maka tim ini, dapat mengupayakan penyelesaiannya lewat pengadilan. Pola ini, dalam pelaksanaanya, masih menuntut peran besar dari para pengacara publik LBH, karena dalam pemecahan masalah, pengetahuan para pengacara publik relatif masih dominan.<br /><br />Pendidikan hukum masyarakat dan perekrutan mahasiswa menjadi paralegal LBH, kemudian dikembangkan terus menerus. Abdul Hakim Garuda Nusantara, menyatakan:<br />“Kursus pendidikan hukum kilat bagi paralegal hampir setiap tahun satu kali diselenggarakan oleh Yayasan LBH Indonesia …Peserta kursus pendidikan hukum kilat atau dalam istilah YLBHI pendidikan hukum untuk pemuka informal (informal leaders) terdiri atas para mahasiswa, pemuka-pemuka masyarakat pekerja sosial lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Biasanya para peserta kursus tersebut telah mempunyai pengalaman langsung dalam menangani kasus-kasus kolektif seperti kasus penggusuran tanah, kasus pencemaran/perusakan lingkungan, kasus perburuhan, dan lain sebagainya”.(38) <br /><br />Selain LBH Yogyakarta, LBH Surabaya diera Abdullah Thalib, juga telah menyelenggarakan kaderisasi mahasiswa hukum tingkat akhir, yang dilibatkan dalam penyelesaian langsung konflik-konflik hukum yang diadukan ke LBH Surabaya.(39) <br /><br />B.3. Pola Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat<br /><br />Pola lain, dilakukan dengan cara, mentransfer pengetahuan, keterampilan dan memberikan sepenuhnya cara dan pilihan penyelesaian masalah kepada kelompok atau organisasi rakyat. Konsep ini dikembangkan, melalui beragam pelatihan dan aktivitas pengorganisasian buruh, petani dan kelompok masyarakat lainnya. Pola ini, dirintis sejak era 1980-an, dengan motor penggeraknya, antara lain Fauzi Abdullah.<br /><br />Pola live-in atau hidup dan belajar dengan masyarakat secara langsung, dikembangkan di sejumlah LBH dipertengahan 90-an. Para pengacara publik dan penggiat bantuan hukum secara bergantian tinggal dikediaman kelompok masyarakat yang tengah mengalami konflik. Pola ini dilakukan dengan 2 tujuan: mencoba menghapus gap atau kesenjangan pengetahuan antara pengacara publik LBH dengan klien yang didampinginya, serta; menunjukan solidaritas penuh dan posisi keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang menjadi korban atau terlibat konflik. Gagasan awal pola ini, untuk mengupayakan kesetaraan antara penggiat bantuan hukum LBH dengan masyarakat.<br /><br />Tinggal “di lapangan” seperti itu, berkembang dan dikembangkan para pengacara publik dan penggiat bantuan hukum di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung. Aktivitas semacam ini, bisa dilakukan, dengan bekerjasama dengan para mahasiswa yang menjadi paralegal dan sukarelawan bantuan hukum.<br /><br />Di LBH Surabaya – pada 90-an, di era Indro Sugiyanto, dengan motor penggerak saat itu, antara lain (almarhum) Munir, Andik Ardiyanto dan Boedhi Widjardjo. Di era itu, LBH Surabaya aktif bekerjasama dengan organisasi-organisasi buruh. Salah satu, kasus besar yang ditangani LBH Surabaya, yakni kasus pembunuhan Marsinah, aktivis buruh pabrik jam PT Catur Putra Surya.(40) <br /><br />Selain bekerja dengan organisasi buruh, LBH Surabaya juga aktif memfasilitasi pembentukan Papan Jati (Paguyuban petani Jawa Timur). LBH Surabaya belakangan kemudian mengembangkan sebuah konsep Masyarakat Bantuan Hukum (MBH), yang konsep awalnya telah dikenal sejak penghujung 1980-an, dan dikembangkan terutama era Mohammad Zaidun.(41) MBH antara lain dimotori oleh Herlambang. Pola yang dilakukan di Jawa Timur, ditularkan di Jawa Tengah, ketika Andik Ardiyanto diminta untuk masuk ke LBH Semarang. Di Jawa Barat, LBH Bandung mempunyai hubungan kuat dengan organisasi buruh, yang dimotori antara lain Saut Ch. Manalu dan Hemasari Dharmabumi.<br /><br />Sejak kepemimpinan Chairil Syah dilanjutkan Suharyono, LBH Palembang mulai memberikan bobot lebih berat pada pola pengorganisasian rakyat - dimotori antara lain Munarman dan A. Patra M Zen, aktivitas pengorganisasian masyarakat menjadi corak pokok program-program yang dilakukan LBH Palembang. Diera ini, terbentuk KSKP (Kesatuan Solidaritas Korban Penggusuran – yang kemudian berganti menjadi Kesatuan Solidaritas Kesejahteraan Petani yang berbasis disejumlah kabupaten di Sumatera Selatan.<br /><br />Diawal 1980-an, LBH Palembang sempat bekerjasama dengan Kantor Wilayah Kehakiman dan Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi dalam pemberian penyuluhan hukum untuk masyarakat transmigran.(42) Dimasa kepemimpinan Masagus Zainudin, LBH Palembang sempat memiliki Pos di kabupaten Musi Rawas, dan pos di provinsi Bengkulu.(43)<br /><br />Di Lampung, gerakan rakyat menguat, menjelang kejatuhan Suharto. Diprovinsi ini, keterlibatan LBH Lampung amat penting dalam organisasi Dewan Rakyat Lampung (DRL), dengan basis utamanya para petani korban penggusuran paksa. Di Lampung, para advokat LBH aktif dalam gerakan perjuangan masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak dasar dan hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) – motor gerakan saat itu antara lain Edwin Hanibal dan Fenta, sekarang Wakil I Badan Pengurus YLBHI.<br /><br />Pada awal-awal reformasi 1998 – sampai dengan awal tahun 2000, aktivitas re-klaiming tanah-tanah pertanian dan perkebunan sempat marak, sebagai salah satu aktivitas yang advokasi untuk memperjuang hak-hak dasar petani. Diera itu juga, para pengacara publik LBH membela kasus-kasus kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh petani.<br /><br />Kritik paling utama, para advokat dan aktivis LBH tertinggal dalam advokasi litigasi. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri, YLBHI dan LBH Jakarta masih tetap menjadi pelopor dalam advokasi litigasi, bahkan masih mendorong penemuan-penemuan hukum baru, antara lain penerimaan hak gugat (‘standing’) oleh warga Negara atau citizen law suit.<br /><br />Dalam perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pusat, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan menerima standing warga Negara, dalam perkara perdata antara J. Sandyawan Sumardi, dkk, sebagai Penggugat, versus Negara RI c.q. Kepala Negara, Presiden RI, beserta 9 institusi, sebagai Para Tergugat berkaitan dengan peristiwa pendeportasian 480.000 buruh migrant asal Indonesia dari Malaysia, yang kemudian mengalami penderitaan dalam tempat pengungsian di Nunukan. <br /><br />Tradisi yang paling kuat, untuk advokasi litigasi diturunkan ke para advokat dan aktivis LBH Jakarta. Dari sini muncul nama-nama Luhut M.P. Pangaribuan, Nursyahbani Katjasungkana, Apong Herlina, Irianto Subiakto dan Daniel Panjaitan – yang selalu terlibat membela aktivis pro-demokrasi semasa perlawanan terhadap rezim Orde Baru di era 1990-an. Setelah pemberlakuan Undang-Undang Advokat, dirasakan, hampir semua LBH, termasuk LBH Jakarta, mengalami “krisis” advokat. Saat ini, kantor-kantor LBH rata-rata hanya memiliki 2 – 3 orang advokat publik – yang memiliki izin beracara.<br /><br />C. 36 Tahun Bantuan Hukum oleh LBH: Apa yang Dapat Dipelajari?<br /><br />Perjalanan 36 tahun LBH memberikan banyak muatan pelajaran sekaligus tantangan bagi para advokat dan aktivis LBH yang saat ini masih setia bekerja untuk lembaga publik ini. Pelajaran ini tentu saja, dapat digunakan sebagai bahan refleksi bagi lembaga-lembaga bantuan hukum dan organisasi advokasi yang saat ini tumbuh bak jamur dimusim hujan.<br /><br />C.1. Menjadi mata rantai<br /><br />YLBHI, dapat dikatakan telah berhasil menjadi jembatan bagi kelas terpinggirkan dengan kelas elit. Lembaga ini telah menjadi sebuah mata rantai yang menghubungkan rakyat kebanyakan dengan para pemegang kekuasaan di republik ini.<br /><br />Setiap kantor LBH menjadi tempat para pencari keadilan mengadu, mencurahkan isi hati tentang masalah yang dihadapi. Dalam kurun waktu 35 tahun, YLBHI telah memiliki 15 kantor LBH di 15 provinsi.<br /><br />Dalam perkembangannya, para advokat publik dan aktivis YLBHI telah menjadi mata rantai dan mewakili mulut masyarakat. Pasca 1996, mata rantai ini dapat dikelompokkan menjadi 3 menurut divisi yang dibentuk diera Bambang Widjojanto. Ketika itu Teten Masduki menjadi Kepala Divisi Perburuhan YLBHI. Hingga saat ini nama-nama aktivis LBH masih bergelut dalam isu perburuhan, seperti Surya Tjandra dan Rita Olivia (LBH Jakarta), Saut Ch. Manalu, Hemasari Dharmabumi (LBH Bandung).<br /><br /><div style="text-align: center;">Tabel<br />Ketua Dewan Pengurus/Badan Pengurus<br />Yayasan LBH Indonesia<br /></div><br /> <table class="MsoTableGrid" style="border: medium none ; margin-left: 72.95pt; border-collapse: collapse;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="border: 1pt solid windowtext; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">No.<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Periode<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Ketua<o:p></o:p></span></b></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">1981 – 1984 (1983)<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Adnan Buyung Nasution<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="2" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">1983 – 1984<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Todung Mulya Lubis<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="3" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">1984 – 1987<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Todung Mulya Lubis<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="4" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">1987 – 1990<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Abdul Hakim Garuda Nusantara<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="5" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">1990 – 1993<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Abdul Hakim Garuda Nusantara<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="6" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">1993 – 1997 (1995)<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Adnan Buyung Nasution<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="7" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">1995 – 1996<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Soekardjo Adidjojo (<i style="">Caretaker</i>)<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="8" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">1996 – 1997<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Bambang Widjojanto<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="9" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">1997 – 2000<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Bambang Widjojanto<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="10" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">2000 – 2002<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Irianto Subiakto, Totok dan Mappinawang (<i style="">Caretaker</i>)<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="11" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">2002 – 2007 (2006)<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Munarman<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="12" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Mei 2006<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="NL">A. Patra M. Zen (<i style="">Caretaker</i>)<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 52.8pt;" valign="top" width="70"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="NL"> <ol style="margin-top: 0cm;" start="13" type="1"><li class="MsoNormal" style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";"><o:p> </o:p></span></li></ol> </span></td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 111.8pt;" valign="top" width="149"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";">Sep. 2006 – 2011<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 172.45pt;" valign="top" width="230"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Trebuchet MS";" lang="NL">A. Patra M. Zen<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table> <br /><br /><br />C.2. Menjadi inspirator advokasi dalam arti luas<br /><br />“Advokasi”, tidak menjadi kata yang populer dikalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat, namun kata ini, juga telah menjadi satu gugus program kerja dibanyak oranisasi masyarakat sipil. Oleh advokat publik dan penggiat bantun hukum LBH, Advokasi tidak saja diartikan mendampingi klien dimuka pengadilan, namun dikembangkan menjadi aktivitas mempengaruhi substansi dan muatan kebijakan dan aturan perundang-undangan – atau lebih diistilahkan dengan advokasi kebijakan, yang diletakan dalam kerangka kerja LBH sebagai “pembaruan hukum”.(44)<br /><br />Para advokat dan aktivis LBH dengan aktif melakukan aktivitas lobby dan berperan dalam forum rapat dengar pendapat umum (RDPU) di DPR/D saat peraturan perundang-undangan dibahas. Kegiatan yang seringkali dilakukan, berkaitan dengan advokasi kebijakan, antara lain “pertemuan-pertemuan ilmiah untuk memberikan masukan bagi proses pembentukan dan penegakan hukum…yang kemudian dijadikan bahan masukan bagi DPR-RI”.(45)<br /><br />Tidak saja berada diluar arena, advokat publik dan aktivis LBH, seringkali diminta duduk dalam panitia perumus sebuah peraturan perundang-undangan dan rancangan peraturan yang diterbitkan pemerintah. Adnan Buyung Nasution, misalnya, duduk dalam Tim Perumus Rancangan Undang-Undang (RUU), antara lain RUU Hak Asasi Manusia, RUU Pengadilan HAM, RUU Peradilan Tata Usaha Negara, RUU Tindak Pidana Korupsi, RUU Pemilu, RUU Advokat. <br /><br />Dalam perkembangannya, aktivitas legal drafting dan monitoring peraturan perundang-undangan, mendorong YLBHI turut melahirkan Konsorsium Pembaruan Hukum Nasional (KRHN).(46) Peran advokat dan aktivis LBH hingga saat ini terus dilibatkan dalam perancangan perundang-undangan dan peraturan pemerintah.(47)<br /><br />Selain KRHN, para advokat dan aktivis LBH turut membidani pembentukan organisasi-organsisai masyarakat sipil seperti KontraS (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Voice of Human Rights, Baku Bae(48) - belakangan menjadi Institut Titian Perdamaian, dan ICW (Indonesian Corruption Watch). Organisasi-organisasi ini terbentuk dimasa kepengurusan Bambang Widjojanto. Belum termasuk organisasi-organisasi dimasing-masing provinsi yang pembentukannya juga diilhami dan diinisasi oleh para advokat dan aktivis LBH.<br /><br />Pola pembentukan lembaga-lembaga tersebut dapat diklasifikasikan kedalam 3 besaran pokok. Pertama, difasilitasi dari program LBH, termasuk kontribusi pendanaan, dengan dukungan para advokat dan aktivis LBH diperiode yang sama. <br /><br />Kedua, dimotori oleh advokat dan aktivis LBH, namun pendanaannya bukan berasal dari dana khusus yang diambil dari dan program LBH.<br /><br />Ketiga, dibentuk dan didirikan oleh alumni LBH, setelah advokat dan aktivis LBH tidak lagi bekerja penuh waktu di LBH. Karenanya, dalam sejumlah kegiatan dibanyak tempat, seringkali muncul seloroh “reuni LBH” – yang berarti para advokat dan aktivis LBH kembali bertemu, walaupun sudah mewakili lembaga yang berbeda-beda.<br />Sejumlah advokat dan aktivis LBH yang menjadi aktor utama pendirian organisasi masyarakat sipil. Dalam era kepengurusan Adnan Buyung Nasution dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, para advokat dan aktivis LBH, turut berkontribusi melahirkan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan INGI – selanjutnya berubah menjadi INFID (International NGO Forum on Indonesian Development).<br /><br />Selanjutnya, Albert Hasibuan mendirikan LKBH Golkar. Nani Yamin membentuk lembaga konsultasi dan bantuan hukum untuk keluarga, wanita dan anak – yang berada dilingkungan Mesjid Al-Azhar.<br /><br />Todung Mulya Lubis, menjabat ketua Dewan Pengurus (1983 – 1987), merupakan alumni LBH yang turut membentuk banyak organisasi masyarakat sipil di Indonesia, diantaranya Cetro (Centre for Electoral Reform), Imparsial, Yayasan Aceh Kita, P2D (Perhimpunan Pendidikan Demokrasi), termasuk Yayasan TIFA – lembaga donor yang berkantor di Jakarta.<br /><br />Hendardi, Luhut M.P. Pangaribuan, Mulyana W. Kusumah menjadi aktor-aktor penting dalam pendirian PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia). Selain itu, Mulyana juga dikenal sebagai pelopor pendirian KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu).<br /><br />Selanjutnya, Abdul Hakim Garuda Nusantara – yang saat ini menjadi Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia – selepas dari YLBHI membentuk ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Sementara Mas Achmad Sentosa, membentuk ICEL (Indonesian Center for Environemental Law). Nursyahbani Katjasungkana, yang pernah menjabat Direktur LBH – sekarang anggota DPR RI membentuk LBH Apik. Generasi yang lebih muda, seperti Surya Tjandra dan Rita Olivia Tambunan membentuk TURC (Trade Union Rights Centre); generasi lebih muda lagi, seperti Misbachuddin Gamma, yang turut membentuk LBH Pers. Banyak advokat dan aktivis LBH juga mendorong pembentukan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dimasa-masa awal lembaga ini. Kantor-kantor LBH, dijadikan vocal point bagi jaringan KPA dibanyak provinsi. Tentu masih banyak, yang tak dapat disebut satu per satu. <br /><br />C.2.1. Menyediakan Informasi dan Publikasi: Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi<br /><br />Menyediakan informasi dan menyebarkannya: adalah salah satu aktivitas kampanye yang dilakukan sejak awal YLBHI berdiri. Bantuan hukum yang diberikan tidak saja bertujuan membantu dan membela klien LBH, namun mempunyai efek lain: menyebarluaskan informasi dan fakta tentang situasi dan kondisi penegakan hukum di Indonesia.<br /><br />Dukungan media baik cetak maupun elektronik, merupakan bentuk kerjasama yang penting dalam menyebarluaskan berita dan informasi tentang kasus-kasus dan analisis yang diterbitkan YLBHI. Dengan dukungan ini, aktivitas bantuan hukum yang di lakukan para advokat, penggiatan dan sukarelawan YLBHI dapat diketahui masyarakat banyak. Sebaliknya, para pembuat kebijakan pun dapat mengetahui posisi dan sikap YLBHI dalam penanganan kasus atau masalah-masalah kebijakan yang dinilai merugikan rakyat miskin dan buta hukum.<br /><br />Selain menerbitkan sendiri publikasinya, sejak lama LBH bekerjasama dengan 2 lembaga: LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial) dan YOI (Yayasan Obor Indonesia). Pada 1984 misalnya, YLBHI bekerjasama dengan LP3ES menerbitkan bulletin berbahasa Inggris, Human Rights Report.(49)<br /><br />Publikasi yang memuat fakta dan kasus-kasus pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan, dikemas menjadi laporan hak asasi manusia, yang diterbitkan secara rutin. Tradisi ini sudah dimulai sejak penghujung 1970-an.(50) Selain itu, juga menjadi tradisi YLBHI untuk mempublikasikan catatan awal tahun atau lebih dikenal dengan istilah Catahu. Dalam laporan ini dimuat analisis dan prediksi atas situasi dan kondisi penegakan hukum dan pemenuhan hak asasi manusia kedepan.<br /><br />Tradisi penerbitan buku-buku tentang hukum, demokrasi dan hak asasi manusia, berkembang pada masa Dewan Pengurus – sekarang disebut Badan Pengurus – sejak Abdul Hakim Garuda Nusantara, hingga saat ini. Motor publikasi YLBHI ketika itu, Selain Abdul Hakim, juga Benny K. Harman, Mulyana W. Kusumah, Luhut M.P. Pangaribuan dan Paul S. Baut, Kepala Departemen Penerbitan YLBHI.(51) <br /><br />Diera Abdul Hakim, YLBHI juga aktif menerjemahkan buku-buku dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.(52) Selain itu, diterbitkan juga “Radar”, dengan motto “Keadilan untuk Semua”, sebuah terbitan yang ditujukan sebagai “sarana komunikasi yang aktif, timbal balik dan berkala untuk kalangan sendiri. Dimaksudkan juga sebagai media informasi bagi masyarakat mengenai masalah hukum”.(53) <br /><br />Menariknya, diera itu, YLBHI juga menerbitkan juga sebuah buku “Tanya Jawab Masalah Pengawai Negeri Sipil”(54) dan Petunjuk Teknis Bank Dunia No. 80 yang memuat pedoman kebijakan bagi proyek-proyek yang dibiayai Bank Dunia.(55)<br /><br />Dipertengahan 1990-an, Direktorat Operasional YLBHI mempublikasikan “Seri Laporan Kasus”, diantaranya Seri Laporan Kasus Sri Bintang Pamungkas (SBP), yang memuat dokumen proses hukum SBP yang menguasakan kepada advokat publik YLBHI mengajukan gugatan Pembatalan Surat Keputusan Jaksa Agung RI – yang memuat perintah pencegahan SBP bepergian ke luar negeri – ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, pada 13 Juli 1995.(56) Publikasi semacam ini, merupakan kelanjutan dari publikasi yang secara khusus memuat dokumen proses hukum sebuah kasus yang dihadapi klien LBH. Sebelumnya, YLBHI juga sempat mempublikasikan antara lain, pleidoi A.M. Fatwa didepan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.(57) <br /><br />Diera pertengahan 90-an, terutama sejak era Bambang Widjojanto, publikasi YLBHI dimotori Andi Achdian,(58) Daniel Hutagalung(59) dan Robertus Robet.(60) Diera ini dimulai penerbitan Jurnal Diponegoro 74 – tradisi yang berjalan hingga sekarang.<br /><br />Pada era kepengurusan Munarman, diterbitkan Serial Laporan YLBHI yang menyediakan analisis secara tematik.(61) Diera ini, publikasi mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya disusun antara lain oleh A. Patra M. Zen yang menjadi Kepada Divisi Hak-hak Ekosob YLBHI.(62)<br /><br />C.2.3. Melakukan kampanye publik dan penggalangan solidaritas: fora nasional dan internasional<br /><br /> Salah satu aktivitas yang identik dengan advokasi, tidak lain aktivitas kampaye publik.<br />Kampanye publik, selain untuk mempengaruhi kebijakan dilevel Negara dan organisasi dunia, juga bertujuan untuk menggalang solidaritas dilevel domestik, regional dan global.<br /><br />Untuk tujuan itu, YLBHI terlibat aktif dalam pembentukan organisasi masyarakat sipil dilevel regional, antara lain the Regional Council on Human Rights pada 1981 – yang diprakarsai antara lain Yap Thiam Hien dan Adnan Buyung Nasution (Indonesia), Jose W. Diokno (Filipina), T. Rajamoorthy (Malaysia) dan Thongbai Thongpao (Thailand). Contoh lain, Forum Asia yang dibentuk menindaklanjuti pertemuan organisasi non-pemerintah di Manila pada 1991 – yang saat ini mempunyai 36 anggota di 14 negara Asia. Pada General Assembly Forum Asia ke-5 di Bangkok 26 – 27 November 2006, YLBHI yang diwakil A. Patra M. Zen, terpilih melalui voting untuk menjadi salah satu Executive Committee Forum Asia periode 2006 – 2009.<br /><br />C.3. Menjadi promotor ide dan praktik<br /><br />Warna gagasan yang berkembang dan dikembangkan dalam LBH, dipengaruhi oleh gagasan-gagasan yang dibawa para advokat dan aktivisnya, dari hasil pertukaran dan belajar di fora regional dan internasional, juga hasil dari menempuh studi lanjutan di dalam dan luar negeri.<br /><br />Selain Adnan Buyung Nasution, yang menjadi anggota International Commission of Jurist (ICJ), gagasan hak asasi manusia dikembangkan antara lain oleh Todung Mulya Lubis.(63) Di era kepemimpinan Adnan Buyung Nasution, sebagai Direktur LBH Jakarta, sudah dirintis penerbitan Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dalam Laporan yang diterbitkan pada 1979, Adnan Buyung Nasution menyatakan:<br /><br />“…Laporan tahunan ini adalah suatu usaha awal pemahaman diri: sejauhmana kita menghargai hak-hak azasi bangsa kita: manusia Indonesia itu sendiri. Tentu laporan ini tidak memuat semua hal yang terjadi di tanah air karena disamping itu belum mungkin juga karena LBH sendiri hanyalah satu badan yang memiliki keterbatasan-keterbatasn. LBH tidak ada dimana-mana. Namun demikian, LBH berusaha menampilkan semua fakta yang menurut LBH pantas untuk dilaporkan…”(64)<br /><br />Dipenghujung tahun 1970-an, LBH Jakarta sudah membentuk Divisi Hak-hak Asasi Manusia, dengan para personil antara lain T. Mulya Lubis, Abdul Rahman Saleh, Abdul Hakim, Nasroen Yasabari, Happy August dan Mulyana W. Kusumah. Divisi inilah yang menyiapkan laporan HAM LBH Jakarta ketika itu. Dukungan dan saran diberikan oleh Sajogyo, Suharsono Sagir, Yuwono Soedarsono, Atmakusumah, Kartono Mohammad dan Yap Thiam Hien, bahkan Sidney Jones – yang saat ini dikenal tulisan-tulisan tentang berbagai isu hak asasi manusia di Indonesia.(65) Laporan Hak Asasi Manusia, kemudian menjadi tradisi di YLBHI dan kantor-kantor LBH.<br /><br />Sebagai tambahan, istilah public interest litigation, sudah diperkenalkan pada awal 1980-an oleh para advokat LBH. Metode ini kemudian dikembangkan menjadi bentuk-bentuk pengajuan gugatan class action, legal standing, citizen law suit, hingga wacana pengajuan permohonan constitutional complaint (pengaduan konstitusional).<br /><br />C.4. Menjadi bidan bagi lahirnya para aktivis dan pejuang hak asasi manusia<br /><br />Dalam laporan Tahunan YLBHI yang terbit pada 1985, tercatat per 1984, kantor LBH sudah berdiri di 9 ibukota provinsi yakni: Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Ujung Pandang – sekarang Makassar dan Manado.(66) <br /><br />Ribuan advokat publik, aktivis, paralegal, sukarelawan (volunteer) lahir dari rahim LBH. Advokat dan aktivis saat ini, sudah banyak yang tak mengetahui, atau sempat mengenal para pelopor dizaman awal LBH. Adnan Buyung Nasution, tentu saja tidak sendiri: ia didukung dengan tulus oleh banyak orang, antara lain Minang Warman, Sukayat, Syamsi Bachrum Nasution – adik kandung Adnan Buyung Nasution yang memberikan dukungan saat LBH berdiri di Jalan Ketapang, Jakarta.<br /><br />Tercatat nama-nama sarjana hukum, yang menjadi angkatan ke-1 LBH, seperti: Mohammad Assegaf, Tatang Suganda, Indra Munaan, Nurni Husein dan Sri Rezeki. Setelah itu, bergabung sejumlah nama, dan turut membantu LBH, seperti: Abdul Rahman Saleh, T. Mulya Lubis, Tuti Hutagalung, Albert Hasibuan, Erman Rajagukguk, Mas Ahmad Santosa, Lelyana, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Mulyana W. Kusumah, Luhut M.P. Pangaribuan, Hendardi, Nursyahbani Katjasungkana, Hotma Sitompul, Fauzi Abdullah, Nani Yamin, Nurni Husein.(67) <br /><br />Pengembangan staf dimulai sejak 1980-an, utamanya dirintis oleh LBH Jakarta, dengan cara antara lain mentorship, kuliah-kuliah tambahan, diskusi panel dan magang.(68) LBH Jakarta kemudian mengembangkan sebuah proses seleksi para advokat dan aktivisnya, melalui Kalabahu (Karya Latihan Bantuan Hukum). Pada 2001, Kurikulum Kalabahu, diperbaruhi dengan menambah materi “turun dan aksi ke lapangan” – para peserta kalabahu melihat dan membuat laporan langsung di wilayah-wilayah dimana korban pelanggaran hak asai manusia berdomisili/tinggal. Ketika itu A. Patra M. Zen, sebagai Kepala Divisi Riset, Publikasi dan Pendidikan merangkap Ketua Panitia Pelaksana Kalabahu 2001.<br /><br />Dalam Rapat Kerja Nasional YLBHI di Denpasar, 2003, salah satu hasil keputusannya, antara lain mandat untuk pengembangan jenjang pendidikan bagi advokat dan aktivis LBH. Namun, pelaksanaanya belum semua dapat dilaksanakan. Mandat yang sudah dilaksanakan, antara lain penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) bekerjasama dengan Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) pada 2005 di Parung Jawa Barat dan 2006 di Jakarta.<br /><br />C.5. Menjadi rumah rakyat<br /><br />Gedung YLBHI tidak saja menjadi tempat para korban mengadukan masalahnya, namun juga telah menjadi tempat bertemu para tokoh, aktivis, jurnalis dan wartawan. Rahardjo Waluyo Djati dan Faisol Reza, salah seorang korban penculikan pada 1998, diculik di RSCM Jakarta pada 12 Maret 1998, usai melakukan konferensi pers Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD) di kantor LBH.<br /><br />Ruang kantor LBH, seringkali dipakai untuk tempat menginap para warga yang tengah memperjuangkan hak-haknya. Sementara halaman kantor, dijadikan tempat beragam aksi unjuk rasa, menaruh spanduk hingga aksi mogok makan.<br /><br />C.5.1. Menjadi tempat deklarasi dan kampanye publik<br /><br />Pendeklarasian sejumlah organisasi politik dan organisasi massa, mengambil tempat di Ruang Adam Malik, sebuah ruang yang biasa digunakan untuk tempat berdiskusi dan pelaksanaan konferensi pers di gedung YLBHI. Sebagai contoh pendeklarasian Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 22 Juli 1996, Komite Pendukung Megawati (KPM), pada 12 Februari 1998. Tradisi semacam itu terus berlanjut, antara lain pendeklarasian gerakan anti-premanisme pada 3 Juli 2006 – saat itu turut mendeklarasikan gerakan ini antara lain Shinta Nuriyah – isteri mantan Presiden Abdurrahman Wahid.(69) Hingga sekarang, kantor-kantor LBH seringkali digunakan oleh individu, kelompok dan organisasi masyarakat untuk penyelenggaraan konferensi pers.<br /><br />C.5.2. Menjadi tempat gagasan dan perlawanan dimulai<br /><br />Adnan Buyung dan Yap Thian Hiem, banyak menyampaikan gagasan sekaligus mengupayakannya. Gerakan pembebasan Tahanan Politik (Tapol), misalnya, telah disuarakan sejak 1970-an, seusai keduanya dilepas dari tahanan tanpa peradilan, setelah peristiwa Malari.<br /><br />Kantor-kantor LBH seringkali digunakan untuk menyusun formula perlawanan dan aktivitas advokasi. Tidak sedikit, koalisi atau lembaga-lembaga advokasi lahir dari diskusi yang berawal dari kantor LBH, atau diinisiasi oleh para advokat publik dan penggiat bantuan hukum LBH. Gerakan anti-korupsi di Sumatera Barat yang awalnya seringkali mengadakan rapat di LBH Padang. Contoh lain, gerakan kampanye anti mafia peradilan, yang dimotori LBH Jakarta dan juga Jaringan Solidaritas untuk Penghentian Penggusuran.(70)<br /><br />Di awal 2002, gagasan promosi dan pembelaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) dimulai secara lebih sistematis, dengan pembentukan sebuah divisi. Promosi hak-hak ekosob, kemudian dijadikan tema sentral rapat kerja Nasional pada Juli 2005 di Denpasar, Bali.<br /><br /><br />D. Penutup: Penghargaan dan Pengakuan<br /><br />"Pemerintah yang saya pimpin tidak pernah merasa tersinggung, marah, atau jengkel terhadap setiap langkah hukum yang dilakukan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) dan lembaga-lembaga sejenis lainnya,"<br />(Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, 24 April 2006)<br /><br />Berbagai penghargaaan kepada LBH secara kelembagaan, dan penghargaan kepada para advokat dan aktivis LBH merupakan bentuk pengakuan terhadap aktivitas dan penggiat bantuan hukum yang bekerja di LBH.<br /><br />Secara kelembagaan LBH memperoleh penghargaan Roger Baldwin Medal of Liberty. Sejumlah penghargaan juga diterima oleh pada advokat dan aktivis LBH, sebagai bentuk pengakuan terhadap kerja-kerja yang dilakukannya.<br /><br />Adnan Buyung Nasution, memperoleh penghargaan: International Award for Legal Aid di Stockholm, 1976 dan London, 1977; dianugerahi Man of the Year (Indonesia Raya, 1987); mendapat penghargaan Bintang Maha Putera pada 2000. Tercatat juga, Bambang Widjojanto, memperoleh penghargaan Robert Kennedy Human Rights Award. Saat menjadi Wakil Ketua Bidan Operasional, Munir memperoleh penghargaan the Right Livelihood Award, 2000; Hounourable Mention, UNESCO – Madanjeet Singh Prize for Tolerance and Non-Violence, 2000; sebagai salah seorang dari 20 young leaders of Asia for the Millenium III (Asia Week, 1999); salah seorang dari 100 Orang Indonesia Terkemuka Abad XX (majalah Forum Keadilan), dan Man of the Year (majalah Ummat, 1998).<br /><br />Kerja para advokat dan aktivis LBH, belakangan mendapat pengakuan. Dalam pertemuan puncak bantuan hukum yang diselenggarakan LBH pada 24 April 2006, sinyal perhatian Pemerintah telah diberikan. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudyono (SBY), tidak kurang dari 8 menteri, termasuk Jaksa Agung RI dan Kapolri Jendral (Pol) Sutanto menghadiri acara ini. Presiden SBY ketika itu menyatakan pendapatnya tentang LBH,"walaupun kadang, suaranya terdengar keras dan lantang. Tidak perlu diubah, tidak apa-apa".(71) Menurutnya, setiap langkah yang dilakukan LBH dan pihak manapun sepanjang dilandasi itikad baik untuk menegakkan keadilan dan supremasi hukum, harus disambut baik.(72) <br /><br />Baru-baru ini, YLBHI juga dipercaya menjadi penyelenggara aktivitas High Level Commission on Legal Empowerment for the Poor (CLEP) kemudian berubah menjadi CLEP (Commission on Legal Empowerment of the Poor), sebuah komisi di Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bertujuan menggerakkan aktivitas pemberdayaan hukum bagi masyarakat miskin diseluruh dunia.(73)<br /><br /><br />Jakarta, 6 Desember 2006<br /><br />Catatan Belakang<br /><br /> (1) Lihat Kompas. 12 Oktober 2005. “Refleksi 25 Tahun YLBHI. Harus Bisa Jawab Tuntutan Masyarakat”.<br /> (2) Lihat antara lain John M. Echols dan Hassan Shadily. 2003. Kamus Indonesia Inggris. Edisi Ke-3. Cetakan ke-8. Jakarta: PT Gramedia Jakarta., h. 333. Dalam kamus ini, LBH diterjemahkan menjadi legal aid services.<br /> (3) Lihat antara lain ARRC. 2003. A Directory of Asia and the Pacific Organizations Related to Human Rights Education Work. 3rd Edition. Bangkok: ARRC, p. 111.<br /> (4) Setelah Kongres Peradin III, Agustus 1969 guna mewujudkan idenya, Adnan Buyung Nasution, sempat mendatangi Ali Moertopo untuk mengutarakan rencana pembentukan LBH – yang juga memberikan bantuan pada awal LBH Berdiri, seperti 5 buah skuter. Kemudian menemui Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin, yang kemudian sangat banyak membantu keberadaan LBH. Lihat Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto. Jakarta: Aksara Karunia, h. 221.<br /> (5) Dikutip dari Ibid., h. 216.<br /> (6) Lihat Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Menabur Benih Reformasi. Jakarta: Aksara Karunia, h. 25.<br /> (7) Ibid.<br /> (8) Dikutip dari Paul S. Baut. “Pendahuluan. Pemimpin dan Kepemimpinan yang Mandiri” dalam Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan (eds.). 1989. Loekman Wiriadinata, S.H. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: YLBHI, h. 9.<br /> (9) Lihat Daniel S. Lev. “In Memoriam: Yap Thian Hien” dalam Daniel Hutagalung (ed.). 1998. Yap ThiamHien: Negara, HAM dan Demokrasi. Jakarta: YLBHI, h. xiii.<br /> (10) Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto., Op.cit., h. 223.<br /> (11) Dikutip dari Abdul Hakim Garuda Nusantara. “Kata Pengantar” dalam YLBHI. 1991. Suardi Tasrif dalam Kenangan. Jakarta: YLBHI, h. i.<br /> (12) Tulisan Satjipto Rahardjo misalnya, dimuat dalam publikasi Radar, yang diterbitkan YLBHI. Lihat Satjipto Rahardjo, “Masalah-masalah Hukum dan Sosial dan Rangka Pemerataan Keadilan” dalam Radar. Maret – April 1988, h. 38 – 43. Tulisan ini, sebelumnya disampaikan pada Lokakarya Masalah Hukum dan Pemberi Bantuan Hukum se-Jawa Tengah kerjasama dengan LBH Semarang dan PWI Jateng, Ungaran 25 – 26 Februari 1988.<br /> (13) Lihat LBH. 1976. Legal Aid in Indonesia (Five years of the Lembaga Bantuan Hukum). Jakarta: LBH, p. 20.<br /> (14) Lihat T. Mulya Lubis. “In Memoriam: S. Tasrif. Pejuang Hukum yang Kesepian”, dalam YLBHI. 1991. Suardi Tasrif dalam Kenangan. Jakarta: YLBHI, h. 47 – 52.<br /> (15) Tentang kasus itu, lihat antara lain Down to Earth Nr. 44 Februari 2000. “Protest at PT TEL pulp plant”. Teks di http://dte.gn.apc.org/44PTT.htm; <br /> (16) Lihat antara lain Kompas. 8 Juni 2003. “Kronologi Kemelut Indorayon”;<br /> (17) Tentang kasus ini, lihat antara lain. Suara Merdeka. 29 September 2004. “Kasus Buyat Tetap Dilanjutkan. YLBHI: Ujian untuk Polri”.<br /> (18) Tentang pembelaan advokat dan aktivis LBH untuk Abu Bakar Ba’asyir, lihat antara lain: Tempointeraktif. 6 April 2004. “Adnan Buyung: Kalau Jadi Kacung Lebih Baik Da’i Berhenti”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/04/06/brk,20040406-30,id.html; Tempointeraktif. 5 April 2004. “Besok, Pengacara Ba”asyir Tentukan Sikap”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/04/05/brk,20040405-20,id.html <br /> (19) Lihat antara lain. Gatra.com. 19 Juli 2005. “Ahmadiyah Tunjuk YLBHI Sebagai Kuasa Hukum”; Detikcom. 6 Agustus 2004. “Keluarga Aktivis Muslim Solo Minta Perlindungan YLBHI”.<br /> (20) Detikcom. 13 September 2005. “LBH: Jemaat Ahmadiyah Punya Hak Kebebasan Agama”; Detikcom. 16 September 2005. “Warga Ahmadiyah Yogyakarta Datangi Kantor LBH Yogya”; Detikcom. 23 September 2006. “LBH Bandung Bentuk Tim Investigasi Penyerangan Ahmadiyah”; Detikinet.com. 14 Desember 2005. “Diminta Bongkar Plang, Ahmadiyah Padang Mengadu ke LBH”<br /> (21) Gatracom. 19 April 2006. “Kasus Penodaan Agama. Lia Eden Mulai Disidang”; Detikcom. 1 Januari 2006. “50 Pengacara Bela Lia Eden”.<br /> (22) Lihat LBH. 1976. Legal Aid in Indonesia (Five years of the Lembaga Bantuan Hukum). Jakarta: LBH, p. 53 - 54. <br /> (23) Ibid.<br /> (24) Ibid, h. 10.<br /> (25) Ibid., h. 11.<br /> (26) Ibid, h. 15.<br /> (27) Ibid, h. 10.<br /> (28) Ibid., h. 33.<br /> (29) Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto, Op.cit., h. 252.<br /> (30) Lihat Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. Op.cit, h. 6.<br /> (31) Ibid, hal. 10. <br /> (32) Ibid, h. 13.<br /> (33) Ibid, h. 14.<br /> (34) Ibid, h. 15.<br /> (35) Ibid, h. 17.<br /> (36) Lihat Ibid, h. 22.<br /> (37) Lihat Ibid., h. 17.<br /> (38) Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Paralegal Sebagai Bagian Dari Profesi Pelayanan Hukum di Indonesia” dalam D.J. Ravindran. 1989. Buku Penuntun untuk Latihan Paralegal. Jakarta: YLBHI , h. x.<br /> (39) Lihat Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. Op.cit., h. 17.<br /> (40) Pada 8 Mei 1993, mayat Marsinah ditemukan sekelompok anak-anak di gubuk ditengah sawah di desa Jagong, kecamatan Eilangan Kabupaten Nganjuk. Marsinah saat itu berusia 25 tahun. Mengenai kasus ini, lihat antara lain Alex Supartono. 1999. Marsinah. Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan Indonesia. Jakarta: YLBHI.<br /> (41) Penggunaan istilah MBH, antara lain dapat ditemui dalam Radar. Maret – April 1988. Lihat Rubrik “Jejak LBH”, h. 69.<br /> (42) Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. Op.cit., h. 11.<br /> (43) Ibid, h. 12.<br /> (44) Lihat Ibid, , h. 6.<br /> (45) Dikutip dari Ibid, h. 6.<br /> (46) Publikasi yang berkaitan dengan advokasi kebijakan antara lain dapat dilihat dari buku-buku terbitan YLBHI dan KRHN, seperti: Teten Masduki, Selma Widhi Hayati, Husaimah Husain, dkk. 1998. Pokok-Pokok Pikiran YLBHI tentang YLBHI ; KRHN dan KPA. Jakarta: YLBHI; Tim Penulis. Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria. Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria. Jakarta: KRHN dan KPA.<br /> (47) Contoh paling mutakhir, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI juga melibatkan YLBHI dalam Panitia Penyusunan RPP tentang Tata Cara Pelaksanaan Jenis-jenis Tindakan. Surat Dirjen Peraturan Perundang-undangan No. I2.UM.02.10-945, 29 November 2006.<br /> (48) Lihat antara lain Baku Bae. 2001. The Community-Based Reconciliation Process of Baku Bae in Maluku. Jakarta: Baku Bae Foundation, p. 10.<br /> (49) Lihat Lihat Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. 1985. Laporan Tahunan 1984. Jakarta: YLBHI, h. 31. Ketika itu pendanaan didukung oleh FNS (Fredrich Naumann Stichtung).<br /> (50) Dalam penyusunan laporan HAM itu, banyak pihak turut membantu, antara lain Dawam Rahardjo, Hero Kuntjorojakti, Daniel Dhakidaer, Kartono Mohammad, Atmakusumah.<br /> (51) Publikasi yang diterbitkan di era Abdul Hakim Garuda Nusantara, antara lain: Mulyana W. Kusumah. 1988. Kejahatan dan Penyimpangan. Seuatu Perspektip Kriminologi. Jakarta: YLBHI; Abdul Hakim Garuda Nusantara. 1989. Politik Hukum Indonesia. YLBHI: Jakarta; Luhut M.P. dan Benny K (eds). Harman. 1989. Hak Rakyat atas Pembangunan. 40 Tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI dan Friedrich Naumann Stiftung; Mulyan W. Kusumah, Paul S. Baut dan Benny K. Harman. 1989. Konsep dan Pola Penyuluhan Hukum. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. 1989. Loekman Wiriadinata, SH. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut (ed.). Legal Aid in Developing Countries. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut (ed.) 1989. Remang-remang Indonesia. Laporan Hak Asasi Manusia 1986 – 1987. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut dan Beny K. Harman. Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI. D.J. Ravindran (Ed.). 1989. Buku Penuntun untuk Latihan Paralegal. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut (ed.). 1990. Dilema Arus Pembangunan. Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1988. Jakarta: YLBHI.<br /> (52) Lihat antara lain C.B. MacPherson. 1989. Pemikiran Dasar tentang Hak Milik. Jakarta: YLBHI.<br /> (53) Dikutip dari Radar. ISSN 0216 – 7476.<br /> (54) Lihat Tatang Suganda. 1988. Tanya Jawab Masalah Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: YLBHI.<br /> (55) Michael M. Cernea. 1990. Petunjuk Teknis Bank Dunia No. 80. Pemukiman Penduduk Secara Terpaksa Dalam Proyek-proyek Pembangunan. Jakarta: YLBHI.<br /> (56) Perkara No. 080/G/1995/IJ/PTUN-JKT. Ketika itu, yang menjadi Kuasa Hukum Penggugat antara lain Sukardjo Adidjojo, Amartiwi Saleh, Bambang Widjojanto, Mohammad Assegaf dan Jonly Joihin. <br /> (57) A.M. Fatwa. 1989. Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili. Pembelaan Didepan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Desember 1985. Jakarta: YLBHI<br /> (58) Publikasi YLBHI. 1998. Politik Pembebasan Tapol. Jakarta: YLBHI; Razif. 1998. Sejarah Pemikiran Serikat Buruh Indonesia. Andi Achdian (ed.). Jakarta: YLBHI.<br /> (59) Antara lain, Daniel Hutagalung (ed.). 1998. Yap ThiamHien: Negara, HAM dan Demokrasi. Jakarta: YLBHI.<br /> (60) Publikasi YLBHI. 1999. School for Rape. Perkosaan Sistematis di Burma. Jakarta: YLBHI.<br /> (61) Lihat situs YLBHI, www.ylbhi.or.id<br /> (62) Lihat antara lain A. Patra M. Zen. 2004. Tidak Ada Hak Asasi yang Diberi. Jakarta: YLBHI.<br /> (63) Adnan Buyung Nasution bersama-sama dengan para pakar Rijksuniversiteit Utrecht dan Leiden – Pieter van Dijk, Th. C. van Boven, L. Betten, menerbitkan sebuah buku pertama di Indonesia, yang memuat relatif lengkap norma dan standar internasional hak asasi manusia. Ide penerbitan buku ini sudah dimulai diawal 1980-an, dimotori Ivan Katz. Buku yang pertama kali dicetak versi bahasa Indonesianya pada 1997 ini kemudian diperbaruhi dan diterbitkan pada Juni 2006. Lihat Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen. 1999. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Cetakan ke-3. Jakarta: YLBHI, Yayasan Obor Indonesia dan KAA. Sementara, pada 1993, juga bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, Todung menyunting sebuah buku penting dalam publikasi HAM di Indonesia. Buku ini memuat kumpulan tulisan dari para professor dan pemikir HAM terkemuka di dunia. Lihat T. Mulya Lubis (Penyunting). 1993. Hak-hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia. Isu dan Tindakan. Edisi ke-1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.<br /> (64) Adnan Buyung Nasution, “Pengantar” dalam T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (eds.). 1979. Laporan Tahunan Keadaan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia. Jakarta: LBH Jakarta, h. 2; lihat juga T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah. 1981. Langit Masih Mendung. Laporan Keadaan Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980. Cet. Ke-2. Jakarta: YLBHI.<br /> (65) Lihat Ibid., h. 2 -3.<br /> (66) Lihat T. Mulya Lubis, “Kata Pengantar” dalam Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. 1985. Laporan Tahunan 1984. Jakarta: YLBHI, h. 3.<br /> (67) Lihat Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto. Op.cit, h. 229.<br /> (68) Lihat Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. Op.cit, h. 12.<br /> (69) Tentang gerakan ini, lihat antara lain Detikcom. 3 Juli 2006. “Gerakan Antipremanisme Dibentuk”<br /> (70) Lihat Berita LBH Jakarta No. 11/Oktober 2006, h. 16.<br /> (71) Dikutip dari Kompas. 24 April 2006. “Presiden: Pemerintah Saya Tidak Pernah Merasa Tersinggung”. Teks di http://www.kompas.co.id/utama/news/0604/24/153932.htm<br /> (72) Ibid.<br /> (73) Lihat CLEP doc. “Partners”. Teks di http://legalempowerment.undp.org/who/partners.html<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />ARRC. 2003. A Directory of Asia and the Pacific Organizations Related to Human Rights Education Work. 3rd Edition. Bangkok: ARRC.<br /><br />Baku Bae. 2001. The Community-Based Reconciliation Process of Baku Bae in Maluku. Jakarta: Baku Bae Foundation.<br /><br />Baut, Paul S.. “Pendahuluan. Pemimpin dan Kepemimpinan yang Mandiri” dalam Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan (eds.). 1989. Loekman Wiriadinata, S.H. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: YLBHI.<br />-----------, (ed.). 1990. Dilema Arus Pembangunan. Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1988. Jakarta: YLBHI.<br /><br />-----------, (ed.) 1989. Remang-remang Indonesia. Laporan Hak Asasi Manusia 1986 – 1987. Jakarta: YLBHI.<br /><br />-----------, dan Luhut M.P. Pangaribuan. 1989. Loekman Wiriadinata, SH. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut (ed.). Legal Aid in Developing Countries. Jakarta: YLBHI;<br /><br />-----------, dan Beny K. Harman. Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Cernea, Michael M.. 1990. Petunjuk Teknis Bank Dunia No. 80. Pemukiman Penduduk Secara Terpaksa Dalam Proyek-proyek Pembangunan. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Echols, John M. dan Hassan Shadily. 2003. Kamus Indonesia Inggris. Edisi Ke-3. Cetakan ke-8. Jakarta: PT Gramedia Jakarta.<br /><br />Fatwa, A.M. 1989. Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili. Pembelaan Didepan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Desember 1985. Jakarta: YLBHI<br /><br />Hutagalung, Daniel (ed.). 1998. Yap ThiamHien: Negara, HAM dan Demokrasi. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Kusumah, Mulyana W., Paul S. Baut dan Benny K. Harman. 1989. Konsep dan Pola Penyuluhan Hukum. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Kusumah, Mulyana W. 1988. Kejahatan dan Penyimpangan. Seuatu Perspektip Kriminologi. Jakarta: YLBHI.<br /><br />-----------., Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. 1985. Laporan Tahunan 1984. Jakarta: YLBHI.<br /><br />LBH. 1976. Legal Aid in Indonesia (Five years of the Lembaga Bantuan Hukum). Jakarta: LBH.<br /><br />Lev, Daniel S. “In Memoriam: Yap Thian Hien” dalam Daniel Hutagalung (ed.). 1998. Yap ThiamHien: Negara, HAM dan Demokrasi. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Lubis, T. Mulya, (Penyunting). 1993. Hak-hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia. Isu dan Tindakan. Edisi ke-1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.<br /><br />-----------. “In Memoriam: S. Tasrif. Pejuang Hukum yang Kesepian”, dalam YLBHI. 1991. Suardi Tasrif dalam Kenangan. Jakarta: YLBHI. <br /><br />------------, “Kata Pengantar” dalam Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. 1985. Laporan Tahunan 1984. Jakarta: YLBHI.<br /><br />-----------. dan Fauzi Abdullah. 1981. Langit Masih Mendung. Laporan Keadaan Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980. Cet. Ke-2. Jakarta: YLBHI.<br /><br />MacPherson, C.B. 1989. Pemikiran Dasar tentang Hak Milik. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Masduki, Teten, Selma Widhi Hayati, Husaimah Husain, dkk. 1998. Pokok-Pokok Pikiran YLBHI tentang YLBHI ; KRHN dan KPA. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Nasution, Adnan Buyung. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto. Jakarta: Aksara Karunia<br /><br />----------. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Menabur Benih Reformasi. Jakarta: Aksara Karunia<br /><br />-----------, “Pengantar” dalam T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (eds.). 1979. Laporan Tahunan Keadaan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia. Jakarta: LBH Jakarta.<br /><br />-----------, dan A. Patra M. Zen. 1999. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Cetakan ke-3. Jakarta: YLBHI, Yayasan Obor Indonesia dan KAA. <br /><br />Nusantara, Abdul Hakim Garuda. “Kata Pengantar” dalam YLBHI. 1991. Suardi Tasrif dalam Kenangan. Jakarta: YLBHI<br /><br />-----------. 1989. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: YLBHI.<br /><br />-----------, “Paralegal Sebagai Bagian Dari Profesi Pelayanan Hukum di Indonesia” dalam D.J. Ravindran. 1989. Buku Penuntun untuk Latihan Paralegal. Jakarta: YLBHI .<br /><br />Pangaribuan, Luhut M.P. dan Benny K (eds). Harman. 1989. Hak Rakyat atas Pembangunan. 40 Tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI dan Friedrich Naumann Stiftung.<br /><br />Ravindran, D.J. (Ed.). 1989. Buku Penuntun untuk Latihan Paralegal. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Rahardjo, Satjipto, “Masalah-masalah Hukum dan Sosial dan Rangka Pemerataan Keadilan” dalam Radar. Maret – April 1988.<br /><br />Suganda, Tatang. 1988. Tanya Jawab Masalah Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Supartono, Alex. 1999. Marsinah. Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan Indonesia. Jakarta: YLBHI.<br /><br />Tim Penulis. Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria. Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria. Jakarta: KRHN dan KPA.<br /><br />YLBHI. 1999. School for Rape. Perkosaan Sistematis di Burma. Jakarta: YLBHI.<br /><br />-----------. 1998. Politik Pembebasan Tapol. Jakarta: YLBHI; Razif. 1998. Sejarah Pemikiran Serikat Buruh Indonesia. Andi Achdian (ed.). Jakarta: YLBHI.<br /><br />Zen, A. Patra M.. 2004. Tidak Ada Hak Asasi yang Diberi. Jakarta: YLBHI.<br /><br /><br />Berita<br /><br />Berita LBH Jakarta No. 11/Oktober 2006.<br /><br />Down to Earth Nr. 44 Februari 2000. “Protest at PT TEL pulp plant”.<br />Detikcom. 23 September 2006. “LBH Bandung Bentuk Tim Investigasi Penyerangan Ahmadiyah”.<br /><br />-----------. 3 Juli 2006. “Gerakan Antipremanisme Dibentuk”.<br /><br />-----------. 1 Januari 2006. “50 Pengacara Bela Lia Eden”.<br /><br />-----------. 16 September 2005. “Warga Ahmadiyah Yogyakarta Datangi Kantor LBH Yogya”.<br /><br />-----------. 13 September 2005. “LBH: Jemaat Ahmadiyah Punya Hak Kebebasan Agama”.<br /><br />-----------. 6 Agustus 2004. “Keluarga Aktivis Muslim Solo Minta Perlindungan YLBHI”.<br /><br />Detikinet.com. 14 Desember 2005. “Diminta Bongkar Plang, Ahmadiyah Padang Mengadu ke LBH”.<br /><br />Gatra.com. 19 Juli 2005. “Ahmadiyah Tunjuk YLBHI Sebagai Kuasa Hukum”.<br /><br />------------. 19 April 2006. “Kasus Penodaan Agama. Lia Eden Mulai Disidang”.<br /><br />Kompas. 24 April 2006. “Presiden: Pemerintah Saya Tidak Pernah Merasa Tersinggung”. <br /><br />-----------. 12 Oktober 2005. “Refleksi 25 Tahun YLBHI. Harus Bisa Jawab Tuntutan Masyarakat”.<br /><br />-----------. 8 Juni 2003. “Kronologi Kemelut Indorayon”.<br /><br />Suara Merdeka. 29 September 2004. “Kasus Buyat Tetap Dilanjutkan. YLBHI: Ujian untuk Polri”.<br /><br />Tempointeraktif. 6 April 2004. “Adnan Buyung: Kalau Jadi Kacung Lebih Baik Da’i Berhenti”. <br /><br />------------. 5 April 2004. “Besok, Pengacara Ba”asyir Tentukan Sikap”.<br /><br />Situs<br /><br />CLEP doc. “Partners”. Teks di http://legalempowerment.undp.org/who/partners.html<br /><br />YLBHI, www.ylbhi.or.id<br /><br />Lainnya<br /><br />Surat Dirjen Peraturan Perundang-undangan No. I2.UM.02.10-945, 29 November 2006. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI juga melibatkan YLBHI dalam Panitia Penyusunan RPP tentang Tata Cara Pelaksanaan Jenis-jenis Tindakan.<br /><br />Perkara No. 080/G/1995/IJ/PTUN-JKT.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-90452362605505027252008-11-03T20:46:00.003+07:002008-11-03T21:11:00.901+07:00Partisipasi Masyarakat Dalam Pembuatan Hukum: Menguntungkan Pejabat!Oleh A. Patra M. Zen dan Angelique Jaime**<br /><br />Paper singkat ini bertujuan untuk memberikan pengantar bagi diskusi lebih lanjut tentang “hak partisipasi masyarakat dalam penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang maupun peraturan daerah – selanjutnya dalam tulisan ini disingkat “hak partisipasi masyarakat”.(1) Dalam tulisan ini akan dideskripsikan keuntungan/manfaat aparat Negara, pejabat Pemerintah dan Anggota Parlemen (DPR/DPRD) jika turut mempromosikan, melindungi, melaksanakan atau memenuhi hak partisipasi masyarakat. <br /><br />Selanjutnya, paper ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis dua tema: (1) hak partisipasi dalam hukum internasional (hak asasi manusia), serta: (2) hukum yang menjamin hak partisipasi masyarakat atau konsultasi publik di negara tetangga Thailand. <br /><br />Dibagian akhir, tulisan ini ditutup dengan tawaran kerjasama mempromosikan dan mengimplementasikan “hak partisipasi masyarakat”, terutama dalam penetapan maupun rancangan peraturan daerah.<br /><br /><br /><span class="fullpost">A. Mengapa Menguntungkan Pejabat Pemerintah dan Anggota Parlemen?<br /><br />“Hak partisipasi masyarakat” telah menjadi isu global, menjadi isu komunitas internasional. Tentu dengan banyak alasan. Telah banyak argumen “hak partisipasi masyarakat” jika dipenuhi akan memberikan manfaat bagi publik dan rakyat banyak. Namun, manfaat apa yang akan diperoleh aparat Negara jika memenuhi hak masyarakat ini? <br /><br />Setidaknya ada 4 manfaat, yang dapat dinikmati, sebagai berikut:<br /><br />Pertama, pejabat dan anggota parlemen mendapatkan banyak masukan, sehingga diharapkan peraturan atau kebijakan yang ditetapkan tidak salah sasaran, berguna dan juga bermanfaat bagi masyarakat banyak. Para komentator menyatakan, pemenuhan hak partisipasi masyarakat yang genuine akan mengurangi efek oposisi lawan politik dan juga dapat menyebabkan situasi: walaupun publik tidak setuju dengan “keputusan akhir”, namun mereka paham alasan “keputusan akhir” yang diambil Pemerintah atau DPR/DPRD karena alasan yang dikemukakan oleh pejabat merupakan alasan yang “objective” dan “reasonable”.<br /><br />Kedua, terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan termasuk terhindar dari praktik korupsi. Pemenuhan “hak partisipasi masyarakat” berkaitan dengan pemenuhan sejumlah prinsip antara lain keterbukaan (transparansi), pemenuhan hak atas informasi serta melibatkan sebanyak-banyaknya kelompok masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang marjinal, tidak teruntungkan dan miskin. Tidak tertutup kemungkinan “orang baik” yang terjurumus menyalahgunakan kekuasaan atau melakukan praktik korupsi karena kebijakan yang diambil tidak transparan dan tidak melibatkan publik secara luas. Publik disini juga, termasuk akademisi, aktivis organisasi masyarakat sipil serta organisasi profesional.<br /><br />Ketiga, menjadi refensi dan contoh best practices (contoh-contoh terbaik) sekaligus pejabat yang bersangkutan menjadi kampiun (champion) dalam pemenuhan salah satu hak asasi manusia yang fundamental ini. Secara paralel, juga dapat membuka pintu bagi pemenuhan hak asasi manusia yang lainnya, termasuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob). Namun perlu dicatat, “bukti yang baik ini” bertujuan untuk mendapatkan “keputusan yang tepat”.<br /><br />Keempat, meningkatkan “popularitas” pejabat yang bersangkutan dimata konstituennya, dan masyarakat secara umum. “Popularitas” yang dimiliki, secara realpolitiek tentu saja mendukung karier politik yang bersangkutan. Tentu, “popularitas” bukanlah menjadi tujuan utama, namun tidak dapat dipungkiri pejabat yang merakyat dan sering mendengar konstituen dan rakyat banyak, dapat diistilahkan pejabat popular.<br /><br />Tentu masih banyak argumen keuntungan bagi pejabat yang dapat dirumuskan. Keempat manfaat tersebut merupakan contoh sekaligus ilustrasi bahwa pemenuhan “hak partisipasi masyarakat” menguntungkan semua pihak. Kadangkala, memang bisa menyebabkan proses keputusan yang diambil agak memakan waktu, namun hal ini dapat menjadi investasi yang sangat berharga karena peraturan atau kebijakan yang partisipatif akan menghemat waktu, uang dan lainnya termasuk mencegah konflik yang mungkin timbul.<br /> <br /><br />B. Hak Partisipasi Masyarakat: Isu Global<br /><br />Dilevel internasional “hak partisipasi masyarakat dalam penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang maupun peraturan daerah” merupakan salah satu ‘prinsip hak asasi manusia yang lebih luas yakni: “hak untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik (pemerintahan), hak dipilih dan memilih serta persamaan hak terhadap pelayanan publik”.(2) Kovenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan hak ini dalam pasal 25. Sebagai informasi, RUU tentang Pengesahan Kovenan Internasional ini (ICCPR) telah dimasukan sebagai prioritas dalam program Legislasi Nasional Tahun 2005 – 2009. Setelah diratifikasi, Pemerintah Republik Indonesia diwajibkan memberikan laporan periodik, karenanya, tidak menutup kemungkinan wilayah/daerah Anda akan dilaporkan sebagai contoh terbaik dalam pemenuhan pasal 25 ICCPR ini. <br /><br />Tidak usah menunggu hingga ditetapkanya RUU Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, daerah/wilayah Anda (sudah) dapat menjadi contoh terbaik dalam promosi dan pemenuhan hak partisipasi perempuan serta penghapusan diskriminasi terhadap perempuan didalam kehidupan publik dan politik. Pasal 7 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) menyatakan bahwa Pemerintah mesti melakukan semua tindakan yang dapat dilakukan untuk memastikan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam: (1) memilih dan dipilih disetiap pemilihan umum, dan pengambilan pendapat publik serta semua dapat memilih dan dipilih dalam lembaga-lembaga publik yang menerapkan mekanisme pemilihan; (2) berpartisipasi dalam perumusan/formulasi kebijakan pemerintah dan implementasinya serta memegang jabatan publik dan menjalankan fungsi-fungsi publik disemua level pemerintahan, serta; (3) berpartisipasi dalam organisasi non-pemerintah dan asosiasi yang berkaitan dengan kehidupan publik dan politik. CEDAW diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7/1984.(4) Ketentuan pasal 18 UU ini, menyatakan Pemerintah Indonesia, setidaknya setiap empat tahun sekali atau pada saat Komite CEDAW meminta, mesti menyampaikan laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB, untuk dipertimbangkan oleh Komite CEDAW. Pertanyaannya, apakah wilayah/daerah Anda (sudah) dapat disebut sebagai contoh terbaik pemenuhan hak partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan?<br /><br />Selain perhatian terhadap kaum perempuan, komunitas internasional juga memberikan perhatian terhadap hak partisipasi kelompok-kelompok minoritas, antara lain dinyatakan dalam Deklarasi tentang Hak-hak Kelompok Masyarakat Minoritas dalam Hal Nasionalitas, Etnis, Agama dan Bahasa.(4) <br /><br />Sebagai tambahan, pentingnya partisipasi masyarakat dalam perspektif hukum internasional, juga berkaitan dengan pemenuhan hak-hak asasi manusia lainnya, sebagaimana telah disinggung dibagian awal. Keterkaitan hak partisipasi masyarakat dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta pembangunan politik, sempat dikemukakan Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).(5) Pada saat membuka sesi Kelompok Kerja PBB untuk Hak atas Pembangunan, dinyatakan: “(k)omunitas internasional telah menyampaikan dan berulangkali menegaskan dibanyak kesempatan bahwa hak atas pembangunan memiliki substansi khusus, yakni berintikan hak partisipasi.(6) <br /><br /><br />C. Ideal Partisipasi <br /><br />Komite CCPR telah merumuskan ideal pemenuhan hak setiap orang (“every citizen”) untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih serta persamaan hak untuk mendapatkan akses pelayanan publik – hak-hak ini disebut dengan “the core of democratic government based on the consent of the people”. Ideal partisipasi masyarakat ini oleh Komite dijabarkan, antara lain sebagai berikut:<br />- Hak setiap orang untuk “berpartisipasi dalam urusan-urusan publik”, merupakan konsep yang luas berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan politik, khususnya kekuasaan legislatif, eksekutif dan administratif. Karenya, mencakup semua aspek administrasi publik, dan penyusunan serta implementasi kebijakan baik dilevel internasional, nasional, region, maupun ditingkat lokal. Hak ini mesti dijamin dalam konstitusi, undang-undang termasuk peraturan daerah.(7) <br />- Partisipasi warga negara secara langsung dalam melaksanakan urusan publik dapat dilakukan saat mereka memegang jabatan sebagai anggota parlemen dan menjabat di pemerintahan. Secara paralel, warga negara juga dapat secara langsung berpartisipasi dalam urusan-urusan publik pada saat mereka memilih atau mengubah konsitusi atau menentukan isu yang menjadi urusan publik lewat proses referendum atau proses elektoral lainnya. Selain itu, warga negara dapat berpartisipasi secara langsung lewat organisasi-organisasi masyarakat (popular assemblies) dan organisasi-organisasi rakyat akar rumput, yang mempunyai kekuasaan untuk membuat suatu keputusan tentang isu-isu lokal atau urusan-urusan didalam komunitas tertentu dimana mereka dapat menjadi perwakilan warga negara pada saat konsultasi publik diselenggarakan oleh pemerintah.(8) <br />- Warga negara dapat juga berpartisipasi dalam pelaksaan urusan publik lewat debat publik dan dialog dengan wakil-wakil yang dipilih mereka (dalam Pemilu) atau lewat kapasitas organisasi yang mereka miliki sendiri. Dalam konteks ini, diperlukan sebuah “organisasi rakyat yang kuat dan efektif”. Hak ini juga mempunyai prasyarat dimana terdapat situasi perlindungan hak asasi lainnya, yakni: kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat.(9) <br />- Hak dan peluang setiap warga negara untuk mendapatkan akses atas pelayanan publik, termasuk melakukan aksi afirmatif agar terjadi persamaan akses terhadap semua pelayanan publik. Karenanya Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menghapuskan praktik-praktik diskriminasi.(10) <br />- Tak kalah penting, “hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih serta persamaan hak untuk mendapatkan akses pelayanan publik” dapat dipastikan pemenuhannya, jika terdapat “kebebasan pers dan; adanya kebebasan setiap warga negara melakukan aktivitas politik secara individual atau melalui partai politik atau organisasi-organisasi masyarakat lainnya; kebebasan dalam mengikuti debat publik; melakukan demonstrasi damai (peaceful demonstration) dan pertemuan-pertemuan massa; adanya kebebasan untuk memantau dan mengkritik serta menjadi oposisi; kebebasan untuk mempublikasikan political material; berkampanye dalam Pemilu atau proses pemilihan lainnya, serta; kebebasan untuk mempromosikan ide-ide politik.(11) <br /><br /><br />D. Hak Partisipasi Masyarakat dan Konsultasi Publik di Thailand: Sebuah Perbandingan(2) <br /><br />Ideal partisipasi tersebut, dapat dikatakan ingin dicapai oleh komunitas internasional, oleh Pemerintah dibanyak negara. Dalam kesempatan ini Penulis, akan memberikan gambaran tentang praktik konsultasi publik dan hak partisipasi masyarakat di Thailand. Pemilihan Thailand disebabkan negara ini terletak di satu kawasan dengan Indonesia (Asia Tenggara). <br /><br />Thailand merupakan salah satu negara yang sering menjadi contoh dan model pemenuhan “hak partisipasi masyarakat” dalam proses amandemen konstitusi – yang diistilahkan amandemen konsitusi dari akar rumput.<br /><br />Selain pengalaman amandemen konstitusi, sejumlah pengalaman dalam melaksanakan konsultasi publik di Negeri ini menarik untuk menjadi bahan diskusi.<br /><br />Pengalaman dan praktik konsultasi publik di Thailand terjadi pada 14 Oktober 1974 saat terjadi demonstrasi besar menentang UU Perencanaan Kota (the City Planning Act). Dampaknya masih bisa dirasakan saat ini, Bangkok Metropolitan Administration (BMA) dibentuk untuk mengevaluasi Bangkok City Planning. Rencana Tata Kota Bangkok dipublikasikan di sejumlah koran (surat khabar) termasuk denah penggunaan lahan untuk selanjutnya dimintakan komentar tertulis dari penduduk yang berdomisili di Bangkok. Selain itu badan ini juga menyediakan forum terbuka bagi warga Bangkok untuk mengekspresikan pendapat serta argumennya. <br /><br />Selanjutnya, konsultasi publik dalam pengambilan keputusan (decision making process) diadopsi dalam Promotion and Conservation of Environmental Quality Act (1992). Menarik untuk dicatat, UU ini memuat aturan: Pemerintah Thailand wajib memberikan mensubsidi atau memberikan dana kepada NGOs untuk melakukan penelitian berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup dan konservasi sumber dan kekayaan alam. Juga UU ini mewajibkan adanya environmental impact assessment report (EIA) sebuah proyek yang dianggap akan berdampak pada lingkungan. Report ini disusun oleh independent specialist. <br /><br />Demonstrasi massa rakyat yang besar terjadi lagi di Thailand pada Mei 1992, meminta amandemen konstitusi dan juga meminta pemerintah meningkatkan pelayanan publik. <br /><br />Kemudian pada Januari 1996, Kabinet menyetujui Rule of the Office of the Prime Minister on Public Consultation by Public Hearings. Dalam aturan ini dinyatakan: <br /><br />“if the Minister or Provincial Governor, as the case may be, is of opinion that an implementation of any project under his/her power and duty may cause adverse impact to environment, culture, occupation, safety, way of life of individual, community or society and may cause serious arguments among interested parties, the Minister may organize public hearings.” <br /><br />Sebaliknya: <br /><br />“…if any interested party is of opinion that an implementation of any government project may cause such adverse impact, he/she may submit written complaint to concerned government agencies. In the case where no response is given or he/she is not satisfied with such response, he/she may ask the Minister or Provincial Governor to organize public hearings on the project.”(13) <br /><br />Dari pengalaman Thailand, sebuah pelajaran dapat diambil, dalam praktiknya dengar pendapat formal yang dilakukan dijadikan satu-satunya mekanisme untuk mengumpulkan komentar publik, akibatnya aparat pemerintah tidak berusaha mengembangkan metode tersebut atau berusaha mencari teknik-teknik lain yang lebih tepat. Disamping itu, dalam praktik juga terjadi informasi yang diberikan tidak up to date; tidak dipraktikan komunikasi dua arah, serta mengalami sejumlah hambatan karena tidak adanya aturan dan prosedur standarnya. Sebagai solusi, diajukan UU yang memuat prosedur administratif dan prosedur umum proses pengambilan kebijakan, serta diajukan juga UU Informasi yang bertujuan untuk menetapkan metode dan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi resmi. Kedua UU ini mulai berlaku pada akhir 1996 dan 1997. Sebagai catatan, di Indonesia, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, merupakan salah satu RUU yang masuk dalam daftar prioritas RUU Program Legislasi Nasional Tahun 2005.<br /><br />Kembali ke Thailand Konstitusi Thailand (1997), memuat aturan konsultasi publik, section 59 menyatakan: <br /><br />“A person shall have the right to receive information explanation and reason from a State agency, State enterprise or local government organization before permission is given for the operation of any project or activity which may affect the quality of the environment, health and sanitary conditions, the quality of life or any other material interest concerning him or her or a local community and shall have the right to express his or her opinions on such matters in accordance with the public consultation procedure, as provided by law.” <br /><br />Dilevel praktik, mekanisme konsultasi publik di Thailand dijabarkan sebagai berikut:<br />- Mesti dilakukan lewat metode yang variatif;<br />- Konsultasi publik yang formal mesti dilakukan oleh komite independen ad hoc. Anggota komite ini dipilih dari daftar “impartial specialists” oleh “independent organization”;<br />- Untuk terwujudnya “good understanding” antara Pemerintah dan para pihak, respon dari konsultasi publik mesti dibuat dan laporannya dipublikasikan. <br />- Jika institusi Pemerintah gagal mengorganisir konsultasi publik, para pihak memiliki hak untuk menggugat di Pengadilan Administratif. <br /><br />Selanjutnya teknik, untuk mengumpulkan informasi, sebagai berikut:<br />- internet interaktif;<br />- penyebarluasan RUU atau Rancangan Peraturan secara gratis ke sebanyak-banyaknya masyarakat lewat institusi pemerintahan atau otoritas lokal;<br />- iklan layanan masyarakat (advertesing) untuk meminta komentar, diiklankan di surat khabar dan radio-radio;<br />- seminar – banyak universitas di Thailand secara sukarela bekerja sama untuk mengorganisasir seminar dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan tentu saja pejabat pemerintah.<br /><br />Warga atau penduduk dapat memberikan komentarnya melalui telepon, faksimile, surat dan internet interaktif. <br /><br /><br />D. Penutup: Bekerja Bersama(14) <br /><br />Tercatat, Forum LSM Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu lembaga anggota Koalisi Kebijakan Partisipatif. KKP, merupakan salah satu koalisi yang memiliki perhatian terhadap “hak masyarakat dalam penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang maupun peraturan daerah” . Saat ini Sekretariat Nasional KKP bertempat di kantor Yayasan LBH Indonesia di Jakarta.<br /><br />Koalisi yang beranggotakan tidak kurang dari 161(15) organisasi masyarakat sipil telah merumuskan prinsip-prinsip yang harus dimuat dalam RUU termasuk Ranperda, sebagai berikut: <br />1. “Inisiasi untuk membuat peraturan atau kebijakan bisa muncul dari Pemerintah dan DPR ataupun masyarakat.<br />2. Pemerintah dan DPR wajib melibatkan masyarakat seluas-luasnya menyusun kebijakan/aturan hukum.<br />3. Pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah dan DPR wajib dilakukan secara terbuka dan bersama-sama masyarakat.<br />4. Membuka ruang aksesabilitas yang sebesar-besarnya pada proses tersebut, melalui berbagai macam cara seperti konsultasi publik, mendorong prakarsa masyarakat dan sebagainya.<br />5. Berpihak pada kelompok-kelompok masyarakat yang paling rentan dari lahirnya suatu kebijakan (publik) atau penyusunan suatu aturan (hukum).<br />6. Adanya pengakuan dari negara atas hak setiap warga untuk ikut serta dalam proses penyusunan kebijakan/aturan hukum, serta jaminan atas pelaksanaan hak tersebut.<br />7. Adanya akses untuk meraih keadilan apabila prosedur (tata cara) penyusunan suatu aturan hukum tersebut dilanggar/menyimpang, misalnya hak untuk meminta banding. Termasuk di sini adalah hak masyarakat untuk melakukan peninjauan kembali apabila substansi/materi produk hukum tersebut tidak sesuai dengan kepentingan rakyat banyak.<br />8. Memastikan adanya akuntabilitas (pertanggungjawaban) dari para perumus kebijakan (eksekutif) dan penyusun aturan hukum (legislatif) atas prosedur penyusunan tersebut.”(16) <br /><br />Lembaga-lembaga serta individu, pakar hukum, akademisi yang bergabung dalam KKP telah menorehkan sejarah mekanisme pembentukkan perundang-undangan di Indonesia. Beragam bentuk advokasi dilakukan untuk mendesakkan ruang partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan membentuk perundang-undangan.(17) Sebagai contoh, menjelang rapat paripurna untuk persetujuan bersama DPR dan Presiden terhadap RUU PPP, anggota KKP secara intens melobby anggota DPR dan melakukan upaya-upaya seperti menggelar konferensi pers meminta penundaan persetujuan sekaligus merekomendasikan dimuatnya secara eksplisit hak setiap orang untuk terlibat dalam proses pembentukkan perundang-undangan. Rekomendasi KKP ini selanjutnya diadopsi dalam pasal 58 UU No. 10/2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan. Anggota Panja Fraksi Reformasi, Mutammimul Ula dan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Depkeh HAM, Abdul Gani Abdullah sempat menyatakan bahwa DPR dan Pemerintah telah menerima aspirasi dari kelompok masyarakat yang tergabung dalam KKP berkaitan dengan pasal 58.(18) <br /><br />Satu hal yang juga penting, namun kerap terlupa, KKP bersama-sama akademisi dan pakar hukum telah mencegah bangsa ini kejurang “sesat hukum”. Menjelang diundangkannya RUU, KKP mengorganisir beragam aktivitas untuk mendesak DPR merubah hirarki perundang-undangan yang dimuat dalam RUU PPP. Saat itu, KKP mengorganisir diskusi, talk show, konferensi pers dan pembuatan press release, termasuk bersama-sama para akademisi, yang secara individual mendukung KKP melobby sejumlah anggota DPR termasuk anggota Panja untuk merubah hirarki perundang-undangan yang “sesat”. Draft RUU yang dibahas DPR sempat mencampuradukkan peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan, termasuk memuat peraturan Bank Indonesia dalam hirarki perundang-undangan. (19) Upaya KKP dan sejumlah akademisi/pakar hukum ini kemudian diadopsi dalam pasal 7 UU PPP perihal jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, KKP telah mencegah terjadinya kekacauan dalam sistem hukum di Indonesia. <br /><br />Upaya-upaya yang dilakukan KKP direkam oleh “Pusat Informasi Tata Pemerintahan yang Baik di Indonesia”, sebuah lembaga non-pemerintah. Dalam paragraf pembuka artikel yang memuat profil KKP, dinyatakan:<br /><br />“Profil kali ini sengaja mengetengahkan sosok institusi yang tengah gigih berjuang untuk lahirnya sebuah tatanan yang mengatur pelibatan masyarakat khusus dalam penyusunan kebijakan. Tidak tanggung-tanggung, institusi ini langsung melakukan intervensi ke tubuh komisi dua DPR RI dan ikut serta mengkritisi lahirnya sebuah RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangan (TCP3).”(20) <br /><br />Sebagai penutup, Seknas KKP bersedia menjadi “kendaraan bersama” dan “jembatan” semua pihak untuk mempromosikan “hak partisipasi masyarakat” dalam proses pembuatan undang-undang dan peraturan serta kebijakan publik lainnya, termasuk memfasilitasi pertukaran gagasan tentang “partisipasi masyarakat” dan memfasilitasi peningkatan kapasitas dan kemampuan “legal drafting”. Tentu Seknas KKP tidak melakukannya sendiri, Seknas KKP akan memberikan referensi dan rekomendasi lembaga-lembaga atau individu-individu, termasuk akademisi anggota KKP dan kontak person pejabat negara lainnya yang dianggap mampu dan cakap untuk membagi pengetahuan, ilmu dan pengalamannya.<br /><br />Terima kasih.<br /><br />* Pengantar diskusi pada Seminar Publik “Rakyat Berhak Terlibat”, Ruang Seminar Gedung UC, UGM, Yogyakarta, 27 April 2005.<br /><br />Catatan Belakang<br /><br />* Pengantar diskusi pada Seminar Publik “Rakyat Berhak Terlibat”, Ruang Seminar Gedung UC, UGM, Yogyakarta, 27 April 2005. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Forum LSM DIY, yang telah memberikan kesempatan untuk hadir dalam Seminar ini.<br />** Pengumpulan dokumen awal dilakukan oleh Angelique Jaime, volunteer (sukarelawan) pada Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP). <br /><br /> (1) Jaminan hak ini dinyatakan secara tegas dalam pasal 53 (Bab X mengenai Partisipasi Masyarakat) UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), disahkan pada 22 Juni 2004. Dalam hukum positif kita, hak ini juga dinyatakan dalam Konstitusi, pasal 28F dan Peraturan Pemerintah No. 25/2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD, terutama pasal 84 – yang perlu direvisi (Penulis), berkaitan dengan ketentuan “hanya undangan dapat berbicara dalam persidangan dan rapat DPRD”.<br /> (2) Penjabaran hak ini, dapat dilihat dalam UN doc. CCPR. General Comment No. 25: The right to participate in public affairs, voting rights and the right of equal access to public service (Art. 25):. 12/07/96. CCPR/C/21/Rev.1/Add.7.<br /> (3) Lihat UU No. 7/1984, pasal 7. CEDAW sendiri diadopsi oleh oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi 34/180 pada 18 December 1979. Berlaku (entry into force) pada 3 September 1981. <br /> (4) Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi No. 47/135 pada 18 Desember 1992. Lihat art. 2 (2) dan (3). Sedangkan obligasi (tanggungjawab) Negara untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk pemenuhan hak kaum minoritas dibidang pembangunan dan kemajuan ekonomi, lihat art. 4 (5).<br /> (5) Lihat UN doc. Office of the High Commissioner for Human Rights. 7 Februari 2003. “Opening Statement of the High Commissioner for Human Rights to the Fourth Session of the Open-Ended Working Group on the Right to Development”.<br /> (6) Ibid.<br /> (7) UN doc. CCPR. General Comment No. 25: The right to participate in public affairs, voting rights and the right of equal access to public service (Art. 25):. 12/07/96. CCPR/C/21/Rev.1/Add.7., para. 5.<br /> (8) Ibid, para. 6.<br /> (9) Ibid., paras. 8, 12 and 26. Tentang hak bebas berpendapat dan berekpresi, antara lain lihat juga ICCPR, art. 19; UN doc. Commision on Human Rights resolution 2003/42. Adopted without a vote. 59th meeting, 23 April 2003.<br /> (10) Ibid., para. 23.<br /> (11) Ibid., para. 25.<br /> (12) Bagian ini disusun berdasarkan paper Pakorn Nilprapunt “Thailand’s Public Consultation Law: Opening the Door to Public Information Access and Participation” Teks di www.lawreform.go.th<br /> (13) Dikutip dari Pakorn Nilprapunt “Thailand’s Public Consultation Law: Opening the Door to Public Information Access and Participation”<br /> (14) Bagian ini mengutip dokumen KKP. Lihat A. Patra M. Zen, Kertas Kerja Koalisi Kebijakan Partisipatif. “Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembuatan Perundang-undangan yang Partisipatif”, Edited Version, April 2005, hal. 3 – 5. <br /> (15) Daftar 161 nama anggota KKP dapat dilihat di A. Patra M. Zen, Afrizal Tjoetra dan Sugiharto A. Santoso. 2003. Koalisi Kebijakan Partisipatif. Jakarta: Yappika, h. 28 – 40. Direktori ini memuat juga contact person, dan nomor kontak anggota KKP. Jumlah ini terus meningkat, dalam Pertemuan Nasional KKP di Cipanas 14 – 18 Maret 2005, tercatat jumlah anggota KKP sebanyak 180 lembaga dan individu.<br /> (16) Ibid., h. 14-15. <br /> (17) Lihat Kompas. 12 Mei 2004. “LSM Tolak Pengesahan RUU Perundang-undangan”; Lihat juga Kompas. 17 Mei 2004. “RUU Perundang-undangan Tidak Berpihak kepada Masyarakat” Upaya yang pernah dilakukan KKP termasuk menyelenggarakan seminar, diskusi dan konferensi pers serta mengirimkan surat pembaca ke media-media cetak. Satu contoh, antara lain lihat: Afrizal Tjoetra. “Partisipasi Publik Tidak Terjamin” dimuat dalam rubrik Kontak Pembaca harian Sinar Harapan, 6 Maret 2004; lihat juga Hukumonline. 23 April 2004. “Pakar Hukum Tegaskan Perlunya Partisipasi Publik dalam Pembentukan Undang-undang” Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=10167&cl=Berita; Kompas. 23 April 2004; Sinar Harapan. 14 April 2004. “Koalisi LSM Usulkan DPR Tunda Pengesahan RUU”<br /> (18) Pernyataan tersebut dapat dilihat di Hukumonline, 27 April 2004. “Pemerintah dan Komisi II Akhiri Deadlock RUU PPP” Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=10193&cl=Berita<br /> (19) Lihat Hukumonline. 27 Februari 2004. “Jika RUU PPP Disahkan, Sistem Hukum Indonesia Kacau”.<br /> (20) Lihat Good Govenance Newsletter. Vol. 2, Mei 2002. “Koalisi Kebijakan Partisipatif”. Versi online dapat dilihat di http://www.goodgovernance.or.id/NewsContenView.asp?mid=7&newsmenu_id=2&</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-7062989745652776922008-11-03T20:37:00.002+07:002008-11-03T20:45:48.310+07:00Prosedur Komplain dibawah Mekanisme dan Sistem Perserikatan Bangsa-BangsaProsedur komunikasi dan komplain dalam mekanisme dan system Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) digunakan sebagai aktivitas pencarian judicial remedies dilevel internasional, bagi para korban kejahatan hak asasi manusia (HAM). Tujuannya, antara lain: mendapatkan dorongan dan desakan komunitas dilevel global kepada Negara dalam pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Walaupun aktivitas ini bersifat komplementer, penggunaan prosedur ini dalam skala tertentu dapat memicu perbaikan-perbaikan situasi dilevel domestik.<br /><br />Karena pengaruh tersebut, intensitas pembawaan dan kampanye persoalan-persoalan HAM ke PBB dilakukan ribuan orang setiap tahun melalui mekanisme yang ada. Tulisan ini akan memberikan gambaran prosedur-prosedur yang seringkali digunakan untuk meminta PBB berbuat sesuatu atas problem pemenuhan HAM yang terjadi. <br /><br /><span class="fullpost">Prosedur dibawah perjanjian dan Prosedur Khusus<br /><br />Komplain dibawah hukum internasional HAM yang utama: dilakukan lewat alas acuan perjanjian-perjanjian (treaties) dan prosedur khusus yang disediakan Komisi HAM (Commission on Human Rights) – juga Komisi Status Perempuan (Commision on the Status of Women).<br /><br />Prosedur dibawah perjanjian, setidaknya mulai digunakan – dan dikembangkan mekanismenya, sejak periode awal 1970. Komplain dilakukan dibawah aturan: Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR); Konvensi menentang Penyiksaan (CAT); Konvensi anti Diskriminasi Rasial (CERD); dan Kovensi anti Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Sesuai dengan tajuk konvensi, komplain atau keluhan didasarkan pada klausa dan klasifikasi HAM yang ada dimasing-masing perjanjian. Upaya ini ditujukan kepada sebuah komite quasi-judicial, yang selanjutnya melakukan examinasi atas komplain-komplain yang diterimanya. Mekanisme yang sama berlaku juga untuk prosedur komplain kepada Komisi HAM dan Komisi Status Perempuan, dimana kedua komisi ini melibatkan lembaga politik yang beranggotakan perwakilan dari Negara. <br /><br />Komplain yang diajukan pada komite diistilahkan sebagai “komunikasi” atau “petisi”. Masing-masing petisi ini mempunyai form khusus yang meminta penyediaan informasi spesifik termasuk korespondensi yang ada. Beberapa hal yang penting dalam menggunakan mekanisme prosedur, sebagai berikut:<br />1. memberikan informasi-informasi dasar personal;<br />2. mengajukan petisi dengan segera – walaupun tidak ada aturan soal batas waktu.<br /><br />Prosedur pengajuan petisi: ika petisi kita dieksaminasi Komite, kita akan mendapat advice of registration. Komite akan mengirimkannya ke Negara untuk meminta komentar atas petisi kita. Jika Negara memberikan komentarnya, pengaju petisi diberikan kesempatan untuk memberikan komentar balik. Jika Negara tidak mau merespon permintaan Komite, maka komite selanjutnya dapat mengambil keputusan berdasar petisi original kita. <br /><br />Petisi yang dieksaminasi Komite dengan melewati dua tahap: “admissibility” dan “merits”. Admissibility, kasus merujuk pada persyaratan formal dimana komplain kita harus jelas sebelum komite memeriksanya, menyangkut antara lain: otorisasi pengaju petisi; berkesuaian dengan provisi-provisi dalam perjanjian (ratione materiae). Sedangkan, “merits”, dimana kasus dipertimbangkan sudah dimengerti dengan baik, dimana komite memutuskan apakah hak-hak yang dijelaskan dalam petisi memang sudah dilanggar.<br /><br />Komite dibekali kapasitas untuk mengambil urgent action jika dianggap perlu. Mekanisme berdasarkan interim action yang dilakukan komite (“interim measures”) untuk mencegah problem HAM yang lebih serius, seperti urgent action atas kasus deportasi seseorang yang menghadapi resiko penyiksaan jika dilakukan. Pendeknya, “interim measures” ini digunakan berdasarkan isu yang mendesak dan tidak dapat ditunda atau diulang dimasa selanjutnya. Jika kita ingin komite mempertimbangkan upaya ini, mesti secara eksplisit dimuat dalam petisi yang kita buat – dengan tentu saja menjelaskan dengan rinci dan dengan argumen yang kuat mengapa upaya ini diperlukan. <br /><br />Dalam keputusan yang nantinya dibuat Komite, kita juga dapat meminta Komite untuk tidak memuat nama individu jika dianggap membahayakan kepentingan personal. Permintaan ini akan dipertimbangkan komite sebelum keputusan finalnya menjadi dokumen publik. Paska keputusan dibuat, komite dapat mengundang Negara untuk memberikan informasi dengan waktu tiga bulan tentang langkah-langkah yang diambil berkaitan dengan problem HAM yang terjadi. <br /> <br />Prosedur 1503<br /><br />Prosedur 1503, merupakan prosedur komplain tertua dalam system PBB. Digunakan dibawah mekanisme Komisi HAM berdasarkan Economic and Social Council resolution 1503 (XLVII), 27 May 1970. Dalam prosedur ini, komplain lebih bersifat umum, ketimbang individual. Serta diajukan dalam kasus-kasus yang kualifikasinya kejahatan berat. Ditahun 2000, terjadi amandemen prosedur (revised 1503 procedure) dengan tujuan untuk memfasilitasi lebih banyak dialog dengan Pemerintah dan menyediakan peluang debat yang efektif dalam Komisi ini. <br /><br />Prosedur 1503 dapat digunakan untuk Negara mana pun, tanpa harus mempertimbangkan apakah Negara ini telah meratifikasi perjanjian yang ada. Sekali kita mengajukannya, kita tidak lagi melakukan respon ditahapan selanjutnya. Komplain ditujukan ke Kantor Komisioner Tinggi HAM (OHCHR) di Jenewa, Swiss. Komplain ini dieksaminasi oleh mekanisme Komisi HAM, level tertinggi dalam UN human rights machinery, yang dapat memberikan dorongan dan desakan kepada Negara, karena sifat lembaga ini merupakan lembaga politik. Namun, kelemahannya, jika kita menggunakan prosedur ini, kita tidak mendapatkan informasi tentang putusan-putusan yang diambil, beserta alasan mengapa putusan semacam itu yang dijatuhkan. Prosedur 1503 dapat juga digunakan dan ditujukan kepada Komisi Status Perempuan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi trend global dan pola-pola problem hak asasi perempuan. <br /><br />Sebagai tambahan, Indonesia pernah dieksaminasi oleh Komisi HAM. Eksaminasi terjadi periode 1978 – 1981 (sessi 34th – 37th), dan periode selanjutnya, 1983 – 1985 (39th – 41th). Eksaminasi, menyangkut aneksasi militer Indonesia ke Timor Leste. <br /><br />* Artikel dalam diskusi ELSAM, Februari 2004.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-62311419595401366662008-11-03T20:21:00.004+07:002008-11-03T21:13:51.444+07:00Memenuhi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di PapuaApa makna dana pembangunan bagi rakyat Papua? Ungkapan sarkastik sempat diungkapkan Oentarto, Dirjen Otonomi Daerah Depdagri. Menurutnya, Otonomi Khusus di Papua sudah meningkatkan kesejahteraan sebagian penduduk: para birokrat dan pejabat DPRD.(1) Tapi rakyat, penduduk Papua? Mungkin ungkapan ini terlalu berlebihan. Namun, kebenarannya mendekati 100 persen.<br /><br />Tercatat, periode 2002 lalu, Depkeu telah menyalurkan Dana Otonomi Khusus ke Papua sejumlah Rp 1,382 triliun pada 2002.(2) Berdasarkan Kepmenkeu No. 47 KMK 07/2002 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua, 21 Februari, pembagian dana berasal dari persentase setara 2% Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional per tahun. Nilai ini belum termasuk, alokasi yang diberikan dari dana perimbangan, yang terdiri dari DAU, dana bagi hasil, dan dana alokasi khusus. Sedangkan persentase pembagian hasil tambang minyak dan gas, sama dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Jadi, perbandingannya 70:30, yakni 70 untuk daerah dan 30 untuk pusat.<br /><br />Selanjutnya, apa makna otonomi khusus bagi rakyat Papua? Otonomi khusus merupakan satu contoh: bentuk kreatifitas pemerintah di wilayah paling timur ini. Otonomi khusus wilayah Papua diperkuat dengan instrumen legal UU No. 21/2001. Dari segi teks, terdapat perbedaan-perbedaan fundamental dengan UU No 22/1999 dan UU No. 22/1999 yang mengatur semua propinsi di Indonesia – terkecuali Papua dan NAD. Perbedaan ini antara lain, soal sistem pemerintahan dan institusi lokal serta kebijakan keuangan.<br /><br /><span class="fullpost">Kebetulan atau tidak, dua propinsi khusus, Papua dan Aceh, diberikan pembedaan karena bekerjanya aspirasi sebagian rakyat untuk mengeksaminasi hak atas menentukan nasib sendiri (the right to self determination). Karenanya, bentuk kreatifitas pemerintah yang memberikan otonomi khusus di Papua, sebaiknya dioperasikan dan dilaksanakan dengan tujuan menciptakan keadilan bagi rakyat, distribusi hasil pembangunan dan pemenuhan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, menarik untuk mengutip pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Polkam – didepan Muspida propinsi dan kabupaten/kota se-Papua di Jayapura:<br /><br />“Aktivitas separatis bersenjata di Papua ,,, harus diatasi secara lebih adil dan bermartabat. Caranya adalah membangun dan menata sistem kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan hukum. Separatis di Papua tidak perlu diatasi dengan menggelar darurat militer ,,,”(3)<br /><br />Selanjutnya, Yudhoyono menjelaskan:<br /><br />“…setelah sekitar lima tahun merefleksi dan mengevaluasi apa persoalan sesungguhnya yang terjadi di Papua bersama tokoh masyarakat, DPRD, pejabat Papua, unsur pemuda, dan mahasiswa Papua ternyata ditemukan akar persoalan sesungguhnya di daerah ini, yakni keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan keterisolasian yang dialami masyarakat di Papua.”(4)<br /><br />Pernyataan tersebut lebih tepat jika diberikan tambahan informasi, bahwa persoalan yang fundamen, ketidak adaan proteksi Negara selama ini. Bahwa inilah yang menjadi akar persoalan sesungguhnya. Karenanya, otonomi khusus diwilayah ini mesti dimaknai juga oleh proteksi apa yang hendak diberikan Negara terhadap rakyat di propinsi ini? Ketiadaan proteksi inilah yang memunculkan untaian kata menyayat dari rakyat Papua tentang penindasan dan pembodohan yang dialami, seiring dengan perampasan sumber daya alam di propinsi yang begitu kaya.(5) Penindasan yang teramat payah mesti dipikul seluruh rakyat, perempuan dan anak-anak.<br /><br />Ketidakadaan proteksi ini juga, boleh dikatakan, yang telah memunculkan pemberontakan rakyat sepihak – Amungme – ditahun 1977, meledakkan jalur pipa Freeport – yang kemudian diikuti dengan bencana pembunuhan massal oleh militer terhadap penduduk asli.(6) Ketiadaan proteksi, yang menyebabkan cadangan emas dan tembaga tidak bermakna bagi pemenuhan hak bagi mayoritas rakyat diwilayah ini terhadap standar hidup yang layak (the right to adequate standard of living). Merujuk Kompas, hasil tambang diteritori Amungme ini bernilai tidak kurang dari $US 40 milyar dengan perincian ditaksir memiliki cadangan 25 milyar pon tembaga, 20 juta ons emas dan 70 ons perak.(7)<br /><br />Artikel singkat ini akan mengidentifikasi beberapa prinsip, mekanisme dan pendekatan dalam disiplin hak asasi manusia yang berguna bagi Negara, utamanya pemerintah dalam menjalankan obligasinya: mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) rakyat di Papua. Pada bagian selanjutnya, akan dianalisis peran strategis Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam mendorong promosi dan proteksi kebebasan-kebebasan fundamental dan hak asasi rakyat di Papua.<br /><br />Human Rights based Approach<br /><br />Dalam pembangunan, manusia merupakan subyek sentral dalam pembangunan.(8) Dengan demikian, kebijakan Negara yang mengatasnamakan dan mengklaim ditujukan untuk kepentingan pembangunan dipagari dengan pendekatan ini.(9) Sebagai ilustrasi, soal kontroversial pemekaran wilayah Papua yang oleh beberapa pejabat Negara(10) diklaim sebagai upaya mengefektifkan pembangunan dapat dieksaminasi dengan pendekatan hak asasi manusia: siapa yang (paling) diuntungkan dengan pelaksanaan kebijakan ini? Apakah militer, karena peluang pendirian Kodam baru? Apakah pemerintah? Atau rakyat diwilayah ini? Apakah dengan pemekaran wilayah, obligasi negara dibidang hak asasi manusia menjadi lebih efektif? Pendekatan hak asasi inilah yang mesti diperkuat dalam otonomi khusus – sebagai pedoman bagi pejabat Negara. Pendekatan inilah yang akan mengurai satu persatu dimensi pemenuhan hak-hak ekosob: hak atas pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan, lahan dan seterusnya.<br /><br />Mekanisme Judicial Remedies dan Hak Klaim<br /><br />Mekanisme judicial remedies dan hak klaim korban dari pelanggaran hak-hak ekosob sebaiknya diatur secara ketat dalam kerangka otonomi khusus. Semestinya dicarikan mekanisme yang nantinya juga bersifat dan memiliki dampak horisontal secara langsung (horizontal direct effect) kepada pelaku non-negara (non-state actors), seperti entitas privat dan korporasi (perusahaan). Mekanisme ini guna memberikan peluang kepada rakyat secara langsung untuk menguji apakah anggaran-anggaran pembangunan, utamanya APBD, dirancang, dikelola dan didistribusikan sesuai dengan pendekatan hak asasi. Mekanisme ini juga dirancang agar dilaksanakan prinsip accountability dan responsibility aparat Negara dan pelaku Non-Negara dalam pemenuhan hak ekosob.<br /><br />Peran Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam promosi dan perlindungan hak ekosob<br /><br />Majelis Rakyat Papua (MRP) sebuah lembaga yang dilahirkan UU No. 21/2001. Lembaga ini merupakan representasi kultural orang asli Papua yang dibentuk untuk upaya perlindungan hak-hak orang asli.(11) Wewenang yang diberikan pada MRP berpeluang mempercepat pemenuhan hak-hak ekosob penduduk.(2) Lembaga ini bisa dibilang instusi quasi-judicial yang strategis untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada Negara berkaitan dengan implementasi obligasi Negara dibidang pemenuhan hak ekosob. Dengan demikian, mesti diberikan peluang dan dibentuk mekanisme efektif untuk MRP dalam mengimplimentasikan justiciability hak-hak ekosob orang asli Papua. MRP juga dapat berperan dalam mendorong mekanisme judicial remedies berjalan efektif serta mematiskan keputusan-keputusan badan peradilan dilaksanakan oleh Negara maupun pelaku non-Negara, memastikan adanya proteksi Negara atas hak hak ekosob rakyat dari Sorong hingga Samara!<br /><br />Cara kerja Sehari-hari<br /><br />Sebagai ilustrasi ambil contoh alokasi anggaran Rp 1,382 triliun pada 2002 untuk Papua. Dana ini akan bermakna untuk Ny. Beatriks Nggapulu, seorang perempuan suku Dani, Jayawijaya jika Ny. Beatriks dan komunitasnya memiliki peluang untuk menguji apakah dana ini dapat ia peroleh guna pemenuhan hak ekosobnya lewat mekanisme judicial. Lewat mekanisme ini, Ny Beatriks bersama-sama komunitas mengeksaminasi perencanaan, pelaksanaan, audit dan distribusi hasil anggaran dan hasil pembangunan. Ny Beatriks dan komunitasnya dapat mengklaim sebagai korban pelanggaran hak-hak ekosob jika dana ini tidak dirasakan manfaatnya, demikian juga jika pelaku Non-Negara yang beroperasi di wilayah domisilinya melakukan tindakan yang dikuantifikasi sebagai pelanggaran hak ekosob.(13) Jika ada klaim dari korban, maka perlu disediakan mekanisme judicial remedies baik lewat badan peradilan maupun institusi administratif.<br /><br />Ny Beatriks dapat juga mengadukan problem atau kasusnya kepada MRP. Selanjutnya, MRP sesuai tugas, wewenang dan haknya – seperti termuat dalam pasal 20 – 22 UU No. 21/2002 dapat saja mengeksaminasi kasus Ny Beatriks, dkk. Ambil contoh, setelah diidentifikasi, ternyata diwilayah domisili Ny Beatriks diperlukan fasilitas pendidikan bagi anak-anak. MRP sebagai lembaga quasi-judicial dapat membuat rekomendasi bahwa sarana pendidikan diwilayah Ny. Beatriks, dkk sebagai sebuah prioritas program pembangunan. Untuk seterusnya rekomendasi ini diharapkan mempunyai direct effect.<br /><br />Ilustrasi diatas, sangat sederhana. Dan begitulah pemenuhan hak ekosob. Tidak rumit dan sangat sesulit yang dibayangkan. Pertanyaannya hanya apa pemerintah mau? Pertanyaan, apakah pemerintah bisa memenuhi hak ekosob rakyat menjadi irrelevant, karena secara de facto ada anggaran. Apakah ini mengada-ada. Tidak juga. Prinsip-prinsip dan mekanisme ini sudah berjalan, diuji, digunakan ditingkat domestik – seperti Afrika Selatan dan Brasil, maupun regional mekanisme hak asasi manusia Amerika, Afrika dan Eropa. Kalau pemerintah Indonesia tidak mau menjalankan obligasinya memenuhi penduduk asli Papua? Lalu maunya apa sih?<br /><br />* Artikel ini dibuat untuk keperluan pengantar diskusi Working Group on Papua (WGP).<br /><br />Catatan Belakang<br /><br /> (1) Tempo Online. 8 Januari 2003. “Otonomi Khusus Papua Belum Menyejahterakan Rakyat”. Soal alokasi dana, lihat juga Gatra Online. 24 Oktober 2001. “DPR dan Pemerintah Alokasikan Rp 1.38 Trilyun untuk Papua”.<br /> (2) Tempo Online. 8 Januari 2003. “Otonomi Khusus Papua Belum Menyejahterakan Rakyat”.<br /> (3) Kompas, 10 Juli 2003. “Menko Polkam: Atasi OPM dengan Lebih Adil dan Bermartabat”.<br /> (4) Ibid.<br /> (5) Mengutip Tom Beanal, Ketua Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Papua. Lihat Kompas. 2 Juni 2003. “Mendekonstruksi Makna Kemerdekaan.”<br /> (6) Kompas. 23 Februari 2003. “Sekilas Kata Dunia tentang Freeport”.<br /> (7) Ibid.<br /> (8) The Decalaration on the Right to Development. UN doc. GA Res. 41/128., art. 2(1).<br /> (9) Lihat antar lain komentar, Dominggus Mandacan, Bupati Manokwari. Gatra Online. 4 Februari 2003. “Buka Isolasi Warga. Penting, Pemekaran Provinsi Papua”. Sementara pihak pemerintah yang diwakili Hari Sabarno, Mendagri dan Oentarto, Dirjen Otda Depdagri malah seringkali mengusung argumen legal posivistik, bahwa pemekaran propinsi karena sesuai dengan amanat UU No. 45/1999. Lihat antara lain: Kompas. 14 Februari 2003. “Sidang Kabinet Terbatas di Istana. Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Majelis Rakyat Papua Belum Selesai Dibahas.”; Tempo Interaktif. 6 Februari 2003. “Tak Ada Pertentangan Yuridis pada Pemberlakuan Inpres Pemekaran Papua”; Kompas. 8 Februari 2003. “Pemekaran Papua Tidak Salahi Otonomi Khusus”.<br /> (10) Pemekaran wilayah Irian Jaya Barat dan Tengah, dialaskan Inpres No.1/2003 – sebagai tindakan provokatif dari Pemerintah dalam pelaksanaan UU No. 45/1999.<br /> (11) UU No. 21/2001., pasal 1 huruf (g) inter alia pasal 5 (2).<br /> (12) Ibid.Tugas dan wewenang MRP diatur dalam pasal 20.<br /> (13) Ibid. Lihat pasal 20 huruf e dan f dan pasal 21 tentang hak yang melekat pada MRP.<br /> (14) Sosok ini diambil dari sebuah feature di Kompas. 2 September 2002. “Pekerjaan Rumah untuk MRP”. Feature ini mengisahkan betapa perempuan Papua menjalankan peran berlipat mulai mengurus rumah tangga, mengurus anak, mencari makanan ternak, kayu bakar dan pendapatan bagi keluarga.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-66365407287891609402008-11-03T14:32:00.002+07:002008-11-03T14:53:08.833+07:00Kejahatan Korporasi dan Norma tentang Akuntabilitas KorporasiPengantar<br /><br />Terdapat satu dokumen penting yang dikeluarkan Komisi HAM (CHR) Sub Komisi Promosi dan Perlindungan HAM PBB. Dokumen ini berjudul “Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business enterprises with regard to human rights”(1) – selanjutnya disebut dengan Norma tentang Tanggungjawab TNCs. <br /><br />Membaca dokumen CHR ini, maka ‘corporate crime’ secara sederhana, dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan (crime) yang dilakukan korporasi (badan usaha) mencakup kejahatan HAM, humaniter, perburuhan, kejahatan terhadap hak konsumen serta praktik-praktif yang luas dari definisi korupsi. <br /><br />Sally S. Simpson menyatakan “(c)orporate crime is a type of white-collar crime”.(2) Simpson, mengutip John Braithwaite, mengambil the simplest definition dari kejahatan korporasi sebagai “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law.”(3) Selanjutnya Simpson, menyatakan 3 ide kunci dari definisi Braitwaite. Pertama, tindakan illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan prilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah (lower socio-economic class) dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, kejahatan korporasi tidak hanya tindakan (acts) kejahatan atas hukum pidana (criminal law), tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagal “subyek hukum perorangan “legal persons”) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional, dan mungkin saja ditopang oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.(4) <br /><br /><span class="fullpost">Dibagian pengantar ini, definisi kejahatan korporasi sengaja dibuat sebagai jembatan pengantar untuk diskusi lanjutan – dan uraian/pembahasan artikel singkat ini. Tulisan ini, tidak akan menguraikan secara detail teori “coporate crime” seperti dalam disiplin kriminologi, melainkan memberikan gambaran dan analisis menyangkut obligasi korporasi dibidang hak asasi manusia (HAM) dan hal-hal yang relevan dalam tema ini. <br /><br />Bagian A akan menguraikan norma yang mengatur tentang tanggungjawab korporasi dilevel internasional, dengan merujuk pada satu dokumen Komisi HAM PBB, yang sebaiknya dipulsasi agar berefek kepada hukum domestik. Pada bagian ini juga sedikit akan disinggung tentang corporate social responsibility (CSR) dan global compact PBB, sebagai trend mutakhir dilingkungan korporasi. Selanjutnya, masih dengan merefer ke dokumen CHR, dibagian B, akan mendeskripsikan obligasi korporasi dan mengetengahkan dua kasus: TNCs dan ilustrasi korporasi lokal. Artikel ini diakhiri dengan beberapa isu dan rekomendasi untuk diperbincangkan bersama tentang apa yang bisa kita lakukan sekaligus evaluasi atas rekomendasi yang dikemukakan. Harapannya, tentu saja, diskusi ini punya tindak lanjut – yang sudah pasti sudah jauh-jauh hari masuk dalam agenda kerja Seknas Walhi.<br /><br /><br />A. Norma yang mengatur Tanggungjawab Korporasi<br /><br />Norma tentang Tanggungjawab TNCs, menjadi penting karena 2 alasan pokok: pertama, dokumen ini dianggap oleh banyak komentator merupakan sebuah langkah maju yang diambil PBB – dalam hal ini Komisi HAM – untuk menegaskan prinsip-prinsip hukum internasional (international legal principle) yang (dapat) diterapkan pada sektor bisnis. Hukum internasional yang dimaksud, meliputi hukum hak asasi manusia, humaniter, perburuhan, lingkungan hidup, konsumen, dan hukum anti-korupsi. Kedua, dokumen ini memberikan norma sekaligus alat analisis untuk menilai apakah sebuah korporasi <br /><br />Tentu dokumen tersebut disambut gembira oleh para aktivis HAM dan secara parallel membuat gerah korporasi besar (TNCs/MNcs). Tercatat, lobby group seperti the International Chamber of Commerce (ICC) telah meluncurkan counter-kampanye untuk menjegal upaya proposal yang diadopsi CHR tersebut. Salah satu korporasi global, Shell, menjadi panglima perang melawan promosi legally binding korporasi terhadap hukum internasional hak asasi manusia. Sebagai catatan, selama ini Shell merupakan TNC seringkali dicontohkan sebagai TNC yang gemar melakukan inisiatif CSR dan mendukung global compact PBB.<br /><br />Global Compact diajukan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan pada Forum Ekonomi Dunia pada 31 Januari 1999. Saat itu, Anan meminta para pemilik korporasi untuk bergabung dengan badan-badan PBB, organisasi/serikat buruh, dan organisasi masyarakat sipil lain bekerjasama dan melakukan aksi-aksi menjawab tantangan global, termasuk menjawab problem-problem yang ditimbulkan ekonomi global. Sejak dilaunching, selain Shell International Ltd., sejumlah korporasi trans-nasional yang dapat dikategorisasikan ‘korporasi pelopor’, menyatakan kesediaannya untuk bergabung secara sukarela, antara lain DuPont, Amazon Caribbean Guyana Ltd, SAP; British Telecom (BT), Statoil, BASF, Hennes & Mauritz AB, Willian E. Connor & Associates Ltd., Deloitte Touche Tohmatsu (DTT), Nexen Inc., Yawal System, British Petroleum (BP), Nokia, STMicroelectronics (ST), Novartis International AG. Secara singkat, merujuk pada dokumen Global Compact, penilaian HAM atas kinerja korporasi meliputi 9 isu,(5) sebagai berikut:<br />(1) dukungan dan penghormatan HAM yang diterima secara internasional (internationally proclaimed human rights) berdasarkan pengaruh yang dimilikinya;<br />(2) aktivitas yang dilakukan dipastikan tidak melanggar dan menyebabkan timbulnya kejahatan HAM (human rights abuses);<br />(3) mewujudkan kebebasan berserikat dan pengakuan terhadap hak atas posisi tawar kolektif buruh (the right to collective bargaining);<br />(4) turut serta menghapus segala bentuk perbudakkan dan pemaksaan kerja (forced and compulsory labor);<br />(5) berpartisipasi menghapus buruh anak;<br />(6) menghapus praktek-praktek diskriminasi dalam pekerjaan dan lapangan kerja;<br />(7) mendukung pendekatan pencegahan kerusakan lingkungan;<br />(8) mengambil inisiatif mempromosikan tanggungjawab lingkungan yang lebih besar;<br />(9) mendorong pengmbangan dan difusi tekonologi yang ramah lingkungan.<br /><br />Dokumen yang diadopsi CHR, merupakan langkah berani melampaui inisiatif yang dipelopori Koffi Annan. Perkembangan mengarah pada standar hukum internasional yang sifatnya legally binding, setidaknya sudah dimulai secara sistematis pada 1999, utamanya dibidang hukum HAM, saat working group on the working methods and activities of transnational corporations of the Sub-Commission, menetapkan perlunya perumusan sebuah code of conduct bagi korporasi (perusahaan) berbasis standar hak asasi manusia.(6) <br /><br />Dalam dokumen ini, CHR mengembangkan argumen, dengan merefer pada pasal 1, 2, 55 dan 56 Piagam PBB inter alia untuk mempromosikan penghormatan universal terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar. Kemudian, CHR merefer UDHR, dengan menegaskan kewajiban semua penduduk dan bangsa, pemerintah dan organ masyarakat lainnya serta individu untuk mempromosikan penghormatan HAM dan kebebasan fundamental. <br /><br />CHR mengembangkan argumen, dengan memposisikan TNCs dan business enterprises lainnya, sebagai “organs of society”, dan selanjutnya ditegaskan: <br /><br />“transnational corporations and other business enterprises, their officers and persons working for them are also obligated to respect generally recognized responsibilities and norms contained in United Nations treaties and other international instruments…”(7) <br /><br />Dalam pembukaan (preamble) CHR mencontohkan sejumlah UN treaties, sebagai berikut:<br />- the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide; <br />- the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment; <br />- the Slavery Convention and the Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery; <br />- the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination; <br />- the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women; the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; <br />- the International Covenant on Civil and Political Rights; <br />- the Convention on the Rights of the Child; <br />- the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families; <br />- the four Geneva Conventions of 12 August 1949 and two Additional Protocols thereto for the protection of victims of war; <br />- the Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms; the Rome Statute of the International Criminal Court; the United Nations Convention against Transnational Organized Crime;<br />- the Convention on Biological Diversity; the International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage; the Convention on Civil Liability for Damage Resulting from Activities Dangerous to the Environment; the Declaration on the Right to Development; <br />- the Convention against Discrimination in Education of the United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization; <br />- conventions and recommendations of the International Labour Organization; <br />- the Convention and Protocol relating to the Status of Refugees. <br /><br />CHR juga menyatakan treaties dilevel regional, yakni:<br />- the African Charter on Human and Peoples' Rights; <br />- the American Convention on Human Rights; <br />- the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms; <br />- the Charter of Fundamental Rights of the European Union; <br />- the Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions of the Organization for Economic Cooperation and Development; and other instruments.<br /><br />Sedangkan, UN non-treaty, dicontohkan CHR sebagai berikut: <br />- the Rio Declaration on the Environment and Development; <br />- the Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable Development;<br />- the United Nations Millennium Declaration; <br />- the Universal Declaration on the Human Genome and Human Rights; <br />- the International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes adopted by the World Health Assembly; <br />- the Ethical Criteria for Medical Drug Promotion and the "Health for All in the Twenty-First Century" policy of the World Health Organization.<br /><br />Secara singkat, obligasi umum (general obligations) TNCs dinyatakan CHR, sebagai berikut:<br /><br />”States have the primary responsibility to promote, secure the fulfilment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law, including ensuring that transnational corporations and other business enterprises respect human rights. Within their respective spheres of activity and influence, transnational corporations and other business enterprises have the obligation to promote, secure the fulfilment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law, including the rights and interests of indigenous peoples and other vulnerable groups.”(8) <br /><br /><br />B. Apa yang Menjadi Obligasi Korporasi?<br /><br />CHR menyatakan sebagai langkah awal untuk mengimplementasikan “Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business enterprises with regard to human rights”, TNCs dan business enterprises lainnya mesti (shall) mengadopsi, mendiseminasi dan mengimplementasikan aturan operasi internalnya sesuai dengan norma-norma yang dinyatakan CHR, termasuk menginkorporasikan kedalam kontak bisnis atau perjanjian dengan kontraktor, sub-kontraktor, suppliers, licensees, distributor, dan seterusnya. Selanjutnya, TNCs mesti menyusun laporan periodik.(9) Selanjutnya, CHR menyatakan setidaknya 2 obligasi pokok TNCs, sebagai berikut:<br /><br />Pertama, TNCs menjadi subjek monitoring dan verifikasi periodik oleh PBB, dan mekanisme domestik dan internasional – baik yang sudah dibentuk maupun yang akan dibentuk dimasa datang.(10) <br /><br />Kedua, TNC mempunyai obligasi untuk menyediakan reparasi efektif dan memadai bagi individu (persons), entitas (entities) dan komunitas (communities) yang menjadi korban kejahatan dan pelanggaran norma-norma HAM, termasuk reparasi, restitusi, kompensasi dan rehabilitasi, termasuk bertanggungjawab atas sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan domestik dan internasional (national courts/international tribunals) sesuai dengan hukum domestik dan internasional.(11) <br /><br />Sebagai catatan, CHR juga meminta kepada Negara untuk menyusun dan me-reinforce legal dan administrative framework yang dianggap perlu untuk memastikan norma internasional dan domestik diimplementasikan oleh TNCs.(12) <br /><br />B.1. Kasus Shell<br /><br />Menarik untuk sedikit membahas Shell. TNCs ini tercatat sebagai salah satu korporasi global yang mengklaim telah mengimplementasikan “corporate social responsibility’ yang mengadopsi prinsip-prinsip promosi dan pemenuhan HAM.(13) Shell juga tercatat pernah ‘minggat’ dari Nigeria karena menggangap rezim yang berkuasa tidak menghormati HAM dan melakukan kejahatan terhadap rakyatnya.(14) <br /><br />Lantas mengapa muncul problem, korporasi seperti Shell memimpin kampanye bisnis internasional menentang norma HAM PBB? Baik CSR – “corporate citizenship”; “sustainable growth”; “triple bottom line” – istilah-istilah yang diadopsi dalam trend bisnis saat ini – atau pun UN’s Global Compact, mencakup “a wide range of economic, social and environmental initiatives by enterprises that go beyond legal requirements and are mostly voluntarily in nature”.(15) Defini CRS yang lain, seperti dirumuskan European Commission, sebagai: “a concept whereby companies integrate social and environmental concern in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis.(16) Dari kedua definisi ini, maka satu benang merah muncul: CRS merupakan inisiatif yang bersifat sukarela (voluntarily in nature atau a voluntary basis). Berbeda jauh dengan proposal yang hendak dipromosikan Komisi HAM PBB, yang sifatnya legally binding, mengikat secara hukum. <br /><br />Dengan membaca Norms, yang disusun CHR, kita menjadi makfum dan maklum mengapa TNCs menjadi ‘kepanasan’ dan bersatu untuk menentang proposal CHR ini. Istilah ‘proposal’ disebabkan, saat ini memang sedang dikembangkan dan dipromosikan sebuah badan internasional, yang diharapkan dapat mengadili “Si Pemilik Modal Global.” Dalam hukum internasional, criminal responsibility ‘masih terbatas untuk subyek negara dan individul atas kasus-kasus gross violation of human rights dengan preseden keputusan (judgement) of Nurenberg International Military Tribunal; International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia; the International Criminal Tribunal for Rwanda.17 <br /><br />Dengan membaca norma tersebut, kita juga menjadi lebih paham mengapa the Alliance for a Coporate-Free United Nations mengirim surat pada pertengahan Januari tahun ini, kepada pimpinan 5 badan PBB (UNEP, UNDP, UNHCHR, UNIDO dan ILO) untuk segera mengahiri keterlibatannya dalam Global Compact PBB. Surat aliansi ini ditandatangani oleh 14 perwakilan NGOs terkemuka, yakni Kenny Bruno (EarthRights International); Alison Linnecar (International Baby Food Action Network); Chee Yake Ling (Third World Network); John Cavanagh (Institute for Policy Studies); Millon Kothari (Habitat International Coalition); Pratap Chatterjee (CorpWatch); Anuradha Mittal (Food First); Fiona Dove (Transnational Institute); Susan George (ATTAC); Tom Goldtooth (Indigenous Environment Network); June Zeiline (Women’s Environment and Development Organization); Rob Weissman (Essential Action); Bobby Peek (groundWork) dan Victor Menotti (International Forum on Globalization). Dalam suratnya mereka meminta kepada badan-badan PBB tersebut untuk mengakhiri partisipasi dalam Global Compact, dengan menyatakan:<br />“…We believe that the Global Compact, though started with good intentions by Secretary General Kofi Annan, is counterproductive. The Global Compact allows the name and reputation of the UN to be abused by corporations whose practices are in contradiction with the values of the UN. Partnerships with these corporations damage the integrity and mission of your agency and of the United Nations.”<br /><br />Dibagian akhir surat, Aliansi ini menyatakan:<br /><br />“Therefore, again, we call on you to end your agency’s participation in the Global Compact, in favor of initiatives that emphasize cooperation with groups that share the aims of the United Nations, and in favor of measures to hold powerful corporations accountability in an international legal framework.”<br /><br />Jika kita membaca penuh surat dari Aliansi tersebut, argumen-argumen yang dikembangkan dapat diadosi untuk NGOs (jika mau) untuk tetap mempertahankan “the name and reputation” dan secara filosofis tidak kontradiksi-antagonis dengan nilai-nilai yang ditanam ditubuh NGOs sendiri. Dalam praktik untuk mempertahankan ‘integrity’ dan ‘mission’ lembaga, tantangan dan ancaman ‘gila-gila-an’ pasti mesti dihadapi. <br /><br /><br />B.2. Kasus Perusahaan Ember <br /><br />Kasus perusahaan ember yang hendak penulis kemukakan, hanyalah ilustrasi untuk keperluan memberikan gambaran tentang tantangan yang tidak kalah sulitnya ketimbang tantangan lobby group dan TNCs. Perusahaan ember ini murni domestik: pemilik modal domestik, dan produknya habis dilevel domestik. Karenanya, perusahan ini tidak termasuk dalam mata rantai TNCs: kontraktor, sub-kontraktor, suppliers, licensees, distributor, dan seterusnya. Pengusaha lokal ini ‘tidak peduli’ dengan norma-norma HAM internasional, termasuk (apalagi) norma Komisi HAM PBB! Begitu pun pengusaha ini tidak merasa perlu untuk tunduk pada pasal 28 Amandemen ke-2 UUD 1945 atau UU No. 39/1999.<br /><br />Dalam prakteknya, perusahaan ember tersebut melakukan kejahatan lingkungan hidup, hak asasi manusia, diskriminatif, dan seterusnya. Pengalaman penulis, melakukan advokasi korban dari perusahaan jenis ini sangat-sangat sulit. Dilevel domestik, perusahaan jenis ini menggantung diri dan secara mutual simbiosis bekerjasama dengan powerfull individual dan institution, termasuk menyewa jasa keamanan bandit lokal. <br /><br /><br />C. Apa yang kita bisa lakukan?: Dalam Evaluasi Konteks Indonesia<br /><br />”States have the primary responsibility to promote, secure the fulfilment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law…”<br /><br />Kasus Shell dan Perusahaan Ember memunculkan problem ‘corporate crime’. Kedua-duanya mesti disadari, tak dapat beroperasi sewenang-wenang jika apparatus Negara punya komitmen kuat terhadap pemenuhan HAM warga negaranya, sebagaimana dokrin hukum internasional dan domestik: Negara mempunyai tanggungjawab utama dalam soal HAM. Karenanya, masyarakat sipil tidak dapat melepaskan tanggungjawabnya untuk terus mendorong Negara menghargai hak warga negara secara genuine. Dalam konteks prilaku Negara, Indonesia tertinggal dengan Afrika Selatan misalnya.<br /><br />Afrika Selatan, lagi-lagi, sebagai sebuah Negara berkembang yang progressif melakukan terobosan. bursa efek Johannesburg diwajibkan untuk menyusun laporan yang memuat ‘Code of Coporate Practices and Condut’ sebagai bagian dari laporan ke publik dalam rangka penjualan saham sebuah perusahaan.18 <br /><br />Sebagai tambahan, dinegara maju seperti US, terdapat trend korporasi diwajibkan untuk mengupayakan apa yang disebut socially responsible investment (SRI). SRI mencakup tiga tipe aktivitas utama: indexes, ratings and funds. Merujuk laporan ILO, investasi yang menggunakan criteria social investment (screening, sharholder advocacy and community investing) telah meningkat dari US$40 billion in 1984 menjadi US$2.34 trillion di tahun 2001.(19) Angka ini hanya dihitung social investment di Negara US saja. <br /><br />Beberapa catatan penutup tentang apa yang bisa kita lakukan, antara lain:<br /><br />Pertama, dalam laporan dan evaluasi periodik tentang impak aktivitasnya terhadap HAM, TNC diwajibkan untuk memperhatikan input dari stakeholders, termasuk NGOs dan komplain tentang kejahatan atas norma-norma yang berlaku.(20) Selanjutnya mendorong mekanisme domestik untuk melakukan monitoring dan verifikasi atas operasi TNCs – dalam konteks Indonesia, bisa mendorong intitusi-institusi yang sudah ada, seperti Komnas HAM, dan seterusnya. Disamping itu, mendorong judicial mechanism: gugatan di pengadilan domestik untuk mengeksaminasi kasus-kasus kejahatan yang dilakukan TNCs dan other business enterprises. Mencontoh pengalaman negara lain yang sudah melakukan praktik-praktik positif juga baik, untuk didorong dilevel domestik.<br /><br />Kedua, mengeksaminasi beberapa peraturan perundang-undangan (hukum positif) Indonesia. Eksaminasi didorong menuju pencapaian hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) diimplementasikan tidak saja sebagai hak konstitusional melainkan juga hak hukum, serta mendorong klaim judicial remedies dalam mekanisme yudisial (justiciability).(21) <br /><br />Selain UU HAM, beberapa norma domestik, secara tegas menyatakan obligasi korporasi. Dalam UU No. 41/1999 pasal 32 tentang Kehutanan, dinyatakan korporasi sebagai pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan hutan “berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya”. Demikian juga, antara lain kewajiban korporasi dalam UU No. 39/1997, pasal 35 ayat (1), yang menyatakan:<br />“Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”<br /><br />Eksaminasi juga dapat dilakukan dengan metode sosiologi dan analogi hukum berkaitan dengan hukum kebiasaan dimasyarakat, dengan konsep hukum yang dikemukakan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto sebagai “pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial empiris.”(22) <br /><br />Disisi lain, terus diupayakan untuk menggunakan hukum nasional Negara asal TNCs.(23) Preseden-preseden gugatan di AS, Jepang, sebaiknya terus diupayakan dengan menggalang solidaritas komunitas internasional.<br /><br />Ketiga, kumpulkan 12 orang, dan selamat berdiskusi!<br /><br />* Artikel pada Diskusi “Corporate Crime” di Walhi. Seknas. Jakarta, 7 April 2004.<br /><br />Catatan Belakang<br /><br /> (1) UN doc. E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2. 26 August 2003. Dokumen ini diadopsi Comission on Human Rights Sub-Comission on the Promotion and Protection of Human Rights diadopsi pada pertemuan ke-22 pada 13 Agustus 2003. Sebagai catatan Indonesia, merupakan salah satu anggota CHR, hingga tahun 2006. <br /> (2) Sally S. Simpson. 2002. Corporate Crime, Law, and Social Control. Cambridge: Cambridge University Press., p. 6; supra f.n. 23.<br /> (3) Ibid., p. 6 – 7.<br /> (4) Lihat Ibid., p. 7.<br /> (5) Teks prinsip-prinsip bagi korporasi dan pelaku bisnis yang dirumuskan dalam Global Compact dapat dilihat di: www.unhchr.ch/global.htm. Lihat juga Guide to the Global Compact. A Practical Understanding of the Vision and Nine Principles. <br /> (6) Lihat UN doc. E/CN.4/Sub.2/1999/9. Sebagai catatan, perumusan sebuah code of conduct sendiri, sudah dimulai sejak 1976, dimana the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menetapkan “Guidelines for Multinational Enterprises to promote responsible business conduct consistent with applicable law.”<br /> (7) UN doc. E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2. Opcit. Preamble.<br /> (8) Ibid., para. 1.<br /> (9) Ibid., para. 15.<br /> (10) Ibid., para. 16.<br /> (11) Ibid., para. 18.<br /> (12) Ibid., para. 17.<br /> (13) Lihat David Weissbrodt. “Principles relating to the Human Rights Conduct of Companies”. UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1. 25 May 2000. fn. 23. Selain Shell, contoh lain: 3M, Body Shop, BP Amoco, British Telecom, Cargill, C&A, Carlson Companies, Gap, H&m, ING Group, Levi Strauss, Medtronic, Nokia, Novo Nordisk, Numico, PepsiCo, PetroCanada, Reebok International, RioTinto, Sara Lee Corporation, Royal Dutch/Shell Group Companies, Starbucks, Statoil, Tata Iron and Steel Co., Volkswagen, dan Xerox.<br /> (14) Margaret Jungk. 2001. Deciding whether to do Business in States with Bad Government. The Confederation of Danish Industries, The Danish Centre for Human Rights, the Danish Industrialization Fund for Developing Countries. Jungk memberi tiga contoh korporasi yang akhirnya menghentikan operasi akibat kejahatan-kejahatan yang terjadi di Negara dimana mereka melakukan investasi: Shell menghentikan operasinya di Nigeria; Heineken di Birma; serta Levi Strauss di Cina. Lihat juga Maria de los Angeles Villacis Paredes.2000. Supplementary Guide to ‘Deciding Whether to do Business in State with Bad Governments’. Danish Centre for Human Rights. <br /> (15) ILO doc. GB. 286/WP/SDG/4(Rev). March 2003. “Information note on corporate social responsibility and international labor standards”., para. 2. <br /> (16) Commission of the European Communities doc. COM (2002) 347 Final. July 2002. “Communication from the Commission concerning corporate responsibility: A business contribution to sustainable development”., p. 5<br /> (17) Lihat D.J. Harris. 1998. Fifth Edition. Cases and Materials on International Law. London: Sweet and Maxwell., p. 487 – 490; 738 – 764.<br /> (18) Lihat Ibid., para. 19.<br /> (19) ILO doc. GB.286/WP/SDG/4(Rev.). Information Note on Corporate Social Responsibility and International Labour Standards. ILO: Geneva. March 2003., para. 18.<br /> (20) Lihat Ibid., para. 16.<br /> (21) Untuk tema ini, lihat A. Patra M. Zen “Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menarik Pengalaman Internasional, Mempraktikannya di Indonesia.” Jurnal HAM Komnas HAM. Vol. 1 No. 1 Oktober 2003., pp. 36 – 47; Lihat juga “Justisiabilitas: Hak Klaim Masyarakat Dalam Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.” Paper pada diskusi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, 10 Februari 2003. Teks dapat dibaca di website Jatam.<br />Peluang Menggunakannya dalam mengadvokasi Industri Pertambangan<br /> (22) Dikutip dari Dr. Abdurrahman “Peran Prof. Soetandyo Wigjosoebroto, M.P.A. Dalam Penelitian Hukum dan Kajian Hukum di Indonesia” dalam Winaryo, dkk. Sosok Guru dan Ilmuwan yang Kritis dan Konsisten. Kumpulan Tulisan Peringatan 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Jakarta: ELSAM, HUMA dan WALHI., h. 156<br /> (23) Lihat uraian tentang corporate accountability under national law: home State responsibility and host State responsibility, artikel Paula Richardson. “Corporate Crime in a Globalized Economy. An Examination of the Corporate Legal Conudrum and Positive Prospect for Peace.” Carleton University Ottawa. September 2003., p. 7 – 8.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-53101757416615340232008-11-03T14:07:00.005+07:002008-11-03T14:30:27.287+07:00Standar dan Praktek Hak Asasi Manusia untuk PolisiPengantar<br /><br />Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia akan menyusun satu buku: “Buku Panduan Umum Hak Asasi Manusia Bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia” – selanjutnya disebut dengan Buku Panduan. Saat ini, telah disusun draft kuisioner, yang memuat 3 tema pokok, yakni:<br />1. Umum<br />2. Tugas Pokok dan Fungsi<br />3. Pelaksanan Tugas Dilapangan<br /><br />Artikel singkat ini disusun untuk merespon Draft Akhir Kuisioner untuk Konsep Penyusunan Buku Panduan Umum HAM Bagi Kepolisian Negara RI. Depkeh HAM. Tulisan ini akan mendeskripsikan norma dan standar internasional HAM yang sebaiknya dirujuk untuk penyusunan Buku Panduan. Dibagian B, akan didiskusikan beberapa topik yang relevan berkaitan dengan penyusunan Buku Panduan. Dibagian akhir artikel, akan dimuat beberapa rekomendasi berkaitan dengan Penyusunan Buku Panduan.<br /><br /><br /><span class="fullpost">A. Standard dan Praktek Hak Asasi Manusia untuk Polisi dibawah Norma dan Standard<br />Internasional tentang Hak Asasi Manusia<br /><br />Untuk Keperluan ini ada beberapa dokumen standard internasional dan pedoman yang sebaiknya dirujuk dalam menyusun Buku Panduan, seperti dokumen baik General Comment maupun General Recommendation yang diadopsi Komite HAM (CHR) dan Komite Menentang Diskriminasi Rasial (CERD); serta “Buku Saku Hak Asasi Manusia untuk Polisi”, yang diterbitkan Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB.<br /><br />A.1. General Comment dan General Recommendation<br /><br />a. Polisi dan Problem Penyiksaan<br />Salah satu isu yang menjadi perhatian Komite HAM (CHR) adalah berkaitan dengan problem/kejahatan HAM yang dilakukan oleh polisi: penyiksaan, tindakan kejam dan tindakan merendahkan martabat manusia lainnya. Komite HAM menyatakan:<br /><br />“… police officers … involved in the custody or treatment of any individual subjected to any form of arrest, detention or imprisonment must receive appropriate instruction and training. State parties should inform the Committee of the instruction and training given and the way in which the prohibition of article 7 forms an integral part of the operational rules and ethical standards to be followed by such person”.(1)<br /><br />Ketentuan pasal 7 ICCPR, sebagai berikut:<br /><br />“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”.<br /><br />CHR menyatakan, pasal 7 ICCPR tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi “both dignity and the physical and mental integrity of the individual”(2) inter alia perlindungan bagi setiap orang yang terdeprivasi kebebasanya, termasuk tahanan, wajib diperlakukan dengan rasa kemanusiaan dan dengan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.(3)<br /><br />b. “Exercising Police Power”<br />Dalam melakukan wewenangnya, khususnya melakukan penahanan atau harus dipastikan polisi juga mempunyai tanggungjawab untuk menghormati dan melindungi “human dignity” dan menjamin dan menegakkan hak asasi manusia tanpa perbedaan apa pun (diskriminasi) atas dasar ras, warna kulit atau asal etnis dan nasional.(4)<br /><br />c. Polisi dan Problem Diskriminasi<br />Larangan untuk menggunakan “illegal force” yang dimiliki kepolisian untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang sifatnya diskriminatif terhadap individu/kelompok tertentu. Larangan diskriminasi, termasuk memastikan polisi tidak menikmati impunitas atas dasar ras, warna kulit atau asal etnis tertentu, agama dan seterusnya.(5)<br /><br />d. Internal Kepolisian: Kualifikasi dan Promosi<br />CHR dalam sebuah General Comment pernah memberikan perhatiannya kepada problem adanya praktek-praktek diskriminasi dan/atau limitasi berkaitan dengan kualifikasi dan promosi yang dilaksanakan institusi kepolisian. Sebagai contoh, adanya praktek diskriminasi terhadap individu yang ingin bekerja sebagai polisi, atau adanya praktek-praktek diskriminasi dalam hal promosi, dengan dasar diskriminasi ras, warna kulit, asal etnis, agama dan seterusnya.(6)<br /><br /><br />A.2. Buku Panduan Terbitan OHCHR<br /><br />Buku panduan yang diterbitkan Kantor Komisioner Tinggi PBB (OHCHR) dengan judul “Human Rights Standards and Practice for the Police. Expanded Pocket Book” .(7) merupakan salah satu dokumen yang digunakan dalam seri pelatihan profesional yang menjadi inisiatif dari kantor ini.<br /><br />Buku panduan tersebut, boleh dikatakan lengkap karena mencakup banyak tema yang memang relevan sebagai panduan bagi aparat kepolisian, sebagai berikut:(8)<br />1. Application of General Human Rights Principles;<br />2. Ethical and Legal Conduct;<br />3. Policing in Democracies;<br />4. Non-Discrimination in Law Enforcement;<br />5. Police Investigation;<br />6. Arrest;<br />7. Detention;<br />8. Use of Force and Firearms;<br />9. Civil Disorder, State of Emergency and Armed Conflict;<br />10. Protection of Juveniles;<br />11. Human Rights of Women;<br />12. Refugees and Non-Nationals;<br />13. The Human Rights of Victims;<br />14. Police Command and Management;<br />15. Community Policing;<br />16. Police Violations of Human Rights;<br />17. Source for Human Rights Standards and Practice.<br /><br />A.3. Sumber-Sumber untuk Praktek dan Standar HAM<br /><br />Dalam buku panduan terbitan OHCHR, dimuat norma dan standard internasional, yang diadopsi PBB untuk menjadi rujukan bagi praktek kepolisian, sebagai berikut:<br />1. Universal Declaration of Human Rights (UDHR);<br />2. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);<br />3. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or<br />Punishment (CAT);<br />4. Convention on the Right of the Child (CRC);<br />5. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination<br />(CERD);<br />6. Convention on the Elimination of the All Forms of Discrimination against Women;<br />7. Code of Conduct for Law Enforcement Officials;<br />8. Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials;<br />9. Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Forms of Detention<br />or Imprisonment<br />10. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of<br />Power;<br />11. Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance;<br />12. Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal,<br />Arbitrary and Summary Executions<br />13. Guideline on the Role of Prosecutors;<br />14. Declaration on the Elimination of Violence against Women;<br />15. United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The Tokyo<br />Rules);<br />16. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice<br />(“The Beijing Rules”);<br />17. United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty;<br />18. Model Strategies and Practical Measures on the Elimination of Violence against<br />Women in the Field of Crime Prevention and Criminal Justice.<br /><br />Sebagai catatan, Indonesia telah meratifikasi beberapa norma internasional HAM, seperti dalam tabel 1 dibawah ini.<br /><br /><div style="text-align: center;">Tabel 1<br />Instrumen Internasional HAM Utama yang Telah Diratifikasi Indonesia<br /></div> <div align="center"> <table class="MsoNormalTable" style="border: medium none ; border-collapse: collapse;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="border-style: double solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.95pt;color:black;" valign="top" width="49"> <p class="MsoBodyText"><b><span style="font-size:10;">No.<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: double solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.6pt;color:black black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="197"> <p class="MsoBodyText"><b><span style="font-size:10;">Konvensi Yang Diratifikasi<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: double double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.7pt;color:black black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="260"> <p class="MsoBodyText"><b><span style="font-size:10;">Inkorporasi dalam Hukum Domestik<o:p></o:p></span></b></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.95pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="49"> <p class="MsoBodyText" style="margin-left: 25.2pt; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size:10;"><span style="">1.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size:10;"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.6pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="197"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">CERD<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.7pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="260"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">UU No. 29/1999<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.95pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="49"> <p class="MsoBodyText" style="margin-left: 25.2pt; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size:10;"><span style="">2.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size:10;"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.6pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="197"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">CAT<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.7pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="260"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">UU No. 5/1998<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.95pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="49"> <p class="MsoBodyText" style="margin-left: 25.2pt; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size:10;"><span style="">3.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size:10;"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.6pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="197"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">CEDAW<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.7pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="260"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">UU No. 7/1994<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.95pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="49"> <p class="MsoBodyText" style="margin-left: 25.2pt; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size:10;"><span style="">4.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size:10;"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.6pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="197"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">CRC<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.7pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="260"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">Keppres No. 36/1990<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid double double; padding: 0cm 5.4pt; width: 36.95pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="49"> <p class="MsoBodyText" style="margin-left: 25.2pt; text-indent: -18pt;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size:10;"><span style="">5.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size:10;"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid double none; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.6pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="197"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">Hak-hak Perempuan<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double double none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.7pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="260"> <p class="MsoBodyText"><span style="font-size:10;">UU No. 68/1959<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table> </div><br /><br />B. Menyusun Buku Panduan Umum HAM Bagi Polisi<br /><br />Langkah Depkeh HAM yang memfasilitasi penyusunan Buku Panduan Umum HAM Bagi Kepolisian merupakan langkah penting, fenomenal sekaligus patut dipuji. Hal lain, komposisi keangotaaan tim penyusun pun sangat apik karena berasal dari beragam latar belakang baik dari aspek asal lembaga maupun aspek latar belakang pengetahuan dan akademik, seperti terlihat dalam tabel 2. Karenanya, alangkah lebih baik jika Buku Panduan yang disusun dapat benar-benar menjadi “Panduan” bagi Kepolisian kita.<br /><br />Buku Panduan ini, sebaiknya dapat digunakan bagi aparat kepolisian, sekaligus dapat digunakan untuk menjawab problem-problem yang ada di masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia, tentu saja yang berkaitan dengan tugas, peran, wewenang dan fungsi kepolisian. Dengan demikian, selain merujuk pada norma dan standard internasional, sangat baik kita menggali dari norma dan standar domestik (nasional) yang kita miliki.<br /><br />Setidaknya ada 2 problem dapat muncul dalam penyusunan Buku Panduan jika merujuk pada norma (hukum) positif saat ini, sebagai berikut:<br />1. Beberapa perundang-undangan mempunyai kelemahan, seperti KUHAP (Kitab<br />Undang-undang Hukum Pidana)(9) oleh banyak komentator mestinya direvisi – termasuk<br />UU 39/1999 tentang HAM;<br />2. Bisa saja norma dan standar domestik belum mengatur tentang ideal kepolisian<br />menyangkut pemenuhan hak asasi manusia;(10)<br /><br /><div style="text-align: center;">Tabel 2<br />Partisipan dalam Penyusunan Buku Panduan<br /></div><table class="MsoNormalTable" style="border: medium none ; border-collapse: collapse;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="border-style: double solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >No.<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: double solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:black black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Nama<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: double double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:black black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Jabatan/Asal Lembaga<o:p></o:p></span></b></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">1.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Prof. DR. Harkristuti Harkrisnowo<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >FHUI<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">2.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Lies Sugondo, S.H.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Ketua Sub Pengkajian Komnas HAM<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">3.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Kombes Pol. Drs. Ichwanto Harijadi<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >PTIK<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">4.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >AKBP Soedjojo Sam, S.H., M.H.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Mabes Polri<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">5.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >AKBP DR. R.M. Panggabean<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Mabes Polri<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">6.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >A. Patra M. Zen, S.H., LL.M<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >YLBHI<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">7.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >DR. Adhi Santika MS<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Kapus. Pengkajian Hak-hak Ekosob, Balitbang HAM<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">8.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Drs. Edi Ichwanto<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Kabid. PMP. Pusat Pengkajian Hak-hak Ekosob<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">9.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Cuntoko, S.E., MM.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Kasubid. Lokal, Bidang PMP, Pusat Pengkajian Hak-hak Ekosob<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">10.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Markus Harjanto, S.H.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Balitbang HAM<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">11.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Ir. Maruahal Simanjuntak, M.M.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Pimpro. Penelitian dan Pengembangan HAM<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid double double; padding: 0cm 5.4pt; width: 32.4pt;color:-moz-use-text-color black black;" valign="top" width="43"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 25.2pt; text-align: center; text-indent: -18pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><span style="">12.<span style=";font-family:";font-size:7;" > </span></span></span><!--[endif]--><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid double none; padding: 0cm 5.4pt; width: 215.85pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="288"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Ir. Bresman Sianipar, MSc.<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none double double none; padding: 0cm 5.4pt; width: 194.55pt;color:-moz-use-text-color black black -moz-use-text-color;" valign="top" width="259"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style=";font-family:Garamond;font-size:10;" >Koordinator Penyusunan Buku Panduan<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table> Sumber: Lampiran Surat Undangan Ka. Balitbang Depkeh HAM No. K1-UM.02.10-472<br /><br />Membaca dokumen internasional, seperti telah dibahas dibagian sebelumnya, tentu saja memuat standard dan norma ideal. Dalam konteks ini, jika Buku Panduan disusun berdasarkan ideal tersebut, tentu saja sangat baik. Namun, tentu saja bisa muncul pernyataan-pernyataan sinis, seperti: “untuk apa disusun buku panduan yang sangat ideal, tapi tidak bisa dilaksanakan” atau malah pernyataan brutal, semisal: “untuk apa disusun buku panduan yang sangat ideal, kalau tidak dipakai dan hanya untuk dilanggar”.<br /><br />Buku Panduan yang hendak kita susun, sebaiknya menjadi suatu ideal standar dan praktek yang diiktiarkan bersama. Karenanya, tidak menutup kemungkinan, Buku Saku ini malah menjadi inspirasi, bahan masukan, dan dokumen rujukan bagi rancangan perundang-undangan yang akan disusun dan/atau perundangan-undangan yang (akan) direvisi. Selain itu, tidak menutup kemungkinan Pimpinan Kepolisian menjadi inspirasi pimpinan lembaga Negara lain menjadi tauladan melaksanakan Buku Panduan, dan menjadi pimpinan berhasil melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan praktek-praktek promosi, perlindungan dan pemenuhan hak asasi oleh Polisi.<br /><br /><br />C. Rekomendasi<br /><br />Beberapa rekomendasi untuk penyusunan Buku Panduan, sebagai berikut:<br /><br />1. Sebaiknya Buku Panduan disusun dengan merujuk pada norma dan standar internasional Hak Asasi Manusia, dengan memberikan elaborasi yang lebih mendetail untuk menjawab persoalan-persoalan konteks Indonesia, seperti panduan untuk polisi yang bertugas di daerah konflik komunal, seperti di Maluku; diwilayah-wilayah dimana masyarakat adat (indigenous people) berdiam; dan di wilayah-wilayah “khusus” lainnya;<br />2. Sebaiknya Buku Panduan disusun juga untuk menjawab problem korupsi dilingkungan kepolisian – karena korupsi merupakan satu kejahatan yang berkaitan juga dengan kejahatan terhadap hak asasi manusia, terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemberantasan kejahatan korupsi ini pada hakikatnya menjadi kewajiban polisi untuk memberantasnya.<br />3. Buku Panduan ini sebaiknya menjamin aksesibilitas publik untuk memberikan masukan, mengetahui dan memperolehnya. Dengan demikian, publik dapat berpartisipasi dalam proses penyusunannya, hingga pada saat Buku Panduan ini selesai dicetak. Distribusi buku panduan kepada publik, dengan beragam cara termasuk penyebarluasan di internet, sebaiknya dilakukan, dengan harapan masyarakat luas dapat berpartisipasi untuk membantu para pimpinan kepolisian untuk melakukan pengawasan (monitoring) pelaksanaan Buku Panduan.<br /><br />Dengan demikian, kuisioner yang disusun sebaiknya menuju dan mencakup semua ideal standard dan praktek hak asasi manusia yang seharusnya dilaksanakan polisi – walau pun dengan sifat “umum”, yang bisa menjawab problem-problem “spesifik” dan “khusus” Indonesia.<br /><br />Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.<br /><br />* Artikel ini disusun untuk keperluan “tanggapan draft” dalam Pembahasan Draft Akhir Kuisioner untuk Konsep Penyusunan Buku Panduan Umum HAM Bagi Kepolisian Negara RI. Depkeh HAM. Jakarta, 8 Juni 2004.<br /><br />Catatan Belakang<br /> (1) CHR. General Comment No. 20. Forty-fourth session (1992), para. 10.<br /> (2) Ibid, para. 2.<br /> (3) Lihat pasal 10 ICCPR.<br /> (4) UN doc. A/48/18. CHR. General Recommendation XIII on the training of law enforcement officials in the protection of human rights. Forty-second session (1993), para. 2.<br /> (5) Lihat CERD. General Recommendation XXVII on Discrimination against Roma. Fifty-seventh session (2000) , para. 12<br /> (6) CHR. General Comment No. 25. Fifty-seventh session 1996 (Article 25 ICCPR), para. 18. <br /> (7) Office of the UN High Commissioner for Human Rights. 2004. Human Rights Standards and Practice for the Police. Expanded Pocket Book. New York and Geneva.<br /> (8) Lihat Ibid., p. v.<br /> (9) Lihat Depkeh HAM “Kuisioner untuk Konsep Penyusunan Buku Panduan Umum Hak Asasi Manusia Bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia”, h. 2. Pertanyaan dalam Bagian I Umum, no. 8.<br /> (10) Lihat Ibid., no. 5. <br /><br />-----<br />Standar dan Praktek Hak Asasi Manusia untuk Polisi Addendum 1*<br /><br />Pengantar<br /><br />Dalam pertemuan yang membahas Buku Panduan HAM Bagi Kepolisian RI di Depkeh HAM pada 8 Juni 2004, penulis mencatatat beberapa hal:<br />Pertama, Buku Panduan ini, ditujukan untuk “konsumsi” aparat polisi dilevel Tamtama;<br />Kedua, mode of presentation dari buku panduan ini disusun dengan model yang “dapat dipahami” oleh para Tamtama.<br />Ketiga, buku panduan ini tidak ditujukan sebagai pedoman yang berkaitan dengan internal control kepolisian, melaikan pedoman bagi para Tamtama dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya “dilapangan”.<br /><br /><br />A. Tentang Buku Panduan<br /><br />A.1. Buku Panduan untuk para Tamtama Polisi<br /><br />Penulis berpendapat bukan pada tempatnya untuk mereduksi kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan para Tamtama polisi. Karenanya, tidak diskusi tentang “rumit” atau “tidak rumit” isi buku panduan, ataupun “bisa dipahami” atau “tidak bisa dipahami” buku panduan yang hendak disusun hanya relevan diuji lewat proses dan metode yang tepat, seperti wawancara mendalam kepada responden polisi, yang hendak menggunakan buku panduan itu sendiri.<br /><br />A.2. Buku Panduan yang Mudah dipahami<br /><br />Penulis sangat sependapat dengan ajuan argumen bahwa buku panduan yang hendak disusun harus bermanfaat dan berdaya guna. Karena, pendapat bahwa isi, substansi dan cara penulisan sebaiknya disesuikan dengan para polisi yang akan menggunakannya. Menurut penulis, bahkan, bila perlu menggunakan “bahasa” para polisi.<br /><br />A.3. Buku untuk Panduang bagi para polisi melaksanakan fungsi dan tugas di lapangan<br /><br />Dalam konteks ini, setidaknya ada dua pokok fungsi dan tugas polisi, yakni dibidang yudisial, utamanya berkaitan dengan tugas-tugas penyelidikan, penahanan, penangkapan serta dibidang keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Sebaiknya, buku panduan yang hendak disusun paling tidak – dan tidak terbatas – memberikan panduan 2 bidang pokok ini.<br /><br /><br />B. Tentang Kuisioner<br /><br />Agar mencapai tujuan buku panduan menjadi efektif dan berdaya guna, penulis berpendapat sebaiknya, rumusan kuisioner memuat pertanyaan ‘apa yang boleh’ dan ‘apa yang tidak boleh’ dilakukan oleh polisi. Tentu saja benchmark atau ukuran ‘apa yang boleh’ dan ‘apa yang tidak’ boleh dilakukan polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya mesti dirumuskan terlebih dahulu, sehingga secara konsep dan praktik menjadi jelas. Dalam konteks ini ‘ukuran’ bisa berasal ‘buku-buku saku’ ‘buku-buku pedoman’ yang sudah ada dan dipakai di kepolisian. Dapat juga merujuk pada hukum internasional dan hukum domestik, termasuk petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang disusun Kepolisian RI – sepanjang tidak bertentangan dengan norma dan standar hak asasi manusia.<br /><br />C. Harapan<br /><br />Merujuk rekomendasi sebelumnya, tentang penyusunan buku panduan diharapkan juga mempertimbangkan dan/atau merujuk pada norma dan standar internasional HAM; memberikan perhatian kepada pelaksanaan tugas dan fungsi diwilayah-wilayah “khusus” serta rekomendasi perihal perlunya memastikan partisipasi publik dalam perumusan buku panduan ini, selanjutnya penulis dalam kesempatan ini hanya berharap buku panduan ini tidak diproduksi dengan tergesa-gesa, an sich hanya ditopang dengan argumen keterbatasan waktu (time constraint). Tentu saja harapan ini tanpa sedikit pun mengurangi penghargaan penulis terhadap upaya positif dan kerja keras yang dilakukan Depkeh HAM dalam memfasilitasi penyusunan Buku Pedoman ini.<br /><br />Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-72021059611732848672008-11-03T13:58:00.004+07:002008-11-03T14:26:24.850+07:00Indonesian Legal Aids Foundation: Struggling for democracy and its sustainabilityDescribing experiences of our own organization probably will barely be a less objective article. In an effort to show objectivity, the writer cited some statements and articles to represent others’ opinion on the Legal Aids Institution (LBH). The brief article alone is intended to describe and analyze the roles of LBH in the New Order periods, its challenges now and in the future.<br /><br />What have been deemed opponents of all legal aids workers since the establishment of LBH is ‘ism’ that antagonistically contradicts with the values of democracy, supremacy of just law and human rights, totalitarianism, authoritarianism, militarism and racism. For the reasons, many legal aids workers or activists should many often cope with agents or actors behind such “isms”. In this context, the LBH activists are struggling together with civilian community organization to fight against the New Order led by former President Soeharto who represented the authoritarianism leader in Indonesia.<br /><br /><span class="fullpost">The biggest legal aid organization in Indonesia, the Indonesian LBH Foundation, has entered into the third stage of historical development. The first stage was the preliminary stage of LBH start and establishment as it was founded on October 20, 1970. The former establishment of the Jakarta Legal Aids Institution as the pilot project of the Indonesian Advocates Association (Peradin) was followed by the founding of other LBH in the provinces’ major cities nationwide. The second phase was marked by the founding of association of the dozen of LBH into the Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI) on March 13, 1980. Since then on, LBH turned to be independent non-governmental organization and no longer be affiliated to the Peradin. The third phase was marked by the revision of the organization statutes that were commonly considered as the ‘locomotive of democracy’(1) by national media based on the notary certificate No. 26 on September 26, 2002. Thus far YLBHI has offices in some 14 provinces. In addition, YLBHI has become known by the emergence of some noted and popular individuals in media as the human rights fighters who got domestic and international awards.<br /><br />Implementing structural legal aid approaches, LBH has been long put into service not only litigation advocacy at court as the core competence but also done some activities outside court including organizing and educating clients and poor society. However, such approaches have run the risk of the institution given that, for instance, the technical and skill abilities of some legal aid workers at court has now relatively decreased in quality if they are compared with some senior advocates of the 1970s and 1980s.<br /><br />In addition to the risk, the approach of BHS has surely made LBH workers the operation target of Soeharto regime. Many often a worker of LBH should support the other colleague when the iron-fist regime considered the worker here enemy for pleading farmers or poor labor interests. Physical and mental terrors or even the victims of the police and military’s tortures at the time was deemed daily hazard under Soeharto’s regime.<br /><br /> <p class="MsoBodyText" style="text-align: center; line-height: normal;" align="center"><b><span style="font-size: 12pt; font-family: Garamond;">Graphic 1<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><span style="font-family: Garamond;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t75" style="'width:390.75pt;" ole=""> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\PATRAM~1\LOCALS~1\Temp\msohtml1\01\clip_image001.wmz" title=""> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/PATRAM%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtml1/01/clip_image002.gif" shapes="_x0000_i1025" height="287" width="521" /><!--[endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <o:oleobject type="Embed" progid="Word.Picture.8" shapeid="_x0000_i1025" drawaspect="Content" objectid="_1287225946"> </o:OLEObject> </xml><![endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoCaption"><span style="font-size: 12pt; font-family: Garamond;">Source: YLBHI doc. Data compilation</span><span style="font-size: 12pt; font-family: Garamond; font-weight: normal;">. Human Rights Directorate <o:p></o:p></span></p> On the roles of LBH during the Soeharto’s era an article wrote, “… at the beginning of 1990s LBH was even named as the locomotive for democracy…. Almost every day many activists ranging from students, labors, urban poor society and the like thronged YLBHI office…”. (2) In this article, the writer said that LBH was the source of opposition to the ruling government. Here are the statements:<br /><br />“Some Political Parties participating in the 1999 general election were declared in this place including the Democratic People Party (PRD) and Indonesian Democratic Union Party (PUDI). It implies that LBH at the beginning of 1990s was really the central place in which many groups met in their attempts to oppose openly against the Soeharto’s regime. The existing groups were still small in number… From the office here, the schemes of actions to counter the evictions nationwide were planned.<br /><br />… in other words, YLBHI was no longer simple place to file a complaint from poor civilians but also place for pro democracy activists of various groups to gather… “(3)<br /><br />In conjunction with the 25th anniversary of LBH in 1995, Professor Daniel S. Lev, a senior lecturer from Washington University, said that emergence of LBH in 1970s was a sort of experiment. But the experiment here worked out well. Lev even stated that the surviving existence of LBH has encouraged the movement of NGO in Indonesia. Lev said: “… when LBH was founded in 1970s, many predicted that LBH would only survive for five years at maximum. Thus, it is unpredictable thing to note that LBH has survived for 25 years.”(4)<br /><br />In the new era, PBH LBH are facing more challenges. Soeharto’s downfall on May 21, 1998 has marked the new era. The event here opened new chances and hopes to all Indonesian nations. Formally the state has given new procedures and mechanism and new state-owned institutions. These brand new stuffs are considered the requirements of democracy system and structure including a direct presidential election, direct governor and regent election, establishment of Constitutional Court, Constitutional Commission, National Law Commission, Corruption Eradication Commission, and the like.<br /><br />The formal development here has yet to guarantee the protection of poor peoples’ rights. Corruption goes rampantly in the era of regional autonomy. Worse still, following the former President Soeharto’s downfall, the intensity of communal conflict increased as it was the case of the violence against minor ethnicities, women and poor community.(5) With reference to the data on cases of the New Order and its transitional periods as depicted in Figure 1, the cases reported by public to LBH also heightened significantly. Worse, assault incidents committed by state apparatus and militias, or unidentified perpetrators against LBH offices were escalating in worse quality in the reform era.<br /><br />For instances, in 2001 a number of violence cases reportedly happened to some LBH activists.(6) In Medan, LBH director Irham Buana Nasution should be hospitalized as unknown perpetrators shot him with bow and arrow on April 11, 2001. He got the attack at his office at LBH Medan. The poisonous arrow was lifted up by an hour surgery at the hospital. On April 1996, LBH Medan office was burned out by unidentified people a day after pro democracy activists staged rallies in response to the general election.<br /><br />On April 12, 2001, a number of unknown people attacked Toyota van of LBH Bandung director Haneda Lastoto. The incident happened at the LBH Bandung office. In addition to the attack, the perpetrators also stole the documents on Lastoto’s clients dealing with the 13 suspects of bombing case.<br /><br />On April 13, 2001, a number of Jakarta Police apparatus attacked YLBHI office in Jakarta. At the time, police hurled stones and batons to destroy four glass windows. Five police even intruded Adam Malik room in which Legal Aids Training session (Kalabahu) - a training for caderes at LBH Jakarta - was given. The assault occurred following the police attempts to sweep the demonstrators staging anti military rallies nearby the YLBHI. In response to the police hunt, some demonstrators escaped the incidents for safe shelter at YLBHI. Worse, police even beat some 10 student activists at Adam Malik room. An eyewitness was even collapsed noting the shocking real tortures there. It is very common for any demonstrator to keep cover at YLBHI when they put up with clashes with police and military apparatus.<br /><br />On July 20 2001, joint team of Aceh Police and Aceh Besar Police Precinct carried by a truck and three cars attacked LBH Banda Aceh. Police forcibly arrested LBH Banda Aceh director Rufriadi and his staff Arie Maulana and Banta who was student activist. Police even ordered them to put off their clothes and lay facing downwards at yard of LBH Banda Aceh. The assault occurred when some human rights activists staged rallies on human rights violation in Aceh. The security apparatus confiscated computer, banner and pictures of the violence victims exhibited at the venue.<br /><br />The above examples are just partial cases of the reported violent cases happened to the LBH workers. Ironically, the recent political party elites and high-ranking state officials could claim the prior prominent roles of LBH to struggle hard for truthfulness, justice and human rights. It was unlike the era of former President Soeharto.<br /><br />The supports given by funding agencies have plunged. The traditional donor institutions for LBH including Novib and USAID have no longer extended their supportive contracts. There is no more block grant for the NGOs that once become a symbol opposing New Order regime. This was because all progressive and Soeharto’s opposed elements have gathered, declared or had discussion at ‘Adam Malik’ conference room at YLBHI. It looks ironical as many doctorates and masters for LBH activists and intellectuals conducting researches for their thesis and dissertation were born from LBH. But on the other side, they did not prepare themselves to explore more domestic financial supports.<br /><br />A number of staffers who have worked there for years should put up with dismissal with improper severance payment. The staffers who keep on working there did not get regular monthly salary. The real challenges at present are on the matters of how to survive the organization and at the same time, it undertakes advocacy for poor people and justice seekers free of charge.<br /><br />Since October 2002, the structure of Indonesian Legal Aids Foundation has been set up in line with the above challenges. The arranged work plans either adopted the dynamics of external organizations. The national workshop of YLBHI on July 2004 asserted that the primary program of all LBH now was to encourage the fulfillment and protection of economy, social and cultural rights. Of course, this does not put aside the protection of civilian and political rights. Modifying Professor Lev’s question, it was really incredible fact that LBH could survive up through to 33 years and now almost on the 34th anniversary.<br /><br />*Article for Hurights Osaka.<br /><br />End Note<br /><br /> (1) See Kompas October 12, 1995. “Refleksi 25 Tahun YLBHI. Harus Bisa Jawab Tuntutan Masyarakat” ( “YLBHI 25 Year Reflection. It Must Be Able to Respond to Public Demands”), Kompas August 17, 2003. “Menemukan Sosok Masyarakat Madani” (“Finding an Indonesian Civil Society”), Tri Agung Kristianto. “Ornop, Sebuah Citra Ketergantungan” (“NGO, an Image of Dependency”), Kompas January 22, 2003. “LBH dan Demokarasi” (“LBH and Democracy”), GATRA weekly magazine, March 16, 1996 (No. 18/II)<br /> (2) Sharir, Bari Muchtar and Junito Drias, “Perahu Retak Kelompok Pro –Demokrasi” (“Cracking Boat for Pro Democracy Group”), September 25, 2002. Text could be read at http://www.rnw.nl/ranesi.htiml/gw_20020926<br /> (3) Ibid.<br /> (4) Kompas October 12, 1995, “Refleksi 25 Tahun YLBHI. Harus Bisa Jawab Tuntutan Masyarakat” (“YLBHI 25 Year Reflection. It Must Be Able to Respond to Public Demands”)<br /> (5) On the violence escalating tension at the post Soeharto’s era, for instance figure out Elizabeth Fuller Collins “Indonesia: A Violent Culture?” Text can be read at http://www.cmdd.org/artikel_efc.htm<br /> (6) See Ucok Ritonga’s “Sejumlah Kasus Menimpa Aktivis LBH dan Kontras” (“Some Cases for LBH and Kontras Activitsts”), Tempo weekly magazine, August 21, 2001. </span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-83526155066051446502008-11-03T13:45:00.004+07:002008-11-03T14:27:25.358+07:00Educating Law with Peasant Communities: Struggling together for the right to landThousands of land conflict cases have been reported to the Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI) over the past few decades. These cases can be categorised into three main issues: Firstly, land expropriation and forced evictions. Secondly, the problem of compensation and restitution, specifically when peasant communities are offered compensation that is not equivalent to the real value of their land. Lastly, there is the problem of environmental disaster and pollution, which has an impact on the production process. <br /><br />These problems are making peasant communities suffer as well as decreasing their standard of living. Therefore, they are suffering violations of both their civil and political rights, as well as their economic and social rights. This occurs often and the land conflict causes peasant families to become victims of intimidation and torture, sometimes even causing them death.<br /><br />The types of violators can be separated into two categories: (1) private entities, in particular corporations and landlords (2) government institutions, for instance: Department of forestry, including the military and police. These violators abuse the communities in order to use their land for housing, plantations, fishponds, dams and other purposes. Besides using repression and intimidation tactics, the violators are also using the law to expropriate peasants’ land and weaken the peasant movement. <br /><br /><span class="fullpost">This article will describe LBH’s experience in organising and conducting a law education program in Lampung, South Sumatra and Bangka. The cases and training experiences in these areas are unique examples of some cases advocated by LBH. They are unique because the peasant communities in these regions have successfully reclaimed their land, something that is uncommon with land conflict struggle in Indonesia. <br /><br />Law Education for Peasant Communities<br /><br />Peasant communities are a target group for law training and education organised by LBH. In this context, the peasant community can be categorised into two main groups: tuna kisma (landless peasant) including labor-peasants who work in plantations belonging to private or State companies, and petani gurem, peasants who just have limited and small amounts of land, not enough to earn profits from the process of production. <br /><br /><br />Living together during law education <br /><br />Law education and learning takes place within the peasant communities and the lawyers, activists and volunteers who work for LBH lived together with peasant during the training. The live-in aspect means that LBH’s staff stays in peasants’ homes for a period of time during the training. Below are the methods being exercised during the stay-in approach. <br /><br />Firstly, LBH’s staffs commonly receives reports from peasants who are victims of human rights violations. The staffs will then discuss the details of the case with the client, such as the number of victims and perpetrators, the location where the violation took place, and with that information they will build a case study.<br /><br />Secondly, The staff will discuss the case study with the other LBH staff members in order to formulate strategic planning for advocacy on behalf of the victims. One of the advocacy programs is law education in the villages. However, before conducting education work, there are some necessary steps to take in such as initial fact-finding activities to cross check the informations from the client. This informations will be used in order to prepare materials as well as logistics. <br /><br />Thirdly, a team will be established composes of two or three staff members and which uses a rotation method for organising education in the village. The rotation method is applied in order to monitor the cases between staff that are on location in the village and in the office. In the village, LBH’s staff members also identify people who could be trained further in order to gain the skills necessary to become a paralegal – who can then act as a “local lawyer” in her/his community. <br /><br /><br />These education processes uses materials developed by LBH’s staff. The materials contains theory of law and positive law, including constitutional law as well as legal concepts regarding land and human rights as a tool in struggling for land rights. The law concepts are discussed between the staff and peasants and covers, for instance, themes of justice, law institution and law enforcement. Meanwhile, they also identify which laws can strengthen the struggle itself. A pocket book, leaflet, poster and other materials has been produced as a material kit. For example, LBH produced a pocket book regarding people’s rights in the judicial process as contained in Indonesian Penal Code Act, which benefited people if they faced problems of arrest and detention. As another example, LBH also produced a poster containing a list of articles, which gives protection for peasants and highlights the right to land. <br /><br /><br />Peasant communities in Lampung, South Sumatra and Bangka<br /><br />Peasant communities are using law mechanisms and law arguments to defend their rights. However, these mechanisms are only used if they believed the results can strengthen their legal positions. As a result, in many cases peasant communities do not exercise the mechanism as they feel there are limitations and problems in law institutions and law enforcement. These consist of problems of corruption and red tape in judicial bodies. Many facts show that court decisions can even weaken the position of peasants and further violate their rights. For instance, if the court enacts a decision to give land to a corporation and a peasant is unable to provide a certificate or land title, it can become a justification for the corporation to carry out a forced eviction against the community. It is a common story for peasant families not having a land title. Land for them have been obtained based on inheritance. In some cases the land has been passed on to them even before Indonesia declared its independence from ?<br /><br />In Lampung, South Sumatra and provinces of Bangka where LBH and peasant communities are working together to defend their land rights, peasant organisations are learning law from the LBH staff. <br /><br />In the province of Lampung, there are two villages, Sidodadi Asri Jati Agung and Kertosari Tanjung Bintang, South Lampung District where people are managing law arguments and mechanisms in order to reclaim their land. About 600 peasant families faces land conflict against a State Corporation. After, several sessions on law studies and practicing strategies with the peasants the community efforts has yielded success <br /><br />Nowadays, 600 families have power over the land. They are now organising their communities for land redistribution. The peasants also builds their houses on their hard fought land. <br /><br />Likewise in Sidodadi village, a corporation is using the same tactics in law mechanisms to sue peasant families before local court in order to argue that the land is a state property. Constant meetings and education work with the villagers and LBH staffs also pays for the attainment of land for the peasants. They have won the case and have started to build a local market for the community people. In the opening ceremony of the market early this year , the villagers has even invited local government officials to give a speech and take pride of their achievement in struggling to own a land. <br /><br />It can be said that these success stories could not be separated from the realities that peasants, LBH staffs and other organisations has worked together in cooperation, sacrifices, patience and hard work in the struggle to reclaim peasants’ rights. As a result, twenty thousands families from 80 villages in Lampung formed a peasant organisations, Lampung Peasant Council (DTL). At the start, LBH was involved in building these organisations. Many of the peasant families had become LBH’s client. LBH regularly discusses and educates peasants concerning the law and their rights. <br /><br />In South Sumatra and Bangka, the cases are almost the same as in Lampung story. It is not always that the peasants learnt from LBH staffs. LBH people in humbleness are also learning with the peasant communities. In Musi Banyu Asin and Bangka hundreds of people in these areas reclaimed their natural resources and are defending them through litigation and non-litigation processes including demonstrations (mass rallies), lobbying and campaign work. <br /><br /><br />Learning points<br /><br />From the illustration above, it can be said that lessons regarding law education are being learned through the live-in method. Firstly, peasant communities and LBH staff can examine the experiences of the peasants, develop a theory and concept of law using facts and their daily realities. Therefore, the education materials developed by LBH came from the real experiences of the people and not mere concepts. <br /><br />Secondly, In the process of living with the peasants, the peasants become more open to speak about their problems. Some peasants felt proud that lawyers would be staying in their homes and willing to take a risk with them and also teaches them law. The education methodology is not formal and law training is performed anywhere, in peasant houses, farms, or organisation offices. <br /><br />Thirdly, LBH’s staff and lawyers get direct knowledge in how to handle cases and these experiences are very useful when they are representing peasants before the court. Moreover, peasants can also use the law and “duplicate” (Stregthened) lawyer’s argument when they faces state structures and corporations. <br /><br />In conclusion, the type of law education that makes use of the live-in approach has an impact and influences and promotes social change in peasant communities. It is now possible to say that it is relatively easy to find peasants in remote areas who could argue well and who are experts in speaking about the law, including acts and law mechanisms, as well as any lawyer in a capital city.<br /><br />* Article for ARRC<br /><br />End Note<br /><br /> (1) The Indonesian Legal Aid Foundation was established in 1970 and having 14 branch offices in main capital of provinces. The offices received cases from the poor and marginal people. These cases are received by certain division, which are established in LBH. The prodeo lawyers offer service for peasant, fisheries, labour, urban poor, student, non-governmental organisation’s activist and other elements of society who become victims of human rights violence. <br /> (2) Law education is conducted by LBH based on the need of community. Therefore, education curriculums are developed based on target group. <br /> (3) In level of staff who work in LBH, it can be categorised into two groups: a staff who graduated from law faculty and obtaining lawyer permit and staffs who do not have a lawyer permit – they could graduated from other disciplines. Meanwhile, a volunteer is everyone who have finished certain process and being decided and selected as LBH’s volunteer. <br /> (4) Not all cases based on complain or report from client. It also based on LBH’ staff initiative, for instance, as a follow up action a news in mass media. <br /> (5) Education materials are given based on priority need of peasant communities in their village. For instance, material concerning economic, social and cultural rights is given after materials concerning people organisation.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-88359875007085199162008-11-03T13:39:00.003+07:002008-11-03T13:51:10.918+07:00Pemetaan Masalah: Perspektif AdvokasiPengantar Diskusi<br /><br />A. Prolog<br /><br />Pengertian advokasi dalam tulisan ini bermakna pembelaan dalam arti luas, baik yang dilakukan lewat upaya hukum (litigasi) maupun diluar upaya ini (non-litigasi). Litigasi maksudnya, melakukan pembelaan terhadap klien – korban - kita dalam proses peradilan. Sedangkan non-litigasi, upaya pembelaan yang dilakukan dengan beragam cara seperti aksi (demonstrasi) – bertujuan untuk melakukan desakan terhadap para pihak untuk berbuat sesuatu atau mengeluarkan kebijakan; mengkampanyekan kasus/masalah dengan tujuan mendapatkan simpati/dukungan terhadap kasus atau korban; atau pun melakukan pembelaan dengan cara-cara lain yang dianggap dapat membantu upaya penyelesaian masalah atau membantuk korban yang kita bela/dampingi.<br /><br />Dalam artikel ini, subyek yang melakukan advokasi dibatasi: mahasiswa, sesuai dengan audiens dalam acara ini. Karenanya, upaya advokasi dalam artikel ini lebih ditujukan pada upaya-upaya pembelaan diluar jalur sistem peradilan – seperti yang diperankan pengacara publik atau advokat hak asasi manusia. <br /><br /><br /><span class="fullpost">B. Konteks dan Batasan<br /><br />Posisi mahasiswa dalam advokasi bersifat pendampingan. Dalam prakteknya, suka atau tidak suka, mahasiswa tetap menjadi ‘orang luar’ dalam proses advokasi. Dalam batas ini, korban yang diadvokasi menempati posisi yang lemah dalam artian, tidak memiliki akes terhadap sumber daya ekonomi, politik dan sosial. Sebagai ilustrasi, korban dalam kontek advokasi: petani miskin yang dirampas tanahnya oleh aparatur negara atau pemilik modal (kapital) besar; massa buruh yang dipecat sewenang-wenang; atau pun kelompok atau komunitas penduduk yang dilanggar hak asasinya. Lebih jauh, demonstrasi mahasiswa untuk mendesak pemerintah menurunkan harga, dapat dikategorikan sebagai upaya advokasi rakyat kebanyakan, karena dampak negatif yang dihasilkan oleh kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga mendera mayoritas masyarakat yang tidak memiliki sumber daya ekonomi yang memadai. Dengan kata lain, korban disini bukanlah ditujukan untuk individu atau kelompok yang ‘kuat’ atau ‘berkuasa’ terlebih mengadvokasi ‘penguasa’.<br /><br />Tulisan ini akan mendeskripsikan dan mendiskusikan salah satu tahapan dalam advokasi, yakni perencanaan. Dalam melakukan pembelaan yang hendak dilakukan diperlukan perencanaan yang baik dengan salah satu satu tahapan: ‘pemetaan masalah’. Advokasi yang dilakukan adalah advokasi ‘berpihak’. Karenanya salah satu tujuan penting dalam pemetaan masalah ini untuk menentukan siapa ‘korban’. Lebih lanjut, pemetaan masalah bertujuan untuk mengetahui beberapa hal sebagai berikut:<br /><br />Pertama, latar belakang sebuah kasus atau masalah. Pada bagian ini, latar belakang yang hendak dicari bukan saja faktor pencetus (trigering factor) melainkan akar problem. Akar masalah ini bisa saja konflik ekonomi, sosial atau pun budaya. Sebagai contoh, apa yang diistilahkan media publik (surat kabar, televisi, dsb) sebagai konflik komunal atau konflik horizontal – konflik yang terjadi antar sesama komunitas masyarakat, tidak dapat serta merta dipercaya sebagai konflik antar masyarakat an sich. Dengan demikian, untuk membuktikan sebuah teori kasus yang hendak disusun dan ‘dipertahankan’, akar masalah sebenarnya mesti diketahui terlebih dahulu. Kegunaan dalam advokasi antara lain, dapat dipergunakan untuk mendesak pertanggungjawaban negara (state obligation), utamanya dalam promosi, perlindungan dan pemenugan hak asasi para pihak yang berkonflik. <br /><br />Kedua, para-pihak yang terlibat dalam kasus. Dalam konteks ini, elaborasi dan penyelidikan terhadap para pihak yang terlibat mesti dirangkai menjadi sebuah ‘cerita’ dengan bagian-bagian episodenya. ‘Menggambarkan’ para-pihak sedetail-detailnya menjadi salah satu tugas ‘pendamping’. Setelah para pihak kunci telah teridentifikasi, selanjutnya disusun sebuah kerangka kerja yang memungkinkan para pihak terlibat dalam ‘pembelaan’ atau minimal, tidak menghalang-halangi ‘pembelaan’ yang hendak dilakukan. Pada umumnya para pihak yang didentifikasi berasal dari tiga lingkaran besar: negara; pasar (market), dan korban baik korban langsung – maupun korban yang tidak langsung, dan komunitas masyarakat secara keseluruhan. <br /><br />Ketiga, menyusun strategi pendampingan. Strategi ini berbeda dengan strategi perlawanan atau pembelaan yang disusun ‘korban’. Perbedaannya, dilihat dari aspek ‘si pembuat strategi’. Strategi pendampingan yang disusun mahasiswa tidak dapat dipaksakan dan wajib ‘berdialog’ dengan strategi ‘si korban’. Saat pilihan strategi antara mahasiswa dengan ‘korban’ berbeda, keputusan akhir mesti dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan korban. <br /><br /><br />C. Prasyarat dan Metode Memetakan Masalah<br /><br />Untuk mencapai hasil ‘peta’ dengan maksimal, sebaiknya dilaksanakan dengan proses belajar bersama korban atau seringkali disebut dengan metode ‘live in’ atau ‘hidup bersama. Proses belajar bersama ini akan mengurangi bahkan mencegah ‘informasi manipulatif’. Informasi sejati (genuine) dan kenyataan lapangan sangat bisa dicapai jika ‘pendamping’ menggalinya di lapangan secara langsung. Metode live-in, pada dasarnya melengkapi analisis yang bersifat kwantitatif terhadap data-data social (quantitative analysis of social data), sehingga pengalaman yang didapat bukan sekedar data statistik. Pada umumnya, pada kegiatan live-in, ‘pendamping melakukan observasi, bertanya, dan jika diperlukan mengorganisir grup diskusi yang membahas problem secara regular. <br /><br />Belajar besama akan mempermudah ‘pendamping’ untuk mengetahui organisasi sosial dimana korban berdomisili. Sebagai contoh, proses belajar ini akan mengeksaminasi bagaimana konflik terjadi dan dikelola, kebutuhan-kebutuhan sosial, kepentingan-kepentingan individu, budaya atau pun mengetahui symbol-simbol yang dipunyai organisasi sosial tersebut.<br /><br />Metode ‘belajar bersama’ seringkali secara parallel dilakukan dengan proses ‘pendidikan popular’. Dalam hal ini, ‘pendamping’ menjadi fasilitator dalam proses belajar yang ditandai dengan proses partisipasi. Untuk dapat mencapai hasil yang maksimal, tak pelak lagi faktor individual ‘pendamping’ menjadi faktor yang penting. Diperlukan ‘pembela dan pendamping’ yang memenuhi persayaratan antara lain punya komitmen tinggi untuk melakukan advokasi, mau belajar, dan konsisten.<br /><br /><br />D. Epilog: Langkah Selanjutnya<br /><br />Merumuskan perencanaan pendampingan. Perumusan dilakukan dengan asumsi Perencanaan Strategis (Renstra) sudah dilakukan. Dengan demikian, pendampingan yang dilakukan ‘mengabdi’ pada strategi besar (fundamen) yang sudah disusun. Sebagai contoh, ‘Pekan Pelatihan Advokasi’ idealnya, merupakan bagian kegiatan dari renstra yang sudah ditetapkan dan disepakati sebelumnya. Hal ini mencegah kegiatan menjadi sebatas ‘rutinitas’ atau sebatas ‘kegiatan reaksioner’ yang ditandai hal-hal seperti: tidak adanya follow up atau rencana tindak lanjut; tidak lahirnya sebuah ‘kelompok advokasi’ atau tidak terukurnya output dari pekan pelatihan. Secara singkat, renstra yang disusun sebaiknya memenuhi prinsip-prinsip: (1) sistematis; (2) merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang dapat diukur dan dicapai; (3) dilakukan dengan mengikuti jadwal waktu. Renstra dibuat dengan mempertimbangkan analisis ‘SWOT’ (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dan analisis ‘kawan’ dan ‘lawan’. <br /><br />Sebagai catatan penutup, uraian diatas hanyalah merupakan salah satu usulan pedoman. Pada prakteknya teori mau pun metode mesti di uji dilapangan, karenanya fleksibilitas diperlukan dengan muara pertimbangan: keutungan-keuntungan dapat dicapai dalam upaya advokasi yang dilakukan.<br /><br />* Paper pada Pekan Pelatihan Advokasi. Dept. Litbang dan Pengkajian SEMA FH Universitas Attahiriyah. Jakarta. 3 Februari 2003.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-41668762190340803172008-11-03T13:19:00.004+07:002008-11-03T13:34:00.539+07:00Advokasi Kebijakan: Analisis Terhadap Pemangku Kepentingan dan DampakPengantar<br /><br />Ambil satu contoh: pengalaman dalam mengadvokasi UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Kurang lebih 2 tahun, Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP) – sebelumnya Koalisi TCP3 – melakukan advokasi RUU ini, dengan hasil (hanya) dua pasal usulan Koalisi yang diadopsi DPR, yakni pasal 7 tentang hirarki dan jenis peraturan perundang-undangan dan pasal 53 tentang hak setiap orang dalam proses pembentukkan peraturan perundang-undangan.<br /><br />Dari proses advokasi RUU tersebut, paling tidak ada 4 pelajaran penting yang dapat diambil: Pertama, adanya tuntutan untuk Koalisi menyediakan dokumen dan memfasilitasi semua pihak yang memiliki perhatian untuk terlibat dalam advokasi kebijakan; kedua, adanya keperluan mengenal dan saling-kenal dengan anggota DPR dan pejabat Pemerintah yang terlibat dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU menjadi UU; ketiga, idealnya proses advokasi sebuah RUU merupakan aktivitas pokok dan utama, sehingga dapat dimotori oleh sekelompok orang yang profesional dan penuh waktu (full-time); keempat, tidak sedikit energi dan sumber daya, termasuk dana yang dikeluarkan dalam proses advokasi kebijakan, menyebabkan adanya kontroversi soal bandingan ukuran keberhasilan: dari proses atau hasil yang telah dicapai.<br /><br />Artikel ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis pengalaman proses advokasi UU No. 10/2004 yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi rencana advokasi kebijakan yang akan dikerjakan oleh para peserta pelatihan ini. Sesuai dengan TOR yang diterima, deskripsi dan analisis akan dibatasi pada tahap mencari dan mengetahui sumber daya dan lingkungan sekitar.(1)<br /><br /><br />A. Mengidentifikasi Pemangku Kepentingan dan Mitra<br /><br />Pemangku kepentingan (stakeholder) dapat didefinisikan sebagai “para pihak: individual, kelompok individu, atau lembaga yang merupakan audience penting, klien, grup, penerima manfaat, pendukung atau investor dalam organisasi”.(2) Dalam praktik, identifikasi pemangku kepentingan dan mitra diharapkan menjawab 2 soal: siapa saja? dan; mengapa mereka mendukung kita?<br /><br />Secara singkat aktivitas selanjutnya, adalah memulai mendaftar dan mendokumentasikan para pemangku kepentingan dan mendiskusikan dengan cara atau jalan bagaimana para pihak mendukung kita? Dalam konteks ini bentuk-bentuk dukungan dapat berupa, antara lain: (i) dukungan politik; (ii) akses (lebih banyak pendukung dan dukungan); (iii) dukungan teknis seperti sumber informasi dan penelitian, konsultasi, keahlian, kesempatan pelatihan, bantuan administrasi atau logistik; (iv) akses atas kemungkinan dukungan dana dan koneksi; (v) perluasan perhatian publik dan kemungkinan tercapainya tujuan.<br /><br />Sebagai catatan, dalam praktik, terdapat hubungan timbal balik agar dalam proses memperoleh dukungan berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan mengapa para pihak mendukung kita, perlu dijawab secara paralel, “keuntungan” apa yang akan diperoleh mereka? Tentu saja, tidak menutup kemungkinan, adanya dukungan dari para pihak memang benar-benar tulus tanpa pamrih apa pun. <br /><br /><br />B. Menerapkannya dalam Advokasi RUU<br /><br />Pada saat mengadvokasi RUU PPP, banyak pihak telah terlibat. Koalisi berupaya melibatkan sebanyak mungkin pihak untuk mendukung adanya “hak masyarakat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan”. Identifikasi pemangku-kepentingan dilakukan dengan cara diskusi kecil atau diskusi terbatas, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan melakukan pendekatan terhadap para individual/kelompok yang dinilai akan memberikan dukungan kepada aktivitas Koalisi.<br /><div style="text-align: center;"><br />Tabel 1<br />Aktivitas Pertemuan Simpul yang Melibatkan Anggota DPR RI<br /> </div><table class="MsoTableGrid" style="border: medium none ; border-collapse: collapse;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr style=""> <td style="border: 1pt solid windowtext; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">No.<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Wilayah<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Pelaksana<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Waktu<o:p></o:p></span></b></p> </td> <td style="border-style: solid solid solid none; border-color: windowtext windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: 1pt 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Anggota DPR<o:p></o:p></span></b></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">1.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Sumatera Utara<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Bakumsu<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">8 September 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Firman Djaya Daely, PDIP, Komisi II<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Jawa Timur<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">YPSDI<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">15 September 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">K.H. Yusuf Muh, PKB, Komisi II<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Nusa Tenggara Barat<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Konsepsi<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">2 – 4 Oktober 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Burhan Djabir Magenda, Golkar, Komisi II<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">4.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><st1:place st="on"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Sulawesi</span></st1:place><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"> Selatan<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Kopel<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">4 – 5 Oktober 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Prof. Dr. M. Asikin, Fraskis Reformasi, Komisi II<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">5.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Jawa Barat<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Sawarung<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">7 – 8 Oktober 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">H. Didi Supriyanto, PDIP<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">6.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><st1:place st="on"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Yogyakarta</span></st1:place><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Forum LSM DIY<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">8 Oktober 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Hajriyanto Y. Thohari, Golkar<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">7.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Sumatera Barat<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">LP2M<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">9 – 11 Oktober 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">H. Patrialis Akbar, Fraksi Reformasi, Komisi II<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">8.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><st1:place st="on"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Sulawesi</span></st1:place><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"> Tengah<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Walhi Sulteng<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">15 – 16 Oktober 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Prof. Dr. Tunggul Sirait, PDKB, Komisi VIII<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">9.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><st1:place st="on"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Kalimantan</span></st1:place><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"> Selatan<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Yadah<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">15 – 16 Oktober 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Hasanuddin Murad, Golkar<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> <tr style=""> <td style="border-style: none solid solid; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext; border-width: medium 1pt 1pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 44.45pt;" valign="top" width="59"> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 46.8pt; text-align: center; text-indent: -28.8pt;" align="center"><!--[if !supportLists]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><span style="">10.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";"><o:p> </o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Nusa Tenggara Timur<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Sanlima<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.75pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">26 – 27 Oktober 2003<o:p></o:p></span></p> </td> <td style="border-style: none solid solid none; border-color: -moz-use-text-color windowtext windowtext -moz-use-text-color; border-width: medium 1pt 1pt medium; padding: 0cm 5.4pt; width: 147.1pt;" valign="top" width="196"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Arial Narrow";">Agustin Teras Narang, PDIP<o:p></o:p></span></p> </td> </tr> </tbody></table> Sumber: A. Patra. M. Zen, Afrizal Tjoetra dan Sugiarto A. Santoso. 2003. Koalisi Kebijakan Partisipatif. Yappika: Jakarta, h. 27.<br /><br />Sejumlah aktivitas dilakukan oleh Koalisi, antara lain: melibatkan para anggota DPR RI dalam pertemuan simpul di sejumlah daerah – seperti termuat dalam tabel 1 diatas; melibatkan para akademi dalam kegiatan seminar, diskusi, talkshow dan konferensi pers; melibatkan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam aktivitas KKP. Hingga saat ini Sekretariat Nasional KKP mengelola sebuah mailing list dengan ratusan partisipan.(3) <br /><br /><br />C. Pro dan kontra terhadap Substansi RUU/UU<br /><br />Dalam proses advokasi, Koalisi mencatat tidak sedikit anggota DPR yang mendukung gagasan dan prinsip pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan perundang-undangan, sebagai contoh dukungan dari anggota Panitia Kerja (Panja) dari Fraksi Reformasi, Mutammimul ‘Ula.(4) Para akadimisi yang aktif mendukung aktivitas Koalisi, antara lain Maria Farida Indrati Soeprapto dan Marwan Mas.<br /><br />Seperti dikemukakan dibagian awal, (hanya) 2 pasal usulan Koalisi yang diadopsi oleh DPR. Dengan kata lain, tidak seluruh draft atau RUU alternatif yang diajukan Koalisi diterima oleh DPR. Para pihak yang pro dan kontra, dapat ditelusuri dengan mendokumentasikan berita dimedia. Sebagai contoh, dari media, KKP mengetahui bahwa Permadi dari Fraksi PDIP Perjuangan dan Lukman Syaefudin, anggota Baleg dari fraksi Persatuan Pembangunan merespon positif gagasan pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan perundang-undangan.(5) Kala itu Permadi menyatakan: “…pihaknya akan senang sekali jika LSM menyampaikan RUU berikut Daftar Inventaris Masalah (DIM)-nya ke DPR…”.(6)<br /><br />Selanjutnya, mengetahui pernyataan-pernyataan yang kontra, dapat bermanfaat agar kita dapat mempersiapkan argumen yang lebih kuat untuk merespons pendapat yang tidak mendukung (kontra). Respon sekaligus kampanye, dapat dilakukan dengan cara menggelar konferensi pers.(7)<br /><br />Dalam kelembagaan KKP, konsep dan gagasan hingga penelitian dilakukan oleh sebuah tim yang disebut dengan Tim Substansi dengan peran dan fungsi: “menganalisis dan mengkritisi substansi peraturan perundang-undangan serta menawarkan gagasan baru dan melakukan kajian kritis terhadap peraturan perundang-undangan yang partisipatif baik prinsip maupun mekanismenya”.(8)<br /><br />Sebagai informasi, selain Tim Substansi, KKP membentuk 2 tim lain, yakni: Tim Kampanye dan Tim Lobby. Peran dan Fungsi Tim Kampanye yakni: “melakukan sosialisasi dan publikasi isu partisipasi masyarakat pada kalangan masyarakat luas, yang substansinya telah melalui proses pengkajian di Tim Substansi”.(9) Sementara, Tim Lobby berperan dan berfungsi: “melakukan pendekatan dan mempengaruhi para pembuat kebijakan”.(10)<br /><br /><br />D. Dampak Undang-undang terhadap Perempuan dan Orang Miskin<br /><br />Untuk mengidentifikasi dampak sebuah kebijakan atau peraturan perundang-undangan, dapat menggunakan metode “policy impact analysis” atau analisa dampak kebijakan, dalam konteks ini secara khusus terhadap perempuan dan orang miskin. Secara sederhana, terdapat 2 pertanyaan yang perlu dijawab, yakni: (i) apa saja substansi atau ketentuan dalam sebuah RUU/UU yang berakibat negatiif?; (ii) bagaimana ketentuan tersebut menyebabkan dampak negatif dalam praktik?;<br /><br />Dari perspektif perencanaan strategis, preposisi ideal sebuah kebijakan atau undang-undang dapat membantu memberikan gambaran pada masyarakat, termasuk kaum perempuan dan kelompok masyarakat miskin akan pengaruh (positif) dan dampak (negatif) yang akan (atau telah) ditimbulkan. Selanjutnya, dapat diteruskan dengan meneliti secara langsung (penelitian lapangan) untuk menggali informasi “ketentuan apa yang seharusnya dimuat atau tidak dimuat” dalam rancangan kebijakan yang bersangkutan. Pekerjaan kita, pada dasarnya merupakan refleksi dari kesadaran kolektif dimana masukan dari kelompok-kelompok marjinal merupakan basis dari sumber informasi.<br /><br />Mengambil pengalaman KKP, ideal dan argumen pokok yang dikembangkan yakni bahwa prinsip dan praktik pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan bertujuan agar peraturan yang ditetapkan membawa manfaat bagi masyarakat termasuk kelompok miskin. Dengan kata lain, tidak diadopsinya ketentuan tentang hak partisipasi masyarakat, akan membawa dampak negatif: aspirasi dan kepentingan masyarakat diabaikan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan.<br /><br />Untuk konteks advokasi yang dilakukan berkaitan dengan kepentingan kelompok perempuan dan/atau kelompok miskin, maka ideal atau argumen pokok yang dikembangkan dapat bersumber dari konstitusi atau Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) – yang telah diratifikasi Indonesia. Dengan meletakkan gagasan yang sejak awal merujuk pada konsitusi UUD 1945 misalnya, bertujuan agar argumen yang dikembangkan dapat berguna untuk tahapan selanjutnya, sebagai contoh dalam proses dan pelaksanaan uji formil dan materiil (judicial review) undang-undang di Mahkamah Konstitusi.<br /><br /><br />E. Penutup<br /><br />Dalam praktik, variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan advokasi sangat beragam. Karenanya, praktik langsunglah yang dapat memberikan pengetahuan, pelajaran dan pengalaman yang terbaik. Sebagai contoh, dalam mengidentifkasi pemangku kepentingan, hanya dengan praktik langsung kita dapat mengetahui perubahan-perubahan dalam proses advokasi. Terlebih dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang nota-bene diputuskan oleh para politisi. Tidak tertutup kemungkinana dalam sebuah RUU, seorang anggota DPR mendukung kita, namun di RUU yang lain, individu yang sama mempunyai pendapat yang berseberangan dengan kita.<br /><br />Akhirnya, selamat Berdiskusi.<br /><br />* Pengantar diskusi pada Training of Trainers (TOT) Advokasi. “Otonomi, Pluralisme dan Pendidikan Alternatif”. Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan). 9 September 2005.<br /><br />Catatan Kaki:<br /> (1) Dalam sejumlah manual dan modul “strategic planning”, tahapan tersebut diistilahkan berbeda-beda. Lihat antara lain Frank Martinelli. 1999. Strategic Planning Manual. The Centre for Public Skills Training: Milwaukee; Lihat juga CEPDA. Strategic Planning An Inquiry Approach. The CEPDA Training Manual Series. Volume X. The Centre for Development and Population Activities: Washington DC. Artikel ini disusun dengan menggunakan kedua manual tersebut. <br /> (2) CEPDA. Ibid. p. 9. <br /> (3) Mailing list ini beralamat kebijakan_partisipatif@yahoogroups.com. Dibuat pada 1 November 2001. Per 5 September 2005, tercatat 263 partisipan menjadi anggota milist ini.<br /> (4) Lihat A. Patra M. Zen. 2005. Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembentukan Perundang-undangan Partisipatif. KKP dan YLBHI: Jakarta., h. 4<br /> (5) Lihat Hukum Online. 29 November 2004. “Tim Perencanaan Legislasi Perlu Dibentuk”. Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=11636&cl=Berita <br /> (6) Ibid.<br /> (7) Antara lain, konferensi pers penolakan rencana pengesahan RUU Pembentukkan Peraturan Perundangan-undangan yang dilakukan KKP. Lihat antara lain Kompas. 12 Mei 2004. “LSM Tolak Pengesahan RUU Perundang-undangan”.<br /> (8) A. Patra M. Zen. Op.cit., h. 10.<br /> (9) Ibid., h. 10 – 11.<br /> (10) Ibid., h. 11.ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-52679294936439937212008-10-24T13:09:00.006+07:002008-11-03T13:35:45.806+07:00Kebebasan Menyampaikan Pendapat: Perspektif Hukum Hak Asasi ManusiaEveryone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.<br />(Art. 19 UDHR)(1)<br /><br />1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference.<br />2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.<br />3. The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:<br />(a) For respect of the rights or reputations of others;<br />(b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals.<br />(Art. 19 ICCPR)<br /><br /><br />Artikel singkat ini, akan mendiskusikan “kebebasan menyampaikan pendapat” dalam perspektif hukum internasional hak asasi manusia. Tujuannya, agar elemen dan dimensi hak asasi manusia dapat digunakan sebagai tolok ukur atau parameter dalam perumusan pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Selain itu juga dapat digunakan untuk menganalisis pasal per pasal dalam RUU KUHP secara umum. <br /><br /><span class="fullpost">“Kebebasan Menyampaikan Pendapat” dalam hukum hak asasi manusia dijamin dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).(2)<br /><br />Esensi pasal 19 ICCPR adalah hak setiap orang untuk mempunyai pendapat tanpa intervensi apapun (right to hold opinions without interference).(3) Setiap orang yang memiliki pendapat tidak dapat dibatasi tanpa kecuali. Negara pun tidak bisa bahkan tidak mampu membatasi orang untuk memiliki pendapat.<br /><br />Pasal 19 membedakan antara hak mempunyai pendapat dengan hak untuk berekspresi (the right to freedom of expresión), yang tidak saja mencakup hak mengemukakan informasi dan ide, melainkan juga mencari dan menerimanya secara lisan atau tertulis lewat semua media.<br /><br />Karenanya, pertama, penundaan dan pembatasan hanya dapat dilakukan berkaitan dengan hak untuk bersekpresi, bukan hak orang untuk mempunyai pendapat, dengan syarat pokok tidak mengancam hak itu sendiri. Jadi, penundaan pemenuhan hak berekspresi dan pembatasan hak ini, dengan tujuan mengakomodasi kepentingan masyarakat tidak pas jika dipertentangkan dengan tujuan melindungi kewenangan negara.(4) Justeru, yang tepat adalah bagaimana menjamin hak individu disatu pihak dan mengakomodasi kepentingan masyarakat dipihak lain.(5)<br /><br />Kedua, berkaitan dengan penyusunan RUU KUHP, maka yang perlu diatur pada prinsipnya, adalah penyebarluasan ide atau informasi dan kebebasan berekspresi itu sendiri serta isu atau substansi dari ide dan informasinya. Sebagai contoh, larangan penyebarluasan ide tentang superioritas ras atau mengekpresikan kebencian ras. (6)<br /><br />Ketiga, dalam perspektif hukum hak asasi manusia, penundaan dan pembatasan hanya dapat dilakukan jika jelas dan masuk akal (clear and reasonable), dengan pedoman:(7)<br />1. diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan;<br />2. berkesesuaian dengan norma dan standar hak asasi manusia;<br />3. berkesuaian dengan elemen dasar hak itu sendiri;<br />4. adanya kepentingan dan tujuan yang legitimated;<br /><br />Selanjutnya, keempat, dasar kepentingan dan tujuan yang legitimated itu dirumuskan:(8)<br />1. adanya dasar yang kuat untuk melindungi kepentingan umum dalam tatatan masyarakat yang demokratis;<br />2. melindungi keamanan umum (public safety) dan keamanan nasional (national security);<br />3. melindungi ketertiban umum (public order / ordre public);<br />4. melindungi kesehatan umum (public health);<br />5. melindungi moral umum (public morals), dan:<br />6. melindungi hak dan kebebasan dan reputasi orang lain (fundamental rights and freedoms of other);<br /><br />Sebaliknya, penundaan atau pembatasan tidak diperbolehkan dengan alasan yang berkaitan dengan hal diatas, termasuk:<br />1. digunakan sebagai instrumen politik dan ekonomi untuk menekan orang;(9)<br />2. sebagai bentuk perlakuan yang diskriminatif;(10)<br />3. tidak ada dasar yang rasional dan tidak obyektif .(11)<br /><br />End Note<br /><br />* Paper Singkat pada Pertemuan Ahli “Tinjauan tentang Tindak Pidana terhadap Kebebasan Menyampaikan Pendapat dalam RUU KUHP”. Jakarta, 16 Oktober 2008. <br /> <br />(1) Adopted and proclaimed by General Assembly resolution 217 A (III) of 10 December 1948<br />(2) G.A. res. 2200A (XXI), 21 U.N. GAOR Supp. (No. 16) at 52, U.N. Doc. A/6316 (1966), 999 U.N.T.S. 171, entered into force Mar. 23, 1976.<br />(3) Lihat CCPR. 19th session (1983). General Comment No 10: Article 19 (Freedom of Opinion), para. 1. <br />(4) Lihat , KHN. “Tinjauan tentang Tindak Pidana terhadap Kebebasan Menyampaikan Pendapat dalam RUU KUHP”. Rancangan Laporan Akhir Penelitian 2008. h. 6.<br />(5) CCPR. 19th session (1983). Op.cit., p. 4.<br />(6) Lihat CERD 42nd session (1993). General Comment XV on article 4 of the Convention, para. 4. Dinyatakan: the prohibition of the dissemination of all ideas based upon racial superiority or hatred is compatible with the right to freedom of opinión and expresión”.<br />(7) Lihat , antara lain CCPR. 19th session (1983). Op.cit.; CESCR. 22nd (2000). General Comment No. 14. The right to the highest attainable Standard of health (art. 12), para. 28.<br />(8) Lihat Art. 19 ICCPR. Lihat juga, antara lain CCPR. 19th session (1983). Op.cit; CCPR. 48th session (1993). General Comment No. 22: Article 18 (Freedom of thought, conscience or religion), para. 8.<br />(9) Ibid., para. 41.<br />(10) Lihat antara lain, CPPR. General Comment No. 22: Article 18. Op.cit. <br />(11) Antara lain, lihat CPPR. General Comment No. 25 (Participation in public affairs and the right to vote), para. 6, 15.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-4989931513882743762008-09-05T20:35:00.014+07:002008-10-05T00:28:16.947+07:00Paralegal di IndonesiaKertas Kerja*<br /><br />Pengantar<br /><br />Sejak 1980an, LBH dan YLBHI telah menyelenggarakan pendidikan paralegal.[1] Di awal 1990-an dimotori LBH – Yayasan LBH Indonesia, telah dibentuk Jaringan Paralegal Indonesia. Namun jaringan ini tidak aktif lagi sejak 1996.[2]<br /><br />Ada 2 bentuk pendidikan paralegal, yakni pendidikan langsung kepada para paralegal, dan pendidikan untuk mendidik seseorang menjadi pendidik (training of trainers). Dalam perkembangannya, pendidikan paralegal mengalami dinamika. Periode 1980-an, pada umumnya LBH melakukan pendidikan paralegal berdasarkan komunitas yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia dan tengah menghadapi perkara hukum. Maka materi ajar dalam pendidikan paralegal spesifik pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat untuk memperjuangkan haknya baik dalam proses peradilan maupun diluar proses peradilan. Maka ilmu yang diajarkan adalah ilmu yang spesifik: ilmu “tanah”, ilmu “buruh” atau pengetahuan tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Periode ini seorang paralegal hanya mendalami pengetahuan yang berguna bagi penanganan kasus yang dialami komunitasnya.<br /><br /><span class="fullpost">Selanjutnya, periode 1990an, pendidikan paralegal mulai berkembang berdasarkan isu dengan mengundang beragam komunitas dimasyarakat. Hal ini sejalan dengan mulai berdirinya organisasi non-pemerintah yang spesifik menangani isu-isu tertentu, seperti WALHI, ICEL dan LBH Apik. WALHI dan ICEL menyelenggarakan pelatihan paralegal dibidang lingkungan hidup. Sementara LBH Apik menyelenggarakan pendidikan paralegal untuk isu kekerasan dalam rumah tangga dan hak-hak perempuan dan anak.<br /><br /><br /><strong>A. Definisi Paralegal</strong><br /><br />Belum ditemukan padanan kata paralegal (dalam bahasa Inggris) ke dalam bahasa Indonesia. Karenanya, istilah paralegal langsung diadopsi kedalam bahasa Indonesia. Istilah yang hampir sama yang juga sering digunakan yakni “pokrol bambu”. Istilah paralegal sendiri merupakan istilah dibidang hukum.<br /><br />Istilah paralegal, dikenakan bagi orang yang bukan advokat, namun memiliki pengetahuan dibidang hukum (materil) dan hukum acara, dengan pengawasan advokat atau organisasi bantuan hukum, yang berperan membantu masyarakat pencari keadilan. Paralegal ini bisa bekerja sendiri didalam komunitasnya atau bekerja untuk organisasi bantuan hukum atau firma hukum. Seseorang yang menjadi paralegal, tidak mesti seorang sarjana hukum atau mengenyam pendidikan hukum di perguruan tinggi. Namun ia mesti mengikuti pendidikan khusus keparalegalan.<br /><br />Karena sifatnya membantu penanganan kasus atau perkara, maka paralegal seringjuga disebut dengan asisten hukum (legal assistant). Dalam praktik sehari-hari, peran paralegal sangat penting untuk menjadi jembatan bagi masyarakat pencari keadilan dengan advokat dan aparat penegak hukum lainnya untuk penyelesaian masalah hukum yang dialami individu maupun kelompok masyarakat.<br /><br />Dengan demikian, setidaknya terdapat 3 kata kunci berkaitan dengan “paralegal”, sebagai berikut:<br />- Memiliki pengetahuan dan keterampilan dibidang hukum;<br />- Telah mengikuti pendidikan khusus keparalegalan;<br />- Disupervisi oleh advokat atau organisasi bantuan hukum.<br /><br />Karenanya, pada dasarnya pendidikan paralegal mesti disupervisi atau diselenggarakan bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum atau setidak-tidaknya melibatkan advokat.<br /><br />Sebagai ilustrasi, jika seseorang sakit parah, maka tentu seorang yang berprofesi dokter mampu memberikan diagnosa dan perawatan terhadap si pasien. Namun demikian, dalam praktik jika seseorang tergores atau luka ringan, maka tidak serta merta orang itu pergi ke rumah sakit atau meminta pertolongan dokter, namun berupaya menyembuhkan luka ringan itu, misalnya dengan memberi “obat merah” atau memberi perban.<br /><br />Demikian juga kasus hukum, dalam kasus-kasus tertentu seorang paralegal mampu untuk membantu orang yang terkena kasus hukum. Sebagai contoh membuatkan surat kuasa khusus, membuat surat penangguhan penahanan dan lainnya. Namun untuk perkara-perkara yang kompleks maka perlu ditangani seorang advokat.<br /><br />Bahwa dalam kasus-kasus spesifik pengetahuan dan keterampilan seorang paralegal lebih banyak daripada seorang advokat, hal ini merupakan sebuah pengecualian. Misalnya tidak sedikit paralegal perburuhan dari organisasi-organisasi buruh yang memang mendalami hukum perburuhan dan mempunyai pengalaman lebih banyak berperkara di pengadilan perselisihan perburuhan ketimban seorang advokat yang mendalami bidang hukum pidana.<br /><br />Karenanya, hubungan paralegal dengan advokat tidak bisa dipisahkan. Relasi paralegal dengan advokat, hampir sama dengan relasi perawat dengan seorang dokter. Karena hubungan semacam ini, keliru jika pendidikan paralegal tidak melibatkan organisasi bantuan hukum atau advokat. Karena peran paralegal tidak bisa berdiri sendiri. Ia hanya dapat berperan optimal pada kasus-kasus tertentu saja dan bukan secara umum.<br /><br /><br />B. Sejumlah Contoh Pendidikan Paralegal<br /><br />LBH Jakarta bekerja sama Walhi Jakarta juga aktif menyelenggarakan pendidikan paralegal dalam rangka advokasi kasus dibidang lingkungan hidup. Sebagai contoh pendidikan paralegal bagi masyarakat Dadap, korban proyek reklamasi di Jakarta. LBH Jakarta merupakan salah satu organisasi bantuan hukum yang paling awal menyelenggarakan bentuk-bentuk pendidikan paralegal di Indonesia.<br /><br />LBH Surabaya sejak 1980an sudah menjalankan sebuah program gerakan masyarakat bantuan hukum, termasuk mengorganisir dan bekerjasama membentuk jaringan paralegal komunitas Jawa Timur.[3]<br /><br />LBH Bandung, misalnya, sejak lama telah melakukan pendidikan paralegal khusus untuk membantu advokasi kasus-kasus perburuhan. Para kader paralegal LBH Bandung, sangat aktif membantu calon buruh migran, yang menjadi korban penipuan.[4]<br /><br />LBH Yogyakarta sejak lama mendorong gerakan paralegal di seluruh wilayah DI Yogyakarta. Hal ini bertujuan agar masyarakat mampu menyelesaikan sendiri kasus yang bisa diselesaikan sebelum meminta pelayanan bantuan hukum.[5]<br /><br />LBH Semarang secara regular menyelenggarakan pendidikan paralegal bagi tokoh-tokoh masyarakat, terutama dari komunitas-komunitas penduduk yang tengah dan potensial menghadapi kasus hukum.[6]<br /><br />LBH Palembang, LBH Medan, dan LBH Manado sejak awal berdiri pada 1980-an memiliki program pendidikan paralegal berbasis komunitas utamanya bagi petani dan buruh. Sama halnya, dengan LBH Lampung secara rutin di era 1990an menyelenggarakan pendidikan paralegal komunitas, utamanya kelompok-kelompok petani yang kemudian membentuk posko-posko di wilayah domisili masing-masing.<br /><br />Pada periode 2000-an, terdapat sejumlah program pendidikan paralegal. Antara lain program GGIJ, yang dibiayai oleh Mahkamah Agung dan European Union, 5 kantor LBH menjalankan pendidikan paralegal berbasis komunitas dan pendidikan mediasi di 5 wilayah, yakni Padang, Bali[7], Makassar[8], Jayapura dan Surabaya. Pendidikan ini bertujuan agar para kader paralegal mampu memberi bantuan hukum untuk masyarakat miskin dan kelompok perempuan ditingkat paling awal, dengan mengelola Pos Pertolongan Pertama pada Kasus Hukum (P2K Hukum). Paralegal berperan menjadi jembatan masyarakat pencari keadilan dan sistem peradilan serta layanan bantuan hukum yang dibutuhkan.[9]<br /><br />Untuk membantu aktivitas advokasi, Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia sejak 2006 juga memberi kesempatan bagi para mahasiswa fakultas hukum tingkat akhir dan sarjana yang baru menamatkan kuliah untuk beraktivitas menjadi paralegal. Pendidikan paralegal angkatan ke-4 dilakukan pada Oktober 2007, yang menjaring 10 mahasiswa paska pendidikan paralalegal yang dinilai mempunyai komitmen untuk membantu aktivitas advokasi yang dilakukan Badan Pengurus.<br /><br />LBH Apik, juga menjadi salah satu organisasi yang aktif melakukan pelatihan paralegal, terutama bagi organisasi-organisasi perempuan. Berdasarkan data dari lembaga ini, per 2006, lembaga ini telah mendidik 71 orang paralegal dari beragam kelompok, yakni 14 paralegal dari kelompok miskin kota, 26 paralegal dari organisasi mitra, dan 31 paralegal dari pekerja rumah tangga.[10] Dalam melaksanakan pendidikan paralegal, LBH Apik mendapat pendanaan dari sejumlah lembaga donor, antara lain the Asia Foundation, Ausaid dan Asian Development Bank.[11]<br /><br />Wahid Institute, juga menyelenggarakan pelatihan paralegal dengan muatan “pluralisme”, yang diikuti perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat dari sejumlah daerah di Indonesia. Sementara Puan Amal Hayati melakukan pendidikan paralegal bagi pendampung korban kekerasan berbasis pesantren.<br /><br /><div align="center"><strong>Tabel<br />Beberapa Contoh Pendidikan Paralegal<br />Periode 2000 - 2008</strong></div> <table class="MsoTableGrid" style="border: medium none ; width: 539px; border-collapse: collapse; height: 527px;" border="1" cellpadding="0" cellspacing="0"><tbody><tr style=""><td style="border: 1pt solid windowtext; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><span style="font-weight: bold;">Kelompok Target</span></span></p> </td><td style="border-style: solid solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt; font-weight: bold;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Penyelenggara</span></p> </td><td style="border-style: solid solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt; font-weight: bold;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Lokasi</span></p> </td><td style="border-style: solid solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt; font-weight: bold;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Pendanaan</span></p> </td></tr><tr style=""><td rowspan="5" style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Tokoh Masyarakat dan Pemuda</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH Jayapura</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Jayapura</span></p> </td><td rowspan="5" style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">GGIJ. Mahkamah Agung – European Union</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH <st1:place st="on">Bali</st1:place></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Denpasar</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH <st1:city st="on"><st1:place st="on">Padang</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Padang</st1:place></st1:city></span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH <st1:place st="on">Makassar</st1:place></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:place st="on">Makassar</st1:place></span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH <st1:city st="on"><st1:place st="on">Surabaya</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Surabaya</st1:place></st1:city></span></p> </td></tr><tr style=""><td rowspan="6" style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Perempuan</span></p> </td><td rowspan="6" style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH Apik </span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH Pik Pontianak: Kabupaten Bengkayang</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LRP – Ausaid</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Aceh</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">The <st1:place st="on">Asia</st1:place> Foundation</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <span style="font-size:78%;"><br /></span></td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <span style="font-size:78%;"><br /></span></td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:place st="on">Makassar</st1:place></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">-</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Singkawang</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">-</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Nusa Tenggara Barat</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Legal Asistantance and legal campaign advocacy. Asian Development Bank</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Tokoh masyarakat </span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH <st1:city st="on"><st1:place st="on">Semarang</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Semarang</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">-</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Masyarakat korban reklamasi</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city> – Walhi Jakarta</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">-</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Perwakilan lembaga swadaya masyarakat</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Wahid Insitute</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">The <st1:place st="on">Asia</st1:place> Foundation</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Tokoh masyarakat</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">UPC bekerjasama dengan LBH APik, LBH Jakarta dan ELSAM</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">-</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Perwakilan organisasi buruh</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH <st1:city st="on"><st1:place st="on">Bandung</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Jawa Barat </span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Yayasan TIFA </span></p> </td></tr><tr style=""><td rowspan="3" style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Tokoh Masyarakat</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH <st1:city st="on"><st1:place st="on">Bandung</st1:place></st1:city> </span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Jawa Barat</span></p> </td><td rowspan="3" style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Revitalization of Legal Aid in <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> (RLA). Justice for the Poor - The World Bank</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">KBH Lampung</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Lampung</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Gravitasi Mataram</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">NTB</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Masyarakat</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">LBH Anak</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">NAD</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Charitas <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Germany</st1:place></st1:country-region></span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Masyarakat</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">ICEL</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">-</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Masyarakat</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Arus Pelangi, LBH <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city>, LBH Apik, KPI</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on">Palembang</st1:city></span><span style="font-size:78%;">, <st1:place st="on">Makassar</st1:place> </span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">-</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Jurnalis</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">AJI <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:place st="on">FES</st1:place></span><span style="font-size:78%;"> (Friedrich Ebert Stiftung)</span></p> </td></tr><tr style=""><td style="border-style: none solid solid; padding: 0cm 5.4pt; width: 125.4pt;" valign="top" width="167"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Pesantren</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 138pt;" valign="top" width="184"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Puan Amal Hayati</span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 133.85pt;" valign="top" width="178"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:city></span></p> </td><td style="border-style: none solid solid none; padding: 0cm 5.4pt; width: 95.8pt;" valign="top" width="128"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">-</span></p> </td></tr></tbody></table> Sumber:<span style="font-size:85%;"> <i style="">Diolah dan dikompilasi dari berbagai laporan yang dipublikasikan.</i></span> <div style=""><div style="" id="ftn12"> </div> </div><br /><br />C. Paralegal: Sejumlah Tantangan<br /><br />Dunia paralegal tentu mempunyai dinamikanya sendiri. Dalam praktik, paralegal bisa menjadi pisau mata dua seperti profesi lain. Ada kalanya seorang paralegal yang sepatutnya menjadi jembatan bagi masyarakat pencari keadilan, malah terjerumus dalam praktik mafia peradilan, seperti menjadi calo atau makelar kasus dengan memungut biaya yang memberatkan masyarakat.<br /><br />Terdapat juga kasus, dimana paralegal malah menjadi “elite baru” dalam komunitasnya, sehingga ia tercerabut dan justeru tidak mendapat kepercayaan dari kelompok masyarakat di komunitasnya.<br /><br />Muncul juga pengaduan, seorang paralegal “terlalu berani” mengambil tindakan atau upaya hukum yang berakibat merugikan individu atau kelompok masyarakat yang didampinginya.<br /><br />Karenanya, tidak berlebihan jika ada tuntutan standar pendidikan bagi paralegal dan standar pendidikan bagi para pendidik yang memfasilitasi pendidikan paralegal itu sendiri. Disamping itu, perlu juga dibangun forum atau pun media bagi paralegal berkomunikasi dan melakukan evaluasi aktivitasnya.<br /><br />Satu hal yang tidak kalah penting, tuntutan adanya forum komunikasi dan evaluasi organisasi-organisasi yang memberikan atau memfasilitasi pendidikan paralegal, termasuk para advokat yang memberikan supervisi atau bimbingan kepada para paralegal.<br /><br /><br />D. Pusat Kajian Bantuan Hukum dan Paralegal Indonesia<br /><br />Menindaklanjuti hasi Rapat Kerja Nasional Yayasan LBH Indonesia pada 22-25 Mei 2006 di Jakarta, Yayasan LBH Indonesia bersama 14 kantor LBH mengembangkan sebuah program untuk membangun gerakan keparalegalan di Indonesia. Untuk mewujudkannya, dibentuk task force yang bertugas membangun Pusat Kajian Bantuan Hukum dan Paralegal Indonesia (PKBHPI).<br /><br /><br />Sejumlah 6 program strategis telah dirumuskan, sebagai berikut:<br />- Mendorong penetapan Undang-Undang Bantuan Hukum dan Peraturan Pemerintah tentang Kewajiban Advokat Memberikan Bantuan Hukum Cuma-Cuma Bagi Masyarakat Tidak Mampu;<br />- Mendorong mata kuliah bantuan hukum di pendidikan tinggi hukum dan pendidikan bagi profesi advokat, kepolisian, kejaksaan dan hakim;<br />- Mengembangkan modul dan kurikulum pendidikan bantuan hukum dan pendidikan paralegal;<br />- Memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat membangun gerakan bantuan hukum dan gerakan paralegal di Indonesia;<br />- Melakukan penelitian dan fasilitasi pendidikan bantuan hukum dan pendidikan paralegal di Indonesia.<br />- Memfasilitasi supervisi dan kerjasama aktivitas paralegal di Indonesia.<br /><br /><br />E. Penutup<br /><br /><br />Peran paralegal sangat dibutuhkan untuk memperluas akses keadilan, utamanya bagi masyarakat miskin dan marjinal. Secara geografis, kantor-kantor bantuan hukum atau advokat berada di ibukota provinsi. Selanjutnya, jika dibandingkan dengan jumlah advokat atau jumlah organisasi bantuan hukum dengan jumlah masyarakat miskin dan marjinal yang mencari keadilan, tentu sangat banyak kesenjangannya. Karenanya, dibutuhkan gerakan bantuan hukum dan gerakan paralegal yang mampu memperluas akses keadilan bagi masyarakat.<br /><br /><br /><br /><br />Lampiran (Updated version September 2008):<br /><br /><br />Sejumlah publikasi berkaitan dengan paralegal dan bantuan hukum antara lain:<br /><br /><br />Ravindran, D.J. 1989. Buku Penuntun untuk Latihan Paralegal. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia<br /><br /><br />Kusumah, Mulyana W, Benny K. Harman, Mas Achmad Santosa (eds). 1991. Paralegal dan Akses Masyarakat terhadap Keadilan. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia<br /><br /><br />Harman, Benny K dan Anthony LP Hutapea. 1992. Panduan Ringkas Paralegal Lingkungan. Jakarta: Walhi.<br /><br /><br />Hamim, Anis, Handayani, Siti Roswati. 2002. Menjadi Paralegal bagi Perempuan Korban Kekerasan. Yogyakarta: Rifka Annisa WCC.<br /><br /><br />MA-EU. Buku Panduan Pendidikan Paralegal Berbasis Komunitas. Jakarta: Mahkamah Agung dan European Union. GGIJ<br /><br /><br />Zen, Patra M dan Daniel Hutagalung (eds). 2006. Buku Panduan Bantuan Hukum Edisi 2006. Jakarta: YLBHI, PSHK, LDF-AusAid.<br /><br /><br />Rinaldi, Taufik, Peri Umar Farouk, Ahmad F Ismail, dkk. Buku Panduan Paralegal: Proses Hukum Pidana, Perdata, dan Pengorganisasian Rakyat untuk Advokasi. Jakarta: Justice for the Poor Project. World Bank.<br /><br /><br />* Yayasan LBH Indonesia. September 2008.<br /><br />[1] Lihat antara lain UNDP. YLBHI. Comission on Legal Empowerment of the Poor. 2007. Legal Empowerment of the Poor: Lesson Learned From Indonesia. Jakarta: UNDP, YLBHI and CLEP, pp. 7 – 9, 15 Teks di http://www.undp.org/legalempowerment/pdf/Indonesia.legal%20empowerment%20of%20the%20poor.pdf<br /><br />[2] Lihat antara lain Republika. 3 April 1996. “Pokja 11 LSM Indonesia: Sekitar 6000 TKI Dipenjara di Malaysia”.<br /><br />[3] Lihat antara lain Okezone. 5 Juni 2008. “Aktivis Lingkungan Demo Polda Jatim”. Teks di http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/06/05/1/115761<br /><br />[4] Lihat Kompas. 16 April 2008. “320 Calon TKI Kena Tipu, Kerugian Rp 5 Miliar”. Teks di http://www.kompas.com/read/xml/2008/04/16/22133797/320.calon.tki.kena.tipu.kerugian.rp.5.miliar; Republika. 17 April 2008. “Penipuan TKI Rugikan Rp 5 Miliyar”:. Teks di http://202.155.15.208/koran_detail.asp?id=330651&kat_id=89&kat_id1=&kat_id2= ; DetikBandung. 16 April 2008. “320 Calon TKI Ditipu Yayasan”. Lihat http://bandung.detik.com/read/2008/04/16/141231/924401/486/320-calon-tki-ditipu-yayasan<br /><br />[5] Lihat antara lain: Kapanlagi.com. 22 Juli 2005. “Malpraktek Sulit Dibuktikan di Pengadilan”. Teks di http://www.kapanlagi.com/h/0000073859.html<br /><br />[6] Lihat antara lain: Suara Merdeka. 11 Oktober 2004. “Warga Pucung Khawatir Sumber Air Tercemar. Pemkot Diminta Tinjau Izin Perumahan P4A”.<br /><br />[7] Lihat antara lain Jakarta Post. 3 September 2008. “LBH Bali: Committed to Women and the Poor”. Teks di http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/08/lbh-bali-committed-women-and-poor.html<br /><br />[8] Lihat antara lain Tribun Timur. 10 Juni 2006. “Paralegal Se-Sulsel Kumpul di Imperial”. Teks di http://www.tribun-timur.com/view.php?id=81375&jenis=Kota<br /><br />[9] Lebih lanjut lihat Proyek Tata Kepemerintahan yang Baik pada Peradilan IndonesiaAgung RI dan European Union. Teks di http://judiciaryproject.or.id/ (Good Governance in Indonesian Judiciary Project) Mahkamah<br /><br />[10] Lihat Refleksi dan Catatan Kerja LBH Apik Jakarta Tahun 2006. “Perjuangan Berat Perempuan Indonesia Menggapai Keadilan di Tengah Berbagai Keterpurukan”. Teks di http://www.lbh-apik.or.id/cawalu%202007.htm<br /><br />[11] Lihat ADB. Gender and Development. Working with Women NGOs. Indonesia. Legal Assistance and Legal Campaign Advocacy, Indonesian Women’s Association for Justice – LBH Apik. Teks di http://www.adb.org/gender/working/ino001.asp</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-44897499477091084212007-05-03T14:37:00.003+07:002008-10-04T23:20:54.754+07:00Menguak pembunuhan berencana munir lewat eksaminasi publik atas putusan pengadilanBapak/Ibu yang saya muliakan, <br /><br />Assalamu'alaikum Wr. Wb.<br /><br />Salam sejahtera bagi kita semua<br /><br /><br />Izinkan saya menggunakan waktu singkat ini untuk memberikan penghargaan yang setingi-tingginya kepada panitia eksaminasi publik terhadap Proses Hukum dan Putusan dalam Kasus Pembunuhan Berencana Munir: Taufik Basari, Asfinawati, John Muhammad, Ricky Gunawan, Hendy Sucahyo, Andhy Panca Kurniawan, Indra dan juga Renata Arianingtyas. Terhitung sejak 24 Januari saat pembentukan Majelis Eksaminasi hingga hari ini 14 Maret 2007, untuk pembacaan putusan eksaminasi, panitia telah bekerja keras untuk mempersiapkan dan memfasilitasi pekerjaan penting ini. <br /><br />Eksaminasi per definisi dapat diartikan memeriksa sesuatu secara lebih dekat dan dalam, disebabkan antara lain karena adanya kekeliruan. Eksaminasi pada dasarnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau evaluasi secara sistematik. <br /><br />Eksaminasi publik terhadap kasus munir tidak lain tidak lain untuk menentukan apa yang telah dilakukan hakim dari PN hingga MA dalam memeriksa dan memutus kasus pembunuhan berencana Munir. Lingkup eksaminasi pada dasarnya mengevaluasi keterampilan dan pengetahuan para hakim dalam memutus perkara ini: apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka menggunakan keterampilan dan pengetahuannya dalam memutus perkara.<br /><br /><span class="fullpost">Dengan melakukan eksaminasi, kita berharap dapat menemukan mata rantai kondisi dan efek yang menyebabkan "dibebaskannya" terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Munir dan belum terungkapnya semua kebenaran materiil dalam persidangan kasus Munir.<br /><br />YLBHI dan kantor-kantor LBH telah beberapa kali terlibat melakukan dan memfasilitasi eksaminasi publik terhadap putusan lembaga peradilan. Sebagai contoh, eksaminasi terhadap kasus korupsi dana APBD di Kabupaten Blitar; eksaminasi putusan kasus korusi DPRD Kota Surabaya, eksaminasi terhadap putusan judicial review PP 110 tentang Keuangan Daerah, eksaminasi putusan MK atas judicial review UU Sumber Daya Air, dan masih banyak lagi. Sebagai tambahan, pada awal 90an, pada dasarnya YLBHI telah melakukan eksaminasi atas proses dan putusan lembaga peradilan di Aceh, yang dikumpulkan dan diterbitkan pada 1991.<br /><br />Harapannya, hasil eksaminasi publik atas proses hukum kasus pembunuhan berencana Munir, oleh pakar hukum, praktisi dan aktivis hak asasi manusia ini berkontribusi terhadap upaya reformasi hukum, lembaga peradilan, dan yang terpenting berkontribusi pada pengungkapan kasus Munir itu sendiri. Kepada DR. Rudy Satriyo Mukantardjo, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA, Prof. DR. Komariah Emong Sapadjaja, Irianto Subiakto, S.H., LL.M. dan Firmansyah Arifin, S.H.<br /><br />Kepada para pihak, yang telah membantu proses dan ikhiar ini, yang tidak dapat disebut satu persatu, diucapkan haturan terima-kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.<br /><br /><br />Jakarta, 14 Maret 2007<br />Yayasan LBH Indonesia<br />Badan Pengurus<br /><br /><br /><br />Patra M. Zen<br />Ketua</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-25826330588205041302007-04-30T22:29:00.003+07:002008-10-04T23:40:08.328+07:00Corporation Social Responsibility: Penghormatan Hak Asasi Manusia dan Babak Baru Sebuah Korporasi Untuk Meraih Keuntungan“…transnational corporations become increasingly important in the economies of most countries an international economic relationships, unique opportunities may be significantly greater for transnational and other companies that have larger amounts of resources and therefore greater ability to use those resources for the benefit of society as well as for their shareholders…”<br />(UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1., para. 5)<br /><br /><br />Banyak argumen yang telah menunjukkan banyaknya keuntungan bagi masyarakat dan penduduk lokal jika pelaku non-Negara (sektor privat) memberikan kontribusi bagi pemenuhan hak asasi manusia. Kutipan tersebut diambil dari laporan yang disusun David Weissbrodt yang diberi mandat Komisi HAM, Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan HAM untuk melakukan penelitian berkaitan dengan metode kerja dan aktivitas korporasi transnasional.[1]<br /><br />Namun, boleh dibilang tidak banyak argumen yang menunjukkan keuntungan yang diperoleh korporasi jika turut berkontribusi dalam penghormatan, pemajuan (promosi) dan pemenuhan HAM.<br /><br />Fenomena menarik, sekaligus memunculkan pertanyaan yang menggelitik saat ini, mengapa sejumlah korporasi, secara suka rela, mau mengadopsi prinsip-prinsip penghormatan HAM dan mempertimbangkan dampak bagi pemenuhan HAM dalam setiap aktivitasnya? Beberapa contoh korporasi trans-nasional yang melakukan hal ini, seperti: 3M, Body Shop, BP Amoco, British Telecom, Cargill, C&A, Carlson Companies, Gap, H&m, ING Group, Levi Strauss, Medtronic, Nokia, Novo Nordisk, Numico, PepsiCo, PetroCanada, Reebok International, RioTinto, Sara Lee Corporation, Royal Dutch/Shell Group Companies, Starbucks, Statoil, Tata Iron and Steel Co., Volkswagen, dan Xerox.[2]<br /><br /><span class="fullpost">Tulisan singkat ini akan menggambarkan trend saat ini untuk menarik korporasi kedalam pusaran obligasi untuk pemenuhan HAM. Dus, artikel kecil ini akan memaparkan sekaligus menganalisis setidaknya tiga alasan kuat mengapa isu corporate social responsibility (CRS) tengah bersemai saat ini, termasuk manfaat yang diperoleh korporasi sendiri jika terlibat dalam dan mengikatkan diri pada standard setting yang ada. Sekaligus tulisan ini juga akan memancing sebuah pertanyaan untuk para pemilik korporasi: mengapa anda tidak mengupayakan penghormatan hak asasi manusia dan melaksanakan program CRS sekarang juga?<br /><br />A. Meningkatnya kesadaran konsumen<br /><br />Setidaknya ada kasus yang mendorong tindakan boikot para konsumen terhadap produk-produk korporasi. Liubicic (1998) menulis kasus boikot konsumen berang karena mengetahui bola-bola yang dipakai untuk pertandingan sepakbola diproduksi oleh korporasi dengan menggunakan tenaga buruh anak.[3] Sementara Zelman (1990) mempresentasikan kasus perusahan Nestle yang memproduksi makanan/formula bayi yang telah mempertinggi angka kematian bayi di Negara-negara Miskin.[4] Promosi yang dilakukan Nestle di Negara Ke-3 telah menyebabkan menurunya para ibu untuk menyusui bayinya. Penurunan angka ibu menyusui, diperparah dengan buruknya kualitas air di Negara ke-3 – yang digunakan mereka sewaktu menggunakan produk-produk Nestle. Alasan lain, para ibu tidak diberikan petunjuk yang memadai dalam menggunakan produk perusahaan ini. Situasi ini kemudian memicu para konsumen di Negara ke-3 memboikot produk-produk Nestle.<br /><br /><br />B. Pelanggaran HAM, Turunnya Nilai Jual Korporasi dan SRI<br /><br />“Why would commercially successful companies …give up their activities in foreign states? High production costs? An unstable economy? Inadequate infrastucture? No: in each of these cases, the company’s decision to pull out was because of the grave human rights abuses occurring in the host state.”<br />(Margaret Jungk. 2001:1)<br /><br />Jungk memberi tiga contoh korporasi yang akhirnya menghentikan operasi akibat kejahatan-kejahatan yang terjadi di Negara dimana mereka melakukan investasi: Shell menghentikan operasinya di Nigeria; Heineken di Birma; serta Levi Strauss di Cina.[5]<br /><br />Di Indonesia, terdapat satu contoh yang baik untuk menunjukkan kaitan erat antara pelanggaran HAM dan nilai jual korporasi: kasus PT. Newmont Minahasa Raya yang beroperasi di Sulawesi Utara. Newmont, sebuah korporasi yang berpusat di Denver (US) yang mengoprasikan pertambangan emas, telah mencemari teluk Buyat, dengan zat-zat berbahaya seperti arenicum, hydrargirum, zyncum dan plumbum. Sebelumnya, para penduduk lokal mencari nafkah dari teluk ini sebagai nelayan. Hasil tangkapan para nelayan tidak laku dijual karena telah tercemar – dalam banyak kasus, ikan-ikan hasil tangkapan berpenyakit seperti terdapat benjolan ditubuhnya. Akibatnya, setelah pencemaran, derajat kesejateraan penduduk menurun, termasuk penyebaran penyakit yang diderita penduduk lokal.[6]<br /><br />Kampanye yang dilakukan YLBHI – LBH Manado dan organisai non-pemerintah lainnya, baik difora domestik maupun fora internasional, langsung maupun tidak langsung menyebabkan banyak lapisan menyoroti kasus ini. Salah seorang staff LBH Manado menyatakan bahwa saham Newmont sempat turun paska kampanye yang mereka lakukan di US. Perkembangan terakhir, Newmont menghentikan operasinya di Sulawesi Utara. Boleh dibilang, image PT Newmont rusak akibat operasinya sendiri.<br /><br />Sebagai tambahan, terdapat trend korporasi diwajibkan untuk mengupayakan apa yang disebut socially responsible investment (SRI). SRI mencakup tiga tipe aktivitas utama: indexes, ratings and funds. Merujuk laporan ILO, investasi yang menggunakan criteria social investment (screening, sharholder advocacy and community investing) telah meningkat dari US$40 billion in 1984 menjadi US$2.34 trillion di tahun 2001.[7] Angka ini hanya dihitung social investment di Negara US saja. Di negara berkembang, seperti Afrika Selatan, bursa efek Johannesburg diwajibakn untuk menyusuan laporan yang memuat ‘Code of Coporate Practices and Condut’ sebagai bagian dari laporan ke publik dalam rangka penjualan saham sebuah perusahaan.[8]<br /><br /><br />C. Trend International: Mulai bertemunya Rezim HAM dan Rezim Perdagangan (?)<br /><br />Secara singkat, merujuk pada dokumen Global Compact, penilaian HAM atas kinerja korporasi meliputi 9 isu[9], sebagai berikut:<br />(1) dukungan dan penghormatan HAM yang diterima secara internasional (internationally proclaimed human rights) berdasarkan pengaruh yang dimilikinya;<br />(2) aktivitas yang dilakukan dipastikan tidak melanggar dan menyebabkan timbulnya kejahatan HAM (human rights abuses);<br />(3) mewujudkan kebebasan berserikat dan pengakuan terhadap hak atas posisi tawar kolektif buruh (the right to collective bargaining);<br />(4) turut serta menghapus segala bentuk perbudakkan dan pemaksaan kerja (forced and compulsory labor);<br />(5) berpartisipasi menghapus buruh anak;<br />(6) menghapus praktek-praktek diskriminasi dalam pekerjaan dan lapangan kerja;<br />(7) mendukung pendekatan pencegahan kerusakan lingkungan;<br />(8) mengambil inisiatif mempromosikan tanggungjawab lingkungan yang lebih besar;<br />(9) mendorong pengmbangan dan difusi tekonologi yang ramah lingkungan.<br /><br />Global Compact diajukan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan pada Forum Ekonomi Dunia pada 31 Januari 1999. Saat itu, Anan meminta para pemilik korporasi untuk bergabung dengan badan-badan PBB, organisasi/serikat buruh, dan organisasi masyarakat sipil lain bekerjasama dan melakukan aksi-aksi menjawab tantangan global, termasuk menjawab problem-problem yang ditimbulkan ekonomi global. Sejak dilaunching, sejumlah korporasi trans-nasional yang dapat dikategorisasikan ‘korporasi pelopor’, menyatakan kesediaannya untuk bergabung secara sukarela, antara lain DuPont, Amazon Caribbean Guyana Ltd, SAP; British Telecom (BT), Statoil, BASF, Shell International Ltd., Hennes & Mauritz AB, Willian E. Connor & Associates Ltd., Deloitte Touche Tohmatsu (DTT), Nexen Inc., Yawal System, British Petroleum (BP), Nokia, STMicroelectronics (ST), Novartis International AG. Perusahaan anda akan menyusul?<br /><br /><br />Catatan Belakang<br /><br />[1] David Weissbrodt. “Principles relating to the Human Rights Conduct of Companies”. UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1. 25 May 2000.<br />[2] Lihat Weissbrodt, fn. 23.<br />[3] Robert J. Liubicic, “Corporate Codes of Conduct and Product Labeling Schemes: The Limits and Possibilities of Promoting International Labor Rights Standards Through Private Initiatives”. 30 Law and Policy International Bussiness 111 (1998)., Lihat Weissbrodt, fn. 7.<br />[4] Nancy E. Zelman, “The Nestle Infant Formula Controversy: Restricting the Marketing Practice of Multinational Corporations in Third World”, 3 Transnational Law. 697 (1990). Lihat Weissbrodt, fn. 7.<br />[5] Margaret Jungk. 2001. Deciding whether to do Business in States with Bad Government. The Confederation of Danish Industries, The Danish Centre for Human Rights, the Danish Industrialization Fund for Developing Countries. Lihat juga Maria de los Angeles Villacis Paredes.2000. Supplementary Guide to ‘Deciding Whether to do Business in State with Bad Governments’. Danish Centre for Human Rights.<br />[6] Lihat YLBHI. 2002. An Indonesian Legal Aid Foundation Paper. Human Rights from Below. Potrait of Economic, Social and Cultural Rights Violation in Indonesia. YLBHI: Jakarta., p. 8.<br />[7] ILO doc. GB.286/WP/SDG/4(Rev.). Information Note on Corporate Social Responsibility and International Labour Standards. ILO: Geneva. March 2003., para. 18.<br />[8] Lihat Ibid., para. 19.<br />[9] Teks prinsip-prinsip bagi korporasi dan pelaku bisnis yang dirumuskan dalam Global Compact dapat dilihat di: www.unhchr.ch/global.htm. Lihat juga Guide to the Global Compact. A Practical Understanding of the Vision and Nine Principles</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-50778818779121999512007-04-30T22:25:00.002+07:002008-10-04T23:46:57.583+07:00Various Roles of National And International Non-Governmental Organisations (NGOs) in Relation to the Promotion and Protection of ESCRA. Introduction<br /><br />Non-Governmental Organizations (NGOs) plays important role to promote and protect human rights.[1] In term of international law of human rights, the role of NGOs introduced and based on the article 71 (Chapter X) of the United Charter (UN) and Economic and Social Council (ECOSOC) Resolution 1296 (XLIV) of 1968. Then, in 1996, 49th plenary meeting on 25 July, the ECOSOC reaffirmed the importance of the contributions of NGOs working with UN.[2][3] By the ECOSOC Decision 1996/297, NGOs are given justification to participate to all spheres of work of the UN.[4] ECOSOC also enacted Resolution of 1996/31 regulating Consultative Relation between the UN and NGOs.<br /><br />In period of 1990s, the UN conducted a series of international conferences related to the topic of ECSR. For example, the UN conducted conference on the Environment and Development (UNCED) in Rio de Janeiro, 1992. About 700 NGOs participated on the preparatory process, the conference it self, and in the UN Commission on Sustainable Development.[5] A year later, 1993, about 840 NGOs participated in the World Conference on Human Rights in Vienna.<br /><br />The role of NGOs it is not only considered by UN, but also by a government. NGO representatives who participated in the Conference on Social Development in Copenhagen and the Conference on Women in Beijing accounted as a part of the official delegation of many government. The UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (hereinafter the Committee) calls the Government to work together with NGOs to protect and promote ECSR.<br /><br /><span class="fullpost">This paper elaborates and describes the role of NGOs in relation to the promotion and protection of economic, social and cultural rights. It describes at least three roles of NGOs: to defend claim of ESCR, to monitor implementation of these rights and disseminate information related with rights. There are many strategies which can be done by national and international NGOs. These efforts could contribute to history of promotion and protection these rights. However, it also should be considered limitations of such activities.<br /><br /><br />B. The role of NGOs<br /><br />B.1. Hand in hand with people to struggle defend the ESCR<br /><br />One of important roles for NGOs activist is struggling to what is called by Antonio Gramsci as counter hegemony. This term as Lynne Lawner refer to:<br /><br />“…the Gramscian concept par excellence and the very fulcrum of his thought, is pictured as an equilibrium between civil society and political society – more specifically still, as an equilibrium between “leadership” or “direction” (direzione) based on consent, and “domination” (dominazione) based in coercion in the broader sense.”[6]<br /><br />NGOs and people should do counter-hegemony concerning two things: the idea of civil and political rights is more important than ESCR and a market integration a process seems to prioritize welfare and social justice. The Vienna Declaration and Program of Action can be a reference for them struggling against hegemony state which neglect ESCR as well as non-state actors conducting international trade.[7] In fact, on the 57th Session of the Human Rights Commission (19 March – 27 April 2001) can be seen the Southern Countries disappointed concerning global market system.<br /><br />It can be argued that working in grass root level is prerequisite for NGOs activists. From the field, NGOs can understand and feel victim’s aspiration. The judicial process is not the only way to achieve ESCR, but NGOs have to figure out alternatives to pressure a state and private sector to respect these rights. For instance, NGOs activist should give a justification for peasant movement who reclaim their land that was seized in the name of investments and development.<br /><br />B.2. Monitoring or “watch dog”<br /><br />NGOs can arrange and submit “alternative” report to the Committee.[8] This document is a review process concerning the report which is made by Member State.[9] NGOs which work at grass root level perhaps knowing the real problem locally. Beside this, they understand the weakness and strengthen of state to fulfill and implement ESCR. This role helps the Committee to examine and evaluate Member State reports.<br /><br />The collaboration between the Committee and NGOs often gives political impact. For instance, their collaboration arranged the preliminary conclusions on the Dominican Republic release in November 1996.[10] The document issued by the Committee triggered a national discussion on the rights to adequate housing and public pressure against the government to allow a technical assistance mission on the rights to housing to entry the country.[11]<br /><br />In general, NGOs can submit oral and written submissions to the Committee anytime although a state is not being subject of review process. A very good example is what have be done by the Sidney advocates. Although Australia was not scheduled for review process until November 2000, the Sidney advocates campaign ESCR violation and the impact on Sydney residents of the lead-up to the 2000 Olympics.[12] In the Committee meeting in May, the Sidney[13] advocate provided oral and written submission and encourage the Committee to write letter of concern to the Government. The Committee’s letter gave a message that the international community monitor the Government and put the facts as an input for the Committee on the upcoming review.<br /><br />NGOs do not only give an input to UN and its agencies but also have role to monitor the follow up from the documents which are resulted in international and national machinery of human rights protection. In Southern America, for instance, this role are contained in a document which is called "Plataforma Sudamericana de Derechos Humanos, Democracia y Desarrollo" (South American Platform of Human Rights Democracy and Development).[14] In addition, NGOs have also opportunity to work with various specialized UN body related with ESCR such as ILO and UNESCO.[15]<br /><br />B.2. Educating, Promoting and Campaign<br /><br />NGOs have also three roles as educator, promoter and campaigner of ESCR.[16] These roles including education research and study concerning these rights. There are many examples dealt with these roles such as the project to make thesaurus of ESCR which is conducted by the American association for the Advancement of Science (AAAS) and Human Rights Information and Documentation System, International (HURRIDOCS).[17] As Paul Hunt says the collaboration between NGOS, professional institution and scholars has succeeded addressing the Limburg principle on the Implementation of the ICESCR (1986), the Banglore (ICJ) Declaration and Plan of Action (1995), and the Maastricht Guidelines on Violation of Economic, Social Cultural Rights.[18]<br /><br />Education processes are performed in formal school and non-formal education activities. These processes work with campaign activities to urge a state to ratify the Covenant. According to the Asia-Pacific NGOs workshop, NGOs activists have conducting campaign through television and radio advertisements[19] Many NGOs produce their publication. NGOs can participate in the Committee’s press conferences when they give press briefing about their conclusion reviewing a country report. Indeed, in this event, NGOs have opportunity to give press briefing regarding political aspect and human rights violation. In campaign process, it is a common practice to disseminate the fact of ESCR condition by way of electronic media including internet. Today, it is easy to find the facts or issue concerning specific country via web pages.<br /><br /><br />C. Division of work between international and national NGOs<br /><br />The way to improve effectiveness and managerial capacity of NGOs activities can be done through transferring knowledge and experiences among national and international NGOs.[20] Today, many international NGOs give contribution to improvement of national NGOs. For instance, projects were conducted by People’s Movement for Human Rights Education (PDHRE)[21] and International Service for Human Rights[22]<br /><br />It is useful to so send representatives to the session when CESCR members examine submit the State’s delegation about its report. The local NGOs do not have consultative or observer status can work together with the international NGOs which can do so. In this process, the problem of representatives and state of sovereignty often became a challenge for NGOs activities. The government often submit criticize even the rejection of NGOs representative to UN deal with issue of accreditation of local NGOs. The effort has purposes to prevent local NGOs take participation in the UN machinery of human right protection. To solve this problem, involvement of other civil society elements are needed.<br /><br />Another issue, the Government often make a problem out of NGOs credibility particularly dealt with legitimacy and constituencies which are represented by them. Indeed, NGOs speaks on behalf of victims. In this situation, a Government often facilitated or even formed another organization to counter-action the NGOs. In Indonesia, for instance, there is a term for the organizations which are made by the Government, called as “NGOs red license plate”. Again, corporations among NGOs are needed to counter this effort.<br /><br /><br />D. The end note: evaluation and effectiveness concerning NGO’s activities<br /><br />To end this paper, it is submitted several point dealt with various roles of national and international non-governmental organizations in relation to the promotion and protection ESCR. Firstly, It seems difficult to develop collective awareness among NGOs activists. According to report of workshop Human Rights NGOs Asia and Pacific can be seen that it was difficult to achieve a common stand.[23] Indeed, based on personal experience, sometimes, it can be seen that a conflict between NGOs activist happened not based on ideological reasons but just caused by personal interest.<br /><br />Secondly, an issue of consistency. It can be argued that it is hard to preserve consistency working to promote human rights and democracy. NGOs activist faces this problem especially who work in totalitarian regimes. The challenge is not only the threat consisting of gun pointed but also the flattery of ‘money’.<br /><br />Thirdly, in general, many NGOs in developing countries are funded by foreign funding. What will happen if these support are stopped. Can they still continue their work? These are latent question in NGOs internally and asked by commentators frequently. Other statement is about independency. Ideally, NGOs are siding with victims.<br /><br />Lastly, how measure the effectiveness and success from NGOs activities. How indicate the degree of success of NGOs activities organizing and educating people? How if people ask NGOs not only promote rights but also involve in social movement. In fact, the achievement of rights related with whether there is economic and political structure transformation.<br /><br />Bibliography<o:p></o:p><p></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:85%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:85%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Center for Human Rights. 1994. <i>United Nations Action on the Field of Human Rights</i>. New <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on">York</st1:city></span><span style="font-size:78%;"> and <st1:city st="on"><st1:place st="on">Geneva</st1:place></st1:city>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Craven, Matthew. 2001. ‘The UN Committee on Economic, Social and Social‘<i>In Economic, <o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><i>Social and Cultural Rights. A Texbook.</i></span><span style="font-size:78%;"> (Eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Rosas, pp. 455 – 472. 2<sup>nd</sup> Revised Edition. <st1:city st="on">Dordrecht</st1:city>, <st1:city st="on">Boston</st1:city>, and <st1:city st="on"><st1:place st="on">London</st1:place></st1:city>: Martinus <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Nijhoff Publishers. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Eide, Asbjorn. 2001. ‘Obstacle and Goals To Be Pusued’ <i>In Economic, Social and Cultural <o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><i>Rights. A Texbook.</i></span><span style="font-size:78%;"> (Eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 553 – <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">562. 2<sup>nd</sup> Revised Edition. <st1:city st="on">Dordrecht</st1:city>, <st1:city st="on">Boston</st1:city>, and <st1:city st="on"><st1:place st="on">London</st1:place></st1:city>: Martinus Nijhoff Publishers. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="margin-left: 36pt; text-align: justify; text-indent: -36pt; font-family:arial;"><span lang="NO-NYN" style="font-size:78%;">Gramsci, Antonio. </span><span lang="IT" style="font-size:78%;">1979. <i>Antonio Gramsci. Letter From Prison</i>. </span><span lang="NO-NYN" style="font-size:78%;">Lawner, Lynne (trans). </span><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on">London</st1:city></span><span style="font-size:78%;">; <st1:city st="on">Melbourne</st1:city>; <st1:state st="on"><st1:place st="on">New York</st1:place></st1:state>: Quartet Books.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span lang="SV" style="font-size:78%;">Johansson, Agnetta and Anna Karin Lindblom (eds.). </span><span style="font-size:78%;">1995. <i>Beyond <st1:city st="on"><st1:place st="on">Vienna</st1:place></st1:city>. NGO – Human <o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><i>Rights Congress 1995. Final Report</i></span><span style="font-size:78%;">.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Rosengarten, Frank (ed.) and Raymond Rosenthal (trans.). 1994. <i>Antonio Gramsci. Letter from <o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><i>Prison</i></span><span style="font-size:78%;">. Vol. 2. <st1:state st="on">New York</st1:state>: <st1:place st="on"><st1:placename st="on">Colombia</st1:placename> <st1:placetype st="on">University</st1:placetype></st1:place> Press. 2<sup>nd</sup> Revised Edition. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Dordrecht</st1:place></st1:city>, <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><st1:city st="on">Boston</st1:city></span><span style="font-size:78%;">, and <st1:city st="on"><st1:place st="on">London</st1:place></st1:city>: Martinus Nijhoff Publishers.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Scott, Craig. 2001. ‘Multinational Enterprises and Emergent Jurispurence on Violations of <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Economic, Social and Cultural Rights’ <i>In Economic, Social and Cultural Rights. A <o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><i>Texbook.</i></span><span style="font-size:78%;"> (Eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 563 – 595.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Stephen, Mark. 1984 ‘The Complain Procedure of the United Nations Educational, Scientific <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">and Cultural Organization (UNESCO)’ In <i>Guide to International Human Rights Practice</i> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">(ed.) <st1:city st="on"><st1:place st="on">Hurst</st1:place></st1:city> Hannum, pp. 94 – 107. <st1:city st="on"><st1:place st="on">London</st1:place></st1:city>: MacMillan Press. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Swepston, Lee. 1984. ‘Human Rights Procedures of the International Labor Organization’ In <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><i>Guide to International Human Rights Practice</i></span><span style="font-size:78%;"> (ed.) <st1:city st="on"><st1:place st="on">Hurst</st1:place></st1:city> Hannum, pp. 74 – 93. <st1:city st="on"><st1:place st="on">London</st1:place></st1:city>: <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">MacMillan Press. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><b><span lang="IT">UN Documents:<o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><b><span lang="IT"><o:p> </o:p></span></b></span></p> <table class="MsoNormalTable" style="width: 455.4pt; border-collapse: collapse; font-family:arial;" border="0" cellpadding="0" cellspacing="0" width="607"><tbody><tr><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 117.35pt;" valign="top" width="156"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span lang="IT" style="font-size:78%;">E/C.12/2000/6<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 94.5pt;" valign="top" width="126"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">7 July 2000<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 243.55pt;" valign="top" width="325"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">NGO participation in the activities of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights<o:p></o:p></span></p> </td></tr><tr><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 117.35pt;" valign="top" width="156"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">E/C.12/Q/AUSTRAL/1<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 94.5pt;" valign="top" width="126"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">23 May 2000<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 243.55pt;" valign="top" width="325"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">List of issues to be take up in connection with the consideration of third periodic report of Australia concerning the rights covered by articles 1 – 15 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (E/1994/104/Add.22)<o:p></o:p></span></p> </td></tr><tr><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 117.35pt;" valign="top" width="156"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">UN Doc. A/53/170<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 94.5pt;" valign="top" width="126"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">10 July 1998<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 243.55pt;" valign="top" width="325"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Arrangements and Practices for the Interaction of Non-Governmental Organizations in All Activities of the United Nations System: Report of the Secretary General (“Sorensen Report”)<o:p></o:p></span></p> </td></tr><tr><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 117.35pt;" valign="top" width="156"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">E/C/12/1998/11<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 94.5pt;" valign="top" width="126"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <span style="font-size:78%;"><br /></span></td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 243.55pt;" valign="top" width="325"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">State obligations, indicators, benchmarks and the right to education. Background paper submitted by Paul Hunt (<st1:place st="on"><st1:city st="on">University of Waikato</st1:city>, <st1:country-region st="on">New Zealand</st1:country-region></st1:place>)<o:p></o:p></span></p> </td></tr><tr><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 117.35pt;" valign="top" width="156"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">ECOSOC Decision 1996/302<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 94.5pt;" valign="top" width="126"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <span style="font-size:78%;"><br /></span></td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 243.55pt;" valign="top" width="325"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">NGOs on Roster for Commission on Sustainable Development<o:p></o:p></span></p> </td></tr><tr><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 117.35pt;" valign="top" width="156"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span lang="IT" style="font-size:78%;">E/C.12/1/Add.6<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 94.5pt;" valign="top" width="126"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">6 December 1996<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 243.55pt;" valign="top" width="325"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">Concluding observation of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights: <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Dominican Republic</st1:place></st1:country-region><o:p></o:p></span></p> </td></tr><tr><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 117.35pt;" valign="top" width="156"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">E/C.12/1993/WP.14<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 94.5pt;" valign="top" width="126"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">12 May 1993<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 243.55pt;" valign="top" width="325"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">NGO participation in the activities of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights<o:p></o:p></span></p> </td></tr><tr style=""><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 117.35pt;" valign="top" width="156"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">GA Resolution 2200A (XXI)<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 94.5pt;" valign="top" width="126"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">16 December 1966<o:p></o:p></span></p> </td><td style="padding: 0cm 5.4pt; width: 243.55pt;" valign="top" width="325"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;">International Covenant of Economic Social and Cultural Rights (ICESCR)<o:p></o:p></span></p> </td></tr></tbody></table> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><b><o:p> </o:p></b></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><b><o:p> </o:p></b></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><b>Articles and Reports</b></span><span style="font-size:78%;">: <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">AAAS Science and Human Rights Program, Ethesaurus Economic, Social and Cultural Rights.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><a href="http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet">http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet</a><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;">Hurights, Workshop for Human Rights NGOs in <st1:place st="on">Asia</st1:place> and the Pacific. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;"><a href="http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/no_22/09_aceiuws.htm">http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/no_22/09_aceiuws.htm</a> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;">ISHR Report, Partnership project (liaison programme) on the ECSR: <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;"><a href="http://www.ishr.ch/about%20ISHR/Projects/ESCR/escr.htm">http://www.ishr.ch/about%20ISHR/Projects/ESCR/escr.htm</a> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Kempf, Isabell, <i>Civil Society and Economic, Social and Cultural Rights</i>.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><a href="http://www.socwatch.org.uy/1998/english/development/doc7.htm">http://www.socwatch.org.uy/1998/english/development/doc7.htm</a>; <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;">PDHRE, 1999-2000 Annual Report. <a href="http://www.pdhre.org/report95_97/board-oct2000.html">http://www.pdhre.org/report95_97/board-oct2000.html</a> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;">Poirier, Jeff. <i>Regional Workshop on Promoting and Protecting Economic,Ssocial and Cultural <o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><i><span lang="EN-GB">Rights</span></i></span><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;">. <a href="http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/no_22/07_wscrws.htm">http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/no_22/07_wscrws.htm</a> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Stromquist, Nelly P. <i>NGOs in a new paradigm of civil society. CICE</i>, Volume 1, Number 1, <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">1998. <a href="http://www.tc.columbia.edu/cice/vol01nr1/nsart2.doc">http://www.tc.columbia.edu/cice/vol01nr1/nsart2.doc</a> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;">Victoria Working Group, <i>NGOs and the United Nations Commiitee on Economic, Social and <o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><i>Cultural Rights</i></span><span style="font-size:78%;">. <a href="http://www.geocities.com/aserp_vwg/cescrngo.htm">http://www.geocities.com/aserp_vwg/cescrngo.htm</a> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><b>Other:<o:p></o:p></b></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><a href="http://www.un.org/esa/coordination/ngo/pdf/guidelines.pdf">http://www.un.org/esa/coordination/ngo/pdf/guidelines.pdf</a> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:78%;"><a href="http://www.hri.ca/uninfo/resolutn/dec297.shtml">http://www.hri.ca/uninfo/resolutn/dec297.shtml</a> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; font-family:arial;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-size:78%;"><a href="http://www.un.org/esa/coordination/ngo/Resolution_1996_31/index.htm">http://www.un.org/esa/coordination/ngo/Resolution_1996_31/index.htm</a></span> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span lang="EN-GB" style="font-size:85%;"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span lang="EN-GB" style="font-size:85%;"><o:p> </o:p></span></p> <div style="font-family:arial;"><!--[if !supportFootnotes]--><span style="font-size:85%;"><br /></span> <hr style="height: 2px;font-size:78%;" align="left" width="33%"> <!--[endif]--> <div style="" id="ftn1"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference">*</span></a> <b><i>Paper<span style=""> </span>submitted to Asian Civil Society Forum 2002, <st1:country-region st="on">CONGO</st1:country-region>, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Bangkok</st1:place></st1:city>, 9 – 13 December 2002.<o:p></o:p></i></b></span></p> </div> <div style="" id="ftn2"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><b><i>**</i></b></span></a><b><i> Head of Division on Economic, Social and Cultural Rights, Board of Executive, Indonesian Legal Aid Foundation (Yayasan LBH <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>). <o:p></o:p></i></b></span></p> <p class="MsoFootnoteText"><span style="font-size:78%;"><o:p> </o:p></span></p> </div> <div style="" id="ftn3"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> See Isabell Kempf, Civil Society and Economic, Social and Cultural Rights. <a href="http://www.socwatch.org.uy/1998/english/development/doc7.htm">http://www.socwatch.org.uy/1998/english/development/doc7.htm</a>; NGO Section of the Department of Economic and Social Affair (DESA), Association between the United Nations and Non-Governmental Organizations (NGOs). <a href="http://www.un.org/esa/coordination/ngo/pdf/guidelines.pdf">http://www.un.org/esa/coordination/ngo/pdf/guidelines.pdf</a></span> </p> </div> <div style="" id="ftn4"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Text this decision, see in <a href="http://www.hri.ca/uninfo/resolutn/dec297.shtml">http://www.hri.ca/uninfo/resolutn/dec297.shtml</a></span> </p> </div> <div style="" id="ftn5"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Text this resolution, see <a href="http://www.un.org/esa/coordination/ngo/Resolution_1996_31/index.htm">http://www.un.org/esa/coordination/ngo/Resolution_1996_31/index.htm</a></span> </p> </div> <div style="" id="ftn6"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> See also UN Doc. A/53/170 </span></p> </div> <div style="" id="ftn7"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> ECOSOC Decision 1996/302</span></p> </div> <div style="" id="ftn8"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Lynne Lawner (trans). (1979). p. 42. About Gramsci theory of Gramsci, see Lawner. 129, 240-1, 243; Frank Rosengarten (ed.) and Raymond Rosenthal (trans). (1994). pp. 67, 69, 171-2.</span></p> </div> <div style="" id="ftn9"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> List of issue in regards of transnational corporation, can be seen in Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rossas (eds.), pp. 558 – 61; Craig Scott (2001) In Asbojrn Eide Catarina Krause and Allan Rossas (eds.), pp. 563 – 595.</span></p> </div> <div style="" id="ftn10"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></span><span lang="ES" style="font-size:78%;"> See UN Doc. </span><span style="font-size:78%;">E/C.12/2000/6; E/C.12/1993/WP.14. </span></p> </div> <div style="" id="ftn11"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref11" name="_ftn11" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> The State which have ratified the Covenant, have obligation to submit a periodic report every five year. See International Covenant of Economic Social and Cultural Rights (ICESCR), GA Resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966; entry into force 3 of January 1976 in accordance with article 27; Center for Human Rights: (1994), pp. 25 – 6, 150 – 2. </span></p> </div> <div style="" id="ftn12"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref12" name="_ftn12" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[10]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Isabell Kempf, <i>Op.cit.</i></span> </p> </div> <div style="" id="ftn13"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref13" name="_ftn13" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="" lang="EN-GB">[11]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a></span><span lang="IT" style="font-size:78%;"> UN Doc. E/C.12/1/Add.6. </span><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;">About this issue see also Matthew Craven (2001) in Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rossas (eds.), p. 464.<o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="ftn14"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref14" name="_ftn14" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[12]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> See article in Australian and Economic Rights Project’s Web Page in <a href="http://www.geocities.com/aserp_vwg/cescrngo.htm">http://www.geocities.com/aserp_vwg/cescrngo.htm</a></span> </p> </div> <div style="" id="ftn15"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref15" name="_ftn15" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[13]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></span><span lang="ES" style="font-size:78%;"> See UN Doc.<span style=""> </span></span><span lang="PT" style="font-size:78%;">Paras. 24 – 5.E/C.12/Q/AUSTRAL/1. <o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="ftn16"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref16" name="_ftn16" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[14]</span></span><!--[endif]--></span></span></a></span><span lang="PT" style="font-size:78%;"> Isabell Kempf, <i>Op.cit.</i><o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="ftn17"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref17" name="_ftn17" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[15]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> See Lee Swepston in Hurst Hannum, pp. 74-93; Stephen Mark in Hurst Hannum, pp. 94 –107; Center for Human Rights. <i>Op.cit., </i>pp. 319 – 322.</span></p> </div> <div style="" id="ftn18"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref18" name="_ftn18" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[16]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> See: Nelly P. Stromquist, NGOs in a new paradigm of civil society in CICE, Volume 1, Number 1, 1998. Text in <a href="http://www.tc.columbia.edu/cice/vol01nr1/nsart2.doc">http://www.tc.columbia.edu/cice/vol01nr1/nsart2.doc</a></span> </p> </div> <div style="" id="ftn19"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref19" name="_ftn19" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[17]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> AAAS and Human Rights Program, E-thesaurus ESCR.</span><span style="font-size:78%;"> </span><span style="font-size:78%;"><a href="http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet">http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet</a></span> </p> </div> <div style="" id="ftn20"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref20" name="_ftn20" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[18]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> UN Doc. E/C/12/1998/11 para. 1. </span></p> </div> <div style="" id="ftn21"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref21" name="_ftn21" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[19]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> See Hurights, Workshop for Human Rights NGOs in <st1:place st="on">Asia</st1:place> and the Pacific. <a href="http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/no_22/09_aceiuws.htm">http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/no_22/09_aceiuws.htm</a></span></p> </div> <div style="" id="ftn22"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref22" name="_ftn22" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[20]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> See Agneta Johansson and Anna Karin Lindblom (eds.) (1995) pp. 26-28</span></p> </div> <div style="" id="ftn23"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref23" name="_ftn23" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="" lang="EN-GB">[21]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a></span><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;"> 1999-2000 Annual Report PDHRE <a href="http://www.pdhre.org/report95_97/board-oct2000.html">http://www.pdhre.org/report95_97/board-oct2000.html</a> <o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="ftn24"> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref24" name="_ftn24" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-GB"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="" lang="EN-GB">[22]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a></span><span lang="EN-GB" style="font-size:78%;"> See Partnership project (liaison programme) on the ECSR: <a href="http://www.ishr.ch/about%20ISHR/Projects/ESCR/escr.htm">http://www.ishr.ch/about%20ISHR/Projects/ESCR/escr.htm</a> <o:p></o:p></span></p> </div> <div style="" id="ftn25"> <p class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span style="font-size:78%;"><a style="" href="http://www2.blogger.com/post-edit.g?blogID=9335299&postID=5077881877912199951#_ftnref25" name="_ftn25" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="">[23]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> Hurights. <i>Op.cit.</i></span> </p> </div> </div></span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-19441423072350316142007-04-30T22:24:00.006+07:002008-10-05T00:22:47.108+07:00Human Rights Education in the Five Provinces in IndonesiaA. General description of the Human Rights Education Conducted by the LBH<br /><br />Since 1970’s, besides conducting the litigation activity[1](1), like giving assistance the client in conducting the legal proceedings at the court, the LBH Offices had conducted the human rights education, the material on human rights was given in the educational program conducted by the LBH. for example, the LBH gave material on the human rights theme in Indonesia during the Law Faculty Students Training conducted by the LBH Jakarta in 1978; Upgrading on the Junior Advocates and the Labour Training in 1980, and during the Legal Training through the radio (1981). Besides that, during this era, the LBH Jakarta begins to conduct essay writing competition on human rights and the report organization, make publication (poster, sticker, bulletin, magazines) on the human rights, particularly on the human rights development and situation in Indonesia. The activity like that continues till now.[2]<br /><br />Viewed from the material point, the human rights material given during the human rights education conducted by the LBH Jakarta can be classified into two categories :<br /><br />1. The human rights material in the training : Litigation, Training Works on Legal Aids (Kalabahu)[3], Training on the Labour Association; the Agrarian Training, Natural Resources Division, Research Division.[4]<br /><br />2. The material especially designed for the training in the theme of human rights like the Documentation Training on the human rights violation, Training on the Fact Findings on the Human Rights for the PBH LBH and the students. This training is generally conducted by the Civil and Political Rights of the YLBHI.<br /><br /><span class="fullpost">Except the Litigation training and the Training Works on the Legal Aids, the training was conducted in the form of Training for Trainers (TOT) and the participants were derived from the organization invited by the LBH.[5] The Human Right Training Curriculum is organized based on the participants category involved, and is referred to the main curriculum for the participants derived from the LBH Offices, covering :<br /><br />1. The Human Rights phase development;<br />2. The UN System;<br />3. The UN System at the domestic level;<br />4. The political interest and the Interest on Politics beyond the Human Rights Instruments.<br />5. State and Democracy<br /><br />This curriculum is organized in reference to the material and training material on Human Rights conducted by the Human Rights organization. In general, the material is derived from the Workers of the Legal Aids taking part in the Human Rights education conducted in the country and overseas.<br /><br />On every training conducted for the first and second category, we always presented the case study. The participants are grouped into several groups to discuss the cases they are facing and/ they have just read/seen at the media. Then they discuss three matters :<br /><br />1. Type of the human rights violation that has taken place, on going and the one predicted to take place;<br />2. Conduct the social analysis on the cases;<br />3. Plan Action : Solution and Problems.<br /><br />The facilitator/trainer for the human rights training are derived from the Workers of the Legal Aids, Academicians and the NGO’s activists. And the training of the first category, the LBH involve the expert sources from the government institution, legal institution and the professionals.[6]<br /><br /><br />B. The Human Rights Education in the Five Provinces<br /><br />During the period of 1998-2001, the YLBHI and LBH Jakarta conducted several human rights training in 14 of the LBH offices.[7] In order to give clearer picture of the human rights training, the writer took five samples of human rights training conducted in 5 provinces, in Banda Aceh, Jayapura, Makassar, Palembang and in Jakarta.<br /><br />The matrix is organized based on the majority of opinions (above 15 people) of the participants involved in the human rights raining.[8] The training was mostly participated by 30-40 participants. Of course, beyond the matrix, the participants disclosed the same opinions to the other participants. For example, the students activists said that it was important for them to know and study more deeply of the United Nations System and some of the NGO’s activists said that they were interested with the topic of the human rights movement. And also, some farmers and labourers who said that they wanted to study more deeply on the regulations and legislation related to the Human Rights.<br /><br />1. The majority of the representatives of the labourers and farmers said they expected that the human rights training would help them solve the cases they were facing, like the lands condemnations and the work termination;<br />2. The majority of the NGO’s activists said that the government apparatus and parliament were not the important elements to promote the human rights, but on the action plan they were trying to organize, most of them said that lobby to the parliament and government were important to do, particularly in relation to the policy making;<br />3. The majority of the students were more interested in material on the Human Rights, particularly those related to the mass action;<br />4. The NGO’s activists and students activists said that the people organizations were the main elements which influenced the human rights promotion;<br />5. The majority of the three participants said that media was an important element for the human rights promotion and the human rights monitoring. Besides that, they also said that forming the working network and communication one another continuously was an important work that should be done after training;<br />6. Accordingly, expressions uttered during the training by the participants were about the matters organized in the matrix as above.<br /><br /><br />C. Hindrance and Solution<br /><br />From the experience of organizing the human rights training, there were two kinds of problems often faced by the training organizers (LBH) and the participants, among others:<br /><br />1. The training conducted outside of Java, terror from the military personnel and police still took place, like when the training was conducted in Jayapura (West Papua). The military personnel came to the hotel where the training was conducted. They committed the terror by asking training method to the local organizer and to the participants and they tried to grasp the material and entered into the training committee’s room. Accordingly, the participants and the training organizers concentration was disturbed.<br /><br />2. There was a case where the training participants recommended by the organizer and who was invited by the LBH did not conduct their action plan they had organized together because they had a lot of routine work, some of them moved to other institutions, etc.<br /><br />Based on the above facts, we should conduct very mature preparation for every training, particularly on the location selection and the training venue. The second thing that we should pay attention is the criteria for the participants and the invited institutions, written recommendation should be requested for the participants and that they should submit brief writing on their own experience. And of course, the commitment will all depend on each individual.<br /><br /><br />D. Closing<br /><br />In the 1980 era - mid 1990, the human rights training material was more focused on the civil and political rights. After the fall of Soeharto in 1998, the LBH tried to develop material related to the economy, social and culture. Based on the current situation and condition, the LBH now has the tendency to conduct training related to resolution of conflict and reconciliation, in consideration of the communal conflict taking place in Indonesia. Besides that, we also try to develop the educational material and promotion/campaign on the human rights in relation to the refugees and the Internal Displaced Person.<br /><br />We continue conduction the evaluation on the human rights training curriculum. The consulting and evaluation process is conducted every year and is facilitated by the Indonesian Legal Aid Foundation - YLBHI. We may say that this program will produce more inspiration to perfect the curriculum, particularly those related to the organizing the human rights training activity conducted by the LBH Jakarta.<br /><br /><br />Attachment: 1<br />The Kalabahu 2001 Curriculum<br /><br />The Kalabahu material is organized for the participants who are interested to be the worker of the Legal Aid in particular and in general, the material is expected to be useful for those who will take part in the legal activities and the human rights. To reach that purpose, the Kalabahu material is organized with the following classifications:<br />1. General Material/Introduction<br />2. Special Material<br />3. Litigation Material<br />4. Workshop/Training<br />5. Simulation of Mock Trial<br />6. Supporting Material<br />7. Case Study<br />8. Observation and Discussion on result<br /><br />Intention for teaching the eight category of the material as above is as follows: <br /><br />I. General Material <br />This material is the cultural theme in current. By teaching this material, the participants are expected to understand the problems being faced by the nation, by the society and by the members of society, in the international scale and in national and local scale. <br /><br />II. Special Material <br />This material is taught in relation to the YLBHI existence, LBH Jakarta and the Division existing in the LBH Jakarta, (1) Civil and Political Rights; (2) Urban Division and Urban Society; (3) Labourer Division; (4) Women Division and; (5) Research Division, Publication and Education. <br /><br />III. Litigation Material <br />The participants will get understanding on:<br /><br />1. The case handling pattern with the public dimension interest<br />2. Jurisdiction technical in handling the case covers :<br /> - the knowledge on the efforts used to defend the case, pursuant to the prevailing legal procedure.<br /> - skill in analyzing the case as the consideration material in determining the strategy and tactic in handling the case comprehensively.<br />3. The concrete samples of the case handling by the LBH Jakarta<br /><br /><br />IV. Workshop/Training<br /><br />The participants get the knowledge and skill by conducting the direct practice. <br /><br /><br />V. Simulation<br /><br />Introduce the participants to the legal practice by conducting the simulation of the Mock Trial. <br /><br /><br />VI. The Supporting Material<br /><br />The material taught to the participants are in the action form so that the participants will get general picture of the material so that they will be able to make it as guidance in planning, organizing, actuating and in carrying out the actions needed. <br /><br />VII. The Case Study<br /><br />The participants are expected to be able to analyze the cases in the concrete manner in the manifested form and the case that will take place (latent) and then they will be able to apply the prevailing provisions (in material and in formal way) and understand the way how to handle the case in the litigation and non-litigation manner. <br /><br />*Paper to be presented on the Asian Human Rights Education Trainer’s Colloquium, Chiang Mai, Thailand, 1 - 6 April 2001. <br /><br />** Head of the Research Division, Publication and Education of the LBH Jakarta. <br /><br />End Note <br /><br />[1] The Legal Aids Foundation (LBH) receives thousands of legal proceedings every year. IN 1970’s, number of the legal seekers coming to the LBH Jakarta was 5,706 persons. In 1980 this number was increased to 7,006 persons. During the 2000 number of clcients coming to LBH Jakarta was 20,252 persons of the 1,026 cases, with the details of : Labour Division received 371 cases; Sipol Division received (232 cases); the Urban Division and the Urban Society (186 cases) and Special Division (237 cases). Since the Legal Assistance Divisions were limited, the incoming cases were selected with certain criteria. <br /><br />[2] The LBH Working Report <br /><br />[3] You can see attachment regarding the Kalabahu Curriculum for 2001 conducted on 19th March to 26th April. <br /><br />[4] See: the LBH Organization Structure in the Indonesian Legal Aids Foundation, Hand In hand With the People for Democracy, with no year, p. 12. <br /><br />[5] The Ligitation training is the training where the training participants w=are given the material related to the empowerment of the legal proceedings as one of the advocating media. And the Training Works on Legal Aids is one of the processes which must be passed by the LBH Jakarta volunteers. <br /><br />[6] See: attachment <br /><br />[7] See: the LBH Offices in the Legal Aid Foundation, Op.cit., p. 14. <br /><br />[8] This matrix is organized based on the experience and the report by the writer when he was the organizer and facilitator in various trainings on human rights and during his working period at Palembang LBH, the Indonesian Legal Aid Foundation and and LBH Jakarta (1995 - now).</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-91701644189653943552007-04-30T22:21:00.001+07:002008-10-05T00:39:34.217+07:00Undang-Undang Penyiaran: Problematik Isi UU Ditinjau dari Rezim Hukum InternasionalMeskipun persetujuan Rancangan Undang-undang (UU) tentang Penyiaran sempat batal dalam Rapat Sidang Paripurna, namun pada Sidang Paripurna selanjutnya, UU ini pun disahkan menjadi UU. Aturan ini penuh kontroversi. Ada kalangan yang menilai beberapa ketentuan dalam UU ini dapat dianggap sebagai sebuah kemajuan. Sebaliknya, UU ini bukan tanpa masalah dan bahkan mengandung bahaya besar. <br /><br />Dari perspektif kemajuan, isi UU ini dianggap berpeluang menjamin keragaman informasi, mengakomodasi keberadaan media siaran komunitas dan berpihak pada pekerja penyiaran serta telah mengadopsi aturan tentang pembentukan sebuah lembaga independen: Komisi Penyiaran Independen (KPI). Sebaliknya, selain dari problem yang langsung berkaitan dengan industri penyiaran, utamanya perusahaan yang telah menyelenggarakan penyiaran secara nasional. Bahaya yang paling besar adalah “kebebasan pers” itu sendiri. <br /><br />Tulisan ini akan mendiskusikan dan menganalisis kekhawatiran masyarakat dan kalangan pers berkaitan dengan “kebebasan pers” yang terancam oleh pasal-pasal yang dimuat dalam UU. Analisis akan menggunakan rezim hukum internasional yang berlaku saat ini. <br /><br /><span class="fullpost">Problematik utama isi UU<br /><br />Secara singkat, problem pertama yang nampak jelas dalam UU yakni, berkaitan dengan posisi dan wewenang KPI dalam menjalankan fungsinya: mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan media siaran. KPI harus melibatkan pemerintah. KPI juga diharuskan untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk menyusun peraturan-peraturan pelaksana seperti mengenai lembaga penyiaran publik; pembatasan kepemilikan silang; lembaga penyiaran berlangganan; kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing; sistem stasiun jaringan; rencana dan persyaratan teknis siaran; tata cara dan persyaratan perizinan; tata cara pemberian sanksi administrative; serta soal pemberian dan perpanjangan izin siaran. <br /><br />Selain itu, secara khusus, peluang pemerintah melakukan intervensi terutama berkaitan dengan wewenang pemerintah untuk melakukan seleksi atau sensor para pihak untuk memperoleh izin penyiaran atau perpanjangan izin. Selanjutnya, wewenang KPI dalam soal izin frekuensi hanya sebatas memberikan usul. Penentu akhirnya berada di pemerintah. Sementara usulan kalangan pers UU memuat ketentuan yang meniadakan sama sekali peluang pemerintah melakukan intervensi termasuk soal izin dan penentuan alokasi frekwensi yang diharapkan menjadi kewenangan KPI tanpa ada campur tangan lembaga eksekutif. Merujuk pada ketentuan hukum lainnya seperti UU Telekomunikasi No 36/1999, masalah penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian frekuensi pada dasarnya bisa dilakukan oleh KPI sebagai badan regulasi independen. <br /><br />Kedua, adanya aturan yang mewajibkan untuk diselenggarakannya sensor atas film maupun iklan oleh lembaga yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan ini dipercaya menjadi ancaman bagi kebebasan pers. <br /><br />Ketiga, kekhawatiran akan sanksi yang diatur dalam UU yang dapat berupa pidana penjara maupun denda. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam UU berupa pidana penjara lima tahun dan denda Rp 1 milyar untuk radio dan penjara lima tahun dan denda Rp 10 milyar untuk televisi. Pers tidak diperbolehkan untuk menyiarkan hal-hal yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, maupun mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan; memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.<br /><br />Evaluasi UU merujuk pada kerangka hukum internasional<br /><br />Kebebasan pers prima facie hak publik untuk mengeluarkan pendapat dan berekspresi. Karenanya, kematian kebebasan pers, mengubur juga hak-hak publik. Dalam konteks kerangka hukum internasional, Indonesia adalah anggota Perserikatan Bangsa-bangsa. Sebagai konsekwensinya, Negara berkewajiban untuk menghormati hak-hak publik ini, seperti dimuat dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).<br /><br />Selanjutnya, Indonesia berkewajiban untuk menggeluarkan kebijakan-kebijakan termasuk undang-undang yang menjamin hak-hak tersebut. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan mesti memberikan jaminan terhadap publik maupun kalangan pers untuk dapat menikmati hak-hak ini. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang secara inheren juga meliputi kebebasan berbicara dan melakukan diseminasi informasi yang mana oleh rezim hukum internasional telah diadopsi sebagai dasar bagi semua kebebasan-kebebasan (fundamental freedom) yang ada dan fundamen demokrasi bagi sebuah negara. <br /><br />Merujuk pada rezim tersebut, fungsi pers dalam negara demokratis yakni: menginformasikan (to inform), melakukan penyelidikan (investigate), menyebarluaskan informasi mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku negara maupun non-negara (expose abuse) dan memberikan pendidikan (educate) masyarakat. Fungsi-fungsi ini sangat penting diamin dan hanya dapat dipenuhi oleh pers jika mass media termasuk media penyiaran bebas dari hambatan-hambatan yang tidak perlu (unnecessary constraints). <br /><br />Berdasarkan uraian tiga problematic utama, UU Penyiaran diatas, terdapat peluang yang besar bagi Negara untuk gagal memberikan jaminan yang sewajarnya (adequate protection) kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam hukum internasional memang dikenal prinsip derogasi atau pembatasan yang dapat dilakukan negara. Namun demikian, derogasi dapat dilakukan Negara jika terdapat kasus-kasus pengecualian yang mendasar (highly exceptional cases). Dalam konteks “Penyiaran”, pengecualian dapat dilakukan diantaranya terdapat terdapat alasan kuat (reasonable ground) isi siaran secara sengaja (by design) dapat mengancam keamanan Negara secara langsung. Preseden hukum internasional, pengecualian seperti ini utamanya terdapat suatu kondisi dimana isi penyiaran secara sistematis berpeluang menciptakan terror dan kekerasan di masyarakat. Pejabat publik dalam hal ini wajib memberikan alasan untuk menghentikan penyiaran atau memberikan sanksi terhadap pihak yang bertanggunjawab. <br /><br />Adanya aturan yang menjamin kebebasan-kebebasan tersebut bertujuan antara lain: mengindari praktek-praktek intervensi Negara berdasarkan kepentingan politik dengan menggunakan hukum positif domestik terhadap wartawan atau jurnalis serta masyarakat yang memberikan informasi. Kasus yang sering terjadi, intervensi yang paling sering terjadi yakni, dilakukannya limitasi akses media bagi lawan-lawan politik atau oposisi. pemerintah yang sedang berkuasa.<br /><br />Dalam konteks penyelenggaraan sensor, bahaya terbesar sebenarnya jika pers sendiri melakukan sensor pada dirinya sendiri (self-censorship) secara belebihan akibat dari ketakukan pers menyiarkan isi siaran. Ketakutan ini sendiri sebenarnya merupakan efek lanjutan dari adanya aturan yang memang secara sengaja dibuat tanpa parameter yang jelas atau di Indonesia sering disebut dengan “pasal-pasal karet”. Ketakutan yang berlebihan jelas merugikan masyarakat, seperti: informasi yang diberikan “terpotong” vise versa anggota masyarakat sebagai konsumen siaran tidak mendapat informasi yang lengkap.<br /><br />Saat ini yang diperlukan, disatu sisi adanya jaminan hukum (legal protection) terhadap kebebasan pers. Disisi lain, diperlukan juga industri penyiaran yang transparan dan memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas seiring dengan tuntutan terhadap jurnalis yang professional. Hal ini untuk mendapatkan nilai kredibilitas dimata publik, sehingga dengan demikian publik sendiri yang akan melakukan pembelaan jika Negara melakukan intervensi atau memberikan sanksi yang nota bene merupakan pelanggaran dari kebebasan pers itu sendiri. Lantas, apa UU ini mau direvisi lagi? Duh, para “wakil rakyat”!</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-42974864172548193272007-04-30T22:15:00.001+07:002008-10-05T01:06:06.624+07:00Dam Kotopanjang: Menagih Obligasi Negara dalam Proyek PembangunanPengantar<br /><br />Indonesia merupakan dapat dikatakan menjadi negara penting bagi Jepang. Selain dari segi historis, dimana Jepang pernah menjadi Negara kolonial, juga dari perspektif sejarah bantuan Jepang ke Negara-negara Berkembang. Dalam dokumen bertajuk “History of Japan's Assistance to Developing Countries (1945-1999)”, Mei 1998 saat mundurnya Presiden Soeharto dari kekuasaan, dicatat sebagai salah satu momen dalam sejarah dalam dokumen ini (lihat annex 1). Selain itu, Indonesia juga merupakan Negara penerima Japan’s ODA (Official Development Assistance) terbesar – lihat annex 2, jika dihitung berdasarkan cumulative disbursement [1] <br /><br />Artikel singkat ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis satu momen sejarah penting – yang tidak dimuat dalam dokumen “history of Japan’s Assistance” tersebut: pembangunan dam Kotopanjang di Indonesia.<br /><br />Mengapa penting?<br /><br />Pertama, kasus ini merupakan kasus yang pertama dimana penduduk lokal melakukan gugatan terhadap Pemerintah Jepang dan lembaga donornya, berkaitan dengan tanggungjawab mereka terhadap dampak yang muncul akibat program pembangunan – dalam hal ini pembangunan dam. Pihak yang digugat yakni Pemerintah Jepang, Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Tokyo Electric Power Services Co (TEPSCO).[2] <br /><br /><span class="fullpost">Dalam sebuah seruan aksi bertajuk “Call for Disclosure of the Loan Agreement for Kotopanjang Dam Project” yang dilauching Walhi, dinyatakan bahwa pengadilan kasus dam Kotopanjang merupakan “the first case in history to sue the infamous Japanese Official Development Assistance (ODA) for human rights violation and environmental destruction in the Third World”[3] Penilaian serupa juga sempat dinyatakan the Down to Earth, dimana kasus ini merupakan “the first time the Japanese ODA has been legally challenged by people adversely affected by projects it has funded”.[4] Sementara seorang kolumnis Kiroku Hanai menyatakan kasus ini merupakan “the first lawsuit filed by foreign nationals holding the Japanese government responsible for ODA-related problems”.[5]<br /><br />Kedua, kasus ini memberikan deskripsi penting untuk disandingkan dengan deskripsi keberhasilan-keberhasilan ODA yang dimuat dalam laporan-laporan tahunan Pemerintah Jepang. Ambil contoh Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation tahun 1997. Dalam dokumen ini dinyatakan beberapa keberhasilan proyek di Indonesia, antara lain, sebagai berikut:<br /><br />“Generally, project identification and formulation have been performed appropriately. In terms of their social impact and economic importance, all the evaluated projects were on the whole considered to deserve high priority and to be well-matched to the development needs of their recipient country. On top of that, they were credited for contributing to recipient social and economic activities. The environmental impact is another factor that should be given ample consideration when exploring or implementing infrastructure projects. Of all the projects evaluated this year, none were given negative effects in this respect. Moreover, the evaluation findings suggested that donors and recipients alike have been devoting enough attention to the environmental impact. This was illustrated by the environmental improvements resulting from the Lower Jenebang River Urgent Flood Control Project in Indonesia…” [6]<br /><br />Ketiga, prinsip-prinsip yang ada dalam UU domestik di Indonesia yakni UU tentang Lingkungan Hidup telah ini menjadi inspirasi bagi upaya penemuan hukum positif sejenis, yang berlaku di Jepang.[7] Karena di Jepang tidak mengadopsi mekanisme gugatan class action, maka gugatan yang diajukan berdasarkan surat kuasa tertulis masing-masing warga yang menjadi korban pembangunan.[8] <br /><br />Keempat, adanya dukungan dan solidaritas lintas Negara. Dukungan atas gugatan ini tidak hanya berasal dari masyarakat sipil Indonesia, tetapi juga di Jepang, seperti dukungan seorang Guru Besar bidang hukum Universitas Nasional Niigata, Jepang.[9] Penduduk di Jepang pun pada dasarnya juga telah menjadi korban, merasa tertipu, karena dana publiknya dipergunakan untuk sebuah proyek yang merusak lingkungan di Indonesia. Sebuah organisasi masyarakat Jepang “Komite Pendukung Rakyat Korban Dam Kotopanjang” (The Japanese Committee Supporting the Victims of Kotopanjang Dam), terbentuk dan dideklarasikan pada 7 Desember 2001, untuk mendukung gugatan ini, dipimpin Koyama, seorang pegawai negeri di Osaka. [10] <br /><br />Kelima, kasus ini mengeksaminasi prosedur judicial remedies yang disediakan badan peradilan bagi para korban kejahatan hak asasi manusia.<br /><br />Kelima, kasus memberikan kontribusi kepada perubahan kebijakan dan reformasi prosedur ODA. Dalam ODA white paper 2002, bab tentang Reformasi ODA, sudah dirumuskan 15 tujuan spesifik untuk memperbaiki mekanisme ini. Namun, komentator menyatakan saat ini belum terjadi perubahan drastis yang diambil Pemerintah Jepang.[11] Tentu saja kasus dam Kotopanjang menjadi bahan masukan berharga bagi Pemerintah Jepang dalam mereformasi prosedur dan pelaksanaan ODA.<br /><br /><br />A. Dam Kotopanjang: Duduk Perkara hingga Gugatan di Pengadilan Distrik Tokyo<br /><br />Proses pembangunan dam<br /><br />Proses pembangunan dam Kotopanjang, tahap perencanaan, sudah dimulai sejak 1979. Pembangunan fisik proyek dimulai pada 1991. Dam selesai dan diresmikan pada 28 Februari 1997. Kemudian mulai digenangi air pada Februari 1998. <br /><br />Awalnya, PT PLN sebagai pengusul proyek mengajukan proposal pembangunan dam untuk PLTA skala kecil, dengan memanfaatkan potensi Sungai Batang Mahat. Problem muncul, ketika TEPSCO (Tokyo Electric Power Service Co. Ltd.), pelaku project finding dan pihak pelaksana proyek malah mengajukan proposal untuk pembangunan dam skala besar, untuk proyek mencapai skala besar[12] Proposal TEPSCO inilah yang diterima oleh ODA. Menurut Iman Masfardi, pihak ODA (seharusnya) hanya berhak membiayai proyek sesuai dengan usulan Pemerintah yang meminta pinjaman, bukan sebaliknya malah menyetujui proposal pihak TEPSCO.[13]<br /><br />Proses pembangunan ini sendiri tidak melibatkan partisipasi publik, kontrol masyarakat terhadap proyek ini ditutup, dengan akibat munculnya dugaan praktik-praktik korupsi. Rezim Soeharto dan pihak pelaksana proyek telah menjalin hubungan mutualisma. Tidak seorang pun politisi Jepang yang menyesal telah memberikan bantuan kepada rezim Soeharto.[14] Dalam ODA white paper yang disusun Kementrian Luar Negeri Jepang, bahkan tidak menyinggung kasus gugatan dam Kotopanjang. [15] Proyek ini juga bisa dikaitkan dengan meningkatnya kritik terhadap pembangunan dam di Jepang sendiri, sehingga, seperti diungkapkan Joan Carling, aktivis NGOs Network Rivers Watch East and Southeast Asia, korporasi pembangun dam dinegeri ini, mencari pasar diluar Jepang untuk mempertahankan operasi dan keuntungannya.[16] Beberapa proyek pembangunan dam di Indonesia yang difasilitasi ODA, sebagai berikut:<br /><br />Hingga saat ini dokumen penting seperti Yen Loan Agreement yang ditandatangani JBIC dan Pemerintah Indonesia serta dokumen Detailed Design (D/D) yang disusun TEPSCO tidak dapat diakses publik. Seorang penulis Jepang, Takashi Itoh memaparkan Loan Agreement ini memuat 3 persyaratan pinjaman mencakup isu: ‘resident’s agreement on eviction’; ‘residents’ agreement on terms and conditions of compensation’ dan ‘proper consideration to environmental protection including Sumatran elepanths’.[17] Pada dasarnya agreement ini memuat prasyarat perlindungan masyarakat yang terkena dampak pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup. Saat tulisan ini ditulis, tengah dilakukan kampanye internasional untuk meminta pembukaan dokumen ini.[18] <br />Profil dam<br /><br />Proyek ini kemudian dibangun dengan memotong aliran Sungai Kampar Kanan dan Sungai Batang Mahat. Dam menggenangi areal seluas 124 kilometer persegi dengan tujuan untuk menghasilkan kapasitas listrik sejumlah 114 Mega Watts. [19] Setelah selesai, ternyata PLTA ini hanya mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 30 Mega Watts.[20] Bahkan seorang komentator menyatakan tenaga listrik yang dihasilkan hanya mencapai 117 Mega Watts.[21]<br /><br />Proyek dibiayai dengan utang 31,177 miliar yen dari Overseas Economic Development Fund (OECF) Jepang, dengan mekanisme ODA – dilaksanakan oleh JBIC yang kini sudah digabung dengan OECF dan Bank Exim Jepang. [22] <br /><br />Akibat pembangunan dam<br /><br />Akibat perubahan tersebut, terjadi kejahatan hak asasi manusia: tidak kurang dari 24 ribu jiwa dari 12 desa di Sumbar (10 desa) dan Riau (2 desa) dipindahkan secara paksa (forced resettlement). [23] Selain itu, pembangunan dam ini telah menyebabkan satwa langka berkurang dan habitat aslinya – seperti harimau Sumatera; gajah Sumatera, tapir, beruang madu Melayu, kera siamang, rusa dan kijang.[24] Salah seorang aktivis Walhi, Nur Hidayati mencontohkan satwa gajah dipindahkan ke daerah yang sama sekali tidak cocok untuk gajah, sehingga jumlahnya kian berkurang.[25] Selain itu, Nur menyatakan, hutan lindung diwilayah sekitar telah dibabat habis, kemudian diubah peruntukkannya menjadi area dam dan perkebunan kelapa sawit.<br /><br />Menarik jika statement aktivis Walhi tersebut di persandingkan dengan kebijakan Pemerintah Jepang yang memperhatikan masalah kehutanan. Selama periode 1995 – 2002, tercatat Pemerintah Jepang bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia di sektor kehutanan. Banyak program yang telah dilaksanakan, oleh JICA, JBIC, MoFA (Ministry of Foreign Affairs), maupun lewat pinjaman ODA, seperti dalam tabel dibawah ini. Tercatat dalam periode ini, JICA telah melakukan sebuah development study di wilayah aliran sungai Kampar-Indragiri. Perlu dilakukan penelitian tentang hasil survey dan perencanaan yang dilakukan JICA ini: apakah juga studi ini menjawab problem rusaknya hutan lindung dan berkurangnya jumlah satwa Gajah.<br /><br />Aktivis lingkungan, seperti Chairil Syah, Iman Masfardi dan Longgena Ginting, lebih jauh menilai, problem yang muncul akibat pembangunan dam ini meliputi pencerabutan masyarakat Kotopanjang dari akar budayanya dan masalah perusakan lingkungan.[26] Sebagai tambahan anggota Tim Investigasi Kantor Bantuan Hukum Riau, Ahmad Zajali, mengatakan, proyek PLTA Kotopanjang telah menenggelamkan lahan pertanian, perkebunan karet, dan sawah milik masyarakat. [27] Tidak kurang dari 12.400 hektar lahan pertanian. [28] <br /><br />Perihal Korban dan Kejahatan HAM<br /><br />Proyek pembangunan ini telah menyebabkan penurunan tingkat kualitas hidup masyarakat. Iswadi (30 tahun), seorang warga, korban pembangunan dam Kotopanjang berpendapat bahwa Pemerintah Jepang sedang membunuh mereka secara perlahan-lahan. [29] Menurutnya, masyarakat dipaksa pindah ke lahan yang kering dan merasakan hidup seperti di kamp pengungsi. [30] Lokasi pemindahan penduduk pun gersang.[31] Ditempat yang baru, penduduk kekurangan air bersih dan tidak punya akses terhadap listik. Banyak penduduk korban yang menjadi buruh kayu, padahal sebelumnya mereka bermata pencaharian sebagai petani. Chairil Syah menyatakan, kehidupan masyarakat malah lebih buruk, banyak penduduk terpaksa menganggur akibat kebun karet yang dijanjikan belum juga siap.[32]<br /><br />Sementara Abdullah Salim (30 tahun) didepan Pengadilan Tokyo menyatakan sebelum pemindahan paksa terjadi, kelurganya hidup sederhana namun menyenangkan. Dirinya memiliki rumah, lahan pertanian dan perkebunan , akses terhadap sungai yang bersih serta dapat membiayai keperluan hidup keluarga termasuk kebutuhan pendidikan anak-anaknya.[33] Saat ini kondisi warga memperhatinkan, seperti diungkapkan Atsushi Saito, banyak anak-anak yang tidak dapat bersekolah.[34] Masalah lain kemudian muncul, seperti dikemukakan Romanila, seorang warga korban, daerah kering menyebabkan konflik horizontal antar sesama warga memperebutkan akses air bersih.[35] Atsushi Saito, seorang warga Jepang pendukung korban dam, menyatakan bahwa dibutuhkan waktu 4 jam agar penduduk sampai ke sumber air bersih.[36]<br /><br />Selanjutnya, Iman Masfardi menyatakan, sekitar 4.000 kepala keluarga, korban pembangunan dam, tidak pernah memperoleh ganti kerugian yang layak. Pendapat serupa dikemukakan Zajali, yang juga aktivis NGO Jikalahari. Zajali menyatakan, warga pernah dinjanjikan mendapat kebun karet seluar 2 hektar per Kepala Keluarga. [37] Menariknya, ganti kerugian ini tidak pernah diselesaikan pihak Pemerintah lokal. Zalzali mencontohkan, sejak Saleh Djasit masih mejabat Bupati Kampar hingga menjabat Gubernur Riau, masyarakat korban di Riau belum mendapat penyelesaian ganti kerugian yang layak. [38] <br /><br />Argumen ketiadaan ganti kerugian yang layak, juga dikemukakan Fumio Asano, pengacara Jepang yang menjadi kuasa hukum korban.[39] Para korban proyek, hanya diberikan uang Rp 30 atau sekitar USD 1,5 sen per meter lahan kepunyaan mereka.[40] Sebagai tambahan, Kazu0 Sumi, Professor Hukum Universitas Nasional Niigata bahkan pernah menyatakan, proyek ini telah menyebabkan pederitaan penduduk lokal, sebaliknya hanya memberikan manfaat kepada politisi Jepang, perusahaan konstruksi, birokrat dan pejabat di Indonesia – yang mempunyai hubungan khusus dengan Presiden Soerharto.[41] Sumi juga menegaskan, Pemerintah Jepang telah mengabaikan tanggungjawab merespon protes dari penduduk yang terkena dampak proyek.[42]<br /><br />Chairil Syah, Wakil Sekretaris Yayasan LBH Indonesia pernah menyatakan dalam proses pembangunan dam, warga mengalami terror, intimidasi bahkah menjadi korban penangkapan sewenang-wenang (arbitrary detention), yang dilakukan aparat TNI dari Batalyon Bangkinang. [43] Sebagai contoh, pengakuan Aseem, seorang korban, yang menceritakan pengalamannya sendiri dan penduduk yang diintimidasi dan dipaksa menerima rencana pembangunan dam. Pernah pada saat ada pertemuan penduduk di rumahnya, aparat militer dan pemerintah daerah datang menggerebek dan mengancam untuk menahannya.[44]<br /><br />Kasus dam Kotopanjang tersebut, menunjukkan terjadi kejahatan hak asasi manusia, baik hak ekonomi, sosial dan politik, serta hak sipil dan politik. Secara spesifik, hak-hak penduduk yang dilanggar, tetapi tidak terbatas pada pelanggaran hak-hak sebagai berikut:<br />- hak atas kehidupan yang layak;<br />- hak atas tidak boleh digusur paksa;<br />- hak atas pendidikan, terutama bagi anak-anak;<br />- hak atas kesehatan serta hak atas sumber daya air yang bersih;<br />- hak atas ganti kerugian yang memadai;<br />- hak bebas dari penyiksaan serta penangkapan sewenang-wenang.<br /><br />Perihal gugatan<br /><br />Gugatan dajukan oleh masyarakat korban, sejumlah tidak kurang dari 3.861 warga – dari total warga sejumlah 23.000 - untuk kerugian yang dialami mereka.[45] Gugatan juga diajukan oleh Walhi atas kasus kerusakan lingkungan. Masyarakat korban menuntut reparasi, termasuk kompensasi sebesar 19.3 juta Yen atau USD 163 juta. [46] Selain itu warga dan Walhi meminta tergugat – Pemerintah Jepang dan TEPSCO – untuk merehabilitasi fungsi lingkungan yang rusak serta turut mencarikan solusi atas penurunan jumlah hewan langka akibat pemindahan habitat satwa. [47] Kuasa hukum korban Okumura Shuji dan Shimamura Miki menyatakan, pihak tergugat meliputi Pemerintah Jepang selaku pemberi ODA; TEPSCO dalam kapasitasnya sebagai konsultan; Japan International Cooperation Agency (JICA) sebagai pihak yang melaksanakan studi kelayakan, serta Japan Bank for International Cooperation, sebagai penyandang dana.[48]<br /><br />Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, A. Teguh P. sempat menyatakan bahwa gugatan ini membeberkan bukti-bukti penyalahgunaan dana ODA yang bersumber dari bantuan utang pemerintah Jepang, yang dihimpun dari pajak dan dana pensiun masyarakat negeri itu yang dipergunakan untuk pembiayaan proyek-proyek di negara berkembang.[49] Didepan sidang pemeriksaan Pengadilan Tokyo, Iswadi, seorang warga korban menyatakan dirinya ingin agar warga Jepang tahu bahwa uang pajak mereka digunakan untuk membuat penduduk seperti dirinya menderita dibanyak negara.[50] <br /><br />Proses persidangan<br /><br />Sidang pertama gugatan masyarakat korban dam Kotopanjang dan Walhi dilakukan pada 3 Juli 2003. Gugatan ini diwakili 3 pengacara Jepang, yakni Oguci Akihiko Oguci Akihiko, Furukawa Yosimi, dan Asano Fumio. Dalam sidang pertama, acara pemeriksaan sempat tertunda sekitar 45 menit karena Hakim Takashi Saito meminta pengunjung sidang dari Indonesia termasuk petani mengenakan baju kaos anti-bantuan luar negeri dengan tulisan “No More ODA” dan bertuliskan “Let’s unite and resist oppression”.[51] Setelah negosiasi dilangsungkan, para pengunjung yang memakai kaos ini diminta untuk duduk dibagian belakang pengadilan.[52] <br /><br />Pertama, Majelis hakim membebaskan kewajiban para penggugat untuk membayar bea perkara. Keputusan ini ditetapkan pada sidang ke-5 Desember 2003.[53] Awalnya, dalam sidang ke-2 pada 9 Oktober 2003, hakim pengadilan meminta masing-masing penggugat membayar Rp 3,5 juta – jika dijumlahkan maka total mencapai Rp 7,7 miliar karena penggugat berjumlah 8.396 warga. Biaya ini kemudian dibebankan ke Walhi sebagai Kuasa Penggugat, karena hakim menilai para penggugat/korban merupakan masyarakat miskin.[54] Kuasa hukum para penggugat kemudian mengajukan permohonan pembebasan bea perkara dalam sidang ke-4 pada 13 November 2003, dengan alasan Walhi, sebagai kuasa dalam gugatan, merupakan organisasi Nirlaba. <br /><br />Dalam persidangan ke-2 pada 11 September 2003, seperti dinyatakan Rully Sumanda, Direktur Eksekutif WALHI Riau, pihak Kuasa Hukum Fumio Asano memaparkan kerugian sosial yang diderita masyarakat korban.[55] Sebagai ilustrasi, sebelum desa Tanjung Pau ditenggelamkan menjadi area reservoir, masyarakat didesa ini secara regular merayakan upacara pemandian bayi yang usianya menginjak 2 bulan.[56] Upacara ini dinamakan ‘turun mandi’: setiap keluarga memandikan bayi di Sungai Mahat, dengan tujuan memberikan perlindungan dan membawanya ke publik untuk pertama kali.<br /><br />Akibat kerugian yang dialami, korban menuntut repasasi dalam bentuk kompensasi sebesar USD167 juta. Menurut Rully, Walhi sedang melakukan penelitian mengenai kerugian materil perusakan lingkungan akibat pembangunan dam ini. [57] Sidang ke-3 dilaksanakan pada 9 Oktober 2003, dilaksanakan dengan mendengarkan paparan penggugat tentang kerugian lingkungan hidup [58]<br /><br />Dam Kotopanjang: Kontradiksi Antagonis terhadap Kebijakan Internal ODA<br /><br />Kasus ODA jelas merefleksikan kontradiksi antagonis terhadap tujuan Pemerintah Jepang menyediakan asistensi ini – lihat annex 3. Dalam website Pemerintah Jepang, dinyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan fundamental mengapa ODA dilaksanakan, sebagai berikut:<br /><br />“Many people in the developing world today still suffer from conditions of malnutrition and extreme poverty. From a humanitarian vantage point, the international community cannot ignore their plight. <br /><br />Environmental problems, population pressures, and food shortages count as challenges for all humankind. It accordingly seems imperative that the industrialized and developing worlds work together to address them. Moreover, as a major industrial nation, Japan should assume a leadership role in that drive. <br /><br />Providing aid to the developing world and working on global issues can be expected to earn Japan's better ties with other countries, particularly in the developing world, bolster its stature in the eyes of the international community, and contribute to broader global understanding of and support for Japan and its people. Furthermore, ODA plays a very significant role in ensuring Japan's own stability and prosperity by promoting Japan's best interests including the maintenance of peace. <br /><br />In a world that has been brought closer together by trends in trade and investment, and as a country heavily dependent on the rest of the world--and particularly many developing countries--for its own supplies of resources, energy, and food, Japan stands to gain in economic terms by utilizing aid to promote economic progress throughout the developing world.”[59]<br /><br /><br />Selanjutnya, kasus dam Kotopanjang juga melanggar Japan’s ODA Charter, yang menyatakan:<br /><br />“Many people are still suffering from famine and poverty in the developing countries, which constitute a great majority among countries in the world. From a humanitarian viewpoint, the international community can ill afford to ignore this fact.<br /><br />The world is now striving to build a society where freedom, human rights, democracy and other values are ensured in peace and prosperity…<br /><br />Environmental conservation is also a task for all humankind, which all countries, developed and developing alike, must work together to tackle…”[60]<br /><br />Dalam Japan’s ODA Charter, terdapat 4 prinsip yang mesti dipenuhi – yang juga dilanggar, sebagai berikut, terutama prinsip ke-1 dan ke-4, sebagai berikut: “(e)nvironmental conservation and development should be pursued in tandem, dan; (f) ull attention should be paid to efforts for promoting democratization and introduction of a market-oriented economy, and the situation regarding the securing of basic human rights and freedoms in the recipient country.”[61] Piagam ini dirumuskan melalui resolusi Kabinet Jepang pada 1992, memuat ketentuan dan pedoman tentang prinsip-prinsip, kebijakan dan prioritas ODA, dan juga menjadi sebuah “a vital role in clarifying the country's basic philosophy and guidelines for ODA.”[62]<br /><br />Pada tahun 1997, Kementerian Luar Negeri Jepang mengeluarkan dokumen Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation. Dokumen ini memuat laporan MoFA yang melaksanakan evaluasi keseluruhan terhadap ODA untuk Indonesia. Tim Survey yang diketuai Hideo Monden, advisor pada the International Development Center of Japan dan mantan vice minister for the Management and Coordination Agency, melakukan evaluasi terhadap 4 tema yang menjadi perhatian, yakni (1) penghapusan kemiskinan; (2) perlindungan lingkungan hidup; (3) pembangunan sumber daya manusia dan pendidikan; (4) promosi bantuan dilevel akar rumput. Tim ini menyusun rekomendasi sebagai berikut: <br /><br />“For further improvement, the evaluation team recommended additional measures of implementation frameworks in terms of finding or formulating new projects, linking projects at the local level with the evolvement of broader coverage, and having projects become self-reliant. For example, the experts on long-term assignment could participate in finding and formulating projects.”[63]<br /><br />Sayangnya, tidak disebutkan, rekomendasi terhadap proyek-proyek yang sudah dikerjakan seperti proyek Dam Kotopanjang. Apalagi direkomendasikan untuk memberikan judicial remedies terhadap ribuan penduduk lokal, korban pembangunan dam ini.<br /><br /><br />C. Jepang dan Obligasi Internasional Hak Asasi Manusia<br /><br />Jepang merupakan satu negara yang telah meratifikasi dan menandatangani beberapa main human rights treaties – per 2 November 2003, sebagai berikut: [64]<br />- The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights - ICESCR (21 September 1979); <br />- The International Covenant on Civil and Political Rights - ICCPR (21 September 1979); <br />- The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination – CERD, which signifies accession (14 Januari 1996). <br />- The International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women – CEDAW (25 Juli 1985); <br />- The Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment – CAT, which signifies accession (29 Juli 1999); <br />- The Convention on the Rights of the Child – CRC (22 Mei 1994)<br />- The Optional Protocol to the Convention of the Rights of the Child (CRC-OP-AC) on the involvement of children in armed conflict (10 Mei 2002)<br />- The Optional Protocol to the Convention of the Rights of the Child (CRC-OP-SC) on the sale of children, child prostitution and child pornography (10 Mei 2002)<br /><br /><br />Dengan demikian, Jepang terikat obligasi seperti dimuat dalam treaties diatas. Sebagai contoh, pasal 4 ICESCR, menyatakan: <br /><br />The States Parties to the present Covenant recognize that, in the enjoyment of those rights provided by the State in conformity with the present Covenant, the State may subject such rights only to such limitations as are determined by law only in so far as this may be compatible with the nature of these rights and solely for the purpose of promoting the general welfare in a democratic society.[65]<br /><br /><br />Selanjutnya, dalam Kovenan ini, dijamin hak-hak setiap orang berkaitan dengan jaminan hak setiap orang untuk menikmati standar hidup yang layak, termasuk hak atas ketersediaan pangan, pakaian dan perumahan;[66] hak setiap orang atas standar tertinggi kesehatan fisik dan mental[67]; hak setiap orang untuk mendapat pendidikan, [68]; serta hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya.[69] <br /><br />Berkaitan dengan kejahatan yang dialami para korban dam Kotopanjang berupa intimidasi terror, dan penangkapan sewenang-wenang, Pemerintah Jepang, pada dasarnya patut diduga telah melanggara obligasi untuk menjamin hak-hak sipil dan politik penduduk, seperti dimuat dalam ICCPR.[70] Pasal 7 Kovenan menyatakan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan tindakan kejam lainnya.[71] Selanjutnya, pasal 9 Kovenan menegaskan jaminan setiap orang atas kebebasan dan keamanan individu, sehingga tidak dapat ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang.[72] Sebagai tambahan, pasal 18 Kovenan menjamin kebebasan setiap orang untuk berpendapat dan mengeluarkan pikiran. [73]<br /><br />Baik ICESCR maupun ICCPR telah diratifikasi Jepang sejak 1979 – bertepatan dengan tahap perencanaan pembangunan dam Kotopanjang. Dengan demikian, jaminan-jaminan hak-hak asasi manusia dalam kedua kovenan induk ini, semestinya telah dokumen pedoman bagi Pemerintah Jepang dalam melaksanakan ODA ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Karenanya, sebuah pernyataan seorang diplomat Jepang tidak menunjukkan adanya komitmen untuk memenuhi obligasi Jepang sebagai Negara Pihak Kovenan dan anggota PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang terikat dengan Piagam PBB. Dalam sebuah media dinyatakan, sumber diplomat Jepang meminta pihak Indonesia untuk memberikan kompensasi kepada para penduduk, karena pada dasarnya Indonesia yang gagal memberikan reparasi kepada para korban.[74] Dalam konteks ini sebuah studi menunjukkan pihak donor mempunyai “power” untuk melakukan upaya pencegahan kejahatan HAM dalam proyek-proyek pembangunan, sekaligus memberikan “teguran” kepada pemerintah yang diberi donor agar memberikan perlindungan terhadap warga negaranya.[75]<br /><br /><br />Penutup<br /><br />Pemerintah Jepang, tidak dipungkiri telah mengupayakan berbagai reformasi terhadap ODA. Sejumlah kebijakan telah dirumuskan. Terdapat 15 specific measures untuk mereformasi ODA di 5 area, yakni auditing; evaluation; partnership with Non-Governmental Organizations (NGOs); eksplorasi, fostering dan utilizing sumber daya manusia, serta; information disclosure and public relations, dibawah prinsip “implementing whatever possible”. <br /><br />Dalam konteks kemitraan dengan NGOs, Pemerintah Jepang mengidentifikasi NGOs (Non-Governmental Organizations) sebagai entitas yang mesti diajak bekerjasama dalam dibidang pemberantasan kemiskinan dan problem-problem lainnya yang ada di negara-negara berkembang. Kementerian Luar Negeri Jepang menyatakan terdapat beberapa aspek kemitraan, yakni: aspek “collaboration” atau “the utilization of human resources and know-how of NGOs” dalam implementasi proyek ODA. Selain itu terdapat juga aspek “support” melalui aktivitas ODA yang dilakukan oleh NGOs serta aspek meningkatkan “dialog” dengan NGOs.[76]<br /><br />Pemerintah Jepang menunjuk para intelektual, tokoh dan ahli terkemuka yang dipimpin Dr. Toshio Watanabe, Dekan Fakultas Pembangunan Internasional, Universitas Takushoku dalam the 2nd Consultative Committee on ODA Reform. Komite ini beranggotakan 13 orang:[77] (1) Shinji Asanuma, Professor, Graduate School of International Corporate Strategy, Hitotsubashi University; (2) Mitsuya Araki, President and Chief Editor, The International Development Journal Co. Ltd.; (3) Makoto Iokibe Professor, Faculty of Law, Kobe University; (4) Kiyoko Ikegami Planning and Development Manager, Japanese Organization for International Cooperation in Family Planning; (5) Dr. Hiroya Ichikawa Director, Institute of Comparative Culture / Professor, Faculty of Comparative Culture; (6) Shigeji Ueshima, Chairman and Executive Director, Mitsui Co., Ltd.; (7) Saburo Kawai, Chairman, International Development Centre of Japan (Chair of the Council on ODA Reforms for the 21st Century); (8) Akira Kojima, Director and Editorial Page Editor, Nihon Keizai Shimbun Inc.; (9) Dr. Tomoyuki Kojima, Dean, Faculty of Policy Management, Keio University; (10) Dr. Akihiko Tanaka, Professor, Interfaculty Initiative in Information Studies, Graduate School of the University of Tokyo; (11) Keiko Chino Editorial Writer, Sankei Shimbun Co., Ltd.; (12) Yoshitaka Funato; Chairperson, Japan NGO Centre for International Cooperation (JANIC); (13) Akiko Yuge Professor, Faculty of International Exchange, Ferris Women's University.<br /><br />Melihat uraian tersebut maka, ironis, jika Pemerintah Jepang tidak mau membuka seluruh dokumen yang berkaitan dengan proyek Kotopanjang. Sangat ironis, jika Pemerintah Jepang, tidak mau benar-benar mereformasi ODA: dengan memberikan judicial remedies, termasuk reparasi kepada para korban dam Kotopanjang dan merestorasi dan merehabilitasi seluruh dampak negatif yang ditimbulkan proyek ODA ini. Alangkah baiknya para Consultative Committee on ODA Reform yang mulia dan terhormat memberikan perhatiannya kepada kasus dam Kotopanjang. Semoga!<br /><br /><br />Annex 1<br /><br />- History of Japan's Assistance to Developing Countries (1945-1999)<br />- Events concerning Japanese economic cooperation <br />- World events concerning economic cooperation<br /><br />Annex 2<br />Chart Trends in ODA of Major DAC Countries<br />Sumber: MoFA. April 2003. The 2002 White Paper on Official Development Assistance (ODA). Chapter IV. <br /><br />Annex 3<br />ODA Country Policy toward Major Recipients (1999)<br />Presented below is a country-by-country account of Japan's aid policies toward major recipient countries, based on the achievements of past aid and the results of various policy dialogues.<br /><br /><br />Catatan Belakang:<br /><br />[1] Lihat MoFA doc. Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation. 1997. Lihat http://www.mofa.go.jp/policy/oda/evaluation/1997/index.html <br /><br />[2] Lihat Kompas. 2 Juli 2003. “Masyarakat Kotopanjang dan Walhi Gugat Pemerintah Jepang”; Lihat juga Japanese Committee Supporting the Victims of Kotopanjang Dam. Teks dapat dibaca di http://www2.ttcn.ne.jp/~kotopanjang/ENG00.htm <br /><br />[3] Lihat seruan aksi dalam http://www.foei.org/cyberaction/kotopanjang.html <br /><br />[4] Lihat DTE doc. IFIs Update No. 28, September 2002. Teks dapat dibaca di http://dte.gn.apc.org/Au28.htm <br /><br />[5] Kiroku Hanai. “Fair, transparent foreign aid”. The Japan Times Online. April 28, 2003. Teks dapat dibaca di http://www.japantimes.co.jp/cgi-bin/getarticle.pl5?eo20030428kh.htm <br /><br />[6] MoFA doc. Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation. 1997. “Evaluation Findings in Major Sector.” Op.cit.<br /><br />[7] Lihat Kompas Online. 4 Februari 2004. “Pengadilan Tokyo Bebaskan Walhi Dari Biaya Sidang Kasus "Kotopanjang". Teks dapat dibaca di http://www.kompas.co.id/utama/news/0402/04/011947.htm <br /><br />[8] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003. “Proyek PLTA Kotopanjang. Lingkungan Rusak, Warga Riau Gugat Pemerintah Jepang”. Teks dapat dibaca di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0307/02/ipt01.html <br /><br />[9] Kompas. 8 Oktober 2003. “3.861 Korban Kotopanjang Gugat Pemerintah Jepang” <br /><br />[10] Sinar Harapan Online. Op.cit.. Tentang Komite tersebut lihat http://www2.ttcn.ne.jp/~kotopanjang/ENG00.htm <br /><br />[11] Lihat Kiroku Hanai. Op.cit. <br /><br />[12] Lihat Kompas. 2 Juli 2003.<br /><br />[13] Ibid. <br /><br />[14] Kiroku Hanai. Op.cit. <br /><br />[15] Lihat Ibid. <br /><br />[16] Dikutip dari Amanda Suutari. “ODA in the dock over a dam. Sumatran villagers claim 5 million yen damages each”. Japan Times. August 14, 2003. <br /><br />[17] Lihat Seruan Aksi pada http://www.foei.org/cyberaction/kotopanjang.html <br /><br />[18] Ibid. lihat juga artikel Down to Earth. “Kotopanjang campaign”. Teks dapat dibaca di http://dte.gn.apc.org/60BRF.htm inter alia IFIs Update. <br /><br />[19] Lihat Kompas. 2 Juli 2003. Op.cit. Lihat juga Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003 <br /><br />[20] Lihat Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003. <br /><br />[21] Kiroku Hanai. Op.cit. <br /><br />[22] Lihat Kompas. 2 Juli 2003.<br /><br />[23] Detikcom. 3 Juli 2003. “Masyarakat Riau-Sumbar dan Gajah Gugat Pemerintah Jepang”. Teks dapat dibaca di http://www.detik.com/peristiwa/2003/07/03/20030703-160425.shtml <br /><br />[24] Lihat Kompas. 2 Juli 2003; Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003; Japan Times. 29 Maret 2003. “Sumatra plaintiffs reach 8,400 in suit over ODA-funded dam”; Japan Times. May 29, 2002. “Sumatrans seek relocation compensation. Villagers to sue Japan over unfulfilled promises from ODA dam project.” <br /><br />[25] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003. <br /><br />[26] Lihat Kompas. 2 Juli 2003. <br /><br />[27] Kompas. 8 Oktober 2003. <br /><br />[28] The Jakarta Post. July 04, 2003. “Indonesians' suit over Tokyo-funded dam gets off to stormy start”.<br /><br />[29] Pernyataan ini diungkapkan pada pemeriksaan pertama di Pengadilan Tokyo pada 3 Juli 2002. Dikutip dari Agen Berita Kyodo dan Japan Times pada 3 Juli 2003, dan dimuat juga dalam Ibid. <br /><br />[30] Dikutip dari Agen Berita Kyodo, seperti dimuat dalam Ibid.<br /><br />[31] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003. <br /><br />[32] Lihat Media Indonesia. 3 September 2003. “Korban Pembangunan Waduk”.<br /><br />[33] Lihat Yumi Wijers-Hasegawa. “Sumatra islander tells court how aid project destroyed lives”. Japan Times. July 4, 2003.<br /><br />[34] Japan Times. March 27, 2003. “More Indonesians to sue Japan over aid-funded dam”.<br /><br />[35] Lihat Amanda Suutari. Op.cit. <br /><br />[36] Japan Times. March 27, 2003. <br /><br />[37] Detikcom. 3 Juli 2003.<br /><br />[38] Ibid.<br /><br />[39] DTE doc. IFIs Update.<br /><br />[40] Ibid.<br /><br />[41] Ibid. ; Yumi Wijers-Hasegawa. Op.cit.<br /><br />[42] Yumi Wijers-Hasegawa. Ibid.<br /><br />[43] Sinar Harapan Online. Op.cit;; DTE doc. IFIs Update. <br /><br />[44] Lihat Amanda Suutari. Op,cit. <br /><br />[45] Lihat The Jakarta Post. July 4, 2003.<br /><br />[46] Ibid.<br /><br />[47] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2004. “Proyek PLTA Kotopanjang. Lingkungan Rusak, Warga Riau Gugat Pemerintah Jepang”. Teks dapat dibaca di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0307/02/ipt01.html <br /><br />[48] Lihat Media Indonesia. 3 September 2003. “Korban Pembangunan Waduk”.<br /><br />[49] Kompas. Online. 4 Februari 2004. “Pengadilan Tokyo Bebaskan Walhi Dari Biaya Sidang Kasus "Kotopanjang". Teks dapat dibaca di http://www.kompas.co.id/utama/news/0402/04/011947.htm; lihat juga Gatra Online. 31 Oktober 2003. “Kasus PLTA Kotopanjang. Walhi Dibebani Biaya Perkara Rp 7,7 M”. Teks dapat dibaca di http://www.gatra.com/2003-10-31/artikel.php?id=31970 <br /><br />[50] Lihat Yumi Wijers-Hasegawa. Op.cit..<br /><br />[51] Lihat The Jakarta Post. July 04, 2003; Yumi Wijers-Hasegawa. Ibid.<br /><br />[52] Lihat The Jakarta Post. Ibid. <br /><br />[53] Kompas Online. 4 Februari 2004.; Gatra Online. 31 Oktober 2003.<br /><br />[54] Gatra Online.Ibid. <br /><br />[55] Kompas. 8 Oktober 2003. “3.861 Korban Kotopanjang Gugat Pemerintah Jepang”. <br /><br />[56] Lihat Amanda Suutari. Op.cit. <br /><br />[57] Kompas. 08 Oktober 2003.<br /><br />[58] Ibid. <br /><br />[59] MoFA doc. Japan’s Official Development Assistance. Annual Report 1999. Teks dapat dibaca di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/note/loan-3.html<br /><br />[60] ODA doc. Cabinet Decisions. June 30, 1992. Teks Dapat dibaca di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/summary/1999/ref1.html Versi revisi ODA Charter diadopsi pada Agustus 2003. Teks dapat dibaca di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/revision0308.pdf <br /><br />[61] ODA doc. Cabinet Decisions. June 30, 1992. <br /><br />[62] Lihat MoFA doc. January 1998. Council on ODA Reforms for the 21st Century Final Report. Teks dapat dibaca di: http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/report21.html#13 <br /><br />[63] MoFA doc. Annual Evaluation Report on Japan’s Economic, Cooperation. “Summary of Evaluation Finding”. 1997. Lihat http://www.mofa.go.jp/policy/oda/evaluation/1997/index.html <br /><br />[64] UN doc. Office of the UN High Commissioner for Human Rights. Status of Ratification of the Principal International Human Rights Treaties. As of 02 November 2003. <br /><br />[65] UN doc. ICESCR. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27. Secara spesifik larangan terhadap pemindahan paksa (forced eviction) dijabarkan dalam General Comment yang diadopsi Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) Lihat UN Doc. E/C.12/2000/4, 11 August 2000. CESCR. Sixteenth session, 20 May 1997. General comment 7.The right to adequate housing (art. 11.1 of the Covenant): forced evictions.<br /><br />[66] UN doc. ICESCR. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27., art. 11 (1). Lihat juga UN Doc. CESCR. Twenty-second session, 25 April-12 May 2000. General Comment No. 14. The right to the highest attainable standard of health. (article 12 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).<br /><br />[67] UN doc. ICCPR. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27., art. 12 (1). Lihat juga UN Doc. E/C.12/1999/10, 8 December 1999. CESCR.Twenty-first session, 15 November-3 December 1999. General Comment No. 13. The right to education. (Article 13 of the Covenant)<br /><br />[68] UN doc. ICESCR., art. 13 (1).<br /><br />[69] UN doc. CCPR. 1982. General Comment No. 8. The Right to liberty and security of the person (art. 9).<br /><br />[70] International Covenant on Civil and Political Rights. <br /><br />[71] Lihat UN doc. CCPR. 1982. General Comment No. 7. The prohibition of torture or to cruel, inhuman or degrading treatment of punishment (art. 7).<br /><br />[72] Lihat UN Doc. CCPR. 1982. General Comment No. 8. The Right to liberty and security of the person (art. 9).<br /><br />[73] Lihat UN Doc. CCPR. 1982. General Comment No. 22. The freedom of thought, conscience and religion (art. 18).<br /><br />[74] Lihat Japan Times. 29 Mei 2002. “Compensate evictees from Japan-funded dam, Jakarta told”<br /><br />[75] Lihat A. Patra M. Zen “A Critical Contextual Human Rights Analysis of Kedung Ombo Larg Dam Project in Indonesia.” Dissertation for LL.M in International Human Rights Law. University of Essex (UK). Tidak diterbitkan., hal. 45, 59<br /><br />[76] Lihat MoFA doc. “Japan’s Foreign Policy in Major Diplomatic Fields.”<br /><br />[77] MoFA doc. List of Members of the 2nd Consultative Committee on ODA Reform. As of 29 March 2002. Lihat: http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/index.html</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-44783764445791792032007-04-30T22:13:00.001+07:002008-10-05T01:15:02.671+07:00ASEM and Peace Movement in Indonesia: Some IssuesPreface<br /><br />Peace movement has long existed in Indonesia and continued to grow amidst the complexities of economic, social and political problems, which was inherited by the New Order regime. The emergence of peace movement might be considered as the initiatives of civilian community element in response to the violence problems occurred at domestic and international levels. <br /><br />Some instances of peace movement here include students’ movement, ‘baku bae’ movement (local terminology representing way to resolve communal conflict in eastern regions of Indonesia), movement of caring mother’s voice, movements protesting America’s aggression policies against Iraq and opposing Israel’s state terrorism against Palestinians. On the other side, the Legal Aid Institution (LBH) has so far continued to encourage peace movement by facilitating public gathering and staging rallies together with poor societies who become the clients of LBH.<br /><br />The attempts to encourage peace movement have by all means sparked criticisms. They criticized the peace movement for failing to achieve maximum output due to the fact that the movement here did not involve political movement to take hold of formal political power of the state institution. For instance, the refutation of the U.S. aggressive policies would be meaningful in formal politics and diplomatic ties when the refutation statement was addressed by President Megawati Soekarnoputri. It would be different if hundreds statements on such issue were addressed by a hundred activists of peace movement in Indonesia.<br /><br /><span class="fullpost">Those critiques surely are only one part of the major themes to discus in this forum. However, the ultimate point here is that exchanging knowledge and experience as well as building globally a joint movement will be advantageous to achieve the objectives. Cooperation among the peace movement activists across from Asia and Europe become crucial due partly to two reasons. First, many Asian countries have historical ties with European countries. Indonesia, for instance, has historical bond with Portuguese, England, and the Netherlands.<br /><br />Second, from international relationship point of view, Asian countries have a lot of interests including economic and political ones with European countries and vice versa. Chris Patten, British government representative who became Hong Kong Governor (1992-1997) and now is the incumbent chairman for foreign affairs commission of the European Union, once said, “Asia should stay close and be the main agenda of Europe.”2 Patten even added more as saying that Europe was not simply the Asia’s major business partner but also co-worker in its efforts to combat terrorism, organized crimes, and drugs trafficking3. Besides, European Union also becomes the countries lending remarkable loan to Asian countries. <br /><br />The article here employs quantitative analysis method to elaborate some points below:<br /><br />First, the article will attempt to scrutinize whether or not the peace movement approaches and practices in Indonesia have similarities or even significant differences in response to multifarious issues both at domestic and international levels. <br /><br />Second, based on the analysis of some issues on peace and security, the writer call the forum to formulate them into recommendations dealing particularly with the ASEM agenda. <br /><br />Despite the fact that initiatives of peace movement come out in many places in Indonesia, the article certainly puts up with limitations, particularly on the description of peace movement here as some were merely taken from the media coverage. Of course, there are many other instances left unexposed by media and unwritten in English due to some reasons and constraints. <br /><br /><br />A. Peace Movement: Indonesia is an example<br /><br />Organizations of women, farmer and other groups might lead the initiative emergence of peace movement. Heffermehl, a writer on peace movement history, stated that the history of ‘peace’ that left unpublished did mean to cease to exist4. The movement came out from initiatives of multi interests, position and groups5. Peace movement in daily life is commonly comprehended as non-violent movement aiming to end war and minimize violence among humans that is done through pacifism, any sort of diplomacy, boycott and moral protests. <br /><br />Peace movement in Indonesia is many often identified as peaceful programs and actions without violent behavior and staged by groups in community. The movement here could be identified in parallel or opposing way based on the responded issues and or the mob staging the rallies in response to certain issues. Due to the limitation above, the writer presented in brief some examples of peace movement in Indonesia through the article.<br /><br />Peace movement led by women organization might be deemed the most progressive movement in the history of peace in Indonesia. Some instances include: the Sedar Women Movement (GERWIS) founded on June 4, 1956 once focused its work on the peace struggle program in the early of Indonesian independence, and the movement was then changed into the Indonesian Women Movement (Gerwani) in 1954.6 ; ‘Caring Mother’s Voice’ was also deemed the trigger of peace movement following its rallies at the Hotel Indonesia circle compound in Jakarta on February 23, 1998.7 This decade another mass organization comes out, namely the Indonesian Women Coalition for Democracy and Justice (KPI). The organization here is derived from 15 sectors including tribal community, professionals and academic practitioners, domestic housewives, urban and rural poor community, farmer and fisherman community, which represents students, old women and the disabled people, informal business sectors up through lesbian and trans gender groups. 8 <br /><br />Utilizing structural legal aid approaches, LBH tries to promote peaceful approaches and legal formal procedures to settle down structural conflicts. Moreover, LBH employs peaceful approaches to respond to repressive violence and terror against lawyers and LBH activists committed by the state apparatus and civilian militias. At further level, many LBH activists and lawyers promote approaches through dialogue and mediation to resolve problems. <br /><br />Another example of peace movement responding the prolonged communal conflict in Indonesia could be observed in a so-called “Baku Bae” movement in which the opposing parties tried to resolve the communal conflict at Maluku islands. In addition, students either many often lead the peace movement in responses to the policies of the ruling government.<br /><br />As of the aspect of issue on the American military aggression against Iraq and state terrorism against the Palestinians, the political stances of the Indonesian government and parliament in a way are not so much different from the Indonesian civilians’ stances9. As the largest Muslim country in the world, it is not quite surprising to note the fact that the government does not want to put at risk by taking different stances as those of the peace movement opposing the militaristic violence committed by the U.S. and Israel. Opposing the public sentiment here would only jeopardize the domestic political power. On the hearing with the Parliament, Foreign Minister Hassan Wirajuda asserted that the Republic of Indonesia opposed any kind of one-sided action, as it was the case of the United States of America (USA) against Iraq and Israel’s aggression against the Palestinians10. According to Wirajuda, RI government gives its support to collective measures through the United Nations Organization.<br /><br />The U.S. military aggression against Iraq invoked one of the largest protests on March 31, 2003. At the time, at least one million protesters thronged the major thoroughfares at Jalan Sudirman up through to Jalan Merdeka Selatan in Jakarta. The demonstration was led by the Indonesian Committee for Iraqis Solidarity11. On the other side, the state terrorism resorted by Israel against the Palestinians has also many times sparked public protests. Following the death of Asyshahid Syekh Ahmed Yassen, the Palestine’s HAMAS spiritual leader, mass organizations spontaneously staged rallies to protest the aggression12. <br /><br />Meanwhile, the Indonesian government and parliament showed its political stances by their political statements and actions. The Indonesian parliament took part actively in the IPU summit in Mexico City on April 20, 2004. On this summit, the Indonesian parliament had roles and endorsed the adoption of resolution on sanction given to the Israeli government concerning with its boundary marker development to separate it from Palestine. At domestic level, the House of Representatives’ Commission I even condemned the coercive policies of the Israeli government that had caused the death of Palestinian leaders13. The Indonesian government, on the other hand, approved the legal stance of the International Court in Den Haag on July 9, 2004 declaring the Israeli’s development of boundary marker illegal action14. <br /><br /><br />B. ASEM and the Indonesian Government<br /><br />Some cases worthy to discuss further and to resolve include:<br /><br />a. Military Junta in Burma <br /><br />In the context of ASEM, it would be better for the peace movement activists to support the oppression against the Burmese ruling SLORC regime. The European Union in a way takes strong stance in response to the Myanmar proposition to join the ASEM. According to Patten, in addition to arsenal embargo, Myanmar should also bear a number of sanctions including travel ban issued by Europe and letting the Myanmar financial assets prone to military junta’s misuse frozen. However, Patten in a seminar in Jakarta recently declined the statement that the European Union had oppressed ASEAN in such a way to ban the participation of Myanmar in the upcoming ASEM in Hanoi, Vietnam15. Meanwhile chief of the European Union’s Foreign Affairs Policy Javier Solana said that he did not at all impressed with the statements of the ASEAN Foreign Ministers issued by the end of the 37th annual summit. The statement concerning with Myanmar was deemed too moderate.16 <br /><br />ASEM has so far yet to accept three ASEAN countries, Myanmar, Cambodia and Laos, to join in. The European Union would only accept Cambodia and Laos but not Myanmar17. On the other hand, Japan, China and South Korea argued that all the three countries here should be accepted by ASEM as one package. The Asian countries either addressed argument that they would accept 13 countries registering themselves as members of the European Union when they were officially acknowledged to be members18. The ASEAN leaders on the Conference Summit in Singapore in 2000 obviously took strong stance requiring that Myanmar, Laos and Cambodia should be acknowledged together at the same time unconditionally19.<br /><br />It was interesting to note the Indonesian Foreign Ministry’s speaker, Marty Natalegawa. He once expressed a statement dealing with the European Union’s stance to refute Myanmar in the ASEM20. Marty said that the European Union should have accepted the three ASEAN countries as it would be the case with its<br /><br />intention to accept 10 new countries in ASEM. For the reason, as to Marty, the European Union’s negative response to Myanmar was not acceptable. In response to the European Union’s stance here, Marty stated, “ASEM is not deemed a block-to-block meeting in such a way that the upcoming new members of the European Union would not automatically take them into ASEM” 21.<br /><br />b. Human Rights versus Other Vested Interests<br /><br />In practice, promotion and protection of human rights cannot be separated from other political and economical interest. In this context, the instance was the issue on revocation of arsenal embargo for China. France, supported by Germany, once proposed in Straffan, Ireland, the idea to revoke the ban for selling weaponry to China22. However , Denmark, Swede and the Netherlands opposed the proposal here. The three European countries thought that China should have to better human rights condition in its country. The point here was that economic and political consideration commonly put aside the argument of human rights fulfillment. The U.S. even supported the European Union policy to turn down the revocation of arsenal embargo. It might be said that the support here was much for political and geo-political considerations rather than human rights. China should go through the weaponry ban following the tragedy at Tiananmen Square in 1989.<br /><br />Another example is the fact that economic bilateral ties between Indonesia and Europe was not only giving benefit but also causing problems. The European Union gives out not simply grant but also lends loan. Deputy of Coordinating Minister for Economy on International Cooperation James Hutagalung said that Indonesia had ever used ASEM Trust Fund I standing by more or less US$ 7.5 million. Hutagalung explained that the facility here was deemed grant that served as the reserved fund prepared by ASEM and administered by the World Bank on the purpose of helping the Asian countries to cope with financial crises23. However it brought about problems when the grant was never dealt with any encouragement to promote human rights fulfillment in Indonesia and public accountability report on the spending of the fund, including the fulfillment of economic, social and cultural rights. <br /><br />It is important to underline that the peace movement in Indonesia once has raised worry among the advanced countries in fear of their softening measures on the arsenal embargo to the Indonesian military. The plummeting oppression of the international community against the Indonesian government –if compared with those given in 1990s—has left gross violence of human rights unresolved completely. <br /><br /><br />C. ASEAN Security Community<br /><br />It is of the importance to observe the development of the adoption proposal of ASEAN Security Community action plan recommended by Indonesia. The ASEAN’s Foreign Ministers on their 37th ASEAN Ministerial Meeting (AMM) in Jakarta agreed to recommend an action plan draft to be approved in the upcoming 10th ASEAN Summit in Laos in November. Indonesian Foreign Minister Hassan Wirajuda said that the significant achievement of AMM here was the ASEAN Foreign Ministers’ deal to recommend the action plan of the ASEAN Security Community to be the 10th Summit’s agenda of approval. The action plan includes the principles of the improvement of ASEAN security and political cooperation that are elaborated in five scopes, namely political development, formation of relationship norms among the neighborhood countries, conflict anticipation, conflict resolution, and post-conflict peace development.24<br /><br /><br />C. Closing: Learning from the European Peace Movement<br /><br />Is some European Union countries’ stance to refute their supports against the U.S. aggression policies one of the effects of peace movement among the civil community at each country? Or, is it any other determinant factor? The writer believed that there was correlation among the community movement at every country.<br /><br />The other lesson worthy to note here is about the support of peace movement solidarity for the struggles for democracy and human rights worldwide including Indonesia. The release of political convicts and political inmates in Indonesia was part of effects of the solidarity factor. In this context, a workshop for the European and Asian activists serves an essential medium to re-examine threatening facts for peace and to discuss necessary responses to cope with the problems. <br /><br /><br />REFERENCES<br /><br />Articles <br /><br />Kuntari, Rien. “Chris Patten, Jembatan antara Asia dan Eropa”(Chris Patten, The Bridge between Asia and Europe). Kompas, August 22, 2003. <br /><br />Heffermehl, Fredrik. “The Peace Movement History: A Hidden Treasure”. Speech at XIV Trobada Barcelona on October 17, 2003. Text can be seen in http://www.transcend.org/t_database/articles.php?ida=194 <br /><br />News in national Media <br /><br />Kompas. July 2, 2004. “Uni Eropa Bantah Telah Tekan ASEAN” (The European Union Declined to Repress ASEAN)<br /><br />--------- July 2, 2004. “Uni Eropa Mengkritik ASEAN tentang Myanmar” (The European Union Criticized ASEAN for Myanmar)<br /><br />--------- July 1, 2004. “ASEAN Terus Menagih Demokratisasi di Myanmar” (ASEAN Keeps Calling for Democracy in Myanmar)<br /><br />--------- June 29, 2004. “Perubahan Institusional Perlu untuk Dukung Masyarakat ASEAN 2020”(Necessary Institutional Alteration to Support ASEAN Community 2020)<br /><br />--------- March 6, 2004, “Wirajuda: Pertemuan Ha Long Bay Produktif”(Wirajuda: Ha Long Bay Summit was Productive)<br /><br />--------- April 19, 2004. “Uni Eropa Tolak Pencabutan Embargo Senjata atas China”(The European Union Rebuffed Revocation of Weaponry Embargo to China) <br /><br />--------- January 19, 2004. “Pelangi Gerakan Perempuan”(The Rainbow of Women Movement)<br /><br />--------- December 18, 2003. “Pergulatan Mencari Titik Temu” (Fighting for The Meeting Point)<br /><br />--------- July 7, 2003. “Sidang Ke-5 ASEM Sepakati Prakarsa Bali” (The 5th ASEM Agreed with Bali Proposal)<br /><br />--------- September 24, 2002. “RI Menolak Segala Bentuk Aksi Sepihak”(RI Rebuffed Any Kind of One-sided Action)<br /><br />Pikiran Rakyat, March 31, 2003. “Aksi Damai Sejuta Umat Kutuk Agresi AS ke Irak”(Peaceful Rallies of Millions People Protesting the U.S. Aggression to Iraq) <br /><br /><br />Online national media <br /><br />Bernas Online, November 14, 2004. “Aksi Anti Israel Meledak di DPR. Sembelih Kambing dan Bakar Bendera”(Anti Israel Protesters at the House of Representatives Slaughtered Goat and Burned Flag) Text can be seen on http://www.indomedia.com/bernas/2010/14/UTAMA/14uta2.htm <br /><br />DPR RI online April 20, 2003. “Delegasi DPR RI Berhasil Perjuangkan Draft Resolusi Sanksi terhadap Israel” (The RI Parliament Delegations Struggled for the Draft Bill on Sanction Resolution for Israel ). http://www.dpr.go.id/berita/press/26-30%20April%2004/delegasi%20ipu%20mexico.htm <br /><br />Hidayatullah Online. March 31, 2003. “Satu Juta Organ Minta Hentikan Agresi AS ke Irak” (One Million Organs Called the U.S. to Stop Aggression to Iraq) Text can be seen on http://www.hidayatullah.com/modules.php?name=News&file=print&sid=177; <br /><br />Suara Karya Online. “Komisi I DPR Kecam Kebijakan Israel”(House’s Commission I Condemned Israel Policies). Text can be seen on http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=84923 <br /><br />Tempo Interaktif. March 24, 2004. “800 Massa KAMMI Unjuk Rasa Di Bundaran HI”(Some 800 Activists of KAMMI Staged Rallies at Hotel Indonesia Roundabout) Text can be seen on http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/03/24/brk,20040324-17,id.html <br /><br />---------July 16, 2004. “Indonesia Menolak Pembangunan Tembok Israel”(Indonesia Rebuffed Development of Israeli Border Marker). http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/07/16/brk,20040716-20,id.html <br /><br /><br />* A Paper for the “Workshop on peace movements in Asia and Europe” in the ASEM People’s Forum V in Hanoi Vietnam, September 6 – 9, 2004.<br /><br />1 Quoted from Rien Kuntari. “Chris Patten, Jembatan antara Asia dan Eropa”(Chris Patten, The Bridge between Asia and Europe) . Kompas, August 22 2003.<br /><br />2 See Ibid..<br /><br />3 Fredrik Heffermehl. “The Peace Movement History: A Hidden Treasure”. Speech at XIV Trobada Barcelona on October 17, 2003. Text can be seen in http://www.transcend.org/t_database/articles.php?ida=194<br /><br />4 Ibid.<br /><br />5 Kompas. January 19, 2004. “Pelangi Gerakan Perempuan” (The Rainbow of Women Movement)<br /><br />6 For instance: see Kompas. December 18, 2003. “Pergulatan Mencari Titik Temu”(Fighting for the Meeting Point)<br /><br />7 Kompas. January 19, 2004. “Pelangi Gerakan Perempuan” (The Rainbow of Women Movement)<br /><br />8 See DPR RI online April 20, 2003. “Delegasi DPR RI Berhasil Perjuangkan Draft Resolusi Sanksi terhadap Israel” (The RI Parliament Delegations Struggled for the Draft Bill on Sanction Resolution for Israel ).<br /><br />9 Kompas. September 24, 2002. “RI Menolak Segala Bentuk Aksi Sepihak” (RI Rebuffed Any Kind of One-sided Action)<br /><br />10 See Pikiran Rakyat March 31, 2003. “Aksi Damai Sejuta Umat Kutuk Agresi AS ke Irak” (Peaceful Rallies of Millions People Protesting the U.S. Aggression to Iraq); Hidayatullah Online. March 31, 2003. “Satu Juta Organ Minta Hentikan Agresi AS ke Irak” (One Million Organs Called the U.S. to Stop Aggression to Iraq). See also Bernas Online November 14, 2004. “Aksi Anti Israel Meledak di DPR. Sembelih Kambing dan Bakar Bendera” (Anti Israel Protesters at the House of Representatives Slaughtered Goat and Burned Flag).<br /><br />11 Tempo Interaktif. March 24, 2004. “800 Massa KAMMI Unjuk Rasa Di Bundaran HI” (Some 800 Activists of KAMMI Staged Rallies at Hotel Indonesia Roundabout) <br /><br />12 Suara Karya Online. “Komisi I DPR Kecam Kebijakan Israel” (House’s Commission I Condemned Israel Policies). <br /><br />13 Tempo Interaktif. July 16, 2004. “Indonesia Menolak Pembangunan Tembok Israel” (Indonesia Rebuffed Development of Israeli Border Marker). <br /><br />14 See Kompas. July 2, 2004. “Uni Eropa Bantah Telah Tekan ASEAN” (The European Union Declined to Repress ASEAN)<br /><br />15 Kompas. July 2, 2004. “Uni Eropa Mengkritik ASEAN tentang Myanmar” (The European Union Criticized ASEAN for Myanmar)<br /><br />16 See Rien Kuntari. Op.cit.; Kompas. April 19, 2004. “Uni Eropa Tolak Pencabutan Embargo Senjata atas China” (The European Union Rebuffed Revocation of Weaponry Embargo to China); Kompas. 6 Maret 2004, “Wirajuda: Pertemuan Ha Long Bay Produktif” (Wirajuda: Ha Long Bay Summit was Productive)<br /><br />17 Countries applied for being the EU members namely: Hungarian, Bulgaria, Malta, Czechoslovakia, Poland, Estonia, Rumania, Cyprus, Slovenia, Latvia, Slovakia, Lithuania, dan Turk.<br /><br />18 See Kompas, July 1, 2004. “ASEAN Terus Menagih Demokratisasi di Myanmar” (ASEAN Keeps Calling for Democracy in Myanmar)<br /><br />19 Speaking before press conference of 37th Annual Meeting for ASEAN’s Minister of Foreign Affairs in Jakarta held in June 2004. See Kompas, June 29, 2004. “Perubahan Institusional Perlu untuk Dukung Masyarakat ASEAN 2020” (Necessary Institutional Alteration to Support ASEAN Community 2020)<br /><br />20 Kompas June 29, 2004. “Perubahan Institusional Perlu untuk Dukung Masyarakat ASEAN 2020” (Necessary Institutional Alteration to Support ASEAN Community 2020).<br /><br />21 See Kompas. April 19, 2004. “Uni Eropa Tolak Pencabutan Embargo Senjata atas China” (The European Union Rebuffed Revocation of Weaponry Embargo to China)<br /><br />22 Kompas 7 Juli 2003. “Sidang Ke-5 ASEM Sepakati Prakarsa Bali” (The 5th ASEM Agreed with Bali Proposal)<br /><br />23 See Kompas, 1 Juli 2004. “ASEAN Terus Menagih Demokratisasi di Myanmar” (ASEAN Keeps Calling for Democracy in Myanmar)</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-9335299.post-69004638807089893342007-04-30T22:12:00.001+07:002008-10-05T01:26:08.986+07:00Ideologi dan Hak Asasi Manusia (HAM): Ideologi HAMisme atau HAMisme sebagai Ideologi PolitikPengantar<br /><br />Memperjuangkan hak asasi manusia (HAM) tanpa ideologi merupakan pekerjaan sia-sia. Ideologi politik dapat mendorong pemenuhan HAM dan sebaliknya dapat menjadi aral bagi pemajuan hak-hak asasi. Jika ini argumennya, mengapa tidak kita pikirkan, menjadikan HAM sebagai sebuah ideologi politik? Kemudian, lingkup batas ‘HAM’ yang mana yang hendak diposisikan sebagai ideologi?<br /><br />Tulisan ini akan mengeksplorasi tema ideologi politik dan HAM. Dalam artikel singkat ini akan mengeksplorasi tema promosi HAM didunia saat ini termasuk di Indonesia. Selanjutnya, artikel ini hendak mendeskripsikan klaim ideologi politik HAM – terutama yang dibangun oleh elite badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan aktivis HAM. Tulisan ini relatif bersifat pembuka untuk mengetahui: apakah ideologi dan HAM itu saling terpisah satu sama lain; ataukah HAM itu bisa posisikan sebagai ideologi politik?<br /><br />Kepentingan menyusun artikel ini lebih ditujukan untuk mendiskusikan dua tema besar tersebut. Tidak berlebihan jika banyak komentator, menyatakan sekarang kita tinggal di abad HAM.[1] Sementara, ideologi juga merupakan tema yang hidup hingga sekarang. Bahkan, ideologi, menjadi konsep yang paling elusive dalam keseluruhan ilmu sosial.[2] <br /><br />Sebuah alat bantu dalam menyusun artikel ini, yakni buku berisi kumpulan artikel yang diedit Roger Eatwell dan Antony Wright berjudul ‘Contemporary Political Ideologies’. Dalam buku ini, Eatwell dan Wright mengkompilasi 10 ideologi politik yang berkembang di abad 20, yakni: (1) liberalism; (2) conservatism; (3) socialism and social democracy; (4) marxism and communism; (5) anarchism; (6) nationalism; (7) facism; (8) feminism; (9) ecologism; serta (10) islam and fundamentalism. Kategori terakhir tidak dimuat dalam edisi pertama. Sementara dalam buku ini, isme hak asasi manusia - HAMisme (human rightism) – yang menjadi obyek tulisan ini – tidak dimuat sebagai sebuah ideologi politik. <br /><br /><span class="fullpost">Dalam pengantar buku tersebut Eatwell menyatakan buku ini berisikan ideologi-ideologi politik yang dipahami sebagai “a relatively coherent set of values – a set of ‘isms’ which have been, and in most cases remain, central to the language of post-Enlightement politics.”[3] Dengan demikian, ideologi-ideologi ini “have a variety of more concrete effects, including both inspiring and constraining behavior and policy.”[4] Menurutnya, dari sekian banyak pendekatan yang menopang argumen rupa ideologi, tema ini dapat dikelompokkan ke dalam 4 golongan, yakni: (1) ideologi sebagai pemikiran politik (political thought); (2) Ideologi sebagai sistem kepercayaan (beliefs) dan norma-norma (norms); (3) ideologi sebagai bahasa (language), simbol-simbol (symbols) dan mitos (myths); serta ideologi sebagai kekuasaan elite (élite power).[5] <br /><br />Pendekatan tersebut, dalam kalimat Eatwell, “are not entirely exclusive”, namun keempat kategori tersebut “point to different areas of primary study”.[6] Menurutnya, kategori pertama, studi diarahkan pada isme-isme besar (great ‘isms’) dan para pemikir utamanya (key thinkers). Kelompok kedua, berkaitan dengan pandangan orang kebanyakan, yang relatif kurang sistematis. Pendekatan ketiga, melihat lebih pada diskursus (discourse) dan ikonografi (semiotics). Sementara, pendekatan keempat, berhubungan lebih pada bagaiman elites mencari dan memastikan dukungan, lewat beragam cara, seperti represi fisik, media, atau sistem pendidikan.<br /><br />Selanjutnya, Eatwell menyatakan ideologi-ideologi (ideologi politik) yang dimuat dalam bukunya, mesti mempunyai seperangkat atribut, yang secara khusus ideologi: “has an overt or implicit set of empirical and normative views” which are goal-oriented about: (1) human nature; (2) the process of history; (3) the socio-political structure.”[7] <br /><br />Karena ‘aturan’ tersebut, maka menurutnya, democracy tidak dapat disebut sebagai sebuah ideologi politik. Karena alasan sederhana, demokrasi lebih pas disebut sebagai sebuah sistem pemerintahan, dimana semua ideologi-idologi utama berupaya memonopoli term ‘democracy’.[8] <br /><br />Jika merujuk pada argument Eatwell tersebut maka ‘democracy’ tidak dikategorikan sebagai ideologi politik telah mendapat dasar. Namun, bagaimana jika argument tersebut diterapkan pada HAM: “human rights as an ideology” dan ‘human rightism’ as political ideology”? Pertanyaan semacam ini memunculkan kontroversi tentunya. Untuk itu, ada baiknya jika dideskripsikan lagi beberapa rumusan ideologi dan ideologi politik.<br /><br />Dalam sebuah kamus filsafat (Oxford Dictionary of Philosophy), ideologi dirumuskan sebagai berikut:<br /><br />“Any wide-ranging system of beliefs, way of thought, and categories that provide the foundation of programmes of political and social action: an ideology is a conceptual scheme with a practical application…[9]<br /><br /><br />Eatwell sendiri, mendefinisikan ideologi politik (political ideology) yang digunakan untuk mendeskripsikan ‘ism’, dalam bukunya, sebagai ideologi politik:<br /><br />“A political ideology is a relatively coherent set of empirical and normative beliefs of thought, focusing on the problem of human nature, the process of history, and socio-political arrangement. It is usually related to a programme of specific short run concern. Depending on its relationship to the dominant value structure, an ideology can act as either a stabilizing or radical force. Single thinkers may embody the core of an ideology, but to call a single person n ‘ideologist’, or ‘ideologue’, would normally be seen as pejorative. The term of ‘political philosopher’ or ‘political theorist’, therefore, seems more appropriate for a thinker capable of developing a sophisticated level of debate. Political ideologies are essentially the product of collective thought. They are ‘ideal types’, not to be confused with specific movement, parties or regimes which may bear their name.”[10]<br /><br />Sistem kepercayaan (beliefs) dan pola pikir (thought) tersebut, merujuk, Raymond Williams, dibedakan kedalam bentuk-bentuk formasi ideologi, yakni: (1) “residual” ideological formations, yakni rupa-rupa ideologi yang saling bergantian mendominasi, namun tetap bersiklus dalam beragam cara; (2) “emergent” ideological formations, yakni ideologi-ideologi baru, yang sedang berproses memantapkan pengaruhnya (3) “dominant” ideological formations, yakni ideologi – yang oleh Louis Althuser diistilahkan sebagai “ideological state apparatuses”; seperti, sekolah (schools), pemerintah (government), polisi dan militer.[11] <br /><br /><br />Hak Asasi Manusia (HAM)<br /><br />Sebagai kata benda (noun), hak (right) dapat diartikan secara abstrak (an abstract sense) dengan makna keadilan (justice), sesuatu yang secara etik dianggap benar (ethical correctness) atau disejajarkan artinya dengan norma hukum (rules of law) atau prinsip-prinsip dasar moralitas (principles of marals). [12] Selanjutnya, secara konkret (a concrete sense), berarti kekuasaan (power), keistimewaan (privilege), atau tuntutan (demand) yang inheren dimiliki seseorang dan incident dengan yang lain; dimana hak secara umum dapat diartikan sebagai “powers of free action”. [13] Dalam bahasa hukum, istilah hak, didefinisikan sebagai: “a capacity residing in one man of controlling, with the assent and assistance of the state, the actions of others.”[14] Sementara, hak (right) sebagai kata sifat, berarti kebenaran moral, sejalan dengan prinsip-prinsip etika atau norma hukum positif. Hak (rights) sebagai kata sifat, menjadi lawan kata dari unjust, wrong dan illegal.[15] <br /><br />Merujuk definisi dari Black’s Law Dictionary tersebut, tentu tidak memadai untuk menjelaskan apa yang menjadi arti dari “human rights” (hak asasi manusia). Namun pengertian dalam kamus hukum ini, berguna bagi kita untuk, paling tidak, melihat praktek-praktek pemenuhan HAM, yang oleh banyak kalangan, menggunakan prosedur hukum. Dengan memakai logika dalam kamus ini, maka HAM dapat diartikan kemampuan sesorang untuk melakukan kontrol prilaku aparat Negara (dan pelaku Non-Negara), dengan persetujuan dan bantuan Negara. Paling tidak, definisi seperti ini diadopsi dalam beragam norma dan standar internasional HAM, dimana dinyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab Negara, terutama Pemerintah.[16] <br /><br />Batas lingkup saat ini, agaknya sudah berakhir, di meja para anggota Komite yang dibentuk oleh perjanjian internasional HAM. Salah satu fungsi Komite ini yakni mengelaborasi definisi dan ruang lingkup hak-hak asasi yang dimuat dimuat, dikategorikan dan diatur dalam pasal-pasal dalam perjanjian internasional kovenan dan konvensi HAM.[17] General Comment dan General Recommendation yang dirumuskan oleh masing-masing Komite, merupakan versi formal penjelasan pasal-pasal dalam perjanjian internasional HAM. Secara formal, penjelasan inilah yang kemudian lebih dirujuk sebagai referensi bagi banyak aktivis HAM atau jurist, bahkan apparatus Negara Pihak. <br /><br />Dalam sejarahnya, banyak pemikir yang dianggap punya kontribusi untuk menjelaskan definisi dan batas lingkup HAM – dan juga mengevaluasi dan mengajukan kritik terhadap konsep HAM. Patrick Hayden, membagi kategori para pemikir ini mewakili empat persepektif.[18] Perspektif HAM klasik, diwakili para pemikir seperti Plato, Aristoteles, Cicero, St. Thomas Aquinas, dan Hugo Grotius. Perspektif kedua: perspektif modern, diwakili para pemikir antara lain: Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jacques Rousseau, Edmund Burk, Thomas Paine, Mary Wollstonecraft, Immanuel Kant, Jeremy Bentham, Karl Marx, dan Johan Stuart Mill. Selanjutnya, Hayden, mengkategorikan para pemikir yang mewakili perspektif kontemporer, antara lain H.L.A. Hart, Maurice Cranstaon, Joel Feinberg, Thomas W. Pogge, Martha C. Nussbaum, Richard Rorty dan Jacques Derida. <br /><br />Dari Heyden, ketiga perspektif itu mewaliki perspektif Barat (Western). Selanjutnya, perspektif Non-Barat, diklasifikasikan Heyden diwakili oleh ajaran dan tulisan Confusius, Mo Tzu, Buddha, Dalai Lama, dan para pemikir seperti Kwasi Wiredu dan Abdullahi Ahmed An-Naim. <br /><br />Bagaimana persepektif para pemikir Indonesia? Tentu beragam. Namun kecendrungannya, aktivis HAM – terutama dari kalangan aktivis Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) dan Jurist, memakai perspektif PBB untuk mendeskripsikan dan mengemukakan batas lingkup HAM. Lebih dalam, perspektif HAM di Indonesia cenderung mentok di jurist, karena dari sekian kasus, para petani justru lebih percaya kepada NGOs yang program-programnya mengerjakan advokasi hukum, termasuk beracara di Pengadilan, ketimbang para korban petani mempercayakan penyelesaian kasus lewat sebuah Partai Politik, atau membangun Partai Politik dan organisasi revolusioner lain secara mandiri dengan tujuan untuk mencapai tujuan pencapaian kesejahteraan, termasuk menjalankan agenda pembaruan agraria.<br /><br />Dari sisi praktik HAM, kasus Bulu Kumba, merupakan pelajaran bagi konsep HAM. Hak atas tanah merupakah HAM. Beberapa waktu lalu, sejumlah petani Bulu Kumba, Sulawesi Selatan, ditangkap aparat kepolisian. Keluarga para petani kemudian banyak mengungsi. Penangkapan ini menjadi ujung dari konflik pertanahan antara petani dengan korporasi internasional PT London Sumatra. Masing-masing pihak mengklaim punya hak atas tanah yang disengketakan. <br /><br />Konflik tanah tersebut, cuma mewakili satu kasus, dari ribuan kasus yang lain. Yayasan LBH Indonesia menerima pengaduan kasus tanah dari masyarakat, utamanya keluarga petani mencapai ratusan kasus pertahun.[19] Tahun 1995 tercatat 366 kasus; tahun 1996 sebanyak 352 kasus; tahun berikutnya 455 kasus; tahun 1997 dan 1998 masing-masing 553 dan 577 kasus. Dari ribuan kasus tanah selama periode 1995 – 1998, muncul juga konflik tanah yang mengajukan hak atas tanah dengan konsep kepemilikan komunal bukan individual. Ketiadaan organisasi revolusioner atau Partai Politik yang beranggotakan para petani dan intellectual organic yang bersimpati pada perjuangan petani, menyebabkan gerakan reclaiming tanah macet dipenghujung tahun 2001. Situasi yang sama, juga dirasakan para buruh.<br /><br /><br />Ideologi HAM sama dengan Ideologi PBB?<br /><br />Sejak diadopsinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada 1948 oleh PBB, badan supra-nasional ini secara sistematis mempromosikan perlindungan dan pemenuhan HAM disemua penjuru dunia. Tentu saja definisi-definisi ideologi tidak menjadi pokok bahasan utama dalam badan-badan PBB yang berkaitan dengan pemenuhan HAM. Namun demikian, paling tidak sejak dekade 60-an, muncul pernyataan HAM merupakan sebuah ideologi bagi PBB. De Mello, Komisioner Tinggi HAM PBB pernah mengutip pernyataan Abdul Rahman Pazhwak, Presiden Majelis Umum PBB, yang menyatakan “if the United Nations could be said to have any ideology, it must be that of human rights”[20]<br /><br />Lewat Badan PBB, pertumbuhan norma dan standard PPB tentang HAM sangat subur: deklarasi, perjanjian (treaties) baik covenant maupun convention; rencana serta platform aksi, dan seterusnya. Bahkan, seorang komentator menyebut saat ini sebagai ‘abad hak asasi’ (the age of rights). PBB boleh dikatakan tengah mendorong sebuah ide HAM yang universal. Bukan hanya dilakukan apparatus PBB, promosi dan perlindungan HAM universal, yang sekarang dikerjakan jutaan, bahkan milyaran orang, termasuk di Indonesia. Apakah gejala ini bisa disebut dengan proses pembentukan HAM sebagai sebuah “ideology”? <br /><br />Dokumen UDHR dapat dikatakan menjadi sebuah dokumen untuk menutup trauma Perang Dunia ke-2. Penduduk dunia, merujuk pada dokumen ini untuk masuk ke era baru: era perdamaian yang menjunjung tinggi HAM. Namun era baru ini didampingi dengan facet dari Perang Dunia ke-2, sebuah era ‘Perang Dingin’ dimana terjadi pertentangan dua ideologi: liberalism dan communism. Menariknya, kedua system politik ini menyetujui ide HAM, dimana pada 1966, General Assembly – yang beranggotakan negara-negara dari kedua blok ini – menyetujui diadopsinya dua perjanjian: the international covenant on civil and political rights (ICCPR) dan the international covenent on economic, social and political rights (ICESCR).<br /><br />Bubarnya Uni Soviet pada 1991, kemudian, membuka era baru perkembangan promosi dan perlindungan HAM, dimana PBB melaksanakan seri konferensi dunia. Dimulai pada 1992, di Rio de Janeiro (UN Conference for Environment and Development); pada 1993 di Vienna (UN Conference on Human Rights); Di Kairo pada 1994, the World Summit for Society Development; setahun kemudian, the Fourth World Conference on Women di Beijing; pada 1996 di Istanbul dilaksanakan the Habitat Conference; the Food Sumit pada 1996 di Roma, hingga the World Summit on Sustainable Development di Johannesburg pada 2002.<br /><br />Merujuk pada perkembangan tersebut, Shulamith Koenig, Direktur Eksekutif Gerakan Rakyat untuk Pendidikan Hak Asasi Manusia (PDHRE) pernah menyatakan proses tersebut pada dasarnya telah mendorong kelahiran sebuah ideologi politik baru di abad ke-21. Ideologi baru ini tidak lain HAM.[21] Koenig merefer definisi ideologi dari Webster’s Dictionary, yakni: “a systematic body of concepts about human life or culture; the integrated assertions, theories that constitute a sociopolitical programme.” <br /><br />Dalam tulisannya, Koenig menyatakan dirinya sadar betul memasuki sebuah zona berbaya (danger-zone) mendiskusikan HAM sebagai sebuah ‘political ideology’. Salah satu bahaya, menurutnya, istilah ‘idology’ dan ‘political’ dapat menciptakan hambatan yang tak perlu bagi realisasi HAM dan membatasi kemampuan untuk mengintrodusir pendidikan HAM (human rights education) dalam semua sektor masyarakat.<br /><br />Koenig menyatakan, ideologi HAM dikonstruksikan dengan bertahap dan didefinisikan secara jelas. Norma dan standard HAM ditopang oleh filsafat, yang menurut Koening sebagai ‘ideology of hope’. Ideologi ini, agaknya yang dianut oleh PBB dan NGOs. Deretan norma dan standar internasional tentang HAM yang diadopsi PBB dan ditandatangani Negara Pihak menyediakan dasar bagi aksi komprohensif dan mobilisasi melawan ancaman bagi human dignity and security.<br /><br />Membaca tulisan Koenig, untuk selanjutnya, dipersandingkan dengan tulisan Eatwell yang berisikan parameter sebuah ideologi, maka memang klaim HAM sebagai ideologi bisa saja muncul, sebagaimana kompilasi Eatwell yang memuat feminism, ecologism, atau islam/fundamentalism sebagai rupa-rupa ideologi-ideologi politik. <br /><br />Hamisme Sebagai Ideologi Politik?<br /><br />Dalam sebuah tulisan, Alwyn Thomson, peneliti pada ECONI menyatakan HAM merupakan agama baru Western liberalism.[22] Agama ini berkitab UDHR dengan para denominasi: Amnesty Internasional dan Human Rights Watch. Para advokat dan aktivis HAM sebagai ‘priests’.<br /><br />Dalam prakteknya, tidak mengejutkan, karena dianggap sebagai turunan dari Western liberalism, promosi hak-hak sipil dan politik (hak sipol) yang dimuat dalam the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) maju pesat ketimbang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob), terutama terasa diera Perang Dingin. Muncul apa yang diistilahkan sebagai ‘marjinalisasi’ hak-hak ekosob. Marjinalisasi ini dapat dilihat dari beberapa rupa. Paska Perang Dunia ke-2, Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang selama ini menjadi pilar bagi promosi dan perlindungan hak sipil dan politik dibawah payung kebebasan sipil mengambil sikap pasif terhadap promosi hak ekosob. Hal ini disebabkan, apa yang dikatakan Marry Robinson, High Commissioner on Human Rights sebagai alasan-alasan ideologis (ideological reasons).[23] <br /><br />Secara umum, Eropa Barat dan AS berpegang pada prinsip-prinsip liberalism, individualism, dan market in economics.[24] sebaliknya Uni Soviet (USSR) menganut Marxism in practice.[25] Ajaran Marx menekankan prinsip communality dan equality in sense of economics access.[26] Pertarungan ideologi politik ini dilapangan HAM, menghasilkan dua dokumen terpisah: the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICCPR (1966) dan the International Covenant on Civil and Political Rights – ICESCR (1996).<br /><br />Secara lebih detail, marjinalisasi hak ekosob dapat dilihat dari aspek sistem pengawasan bagi implementasi hak ekosob. Komite Hak-hak Ekosob (CESR) baru terbentuk pada 1987, sedangkan Komite Hak Asasi Manusia (CHR) – yang tidak disebut dengan Komite Hak-hak Sipil dan Politik (CPPR) – telah dibentuk sejak ICCPR berlaku (entered into force) pada 23 Maret 1976. Hingga sekarang, belum diadopsi optional protocol yang menyediakan prosedur komplain dibawah Kovenan Internasional Hak Ekosob.[27] Sebaliknya, the optional protocol Kovenan Hak Sipol menyediakan peluang bagi petisi individu.[28] Marjinalisasi hak ekosob, juga dapat dilihat dari aspek non-treaty based procedure dalam sistem PPB. <br /><br />Secara umum, terdapat ketertinggalan elaborasi normative ketentuan yang dimuat dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob. Dukungan internasional termasuk gerak dorong NGOs sejak lama memfokuskan pada hak sipol.[29] Sebagai konsekwensi, sangat terlihat kesenjangan fasilitas untuk mempromosikan dan melindungi hak ekosob, jika dibandingkan fasilitas yang dicurahkan pada promosi dan perlindungan hak sipol. Bagi NGOs yang bekerja di rana hak sipol, dengan dukungan funding agency atau lembaga donor, dukungan terhadap kerja-kerja promosi hak sipol lebih lebih besar.<br /><br />Marjinalisasi hak ekosob juga dapat dibuktikan dari aspek jsutisiabilitas hak-hak ini.[30] Dilevel domestik, terjadi ketertinggalan promosi dan perlindungan dalam ketentuan-ketentuan konstitusi, kelembagaan dan prosedur nasional.[31] Pencapaian hak ekosob cenderung menjadi capaian kebijakan negara, ketimbang diatur sebagai sesuatu yang justiciable. <br /><br />Beragam fakta marjinalisasi tersebut, menyebabkan banyak problem dilevel teknis dan operasional untuk mengimplentasikan hak-hak ekosob. Sebagai contoh, masyarakat sipil menghadapi kesulitan untuk melakukan pengawasan pemenuhan hak ekosob. Lebih lanjut, masalah menjadi kompleks, saat pelaku kejahatan terhadap hak-hak ini tidak saja pelaku negara (state apparatus) melainkan juga non-state actors (pelaku non-negara) seperti korporasi. <br /><br />Problem intellectual clarity, sebagai tambahan, menampilkan bentuk marjinalisasi yang lain. Kesenjangan pengetahuan muncul saat mendefinisikan dan mengambil batas lingkup hak-hak ekosob. Sebagai contoh, sebuah laporan konferensi Komisi Internasional Jurist (ICJ),[32] menunjukkan jurists cenderung tidak mengambil peran aktif dalam mempromosikan pencapaian hak ekosob. Ketidakperhatian dan prilaku konservatif para jurist ini tentu saja menyulitkan upaya perlindungan dibidang hukum saat terjadi kejahatan hak-hak ekosob.[33] Problem pengetahuan dan keterampilan ini memang telah menjadi bagian dari kerja dan perhatian bagi banyak aktivis NGOs.[34] <br /><br />Dekade gelap promosi hak-hak ekosob kiranya berakhir. Jurist dan aktivis NGOs saat ini, dapat dikatakan, bergiat untuk membangun dan mengelaborasi hak-hak ekosob, termasuk memperkokoh definisi, batasab lingkup, justiciability dan biaya pemenuhan.[35] Faktanya memang cukup menggembirakan.[36] Demikian juga agen-agen PBB yang bekerja dibidang HAM. Komite Hak Ekosob PBB, telah mengadopsi General Comment dari serangkaian pasal-pasal yang dimuat dalam ICESCR, diantaranya pasal 2 ayat (1), 11, 11.1, 12, 13, 14, 17 and pasal 22.[37] <br /><br />Dilevel regional, di Eropa, pembangunan mekanisme perlindungan hak-hak ekosob, lewat teks European Social Charter Text dan dokumen yang berkaitan dengan piagam ini. Di Afrika, perlindungan hak ekosob mempunyai alas dasar beberapa dokumen, diantaranya: the African Charter on Human and Peoples' Rights, the African Economic Treaty and the Organization of African (OAU) treaties seperti the Bamako Convention on the Environment and the African Economic Treaty. Selanjutnya, didataran Amerika, terdapat the American Convention on Human Rights and Additional Protocol (Protocol of San Salvador).[38] <br /><br />Dilevel dometik, sebagaimana dinyatakan Sandra Liebenberg, dibeberapa negara, terdapat trend baru dimana hak-hak ekosob didorong menjadi hak yang justiciable. Hak ekosob diposisikan sebagai hak yang secara langsung justiciable oleh Konstitusi Afrika Selatan 1996.[39] Beberapa contoh dimana negara memasukkan hak-hak ekosob kedalam konstitusinya sekaligus sebagai subyek dari bentuk proses-proses yudisial, seperti Kanada, Finlandia, Jerman, Hungaria, Italia, Lithuania, Selandia Baru, Portugal, dan bahkan di Amerika Serikat.[40] Selanjutnya, menurut, Rodolfo Stavenbargen, in Amerika Latin: Argentina, Brazil, Colombia, Nikaragua and Paraguai, merupakan contoh-contoh negara yang memuat hak-hak budaya penduduk asli (indigenous cultural rights) kedalam konsitusi atau amandemen konstitusi negaranya.[41]<br /><br />Lebih jauh, terdapat juga kasus-kasus sebagai bahan yang diperuntukkan bagi referensi dan studi lanjutan tentang perlindungan hak ekosob lewat proses yudisial. The European court of Human Rights telah mengeksaminasi kasus-kasus kejahatan terhadap hak ekosob, seperti Lopez Ostra v. Spain[42]; Belgian Linguistic cases[43]; Salesi v. Italy[44]; Schuler-Zgragegen v. Switzerland. Upaya mereklaim hak-hak ekosob ini juga penah dilakukan di level domestik, seperti Eldrige v. British Colombia (Attorney General) in the Canadian Supreme Court,[45] Plyer v. Doe and Golberg v. Kelly (US Supreme Court),[46] Viceconte, Mariela Cecilia v. Ministry of Health and Social Welvare (the National Court of Appeals in Argentina),[47] Upaya judicial review tentang hak-hak ekosob di UK[48], serta putusan di pengadilan tingkat banding Guyana memutuskan hak-hak ekosob dalam konstitusi negara ini dengan tegas dinyakatan “are not mere political rhetoric” and “justiciable”.[49] <br /><br />Di Indonesia sendiri, konsep HAM telah diadopsi dalam ketentuan konstitusi, menjadi hak konstitusional. Pasal 28 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 tentang HAM telah menjadi alas dasar bagi seluruh peraturan dan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional HAM – table 2.<br /><br />Tabel 1<br />Instrumen Internasional HAM Utama yang Telah Diratifikasi Indonesia<br />Konvensi Yang Diratifikasi <br />Inkorporasi dalam Hukum Domestik<br /><br />1. CERD (the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) <br />UU No. 29/1999<br /><br />2. CAT (the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) <br />UU No. 5/1998<br /><br />3. CEDAW (the International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) <br />UU No. 7/1994<br /><br />4. CRC (the Convention on the Rights to Child) <br />Keppres No. 36/1990<br /><br />5. Hak-hak Perempuan <br />UU No. 68/1959<br /><br /><br />Indonesia merupakan sebuah Negara di dunia, yang pada dasarnya mengadopsi ‘universalisme HAM’ yang dimuat dalam perjanjian internasional. Asumsinya, ketentuan-ketentuan dalam CERD, CAT, CEDAW atau CRC menjadi hukum dilevel nasional. Karenanya, dalam praktik, diperlukan sinkronisasi perundang-undangan, yang selanjutnya membenarkan dan menjadi acuan bagi segala bentuk kebiasaan masyarakat dilevel local agar berkesesuaian dengan norma dan standard HAM ini. <br /><br />Jika dilihat dari sejarah UDHR, promosi universalisme HAM yang dimuat dalam standard dan norma internasional HAM semakin cepat denyutnya paska bubarnya Uni Soviet. Sebelum lewat tengah malam, pada 10 Desember 1948, Sidang Majelis Umum PBB mengadopsi UDHR, dengan 48 Negara menyatakan setuju; dan 8 Negara bersikap abstain: USSR, Ukrania, Belarusia, Yugoslavia, Polandia (enam negara blok Komunis); Saudi Arabia dan Afrika Selatan. <br /><br />Keberatan Arab Saudi terutama pada pasal 16 dan pasal 18 UDHR tentang “equal marriage rights” dan hak setiap orang untuk bebas (memeluk, dan berpindah) agama. Mengapa hanya Arab Saudi, sementara Negara yang juga berpenduduk Muslim, seperti Siria, Iran, Turki dan Paksitan menyatakan persetujuannya terhadap UDHR. Sementara, abstainnya Afrika Selatan, khusunya berkaitan dengan isu diskriminasi rasial yang dilarang dalam UDHR, dimana rezim Apartheid Afrika Selatan masih berkuasa pada saat itu. Hal yang menarik, jika UDHR ini merupakan representasi dari Western Liberalism, seharusnya Blok Uni Soviet menyatakan penolakan, bukan pernyataaan abstain – karena dalam banyak hak Liberalism berkontradiksi antagonis dengan Marxism dan Communism.<br /><br />Per 9 Juni 2004 Negara-negara pada 1948 menyatakan abstain terhadap pengadopsian UDHR, yakni Federasi Rusia – sebelumnya USSR, Saudi Arabia dan Afrika Selatan telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional HAM yang utama – sebagaima terlihat dalam table 1.<br /><br />Tabel 2<br /><br />Status Ratifikasi Perjanjian Internasional HAM di 3 Negara: Federasi Rusia, Saudi Arabia dan Afrika Selatan<br />Per 9 Juni 2004<br /><br />Sumber: Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights.<br /><br /><br />Sebagai tambahan Republik Rakyat Cina, juga tercatat telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional HAM. Cina telah meratifikasi CESCR (27 Juni 2001), menandatangani CCPR (5 Oktober 1998), serta meratifikasi CERD, CEDAW, CAT dan CRC beserta dua Optional Protokol dibawah CRC. Sementara Kuba telah meratifikasi CERD, CEDAW, CEDAWOP, CAT serta CRC beserta dua Optional Protokolnya.<br /><br />Cina dan Kuba, dua Negara, yang banyak kalangan diklasifikasikan menjalankan Marxism – Communism, secara formal, menerima perjanjian internasional menjadi hukum positif di Negaranya. Dilevel masyarakat sipil – para aktivis HAM dari segenap penjuru menyatakan memperjuangkan HAM, dimana seringkali, definisi HAM dirujuk dari dokumen perjanjian internasional HAM yang diadopsi PBB.<br /><br /><br />“Mereka tidak tahu, tapi mereka melakukannya”<br /><br />Dalam Oxford Dictionary of Philosophy, ideologi juga di rumuskan sebagai berikut:<br /><br />…(d)erogatorily, another person’s ideology may be thought of as spectacles that distort and disguise the real status quo….[50] <br /><br />Selanjutnya, dinyatakan:<br /><br />“Promises that political philosophy and morality can be freed from ideology are apt to be vain, since allegedly cleansed and pure programmes depend, for instance, upon particular views of human nature, what counts as human flourishing, and the conditions under which it is found.[51]<br /><br />Merujuk Slavoj Zizek, definisi yang paling dasar dari ideologi, diambil dari frase dalam tulisan Marx, “Sie wissen das nicht, aber sie tun es" (“mereka tidak tahu, tetapi mereka melakukannya”).[52] Definisi tersebut pada dasarnya merumuskan ideologi sebagai sebuah false ideas dimana ideologi diletakkan sebagai “other of science” – atau dalam kamus diatas diistilahkan “…as spectacles that distort and disguise the real status quo”. Menurut Eatwell, kerja Engels yang mengajukan argument ‘false consciousness’ – yang kemudian menjadi kerja utama bagi Marxist.[53] Kesadaran palsu ini merujuk pada situasi atau pandangan sosial, yang menopang sebuah sistem tertentu. Sebagai contoh dari kesadaran palsu, antara lain dinyatakan Eatwell, dengan mengangap ‘Negara Demokrasi Liberal’ adalah ‘netral’: dengan kata lain, percaya bahwa individu dan kelompok mempunyai persamaan didepan hukum, aparat Negara tidak melayani kepentingan-kelas, dan seterusnya. Karenanya, bagi Marx dan Engels, hukum mempunyai tujuan utama bagi perlindungan kapitalism dan kepemilikan, dimana keduanya merupakan corak utama dari Negara Demokrasi Liberal.<br /><br />Dengan demikian, bagaimanakah mendamaikan elemen-elemen Western Liberalism yang disadur oleh pasal-pasal dalam perjanjian-perjanjian internasional HAM dengan elemen-elemen Marxism dan Consevatism, sebagai ideologi politik residual. Upaya untuk mendamaikan isme lain, antara agama dan sekularisme, pernah dilakukan Abdullahi A. An-Na’im, dalam konteks pemenuhan dan pemajuan HAM. Namun, An-Na’im dalam tulisannya memposisikan HAM, agama dan sekularisme, masing-masing sebagai paradigma. <br /><br />Hak asasi manusia, didefiniskan An-Na’im, sebagai: “hak yang bersifat universal yang melekat atas semua manusia sesuai dengan hak mereka sebagai manusia, tanpa ada perbedaan dengan alasan apapun seperti ras, jenis kelamin, agama, bahasa, atau kebangsaan”.[54] Menurut, Na’im, kata kunci dalam pengertian partikular ini, adalah universalisme. An-Na’im dalam tulisannya, mengajukan argumentasi adanya sinergitas antara HAM, agama dan sekularisme, dimana ketiganya, saling bergantung. Hak asasi manusia, memerlukan keduanya untuk mencapai dan memenuhi tuntutannya. <br /><br />Argument An-Na’im yang menjelaskan HAM sebagai paradigma, bisa dipakai, untuk menjelaskan mengapa Cina dan Kuba, dalam level praktik, juga menandatangai atau meratifikasi beberapa perjanjian-perjanjian internasional HAM. Dengan menggunakan paradigma HAM, lebih lanjut, ada benarnya jika ada pendapat baik liberals dan para penentangnya, walaupun banyak berbeda premise, menyetujui sebuah keperluan kerangka kerja yang universal dan plural, dimana setiap individu dapat hidup tanpa harus membunuh dan merepresi individu yang lain. Faktanya, dalam hukum internasional HAM, Negara Pihak, diberikan peluang untuk melakukan aksesi dan reservasi terhadap pasal-pasal dalam perjanjian internasional. Prosedur aksesi dan reservasi ini, walaupun banyak dikritik, boleh jadi sebagai upaya mendamaikan partikularisme. <br /><br />Dari uraian tersebut, jika klaim HAM sebagai sebuah “ideologi politik” maka ideologi ini tengah berkembang dan meningkat pengaruhnya. Lebih jauh, problem yang muncul: dimanakah HAM, sebagai ‘ism’ atau HAMism, ditaruh dalam spektrum politik. Kalau hak asasi manusia tidak pantasi diklaim sebagai ideologi lalu apakah hak asasi manusia hanya sebatas paradigma? Semua pembaca mendapat undangan untuk menanggapinya.***** <br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Bellamy, Richard, ‘Liberalism” in Roger Eatwell and Anthony Wright (eds.), Contemporary Political Ideologies. 1999. Pinter: London and New York, 2nd edition. <br /><br />Black, Henry Campbell. 1979. Black’s Law Dictionary. St. Paul Minn: West Publishing Co., p. 1189.<br /><br />Blackburn, Simon. 1996. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford; New York: Oxford University <br /><br />Bobbio, N, 1996. The Age of Rights. A. Cameran (translator). Cambridge: Polity Press.<br /><br />Craven, Matthew. (2001). ‘The UN Committee On Economic, Social, Cultural Rights’. In Economic, Social, Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 455 – 472. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.<br /><br />Eatwell, Roger and Anthony Wright (eds.). 1999. Second Edition. Contemporary Political Ideologies. London and New York: Pinter.<br /><br />Eatwell, Roger ‘Introduction: What are Political Ideologies’ in Roger Eatwell and Anthony Wright (eds.), Contemporary Political Ideologies, Pinter: London and New York, 2nd edition, 1999. <br /><br />English, Kathryn and Adam Stapleton. 1995. The Human Rights Handbook, A Practical Guide to Monitoring Human Rights, Human Rights Center, University if Essex.<br /><br />Hayden, Patrick. 2001. Philosophy of Human Rights: Reading in Context. St. Paul: Paragon House.<br /><br />Hunt, Paul. 1996. Reclaiming Social Rights: International ad Comparative Perspective, Aldershot: Dartmouth.<br /><br />Jessop, Bob, State Theory. Putting Capitalist State in their Place, Polity Press, Oxford, 1990.<br /><br />Leckie, Scott. 2001. ‘‘The Human Rights to Adequate Housing’. In In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 149 – 168. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers. <br /><br />Liebenberg, Sandra. 2001. ‘The Protection of Economic and Social Rights in Domestic Legal Systems’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 55 – 84. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers. <br /><br />McLellan, David. 1995. Concept in Social Thought Ideology, University of Minnesota Press, Minneapolis, 2nd edition. <br /><br />McLellan, David. 1995. Idology. Buckingham: Open University Press.<br /><br />Novak, Manfred. 2001. ‘The Right to Education’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 245 – 271. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.<br /><br />Shelton, Dinah L. 1984. ‘Individual Complaint Machinery under the UN 1503 Procedure and the Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights’. In Guide to International Human Rights Practice. (ed.). Hurst Hannum, pp. 59 – 73. London: Macmillan Press. <br /><br />Scheinin, Martin. 2001. ‘Economic and Social Rights As Legal Rights’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook. (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 29 – 54. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers.<br /><br />Stavenhagen, Rodolfo. 2001. ‘Cultural Rights: A Social Science Perspective’. In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 85 – 109. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers. <br /><br />Szyszczak, Erika, ‘Protecting Social Rights in the European Union’ In Economic, Social Cultural Rights. A Textbook (eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 493 – 513. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston and London: Martinus Nijhoff Publishers. <br /><br />Tucker, Robert C. (ed.), The Marx-Engels Reader, Princeton University, New York and London, 1978.<br /><br />Williams, Raymond. 1980. Problems of Materialism and Culture. Verso: London.<br /><br />Zizek, Slavoj. 1989. The Sublime Object of Ideology. London; New York: Verso <br /><br /><br />Artikel di Jurnal<br /><br />An-Na’im, Abdullahi A.. “Hak Asasi Manusia, Agama dan Sekularisme: Haruskah Menjadi Suatu Pilihan?”. Jurnal Diponegoro 74. Tahun VIII/2004/No.11/Februari –Mei 2004.<br /><br /><br />Articles dan material di Web Page:<br /><br />AAAS and Hurridocs. ‘Thesaurus of ECSR http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet <br /><br />CESCR. General Comment on ICESCR implementation, Text in http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm <br /><br />Koenig, Shulamith. “Human Rights Education, Human Rights Culture and the Community of Non-Governmental Organizations: the Birth of a Political Ideology for the Twenty-First Century”. Teks dapat dibaca di website PDHRE.<br /><br />Hansen, Stephen A. “Developing Methodologies and Resources for Monitoring Violations of <br /><br />Economic Social and Cultural Rights”, paper on the Huridocs International Conference, <br /><br />Gammarth, Tunisia, 22-25 March 1998. Text in http://www.huridocs.org/hansen.htm. <br /><br />ICJ. Report and Banglore Declaration and Plan of Action on these rights. Text in http://www.icj.org/escr/bangalore.htm <br /><br />ICJ. Report of the Region seminar on economic, social and cultural rights organized by the ICJ in <br />collaboration with The African Development Bank (ADB), 9-12 March 1998. Text in http://www.icj.org/escr/loa.htm <br /><br />Thomson, Alwyn. “What’s Wrong With Rights’. Teks dapat dibaca di http://www.econi.org/LionLamb/021/rights2.html ECONI <br /><br /><br />Perundang-undangan<br /><br />Undang-undang Dasar 1945 <br /><br />UU No. 29/1999<br /><br />UU No. 5/1998<br /><br />UU No. 7/1994<br /><br />Keppres No. 36/1990<br /><br />UU No. 68/1959<br /><br /><br />Dokumen Perserikatan Bangsa-bangsa<br /><br />UN Doc. Statement by the High Commissioner for Human rights Sergio Viera De Mello to the Fifty-Ninth Session of the Commission on Human rights, Geneva, 21 March 2003. <br /><br />CCPR/C/3/Ref.6 <br />24 April 2001 <br />Rules of Procedure of the Human Rights Committee. <br /><br />E/CN.4/RES/2001/27 <br />20 April 2001 <br />Commission on Human Rights Resolution, Effect of structural adjustment policies and foreign debt on the full enjoyment of all human rights, particularly economic, social and cultural rights;<br /><br />E/CN.4/2001/62, <br />21 December 2001 <br />Draft optional protocol to the ICESCR.<br /><br />E/CN.4/2000/53 <br />14 March 2000 <br />Open-ended working group on structural adjustment programmes<br /><br />E/CN.4/2000/51 <br />14 January 2000 <br />Joint report by the Independent expert on Structural adjustment policies, and the Special Rapporteur on foreign debt<br /><br />E/CN.4/1999/112/Add.1 <br />4 March 1999 <br />Note by the Secretariat on the draft Optional Protocol to the ICESCR.<br /><br />E/CN.4/1999/36 <br />14 January 1999 <br />Report of the Independent Expert on the effects of structural adjustment program policies on the full enjoyment on human rights<br /><br />E/CN.4/1999/112 <br />7 January 1999 <br />Note by the Secretariat on the draft Optional Protocol to the ICESCR.<br /><br />E/CN.4/DEC/1998/102 <br />9 April 1998 <br />Commission on Human Rights Decision, Effect of structural adjustment policies on the full enjoyment of human rights<br /><br />E/CN.4/1998/84 <br />16 January 1998 <br />Report of the Secretary General on the Draft optional protocol to the ICESCR<br /><br />E/CN.4/DEC/1997/103 <br />3 April 1997 <br />Commission on Human Rights Decision, Effect of structural adjustment policies on the full enjoyment of human rights<br /><br />E/C.12/1994/12 <br /> <br />Draft Optional Protocol: Report submitted by Mr. Phillip Alston<br /><br />E/CN.4/1997/105 <br />18 December 1996 <br />Status of the International Covenants on Human Rights, Draft optional to the ICESCR, Note by the Secretary-General<br /><br />E/1996/22 <br />12 December 1996 <br />Report on the Twelfth and Thirteenth sessions (1-19 May 1995, 20 November – 8 December 1995)<br /><br />GA Resolution, 2200A (XXI) <br />16 December 1966 <br />International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights<br /><br />GA Resolution, 2200A <br />16 December 1966 <br />International Covenant on Civil and Political Rights<br /><br /><br />Daftar Kasus<br /><br />Pengadilan Eropa:<br /><br />· Lopez Ostra v. Spain <br /><br />· Belgian Linguistic cases<br /><br />· Salesi v. Italy<br /><br />· Schuler-Zgragegen v. Switzerland. <br /><br /><br />Pengadilan Domestik:<br /><br />· Eldrige v. British Colombia (Attorney General) in the Canadian Supreme Court <br /><br />· Plyer v. Doe and Golberg v. Kelly (US Supreme Court)<br /><br />· Viceconte, Mariela Cecilia v. Ministry of Health and Social Welvare (the National Court of Appeals in Argentina). <br /><br /><br />Lainnya<br /><br />Palmer, Ellie ‘Judicial Review’. Class lecture material in International Human Rights Law programme. University of Essex (2001)<br /><br />‘Righting wrongs’, The Economist, August 18th 2001.<br /><br />The Economist, September 18th 2001.<br /><br />YLBHI. Kompilasi Data Penanganan Kasus. Direktorat Hak Asasi Manusia. 2004.<br /><br /><br />Catatan Belakang:<br /><br />[1] Lihat N. Bobbio. 1996, p. 32.<br /><br />[2] David McLellan. 1995. p. 1.<br /><br />[3] Roger Eatwell. 1999. p. vii.<br /><br />[4] Ibid.<br /><br />[5] Ibid. p. 3. <br /><br />[6] Ibid.<br /><br />[7] Ibid., p. 14.<br /><br />[8] Ibid, p. 13.<br /><br />[9] Simon Blackburn. 1996, p. 185<br /><br />[10] Roger Eatwell. Op.cit, p. 17.<br /><br />[11] Lihat Raymond Williams. 1980, pp 31-49.<br /><br />[12] Dikutip dari Henry Campbell Black. 1979, p. 1189.<br /><br />[13] Ibid, p. 1189.<br /><br />[14] Ibid.<br /><br />[15] Ibid. <br /><br />[16] Di Indonesia, rumusan ini diadopsi dalam konstitusi UUD 1945, pasal 28I ayat (4).<br /><br />[17] Masing-masing perjanjian international, mempunyai badan yang mengawasi pelaksanaan ketentuan dalam perjanjian. Badan ini disebut dengan Komite. Sebagai contoh Committee on Economic, Social and Cultural Rights dan Committee on Civil and Political Rights, dua komite yang dibentuk oleh International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).Untuk mengetahui prosedur ini, antara lain Lihat, English Kathryn and Adam Stapleton. 1995.<br /><br />[18] Lihat Patrick Hayden. 2001. <br /><br />[19] Kompilasi Data Penanganan Kasus. Yayasan LBH Indonesia. Direktorat Hak Asasi Manusia. 2004.<br /><br />[20] Dikutip dari Statement by the High Commissioner for Human rights Sergio Viera De Mello to the Fifty-Ninth Session of the Commission on Human rights, Geneva, 21 March 2003. Pernyataan Pazhwak tersebut, dinyatakan di Majelis Umum PBB pada 1966.<br /><br />[21] Lihat Shulamith Koenig. “Human Rights Education, Human Rights Culture and the Community of Non-Governmental Organizations: the Birth of a Political Ideology for the Twenty-First Century”. Teks dapat dibaca di website PDHRE.<br /><br />[22] Lihat Alwyn Thomson. “What’s Wrong With Rights’. Teks dapat dibaca di http://www.econi.org/LionLamb/021/rights2.html ECONI merupakah sebuah lembaga berbasis di Irlandia Utara, yang bekerja melayani umant Nasrani, terutama Evangelicals dalam membangun perdamaian dan rekonsiliasi.<br /><br />[23] Statemen ini dikutip dari The Economist, September 18th 2001.<br /><br />[24] Ajaran John Stuart Mill tentang (1806-73) dan F.A. Hayek (1899-1992) tentang individual freedom berpengaruh luas di US dan Eropa Barat. Lihat Richard Bellamy, ‘Liberalism” in Roger Eatwell and Anthony (eds.) 1999, p. 25-48. Secara khusus, mengenai idologi di Amerika Serikat, lihat David McLellan. 1995, p. 46-47, 55. Lihat juga, Bob Jessop. 1990, pp.145-169.<br /><br />[25] Sementara di Soviet Union dan Eropa Timur, dipengaruhi oleh project Karl Marx (1818-83) and Friedrich Engels (1820-95). Lihat David McLellan. Ibid, pp. 19, 25, 47; Roger Eatwell. Op.cit, pp. 12-13.<br /><br />[26] Tentang ajaran Karl Marx-Engels dapat dilihat dalam Robert C. Tucker (ed.), 1978, terutama, pp. 93-101;525-541.<br /><br />[27] Draft optional protocol dibawah ICESCR, lihat UN Doc. E/C.12/1994/12; E/CN.4/2001/62, 21 December 20001. UN Doc. Related with this issue: E/CN.4/1997/105, E/1996/22, E/CN.4/1998/84, E/CN.4/1999/112 and E/CN.4/1999/112/Add.1. Lihat juga Matthew Craven dalam Eide, Krause and Rosas 2001, pp. 468 – 71; Martin Scheinin dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., pp. 48-9; <br /><br />[28] UN Doc. CCPR/C/3/Rev.6. Lihat juga Dinah L. Shelton (1984) dalam Hurst Hannum (ed.), pp. 59-73.<br /><br />[29] ‘Righting wrongs’, The Economist, August 18th 2001.<br /><br />[30] Tentang isu ini lihat Paul Hunt. 1996. Reclaiming Social Rights: International ad Comparative Perspective, Aldershot: Dartmouth. pp. 24-31.<br /><br />[31] Ibid., p. 1. <br /><br />[32] ICJ Report on Banglore Conference, October 1995, http://www.icj.org/escr/bangalore.htm <br /><br />[33] Report of the Region Seminar of ESCR, 9-12 March 1998. http://www.icj.org/escr/loa.htm <br /><br />[34] Lihat Stephen A. Hansen, Developing Methodologies and Resources for Monitoring Violations of Economic Social and Cultural Rights, http://www.huridocs.org/hansen.htm. <br /><br />[35] Lihat Banglore Report, Op.cit.<br /><br />[36] Sebagai contoh, proyek dikerjakan AAAS and Huridocs menyusun thesaurus hak ekosob. Versi online pada: http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet <br /><br />[37] Dokumen tersebut dapat dibaca di: http://www.unhchr.ch/html/menu3/b/a_cescr.htm <br /><br />[38] Lihat Leckie dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., p. 152; Szyszczak dalam Eide, Krause and Rosas 2001. pp. 493 – 513.<br /><br />[39] Liebenberg. dalam Eide, Krause and Rosas. 2001, p. 61. <br /><br />[40] Ibid. pp. 61, 69, 71; P. Hunt. Op.cit., p. 29; Scheinin. Op.cit., p. 51.<br /><br />[41] Rodolfo Stavenhargen dalam Eide, Krause and Rosas. 2001., p. 107.<br /><br />[42] Scheinin. Op.cit. p. 41.<br /><br />[43] Novak. dalam Eide, Krause and Rosas (2001), p. 260.<br /><br />[44] Scheinin. Op.cit., p. 37.<br /><br />[45] Liebenberg, Op.cit., p. 71.<br /><br />[46] Ibid., pp. 72 – 3.<br /><br />[47] Ibid., p. 79.<br /><br />[48] Lihat Ellie Palmer ‘Judicial Review’. Class lecture material in International Human Rights Law programme. University of Essex (2001)<br /><br />[49] P. Hunt. Op.cit. <br /><br />[50] Simon Blackburn. 1996. Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford; New York: Oxford University Press. 185<br /><br />[51] Ibid., p. 185<br /><br />[52] Slavoj Zizek. 1989. p. 28. <br /><br />[53] Roger Eatwell. Op.cit, p. 5.<br /><br />[54] Abdullahi A. An-Na’im. “Hak Asasi Manusia, Agama dan Sekularisme: HAruskah Menjadi Suatu Pilihan?”. Jurnal Diponegoro 74. Tahun VIII/2004/No.11/Februari –Mei 2004., h. 9.</span>ARIEF PATRA M ZENhttp://www.blogger.com/profile/14277000746337974748noreply@blogger.com