Monday, April 30, 2007

Rahasia Negara: Rahasia untuk Apa?

Pengantar


Penjelasan draft RUU Rahasia Negara, diparagraf paling awal mengutip pasal yang menjamin HAM dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dinyatakan dalam penjelasan, dinyatakan:

“Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 28F, mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”


Selanjutnya, penjelasan RUU ini juga mengutip Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis” (Cetak tebal dan garis bawah dari penulis)

Paper singkat ini ditulis dengan mengacu pada Draft RUU yang didapat Tim Monitoring RUU Rahasia Negara YLBHI saat menghadiri “Diskusi RUU tentang Rahasia Negara” yang diselenggarakan Sekretariat Jenderal Departemen Pertahanan, Biro Hukum, pada 16 Januari 2006 – selanjutnya dalam tulisan ini disebut Draft 16 Januari 2006..

Terdapat sejumlah perbedaan (pengurangan dan penambahan rumusan pasal), atara drat RUU (Kerahasiaan Negara) versi 21 Oktober 2005 dengan Draft 16 Januari 2006, antara lain penghapusan rumusan “terwujudnya kepemerintahan yang baik” dalam konsideran ‘Menimbang” huruf d (16 Januari 2006). Penambahan rumusan ‘orang’ dan ‘korporasi’, penambahan rumusan pidana denda. Tidak ada perubahan yang signifikan dalam rumusan definisi rahasia negara dalam draft 16 Januari 2006.

Tabel

Definsi Rahasia Negara
Versi 21 Oktober 2005

Segala sesuatu yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia; serta dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional dan ketertiban umum

Versi 16 Januari 2006

Segala sesuatu yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, membahayakan keutuhan, membahayakan keselamatan Negara Negara Kesatuan Republik Indonesia; serta dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional dan ketertiban umum


Rahasia Negara dalam Norma dan Standar Hukum Hak Asasi Manusia

Soal rahasia Negara dalam hukum internasional hak asasi manusia, berkaitan setidaknya dengan 2 pasal Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yakni pasal 12 dan pasal 19.[1] Kovenan internasional ini – juga Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) – sudah disetujui diinkorporasikan kedalam hukum Indonesia lewat persetujuan bersama DPR dan Pemerintah pada Sidang Paripurna DPR, 30 September 2005.[2]

Pasal 12 ICCPR memuat ketentuan obligasi (kewajiban) Negara untuk menjamin hak setiap orang memilih tempat tinggal dan kebebasan untuk berpergian didalam maupun ke luar negeri atau sebaliknya, memasuki Negara asalnya. Walaupun ada ketentuan restriksi, jaminan ini hanya dapat ditunda pemenuhannya jika ada unsur “keperluan” yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.[3] Pembatasan dapat dilakukan, sebagai contoh untuk keperluan menjaga keamanan nasional atau kemaslahatan masyarakat.

Penjelasan mengenai pasal 12 ICCPR tersebut dapat ditemukan dalam Komentar Umum (General Comment) No. 12 yang disusun Komite Hak-hak Sipil dan Politik (CCPR).[4] Dalam paragraf 16, Komite menjelaskan Negara seringkali gagal untuk menunjukkan pelaksanaan peraturan perundang-undangannya yang disusun untuk membatasi hak asasi yang dijamin dalam pasal 12 ayat (1) dan (2) telah sesuai dengan ketentuan dalam pasal 12 ayat (3). Selanjutnya Komite menyatakan, penundaan pemenuhan hak setiap orang yang dijamin dalam pasal 12 harus berdasarkan pada aturan hukum yang jelas (clear legal grounds) dan memenuhi prinsip “keperluan” (necessity) dan prinsip proporsional (proportionality). Kondisi ini tidak dapat dilanggar, sebagai contoh, jika seseorang dilarang meninggalkan Negaranya hanya dengan alasan bahwa dirinya menyimpan “rahasia Negara” (“state secrets”) atau jika seseorang dilarang bepergian didalam negeri karena tidak memiliki izin khusus. Pembatasan dapat dilakukan, seperti larangan memasuki zona militer atau pembatasan memasuki wilayah yang didiami oleh komunitas masyarakat adat.

Pasal 19 ICCPR juga berkaitan erat dengan soal “rahasia Negara”. Pasal ini memuat ketentuan jaminan hak asasi setiap orang untuk berpendapat; berekspresi, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide/gagasan secara lisan maupun terlulis. Sama halnya, dengan pasal 12, jaminan hak ini hanya dapat ditunda atau dibatasi hanya jika memenuhi prinsip “keperluan” (necessity) dan prinsip proporsional (proportionality). Penundaan hak ini, juga diwajibkan diatur dalam peraturan perundang-undangan dan aturan hukum yang jelas.

Berkaitan dengan pasal 19 tersebut, Komite Hak-hak Sipil dan Politik memberikan penjelasan bahwa jika Negara melakukan pembatasan atau penundaan tidak boleh membahayakan keseluruhan pemenuhan hak-hak ini.[5]

Selain itu, dalam konteks Indonesia, secara umum, rumusan pasal dalam (R)UU Rahasia Negara juga berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal ini berkaitan dengan praktik dan kejahatan korupsi. Materi RUU termasuk definisi “rahasia Negara” jika tidak diatur secara jelas, rinci dan ketat, berakhir menjadi ketentuan karet, yang selanjutnya menjadi tirai besi bagi lembaga-lembaga Negara, termasuk birokrasi untuk menutup informasi perihal dugaan korupsi dan kejahatan lainnya didalam lingkungan lembaga dan instansi yang bersangkutan.

Kaitan dengan korupsi dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sangat jelas. Sebagai ilustrasi, dalam sebuah pertemuan dunia yang membahas Millenium Development Goals[6], salah seorang wakil pemerintah Indonesia bertanya kepada Ms. Evelyn Herfkens, the UN Secretay General’s Executive Coordinator for the MDGs Campaign: “apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia untuk mencapai tujuan dan target ini?” Oleh Ms. Herfkens, pertanyaan ini dijawab, “kalau pemerintah Indonesia bisa memberantas dan mencegah korupsi, maka hal itu lebih dari cukup”.


Ideal Norma Hak Asasi Manusia dalam dalam (R)UU Rahasia Negara

Rumusan pasal dalam RUU Rahasia Negara wajib menjamin perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Karenanya, mesti dirumuskan sejalan dengan, paling tidak 5 prinsip dibawah ini:
1. rumusan pasal yang jelas dan masuk akal (clear and reasonable legal grounds)
2. prinsip ‘keperluan’ (necessity)
3. prinsip ‘proporsional’ (proportionality)
4. perlindungan keamanan manusia dan masyarakat (human and community security)
5. keterbukaan informasi secara maksimal dan pengecualian terbatas/limitatif (maximum disclosure and limited exemption)

Rahasia negara, karena menyangkut masalah pertahanan Negara, dapat mesti dapat didefinisikan dengan jelas. Rahasia negara, diklasifikasikan dengan mempertimbangkan bahwa secara fakta memang rahasia dan dari isinya (the fact that it is confedential or its nature or contents). Sebagai contoh, “informasi, benda, dan/atau aktivitas” rahasia negara, yang berkaitan dengan “Pertahanan”. Dalam Official Secrets Act 1989 Inggris, definisi “defence” mempunyai arti:

1. “the size, shape, organisation, logistics, order of battle, deployment, operations, state of readiness and training of the armed forces of the Crown;

2. the weapons, stores or other equipment of those forces and the invention, development, production and operation of such equipment and research relating to it;

3. defence policy and strategy and military planning and intelligence;

4. plans and measures for the maintenance of essential supplies and services that are or would be needed in time of war”.[7]


Demikian juga ruang lingkup rahasia negara, dalam Official Secrets Act 1989 Inggris, yang berkaitan dengan hubungan internasional (internasional relations), diklasifikasikan rahasia, karena jika diketahui oleh yang tidak berhak akan:

“membahayakan kepentingan Negara diluar negeri, ancaman serius bagi promosi dan perlindungan kepentingan Negara atau membahayakan keamanan warga negara yang berada di luar negeri (endangers the safety of citizens abroad)”[8]

Undang-undang Kerahasiaan Nasional Swedia (National Secrecy Act) sebagai contoh, dirumuskan dengan prinsip “all official documents were available to the public” (semua dokumen pemerintah dapat diakses masyarakat). Jikapun dianggap perlu untuk ditutup untuk publik, dengan pengecualian dapat diakses oleh Ombudsman Parlemen (Parliamentary Ombudsman).[9] Hal yang sama diatur dalam Freedom of Information Act, 2000 Inggris.

Dalam konteks Indonesia, DPR yang akan membahas RUU ini perlu diingatkan, jangan sampai RUU ini nantinya, malah menjadi hambatan dan masalah bagi pelaksanaan fungsi DPR, sebagai “lembaga perwakilan rakyat”, yang mempunyai 3 fungsi pokok: legislasi, anggaran dan pengawasan.[10] Selanjutnya, RUU ini juga jangan sampai menghambat tugas dan wewenang DPR, khususnya dalam “melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, anggaran pendapatan dan belanja negara, serta kebijakan pemerintah”. [11]

Untuk itu DPR perlu secara sungguh-sungguh mencermati dan sedapat mungkin menghapus wewenang Pemerintah untuk mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, apalagi Peraturan Presiden sebagai “turunan” dari (R)UU ini.


Kebebasan Masyarakat dan Keadilan Sosial

Rahasia Negara dalam disiplin hukum hak asasi manusia telah menjadi perhatian serius dari lembaga-lembaga hak asasi manusia PBB.

C.1. Rahasia Negara, Kebebasan Individu dan Masyarakat

Berkaitan dengan promosi, perlindungan dan pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, setidakya ada 2 standar hukum internasional yang relevan untuk dirujuk, yakni:

1. Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information, yang diadopsi dalam pertemuan ahli di Afrika Selatan pada 1 Oktober 1995[12];
2. Principles on Freedom on Information Legislation (the Publics Right to Know)[13]

Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) pada 20 April 2000, menyatakan keprihatinan mereka terhadap pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pemenuhan hak ini banyak dilanggar atas nama, dan disebabkan definisi karet kejahatan terhadap keamanan Negara.[14]

Abid Hussain, Pelapor Khusus untuk Promosi dan Perlindungan Hak untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi, dalam laporannya, pernah memuat kasus yang berkaitan dengan ‘rahasia negara’. Pada 6 Februari 1996, Pengadilan Warsawa, Polandia, menvonis Jerzy Urban, pemimpin redaksi media NIE, dengan 1 tahun pidana penjara dan denda 10,000 zlotys karena dituduh mempublikasikan rahasia Negara. Dirinya juga dilarang mempublikasikan tulisan-tulisannya dan harus berhenti dari jabatannya sebagai pemimpin redaksi selama 1 tahun.[15]

Contoh lain yang pernah disampaikan Hussain, kasus di Irlandia. Dalam laporannya, dimuat kasus seorang jurnalis yang dihukum karena mempublikasi informasi tanpa izin.[16] Juga terjadi di Kirgiztan, Mr. Nochevkin, dituduh telah menyebarluaskan rahasia negara, lewat artikel yang dipublikasikannya.[17]

Selanjutnya, Pelapor Khusus tentang Anti-Peyiksaan, Sir Nigel Rodley pernah memuat kasus di Cina dalam laporannya. Ngawang Choephel, dihukum 18 tahun penjara dengan tuduhan yang berkaitan dengan rahasia negara.[18] Sementara Pelapor Khusus tentang Hak atas Kesehatan, pernah melaporkan kasus penghukuman Ma Shiwen, Deputi Direktur, Kantor Pencegahan Penyakit di Henan, Cina. Ma ditahan karena dituduh menyebarkan rahasia Negara dengan menggunakan komputernya untuk mengirim laporan kepada aktivis AIDS, yang berisikan informasi tentang pusat pengambilan darah ilegal, ketiadaan informasi tentang HIV/AID, dan penyebaran HIV di penduduk desa yang menjual darahnya di Provinsi Henan.[19]

C.2. Rahasia Negara, Korupsi dan Kejahatan terhadap Hak Ekosob

Definisi karet adalah benteng yang paling cocok untuk praktik korupsi lewat norma rahasia negara jelas mengancam pemenuhan hak ekosob. Sebagai contoh, hilangnya kesempatan anak-anak usia sekolah menikmati pendidikan dasar cuma-cuma. Katarina Tomasevski, Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Pendidikan, pernah menyatakan bahwa hak atas pendidikan yang cuma-cuma (free) untuk level pendidikan dasar (primary education) tidak terlaksana di Indonesia disebabkan oleh praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) – yang menjadi singkatan yang telah mendunia. Dalam laporan misinya ke Indonesia, 1 – 7 Juli 2002, Tomasevski menyatakan:

“Financial obstacles are not confined to the nominally allocated education funds since education is not exempt from the notorius KKN. An unknown part of education funds in lost through misappropriation and corruption.”[20]

C.3. Pencegahan Kejahatan HAM oleh Undang-Undang

Untuk mencegah derogasi dan kejahatan HAM oleh UU, maka, ruang lingkup kebijakan dan tindakan negara yang diklasifikasikan rahasian negara (Pasal 5 draft 16 Januari 2006), dibatasi hanya dalam:

1. pertahanan dan keamanan negara;

2. hubungan internasional.

Selanjutnya, mengenai (3) bidang proses penegakan hukum, (4) ketahanan ekonomi nasional, (5) sistem persandian negara, (6) sistem intelijen negara dan (7) aset vital negara, dihapus dalam (R)UU Rahasia Negara. Hal ini mencegah penyalahgunaan tugas dan wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan kepemerintahan yang berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Jika pun UU nantinya memuat 7 bidang, sebagaimana dirumuskan dalam RUU Draft 16 Januari 2006, maka definisi dan lingkupnya mesti dimuat dalam UU, bukan diatur peraturan dibawah Undang-Undang, baik itu Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden



Penutup

Masih ingat kasus yang menimpa Abdul Muis Pulungan baru-baru ini? Abdul Muis, aktivis LSM di Mandailing Natal, Sumut diperiksa polisi karena dugaan pelanggaran UU No. 7/1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan. Pasal 11(1) UU ini menyatakan, “(b)arangsiapa dengan sengaja melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf a Undang-Undang ini dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun”.

Abdul Muis melaporkan dugaan korupsi Bupati Mandailing Natal Sumut, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selaku Ketua Pengendali Timtas Tipikor. Surat ini tertanggal 12 Agustus 2004. Polisi memanggil Abdul Muis untuk diperiksa atas dasar laporan polisi tertanggal 1 November 2005. Ia dituduh memiliki arsip ‘rahasia negara’ secara melawan hukum. Arsip yang dimaksud adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, yang digunakan Abdul untuk melaporkan dugaan korupsi ke Timtas Tipikor.

Hasil audit BPK tersebut memang mencantumkan sifat “rahasia”. Namun, oleh BPK sendiri, hasil audit ini sudah dilaporkan ke DPR, DPD dan DPRD, sehingga tidak dapat disebut ‘rahasia negara’. Ketua BPK Anwar Nasution sempat menyatakan bahwa dokumen yang dimiliki Abdul Muis bukan lagi merupakan arsip negara yang harus dirahasiakan.[21]

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution sempat mengatakan bahwa hasil audit BPK yang sudah dilaporkan ke DPR, DPD dan DPRD bukan lagi merupakan arsip negara yang harus dirahasiakan. Dengan kata lain, hasil audit bersifat rahasia sepanjang belum dilaporkan ke lembaga-lembaga tersebut.[22]

Jika tak ada perubahan substansial dalam RUU Rahasia Negara, dapat dipastikan akan banyak Abdul Muis – Abdul Muis berikutnya, atau sebaliknya, orang malah memilih diam untuk mengungkapkan kebenaran! Semoga tidak.

Paper pada FGD “Menyoal Kerahasiaan Negara secara Komprehensif dalam Sistem Negara Demokratik”, Imparsial, Jakarta 9 – 10 Februari 2006.

[1] Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Kovenan ini diadopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi 2200A (XXI), 16 Desember 1996, untuk selanjutnya berlaku sebagai perjanjian internasional pada 23 Maret 1976.

[2] Berita tentang ratifikasi 2 kovenan ini, lihat antara lain: Kompas. 1 Oktober 2005. “Dua Kovenan HAM Diratifikasi. Dengan Reservasi pada Hak Menentukan Nasib Sendiri”; Suara Pembaruan, 1 Oktober 2005. “RI Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik”.

[3] Lihat art. 12 (2) ICCPR.

[4] UN doc. CCPR/C/21/Rev.1/Add 9. General Comment No. 27: Article 12 (Freedom of movement). Sixty-seventh session (1999).

[5] Lihat UN doc. CCPR. General Comment No. 10: Article 19 (Freedom of opinion). Nineteenth session (1983)., para. 4.

[6] Millenium Development Goals (MDGs) berisikan daftar tujuan dan target pembangunan, yang diadopsi dalam Millenium Summit di New York, September 2000. Target dan tujuan pembangunan, antara lain: menghapus kemiskinan dan kelaparan dan pemenuhan pendidikan dasar.

[7] Official Secrets Act, UK, 1989, art. 2.

[8] Ibid., art. 3.

[9] Lihat CAT/C/SR.292. 9 May 1997, para. 10.

[10] UU No. 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 25.

[11] Ibid, Pasal 26.

[12] UN doc. E/CN.4/1996/39, annex.

[13] UN doc. E/CN.4/2000/63, annex II.

[14] UN doc. E/2000/38. 60th meeting. 20 April 2000. para. 4.

[15] Lihat E/CN.4/1998/40/Add.2, 13 January 1998, paras. 27 – 28.

[16] Lihat UN doc. E/CN.4/2000/63/Add.2, 10 January 2000, para. 51.

[17] Lihat UN doc. E/CN.4/2002/75/Add.2, 25 February 2002 , para. 170; lihat juga E/CN.4/2001/64, paras. 179 and 180.

[18] Lihat UN doc. E/CN.4/2000/9, paras. 228 – 229.

[19] Lihat E/CN.4/2004/62/Add.1, 26 March 2004, para. 150.

[20] UN doc. E/CN.4/2003/9/Add.1, 4 November 2002., para. 63.

[21] Lihat Hukum Online. 24 November 2005. “Hasil Audit BPK yang Sudah Dilaporkan Bukan Lagi Rahasia Negara” Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=13960&cl=Berita; 23 November 2005. “Pelapor Dugaan Korupsi Dijerat dengan UU Kearsipan” Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=13949&cl=Berita

[22] Lihat Ibid.
Load Counter