Monday, April 30, 2007

Antibiotik Calon Hakim

Hakim pada semua badan peradilan, adalah pejabat negara. Statusnya sama seperti Presiden dan Wapres, Pimpinan DPR, Menteri atau Kepala Daerah. Karenanya, tidak berlebihan, seleksi hakim, yang notabene pejabat negara, mendapat perhatian dari masyarakat. Sebelum ditetapkannya, perubahan UU Kepegawaian melalui UU No. 43/1999, hanya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim di Mahkamah Agung (MA) saja yang merupakan pejabat negara.

Puncak karir seorang hakim tidak lain menjadi hakim agung, orang-orang pilihan, paling tidak diseleksi dengan 3 kriteria pokok, seperti yang berlaku di negara lain, yakni: mempunyai pengetahuan dan pengalaman; keterampilan dan kemampuan, serta, kualitas personal. Karenanya, seleksi calon hakim (Cakim), mesti menuju ke arah kualifikasi ini. Sayangnya, Cetak Biru Pembaruan MA, yang selesai pada 2003, dalam Bab V tentang Sumber Daya Manusia, belum secara spesifik membahas soal seleksi dan rekrutmen Cakim.


Bagaimana seorang Hakim Dipilih?

Hakim dilingkungan peradilan berstatus PNS. Masa kerja untuk kenaikan jabatan dan pangkat hakim, dihitung sejak pengangkatan seseorang sebagai calon PNS dengan status sebagai Cakim. Per definisi, hakim bekerja dilingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama serta Hakim dipekerjakan untuk tugas peradilan (justisial). Dalam bahasa sehari-hari, para hakim inilah yang disebut hakim karir.

Merujuk pada UU No. 8/2004 tentang Perubahan atas UU tentang Peradilan Umum, Pasal 14, untuk diangkat menjadi hakim, harus sudah menjadi pegawai negeri yang berasal dari Cakim. Hal mana juga berlaku pada Cakim di 3 lingkungan pengadilan lainya. Masa kerja untuk kenaikan jabatan dan pangkat pertama nantinya, dihitung sejak pengangkatan seseorang sebagai calon PNS dengan status sebagai Cakim.

Cakim, awalnya, mengikuti ujian masuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Jadi, jika ujian PNS bermasalah, maka proses rekrutmen Cakim juga bermasalah. Dalam praktik, rekrutmen PNS, masih mengandung sejumlah kelemahan pokok: tidak transparan (tertutup) dan masih belum bersih dari korupsi dan kolusi (lihat Patra M. Zen, dkk (eds), 2006).

Bulan Maret lalu, dilakukan pelaksanaan ujian Cakim untuk mengisi posisi di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. Di Jakarta saja, jumlah peserta yang mengikuti ujian tidak kurang dari 797 orang, yang mesti menjawab 300 soal dalam waktu 5 jam.

Secara singkat, masalah yang bisa muncul: pengumuman tentang adanya rekrutmen dan ujian, kebocoran soal, joki pengganti peserta ujian, pengawasan ujian yang tidak ketat, hingga kualitas soal dan hasil ujiannya sendiri. Terdapat juga kritik atas pelaksanaan ujian, yang bukan dilakukan secara sentralisasi oleh MA, melainkan diserahkan kepada masing-masing Pengadilan Tinggi.


Menyaring yang Unggul

Idealnya, hakim diseleksi dan direkrut berdasarkan kualifikasi pengetahuan dan keterampilannya, bukan karena preferensi kedekatan politik, sosial atau kepentingan ekonomis. Proses seleksi, tidak bisa secara alami, namun seperti evolusi yang direkayasa dan dipikirkan caranya, untuk terus bisa menerus menepis calon yang kurang berkualitas, menuju para Cakim yang profesional.

Masalah-masalah yang masih muncul, justru digunakan sebagai masukan untuk membuat membangun sebuah sistem pengobatan untuk menyembuhkan proses seleksi dan rekrutmen yang lebih baik.

Sejumlah usulan dapat dikemukakan. Pertama, sejak dari awal, perlakuan terhadap Cakim diberi perhatian khusus, dengan cara, para peserta ujian PNS yang hendak menjadi Cakim, sebaiknya mengikuti pendidikan khusus untuk Cakim.

Di Perancis dan Jerman, seleksi Cakim, pada dasarnya sudah dimulai sejak dibangku kuliah strata 1 di universitas. Selanjutnya, mengikuti pendidikan khusus (specialized education), lalu mengikuti ujian (exam) tertulis dan seringkali juga ujian lisan, Setelah itu mendapat pendidikan dan magang (training/apprenticeship).

Kedua, mendorong para mahasiswa yang lulus terbaik untuk mendaftar ujian Cakim. Hal ini semacam ini dilakukan di Jepang, utamanya setelah perang dunia. Seleksi hakim di negeri matahari terbit ini dimulai dengan mengidentifikasi lulusan-lulusan terbaik disejumlah universitas secara selektif, untuk diminta mendaftar ujian Cakim. Memang upaya seperti ini mesti didukung, dengan pemberian insentif, seperti gaji hakim yang cukup untuk menarik minat para lulusan terbaik perguruan tinggi. Sebagai catatan, berdasarkan PP No. 10/2007, gaji hakim yang terendah (golongan III-A) yakni Rp 1,79 juta.

Ketiga, MA, melibatkan pihak luar untuk proses penyelenggaran ujian Cakim. Tujuannya, antara lain, meminimalisir intervensi dan kolusi dari pihak internal dalam menentukan peserta yang lulus atau tidak lulus, seperti melibatkan pihak professional dalam pemeriksaan hasil ujian.


Membuka Ketertutupan

Salah satu isu yang juga penting yakni masalah ketertutupan dalam proses seleksi dan rekrutmen hakim. Karenanya, MA mesti memikirkan bagaimana mendorong transparansi proses ini.

Untuk mencegah desas-desus negatif, ada baiknya hasil ujian diberitahukan secara transparan, termasuk metode dan cara penilaiannya. Dengan meningkatkan transparansi semacam ini, diharapkan para peserta dapat mempersiapkan diri secara lebih baik.

Keterbukaan terhadap masukan pihak luar, pada dasarnya sudah dilakukan MA dalam upaya peningkatan kapasitas pengetahuan para hakim. Sebagai contoh proyek kerjasama antara MA dan British Council dengan dukungan Pemerintah RI dan European Union, bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kapasitas Pusdiklat MA dan program pendidikan bagi para hakim. Proyek ini juga, mendorong transparansi pengadilan dan akuntabilitas para hakim, antara lain dengan meningkatkan askes informasi hukum melalui internet dan penerbitan putusan-putusan hakim.

Namun demikian, program pendidikan tersebut akan memberikan hasil yang lebih maksimal jika ditopang juga dengan proses seleksi yang baik. Ibarat sebuah proses produksi, maka “bahan baku” juga menentukan hasil akhir dari sebuah produk. Jika bahannya sejak awal kurang tinggi mutunya, maka pendidikan lanjutan yang hendak dikembangkan juga akan mengalami kendala. Sejak berlakunya UU No. 5/2004, seluruh hakim, panitera, jurusita dan karyawan dilingkungan peradilan, proses pendidikannya ditangani Pusdiklat MA. Sejak 2001, dalam MA dibentuk Ketua Muda urusan Pengawasan dan Pembinaan (Tuada Wasbin), untuk mengawasi semua kegiatan dibidang personalia baik di MA dan semua badan peradilan, mulai dari proses rekrutmen, seleksi, penempatan, promosi, mutasi hingga pemberhentian.

Lantas bagaimana dengan munculnya Usulan agar Komisi Yudisial (KY) juga diberi kewenangan untuk menyeleksi hakim dilingkungan peradilan umum dan tata usaha Negara? Salah satu argumen yang melatarbelakangi usulan ini antara lain untuk mendorong proses seleksi dan rekrutmen lebih transparan. Namun, secara praktik, sulit untuk diwujudkan, karena selain tidak ada dasarnya dalam konstitusi saat ini, lebih baik kewenangan KY dibatasi dan difokuskan, hanya untuk proses seleksi hakim agung. Terpenting, MA mampu meningkatkan keterbukaan dan pelibatan masyarakat luas untuk mengawasi proses seleksi dan rekrutmen hakim kedepan.Hendaknya MA dapat menjadi “dokter” yang memberikan pengobatan atas gangguan proses seleksi calon hakim yang belum sehat. Semoga.
Load Counter