Monday, April 30, 2007

Putusan Mahkamah Konstitusi (UU Sumber Daya Air): Absennya Preferensi Ideologi Kerakyatan dan Penyemaian Relasi Dominasi di Indonesia

”…pengaturan oleh negara. Akan tetapi, dalam tataran paradigmatik, pengaturan oleh negara atas sumber daya air, seharusnya hanya menyangkut pengaturan dalam pengelolaan (manajemen) sumber daya air, agar air dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…”
(Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia)


"We have tried to develop the idea of rights to empower people ... to give them a sense of... self affirmation. The language of rights establishes a framework for the allocation of resources. Without the rights rhetoric, I am afraid that we will end up with a totally uncaring market system that will not solve our problems."
(Albie Sach, a judge on South Africa's Constitutional Court)


Pengantar

Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), merupakan corak upaya pencapaian konstitusionalisme di negeri ini: dan patut mendapat dukungan. Namun, dari sejumlah hal positif yang telah dicapai MK, terdapat persoalan pokok dan fundamental, yang perlu diselesaikan: putusan yang ditetapkan MK, dan bahkan melampaui tema ini: preferensi ideologi hakim konstitusi.

Artikel ini akan memberikan deskripsi sekaligus analisis terhadap putusan MK, yang dinilai tidak menyelesaikan masalah, malah sebaliknya menimbulkan problem hukum baru.[1] Secara khusus artikel ini akan membahas persoalan paling pokok berkaitan dengan putusan-putusan yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi, sekaligus menganalisis secara kritis putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang (UU) terhadap UUD 1945.

Bagian pertama, akan memuat problem dasar ditubuh Mahkamah Konstitusi, khususnya berkaitan dengan tidak jelas atau bahkan tidak adanya preferensi ideologi yang digunakan

Selanjutnya, dibagian kedua, merupakan uraian lebih lanjut akibat ketiadaan preferensi ideologi tersebut: ideal konstitusionalisme tidak dibangun oleh MK secara maksimal – jika tidak ingin disebut gagal, yang mengakibatkan bersemainya relasi dominasi di Indonesia: dominasi Negara atas rakyatnya; dominasi pemilik modal atas mayoritas masyarakat miskin di negeri ini.

Dibagian ketiga, akan didiskusikan betapa putusan hakim konstitusi atau hakim agung di negara-negara lain, diberikan penghargaan yang tinggi dan dianggap telah memberikan kontribusi besar bagi terbukanya jalan pemenuhan hak-hak ekonomi sosial budaya masyarakat di negara yang bersangkutan.

Dibagian akhir, akan dimuat rekomendasi singkat dan catatan penutup.


Preferensi Ideologi dalam Putusan MK

Preferensi ideologi merupakan sebuah fakta – yang suka atau tidak suka, mau atau tidak mau – dijalankan oleh sebuah Negara, termasuk kemungkinan dan peluang untuk memilih juridico political-ideology (ideologi politik hukum).

Hakim Konstitusi, secara individual dan mandiri, diberikan kesempatan untuk memilih pilihan ideologi politik hukumnya, termasuk memilih penggunaan sebuah istilah atau frasa dari sekian banyak istilah yang bermuatan ideologi (ekonomi dan politik), seperti akan diuraikan dibawah ini, dimana 2 (dua) hakim konstitusi memilih berbeda pendapat dengan 7 (tujuh) hakim konstitusi yang lain.

Hakim Konstitusi A. Mukthie Fadjar menyatakan:

“…pengaturan oleh negara atas sumber daya air, seharusnya hanya menyangkut pengaturan dalam pengelolaan (manajemen) sumber daya air, agar air dapat digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam rangka penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak manusia atas air (the right to water), yang secara universal sudah diakui sebagai hak asasi manusia. Bukan pengaturan dalam bentuk pemberian hak-hak tertentu atas air (water right) kepada perseorangan dan/atau badan usaha swasta, seperti yang dianut oleh UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA), yang dapat tergelincir menjadi privatisasi terselubung sumber daya air, sehingga mendistorsi ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, UU SDA yang begitu besar resistensi masyarakat terhadapnya, seyogianya direvisi dulu agar lebih tepat paradigmanya…, jika tidak, UU SDA akan inkonstitusional, sebab paradimanya tidak sejalan dengan paradigma UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.[2]

Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar selanjutnya, menyatakan, “Secara khusus, Permohonan pengujian materiil Para Pemohon atas UU SDA terhadap UUD 1945, seharusnya dapat dikabulkan sebagian”[3], yakni (1) Pasal 6 ayat (3) perihal hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air; (2) Pasal 7 ayat (1) perihal hak guna air dan hak guna usaha air, dan Pasal-pasal berikutnya yakni Pasal 8; (3) Pasal 9 ayat (1) perihal hak guna usaha air yang diberikan kepada perseorangan dan atau badan usaha; (4) Pasal 11 ayat (3) perihal penyusunan pola pengelolaan sumber daya air dengan melibatkan dunia usaha; (5) Pasal 26 ayat (7) perihal prinsip pemanfaat membayar biaya jasa pengelolaan; (6) Pasal 29 ayat (3) perihal diskriminasi pemakai air untuk pertanian rakyat yang berada dalam sistem irigasi yang sudah ada, dimana seharusnya negara memberikan perlakuan yang sama untuk penyediaan air bagi semua pertanian rakyat; (7) Pasal 38 ayat (2) perihal kewenangan usaha dan perseorangan dapat melaksanakan pemanfaatan awan dengan teknologi modifikasi cuaca; (8) Pasal 39 perihal pengabaian peran Pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada para petani gurem rakyat tradisional; (9) Pasal 40 ayat (4) perihal perluasan komersialisasi dan privatisasi air dalam sistem penyediaan air minum oleh swasta; (10) Pasal 41 ayat (5) perihal pemberian peranan swasta mengelola sistem irigasi di Indonesia, demikian juga Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal 46 yang memberikan kemungkinan pada swasta/perseorangan melakukan usaha sumber daya air permukaan.[4]

Sementara Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, menegaskan ulang dalil Pemohon hak atas air sebagaimana dimuat dalam Komentar Umum (General Comment) Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Committee on Economic Social and Cultural Rights) No. 15/2000 yang secara tegas menyatakan air sebagai hak asasi manusia.[5] Menurut Hakim Konstitusi Maruarar air sebagai hak asasi merupakan amanat UUD 1945, yang dimuat dalam pasal 28A dan pasal 28I ayat (1).[6] Yang menjadi norma dasar dalam sistem hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur air. Selanjutnya, Maruar menyatakan:

“Oleh karenanya dengan alasan bahwa pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2004 tanpa Pasal 7, Pasal 9, Pasal 40 ayat (4), serta Pasal 98, menjadi sulit, maka UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air itu juga seyogyanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan”.[7]

Hakim Konstitusi Maruarar, bahkan dengan menggunakan kewenangan jabatannya, memberikan putusan terhadap Pasal 98 tentang Aturan Peralihan yang memuat ketentuan “Perizinan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air yang telah diterbitkan sebelum ditetapkan Undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir”, yang menurutnya sebagai ketentuan “yang sangat merugikan dan dipandang inkonstitusional”[8]


B. Relasi Dominasi vs. Non-Dominasi: Kontitusionalisme dan Ketentuan Kontitusional

Secara sederhana, konstitusionalisme merupakan sebuah paham yang percaya bahwa pemerintahan dijalankan berdasarkan perjanjian dan prosedur (peraturan hukum) yang disusun melalui proses partisipasi publik secara luas. Dapat juga diartikan, sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan konstitusi, yang biasanya melalui konstitusi tertulis (a written constitution). Lewat konstitusi, kekuasaan pemerintah tidak tak terbatas: diseimbangkan antara otoritas dan kekuasaan untuk mendorong perwujudan relasi non-dominasi.

Relasi non-dominasi dapat dibedakan dari relasi dominasi, yakni dominasi “kekuasaan ekonomi politik” satu pihak terhadap pihak lain, yang secara spesifik sebuah kekuasaan untuk campur tangan dengan basis intervensi. Sementara, relasi non-dominasi mencakup ideal kebebasan sebagai “position that someone enjoys when they live ini the presence of other people and when, by virtue of social design, non of those others dominates them”.[9]

Immanuel Pettit, mengembangkan penilaian dan penguraian dimensi etis dan politis dari demokrasi konstitusionalisme dalam sistem republik sebagai jawaban bagi model pembaruan hukum. Pettit menawarkan 2 strategi pokok untuk mencapai relasi non-dominasi: kekuasaan yang bersifat timbal balik (reciprocal power) dan melalui ketentuan/ketetapan konstitusional (constitutional provision). Selanjutnya menurut Pettit, strategi kedua, berupaya untuk menghapuskan atau mereduksi dominasi bukan dengan membuat kemungkinan-kemungkinan bagi kelompok-kelompok yang didominasi untuk mempertahankan diri mereka dalam menghadapi, melawan, menghalangi campur tangan sewenang-wenang, tetapi mengenalkan sebuah otoritas konstitusional untuk merespon situasi relasi dominasi – termasuk yang ditimbulkan oleh ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks inilah, pada dasarnya putusan MK menjadi penting untuk dilihat, sebagai upaya melakukan pembaruan hukum melalui constitutional provisions.


C. Melongok “Putusan Hakim” Negeri Orang

Putusan Hakim Konstitusi Afrika Selatan dalam perkara Grootboom vs. Oostenberg Municipality, et.al, mengeluarkan putusan yang memberikan perintah kepada Pemerintah untuk menyediakan perumahan (shelter) bagi masyarakat yang digusur paksa, termasuk mengembangkan dan mengimplementasikan program perumahan bagai masyarakat.[10] Di negeri ini, Hakim Konstitusi juga pernah mengeluarkan putusan yang memerintahkan Pemerintah untuk menyediakan akses terhadap pelayanan kesehatan pokok.[11]

Putusan Mahkamah Konstitusi Kolombia memerintahkan pemerintah untuk merelokasi tempat para anak-anak dari keluarga miskin agar difasilitasi bersekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya.[12]

Di Hungaria, Hakim Konstitusi menetapkan putusan bahwa semua warga negara berhak untuk memperoleh manfaat dari rencana alokasi anggaran yang disusun pemerintah.[13] Sementara di Latvia, Hakim Konstitusi mengeluarkan putusan meminta Negara untuk mengembangkan sistem yang efisien untuk memenuhi hak-hak sosial, termasuk jaminan keamanan sosial warga negara.[14]

Sebagai tambahan, dilevel putusan Mahkamah Agung, dapat dicontohkan putusan Mahkamah Agung India, yang menyatakan hak atas akses air minum merupakan fundamental terhadap hak hidup dan menjadi kewajiban negara untuk menyediakan air bersih untuk warga negara.[15]


D. Penutup

Rekomendasi yang ingin diajukan, pada dasarnya, bersifat bukan hanya ditujukan pada MK. Karena masalah muncul di gedung MK, pada dasarnya juga dijangkiti lembaga-lembaga negara lain. Namun demikian, secara khusus, memang diperlukan dorongan dan penafsiran ulang terhadap ketentuan yang mendasari pembentukan MK: UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Penafsiran ulang ini dilakukan agar masalah-masalah yang muncul dapat diselesaikan.

Dibagian akhir, jika diajukan pertanyaan “apa dampak putusan MK bagi pengembangan ekonomi nasional” berkaitan dengan putusan pengujian UU Ketenagalistrikan, UU Kehutanan, Migas dan Sumber Daya Air?

Jawabnya tentu tidak mengejutkan, berdampak positif bagi ekonomi pemodal Asing, masih menguntungkan untuk ekonomi pejabat dan elite nasional, masih dapat dibagi-bagi untuk ekonomi pebisnis nasional; (mohon) maaf belum berdampak baik bagi ekonomi rakyat kecil secara nasional!


Daftar Pustaka

Centre on Housing Rights and Evictions. “50 Leading Case on Economic, Social and Cultural Rights: Summaries”. Working Paper No. 1. ESC Rights Litigation Programme. June 2003.

Pettit, Philip. 1999. Republicanism: A Theory of Freedom and Government. Oxford: Oxford University Press.

Zen, A. Patra dan Daniel Hutagalung. “Paradigma Pembaruan Hukum Di Indonesia: Agenda Lembaga-lembaga Negara”. Penelitian pada Alter-Law, 2003. Tidak dipublikasikan.


UN doc.

GA Res. A/58/330, 28 August 2003. Fifty-eight session. Item 119(b) of the provisional agenda. Human rights questions: human rights question, including alternative approaches for improving the effective enjoyment of human rights and fundamental freedoms. The right to food.

----------. A/58/427, 10 October 2003. “Fifty-eight session. Agenda item 117(c). Human rights situation: Human rights situation and reports of special Rapporteur and representatives. The right of everyone to enjoy the highest attainable standard of physical and mental health”.

ECOSOC Res. E/CN.4/2004/48/Add.2, 4 March 2004. Adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living. Report by the Special Rapporteur, Milloon Kothari. Addendum Mission to Afghanistan (31-13 September 2003).

----------. E/CN.4/2004/SR.29, 5 April 2004. Commission on Human Rights. Sixtieth session. Summary Record of the 29th Meeting. Held at the Palais des Nations, Geneva, on Wednesday, 31 March 2004, at 9 a.m. Chairperson: Mr. SMITH (Australia).

----------. E/CN.4/2003/54, 10 January 2003. Commission on Human Rights. Fifty-ninth session. Item 10 of the provisional agenda. Economic, Social and Cultural Rights. The Right to food. Report submitted by the Special Rapporteur on the right to food, Jean Ziegler, in accordance with Commission on Human Rights resolution 2001/25.

----------. E/CN.4/Sub.2/2002/18, 19 August 2002. Commission on Human Rights. Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights Fifty-fourth session. Agenda item 4. Economic, Social and Cultural Rights. The Social Forum. Report of the Chairman-Rapporteur, José Bengoa, in accordance with Sub-Commission resolution 2001/24.

CHR Res. E/CN.4/2004/WG.23/CRP.2, 3 February 2004. Information provided by the Government of Croatia. Report of the International Conference on Economic, Social and Cultural Rights. Hosted by the Republic of Croatia and the International Commission of Jurists, 2-4 September 2003. Cavtat-Dubrovnik, Croatia.

---------. HR/CESCR/NONE/2004/3. Committee on Economic, Social and Cultural Rights. Thirty-third session. Geneva, 8-26 November 2004. Item 6 of the provisional agenda. Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Consideration of reports submitted by states parties in accordance with article 16 of the international covenant on economic, social and cultural rights.


* Pengantar diskusi pada Focus Group Discussion (FGD) Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Judicial Review dan Dampaknya Bagi Penyelenggaraan Pemerintahan”, Jakarta 4 Mei 2006. Diselenggarakan kerjasama Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Indonesia-Australia Legal Development Facility (IALDF).


[1] Lihat KRHN. “Term of Reference (TOR) Focus Group Discussion (FGD) Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Judicial Review dan Dampaknya Bagi Penyelenggaraan Pemerintahan”, Jakarta 4 Mei 2006, h. 2.

[2] Putusan MK Perkara Nomor 058-059-060-063/PU-II/2004. Perkara Nomor 008/PUU-III/2005 (UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air) – selanjutnya disebut dengan Putusan MK SDA, h. 507 – 508.

[3] Ibid., h. 508.

[4] Lihat, Ibid. h. 508 – 513.

[5] Ibid, h. 513.

[6] Ibid, h. 513.

[7] Ibid, h. 522.

[8] Ibid, h. 521.

[9] Philip Pettit. 1999. Republicanism: A Theory of Freedom and Government. Oxford: Oxford University Press, pp. 66 -67.

[10] Constitutional Court South Africa, Case CCT 11/00, 4 October 2000.

[11] Constitutional Court South Africa, Case CCT 8/02, 5 July 2002. TAC vs. Minister of Health.

[12] Constitutional Court Colombia. Decision T-170/03, Februari 28, 2003. Mora v. Bogota District Education Secretary and Ors.

[13] Constitutional Court Hungary. Decision No. 43/1995.

[14] Constitutional Court Latvia. Case No. 2000-08-0109.

[15] Supreme Court India. 2000 SOL Case No. 637.
Load Counter