Monday, April 30, 2007

BHS, Sup Ayam, dan Dapur Aksi-Refleksi Pemenuhan Hak Ekosob

Dalam katalog jaminan hak asasi manusia (HAM) yang dinyatakan dalam norma dan standar internasional tentang HAM, terdapat sebuah jaminan hak setiap orang memperoleh bantuan hukum.[1] Di Indonesia, jaminan atas hak ini, antara lain dinyatakan dalam UU No. 14/1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).

Dalam UU No. 14/1970 dinyatakan, “setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum”.[2] Sementara KUHAP memuat jaminan seorang tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari advokat selama dan dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, guna kepentingan pembelaan.[3]

Lama sebelum UU No. 39/1999 tentang HAM, dan UU No. 18/2003 tentang Advokat, secara cuma-cuma para pengacara, advokat dan PBH telah melayani dan memberikan jasa hukum[4] – konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain – untuk kepentingan klien dan konstituen LBH. YLBHI dan LBH, yang awal pembentukannya didukung Peradin, bersama-sama organisasi masyarakat sipil lain, lebih dari 30 tahun memperjuangkan hak setiap orang untuk memperoleh keadilan.[5]

Artikel pengantar diskusi ini akan memberikan gambaran tentang konsep bantuan hukum struktural (BHS) dan keterkaitan konsep ini dengan perjuangan mendorong perlindungan dan pemenuhan HAM.


Sup Ayam dan Bantuan Hukum Struktural

James Petras, dalam sebuah tulisannya, pernah menguraikan peran lembaga swadaya masyarakat, antara lain memfasilitasi pelayanan dapur-dapur umum untuk memasak sup (soup kitchen) bagi para korban hak asasi manusia.[6] Aktivitas ini dapat dengan mudah dijumpai, dilakukan oleh LSM di Negara-negara Amerika Latin.

Sejak pendiriannya, YLBHI – LBH, bukanlah jenis LSM kitchen soup diatas. Lembaga ini tidak membuat dan menyediakan sup ayam, melainkan memproduksi gagasan dan memberikan pelayanan bantuan hukum kepada individu dan kelompok masyarakat – yang ter/dimarjinalkan secara sosial, ekonomi dan politik. Salah satu produk gagasan yang dikembangkan YLBHI – LBH adalah konsep/ide ‘bantuan hukum struktural’ (BHS).

BHS merupakan perkembangan, tahap lanjut dari konsep pelayanan bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan buta hukum. BHS secara singkat, merupakan sebuah konsep yang melihat bantuan hukum kepada masyarakat tidak semata-mata untuk menangani kasus per kasus lewat aktivitas litigasi, namun sebagai upaya perjuangan kolektif untuk melawan penindasan struktural dan isme-isme otoriter-totalitarian, dan isme-isme yang sejenisnya.

Dengan menggunakan konsep BHS, dapat dimengerti, advokat dan pekerja bantuan hukum (PBH) tidak hanya mempromosikan dan mendorong perwujudan hak konstitusional berupa persamaan kedudukan setiap orang didalam hukum dan pemerintahan[7] serta hak atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan hukum[8], melainkan hak asasi manusia secara keseluruhan – hak-hak sipil dan politik (hak-hak sipol) dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob). Dapat dimengerti juga, mengapa para advokat dan PBH tidak hanya menggunakan mekanisme hukum dalam melakukan aktivitas advokasi non-litigasi – seperti melakukan aksi politik di domestik maupun di fora internasional.


Dapur Aksi dan Refleksi

Di malam bahagia, pelantikan direktur LBH salah satu kantor LBH yang tertua, ada baiknya kita mengambil analogi dapur sup terhadap YLBHI dan 15 kantornya. Seorang koki masak tidak akan dapat membuat sup yang lezat, dengan hanya membaca buku resep. Seseorang (koki) akan dapat menghidangkan sup yang lezat jika melakukan siklus aktivitas: belajar resep, mempraktikan resep yang ia baca, dan dalam perjalanannya menyusun resep baru berdasarkan pengalaman praktiknya. Aktivitas siklus ini, sebaiknya terus dilakukan oleh advokat dan pekerja bantuan hukum YLBHI – LBH.

Dengan aktivitas siklus aksi – refleksi tersebut, boleh jadi, YLBHI – LBH, bukan saja memproduksi ide, tetapi juga memproduksi tidak sedikit orang-orang berpengaruh tidak hanya dibidang hukum, tetapi berpengaruh dibidang-bidang lainnya. Sebagai contoh, almarhum Munir, almarhum Yap Thiam Hien merupakan contoh paling praktis untuk dijadikan rujukan memperkuat argumen ini.

Adakalanya, advokat dan PBH mesti berani mencoba resep baru – bahkan resep yang sebelumnya tidak dikenal. Dalam konteks ini, akomodasi dan inkorporasi Negara dan aparat penegak hukum terhadap bentuk gugatan class action, standing NGOs dan citizen law suit, menjadi contoh dimana ‘resep’ yang sebelumnya ‘tidak diakui’ berubah menjadi menu pokok, selain bentuk gugatan yang sudah ada sebelumnya. Resep lain yang saat ini sedang dicoba-uji, yakni ‘justisiabilitas hak-hak ekonomi sosial budaya’, dimana diharapkan pada suatu ketika korban-korban hak ekosob dapat mengklaim hak konstitusional dan hak hukumnya melalui prosedur hukum yang berlaku di Indonesia.[9]

Koki handal tak henti bertukar pengetahuan dan pengalaman tentang resep-resep andalannya, meminta saran dari para konsumen penikmat hidangannya. Begitu pun advokat dan PBH, sebaiknya tak henti bertukar pikiran dan pengalaman dengan siapa pun untuk tujuan-tujuan yang mulia.

Semoga dengan aksi dan reflesi yang selalu dilakukan PBH dan advokat YLBHI – LBH bersama organisasi-organisasi masyarakat lainnya, suatu ketika, kita atau generasi selanjutnya dapat mencicipi kenikmatan perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi di Indonesia.

* Diskusi dan Pelantikan Direktur LBH Surabaya, “Bantuan Hukum Struktural dan Hak Asasi Manusia”, Surabaya, 15 Februari 2006.


[1] Lihat antara lain UN doc. CESCR. General Comment No. 7. Sixteenth session (1997), Para 15; CHR. General Comment No. 28. Sixty-eight session (2000), Para. 18; CERD, General Recommendation XXIX. Sixty session (2002), Art. 5(u).

[2] UU No. 14/1970, Pasal 35. Lihat juga Pasal 36 dan 37.

[3] KUHP, Pasal 54.

[4] Lihat UU No. 18/2003, Pasal 22 dan Kode Etik Advokat Indonesia, Pasal 7(h).

[5] Lihat UU No. 39/1999, Pasal 17, 18, 19

[6] Lihat James Petras. “Imperalism and NGOs in Latin America” in Monthly Review. Volume 49 Number 7. Desember 1997. Selanjutnya lihat A. Patra M. Zen, “Kebijakan Bantuan Luar Negeri Kepada NGOs Indonesia: Pengantar Diskusi, Kebijakan Bantuan Pemerintah Australia kepada YLBHI”, Jakarta 2005.

[7] UUD 1945, Pasal 27(1).

[8] UUD 1945, Pasal 28D(1).

[9] Untuk penjelasan ringkas tentang konsep justisiabilitas hak ekosob, lihat “Justisiabilitas dan Hak Klaim Masyarakat Korban Industri Pertambangan atas Hak-hak Ekosob” dalam A. Patra M. Zen. 2005. Tak Ada Hak Asasi yang Diberi. Jakarta: YLBHI, hal. 69 – 72.
Load Counter