Monday, April 30, 2007

Bukan Sekedar Menandatangani: Obligasi Negara Berdasarkan Kovenan Hak Ekosob

A. Patra M. Zen dan Andik Hardiyanto


Abstrak

Pasca penginkorporasian International Covenant on Economic and Social Cultural Rights menjadi hukum nasional melalui UU No. 11/2005, Indonesia diikat untuk menjalankan kewajibannya seperti dimuat dalam ketentuan Kovenan. Artikel ini mendeskripsikan, menganalisis, sekaligus memberikan contoh dan ilustrasi praktis perihal Obligasi Negara. Disusun kedalam 4 bagian, artikel ini menjelaskan ruang lingkup obligasi negara; pelanggaran obligasi negara, termasuk indikatornya, serta; prosedur dan mekanisme pengawasan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

After incorporation of International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights by Law No. 11/2005, Indonesia are legally binding to implement all state parties obligation as contain in Covenant. This article described and analyzed as well as shows example and practical illustration regarding State’s obligation. It’s formulated into 4 section, explain definition and mean of State obligation; violation of the obligation, including its indicators, and; monitoring procedure and mechanism based on the Covenant.

Keywords:

Kovenan – Obligasi Negara – Mekanisme dan Prosedur Pengawasan – Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya


Pembuka

Babak baru itu, ditandai dengan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah pada 30 September 2005. Dalam sidang Paripurna, dibacakan hasil sidang untuk meratifikasi piagam hak asasi manusia: International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Selanjutnya, pada 28 Oktober 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU No. 11 dan No. 12 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – selanjutnya dalam tulisan ini disingkat dengan Kovenan Hak Ekosob – dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Ratifikasi terhadap the bill of human rights ini membangkitkan harapan baru bagi lahirnya tindakan yang lebih nyata bagi pemajuan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia di negeri ini.

Tentu saja pengesahan tersebut, dilakukan dengan sadar, terdapat obligasi (kewajiban) internasional yang melekat pada Negara pasca meratifikasi kedua kovenan tersebut. Dalam tulisan ini, pembahasan akan difokuskan pada obligasi Negara pasca ratifikasi Kovenan Ekosob.

Artikel ini disusun kedalam 4 bagian. Dibagian pertama, akan dipaparkan “kelirumologi” 3 sesat pendapat berkaitan dengan ketentuan dan implentasi Kovenan Hak Ekosob, khususnya berkaitan dengan tema “realisasi bertahap” (“progresif realization”) dan “sumber daya” (“resources”).

Selanjutnya, bagian kedua, akan dideskripsikan dan dianalisis obligasi (kewajiban) Negara berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan Ekosob. Dibagian ini akan dicakup rumpun obligasi pokok Negara dan secara khusus membahas obligasi negara berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob.

Bagian ketiga, dimuat tema “pelanggaran hak ekosob”, termasuk indikator keberhasilan dan kekagalan, yang dapat digunakan untuk menilai pelaksanaan obligasi Negara. Dibagian ini, kemudian, dibahas juga mekanisme pelaksanaan obligasi negara berdasarkan klausula Kovenan Hak Ekosob.

Dibagian akhir, merupakan catatan penutup, memuat harapan: peristiwa peratifikasian Kovenan Hak Ekosob, dipaku untuk tonggak upaya mewujudkan keadilan sosial dan kebebasan masyarakat.


A. Keliru Pandang Ketentuan dalam Kovenan Hak-Ekosob

Meminjam istilah “kelirumologi”-nya Djaya Suprana, paling tidak ada 3 kesalahan dan sesat pandang yang berkaitan dengan implementasi hak ekosob.

A.1. Seluruh prinsip dan pemenuhan Hak Ekosob dipenuhi secara bertahap (progressive realization)

Prinsip non-diskriminasi merupakan sebuah prinsip yang secara otomatis menjadi kewajiban negara dalam pemenuhannya. Tidak dikenal implementasi prinsip non-diskriminasi secara bertahap. Karenanya, pemenuhannya dilakukan secara seketika. Obligasi Negara dalam Pasal 2 ayat (2) Kovenan adalah menjamin hak-hak dalam Kovenan Hak Ekosob dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lainnya, asal-usul kebangsaan atau status sosial, kekayaan atau lainnya. Obligasi Negara dalam konteks ini adalah pernyataan “komitmen” dan “kemauan baik”, yang tidak mengenal “setengah komitmen” atau “komitmen setengah-setengah” melainkan “komitmen penuh” untuk menjamin prinsip non-diskriminasi, termasuk memastikan persamaan laki-laki dan perempuan menikmati semua hak-hak ekosob yang dijamin dalam Pasal 3 Kovenan.

Selain obligasi dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut, obligasi dalam Pasal 5 Kovenan juga dapat dipenuhi oleh Negara secara seketika, yakni: menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui dan melakukan pembatasan-pembatasan melebihi prinsip yang diperbolehkan Kovenan. Negara dalam hal ini dapat mengimplementasikan obligasinya dengan seketika.

A.2. Semua pemenuhan hak ekosob membutuhkan biaya

Ilustrasi ini dapat dijadikan contoh: jika pemerintah daerah (Pemda) belum mampu untuk memberikan fasilitas perumahan yang layak dalam bentuk apapun, sebagaimana menjadi obligasi Negara berdasarkan Pasal 11 Kovenan maka Pemda jangan melakukan penggusuran![1] Tidak melakukan penggusuran paksa merupakan sebuah praktik yang tidak membutuhkan dana.

Baru-baru ini Pemda DKI Jakarta dan Pemda Bandung sibuk mencari wilayah untuk tempat pembuatan akhir sampah-sampah penduduk kota. Artinya, pemerintah memberikan perhatian dan mencarikan tempat untuk sampah; sebaliknya apakah masyarakat miskin kota lebih hina dari sampah, sehingga pemerintah daerah hanya main gusur; tanpa mencarikan solusi agar mereka mendapatkan tempat untuk bernaung?

A.3. Semua pemenuhan hak ekosob mesti menunggu sumber daya yang berlimpah

Komite Hak Ekosob pernah menyatakan dalam pemenuhan hak ekosob, seluruh sumber daya yang ada harus digunakan dengan cara yang paling efektif (all existing resources must be devoted in the most effective way).[2] Dalam konteks ini, paling baik untuk mencontoh apa yang dilakukan I Gde Winarsa, Bupati Jembrana: sebuah kabaputen yang “tidak gemuk” PAD-nya (lihat tabel 1), tetapi mampu menjalankan core-obligation dalam pemenuhan hak-hak ekosob, utamanya hak atas pendidikan dan kesehatan.

Tabel 1

Jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Pendapatan Asli Daerah
Kabupaten Jembrana (2000 – 2004)
(dalam Rupiah)


Sumber: Dharma Santika Putra dan Nanoq da Kansas. 2004: 218.


Dengan jumlah APBD dan PAD tersebut, Bupati I Gde Winarsa, pada dasarnya telah memenuhi obligasi yang dinyatakan dalam Pasal 10 Kovenan – memberikan perlindungan dan fasilitas bantuan pada keluarga. Juga perwujudan obligasi yang ditentukan oleh Pasal 13 Kovenan, utamanya hak anak-anak untuk mendapatkan akses pendidikan dasar: menurunkan angka drop-out pelajar (lihat Tabel 2).


Tabel 2
Contoh Indikator Pemenuhan Hak-hak Ekosob di Kabupaten Jembrana
Indikator

2001 dan 2002

Keluarga Miskin
19,4%
10,9%
Berkurang 44%

Kematian Bayi (per 1.000 lahir hidup)
15.25
8,39
Berkurang 45%

Tingkat kegagalan menyelesaikan sekolah (drop-out) Sekolah Dasar
0,08%
0,02%
Berkurang 75%

Sumber: Diolah dari Yayasan TIFA,. 2005: 5.


Selain itu, I Gde Winarsa, tercatat sebagai pimpinan daerah yang mendapat pengakuan rekognisi publik, seperti mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI), yakni: (1) menjadi pelopor perwujudan program pendidikan dasar yang diwajibkan dan cuma-cuma (compulsory and free of charge); (2) memenuhi hak kesehatan masyarakat: menyediakan dan memfasilitasi pelayanan kesehatan gratis melalui program. Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ); (3) dalam skala tertentu berupaya menyediakan air bersih, dengan menjalankan proyek pengolahan air mineral dari air laut; (3) untuk mendukung hak atas pekerjaan, di kabupaten ini, juga membebaskan pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi lahan sawah.

Implementasi obligasi pemerintah dalam memenuhi hak ekosob, sebagaimana contoh-contoh tersebut, suka atau tidak, langsung dan tidak langsung: menghantarkan I Gde Winarsa mencapai rekor MURI baru: memperoleh prosentase suara terbanyak dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 12 Oktober 2005, mencapai 88,56 persen dari total suara yang sah. Selanjutnya, lagi-lagi langsung dan tidak langsung menghantarkan Ratna Ani Lestari, sebagai Bupati Banyuwangi. MURI mencatat rekor: I Gde Winarsa dan Ratna Ani Lestari sebagai pasangan suami-isteri (Pasutri) pertama yang menjadi Kepala Daerah.[3]


B. Obligasi Negara Berdasarkan Ketentuan Kovenan Hak Ekosob

Dengan pengikatan Indonesia sebagai Negara Pihak Kovenan Hak Ekosob, maka penafsiran pasal-pasal dalam Kovenan, maka penafsiran tentang isi kovenan ini tidak dapat “secara sewenang-wenang” diklaim oleh lembaga-lembaga Negara, termasuk DPR dan Pemerintah, namun mesti merujuk pada naskah asli dan sumber-sumber yang diakui, seperti penjelasan yang diadopsi Komite Hak-hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob) yang dibentuk berdasarkan ketentuan Kovenan. Dalam konteks ini, UU No. 11/2005, Penjelasan Pasal 1 ayat (2) dinyatakan, jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli dalam bahasa Inggris serta pernyataan (declaration) terhadap Pasal 1 Kovenan Hak Ekosob.

Hal tersebut penting kembali diingatkan. Sebagai contoh berkaitan dengan “hak atas air” sebagai “hak asasi manusia” – sebagai elemen hak yang utama dalam Pasal 11 dan 12 Kovenan, maka DPR dan Pemerintah, mesti merujuk pada pengertian “the right to water” sebagaimana dijabarkan dalam Komentar Umum (General Comment) Komite Ekosob No. 15 yang menjelaskan Pasal 11 dan 12 Kovenan.[4] DPR dan Pemerintah tidak dapat semena-mena menafsirkan hak atas air sebagai “water rights” a la Bank Dunia (World Bank) atau penafsiran yang dianut UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, yang mengizinkan hak guna pakai dan hak guna usaha atas air, yang pada prinsipnya memperbolehkan komersialisasi air untuk keuntungan orang seorang dan badan usaha privat.

Jika didalami, Kovenan Hak Ekosob disusun, tidak lain dan tidak bukan untuk perlindungan dan pemenuhan hak, agar setiap orang dan kelompok masyarakat dapat menikmati semua katalog hak ekosob, setinggi-tingginya dan semaksimal mungkin, yang bisa dicapai manusia. Disinilah kerangka kerja Negara mesti disusun agar meningkatkan penikmatan hak-hak ekosob semua orang, bukan sebaliknya malah Negara berkontribusi terhadap penurunan (degradasi) penikmatan hak ekosob warga-negaranya.

Untuk tujuan tersebut, disiplin hukum internasional hak asasi manusia mengenalkan “minimum core obligation” atau obligasi pokok yang paling minimum yang harus dipatuhi dan diimplementasikan Negara.[5] Karenanya, apakah terjadi pelanggaran obligasi Negara atau tidak, akan dieksaminasi dan diperiksa apakah negara yang bersangkutan telah melakukan segala upaya menggunakan segala sumber daya untuk melakukan obligasi pokoknya dalam pemenuhan hak ekosob.

Contoh dalam pemenuhan hak atas pendidikan dasar yang diwajibkan dan cuma-cuma sebagaimana dijamin dalam Pasal 14 Kovenan.[6] Ironis, anak-anak dari keluarga miskin tidak dapat menikmati pendidikan dasar, sebaliknya para anggota DPR dan DPRD malah menikmati studi banding yang menghabiskan bukan saja ratusan juga bahkan miliar rupiah setiap periode 5 tahun keanggotaan sebagai “wakil rakyat”.

Dalam Komentar Umum Komite Ekosob No. 11, dinyatakan:

“Article 14 …requires each State party which has not been able to secure compulsory primary education, free of charge, to undertake, within two years, to work out and adopt a detailed plan of action for the progressive implementation, within a reasonable number of years, to be fixed in the plan, of the principle of compulsory primary education free of charge for all”.[7]


B.1. Lima Layer Obligasi Pokok: Rumpun Obligasi yang Saling Berkait

Atas jasa International Law Commission, disiplin hukum hak asasi manusia mengenal 2 bentuk obligasi Negara yang pokok berdasarkan Kovenan Hak Ekosob: obligations of conduct dan obligation of result.[8] Obligation of conduct, merupakan obligasi atau kewajiban Negara untuk melakukan sesuatu, semua upaya dan segala tindakan untuk menerima (to mempromosikan (to promote), menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) – memfasilitasi (to facilitate) dan menyediakan (to provide) – penikmatan hak-hak ekosob.

Mengakui (to recognize)

Klasifikasi obligasi Negara dalam mengakui bahwa hak ekosob merupakan hak asasi manusia. Sehingga, seperti jika terjadi pelanggaran atau kejahatan hak-hak sipil politik, maka semestinya Negara mengakui semua mekanisme dan konsekwensi yang mesti ditanggung para pelaku pelanggaran hak ekosob. Misalnya: jika banyak keluarga miskin yang tidak dapat memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan; tidak dapat memasukan anak-anaknya ke sekolah karena mahalnya biaya pendidikan, maka, pejabat yang berkompeten dalam hal ini, mesti mempertanggunjawabkannya dalam sistem hukum di Indonesia (justiciable).[9]

Obligasi Negara dalam hal mengakui prinsip-prinsip pemenuhan hak ekosob, juga secara tegas dinyatakan dalam hal upaya-upaya bantuan teknis internasional. Sebagai contoh, Negara berkewajiban untuk menerima “the essential importance of international cooperation based on free consent”.[10]

Mempromosikan (to promote)

Aparat Negara, termasuk aparat penegak hukum dan birokrasi mesti melakukan promosi hak-hak ekosob. Promosi bukan saja dilakukan melalui penyebaran iklan layanan masyarakat tetapi juga melalui pelibatan masyarakat sipil secara aktif.

Program-program promosi atau seringkali disebut dengan sosialisasi mutlak wajib dilakukan. Hal ini agar dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan distribusi manfaat atau hasil-hasil yang ingin dicapai oleh program pemenuhan hak ekosob. Partisipasi masyarakat semacam ini (full and meaningful participation), dimungkinkan jika Negara mensosialisasikan rencana, peraturan atau kebijakan “pembangunan” secara luas agar dapat diketahui dan dipahami oleh publik.[11]

Pentingnya Negara dalam menjalankan obligasi promosi, telah menjadi perhatian yang pokok oleh Komite Hak Ekosob, termasuk dalam hal Pelaporan yang dilakukan Negara Pihak.[12]

Menghormati (to respect)

Obligasi penghormatan yang mesti dilakukan Negara, mempunyai makna, negara tidak melakukan tindakan yang justru membatasi sebagian atau seluruhnya hak-hak ekosob masyarakat. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan maksud agar terpenuhinya hak-hak itu sendiri.

Dalam klasifikasi ini, antara lain, Negara wajib menghormati persetujuan sukarela calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 10 ayat (1) Kovenan).

Contoh lain, Negara tidak diperkenankan untuk melakukan intervensi baik melalui peraturan perundangan atau kebijakan, maupun campur tangan langsung hak seseorang atau kelompok untuk membentuk serikat buruh/pekerja atas pilihannya sendiri atau melakukan pemogokan (Pasal 8 Kovenan)

Melindungi (to protect)

Salah satu contoh yang paling prudent obligasi Negara untuk melindungi hak ekosob, yakni memastikan adanya “legal security of tenure”,[13] keamanan hukum kepemilikan atas tanah. Keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 35/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan Umum, pada dasarnya bertentangan dengan obligasi Negara untuk melindungi hak atas tanah: karena tidak diatur dengan jelas mekanisme perlindungan bagi seseorang atau kelompok masyarakat yang tanahnya diambil-alih.[14] Dalam Perpres ini seharusnya dimuat jaminan reparasi (rehabilitasi, restitusi dan kompensasi) bagi si pemilik tanah.

Contoh lain adalah memberikan perlindungan dalam bentuk peraturan perundang-undangan agar setiap orang dapat menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, termasuk memastikan pekerja/buruh memperoleh upah yang adil, yang dapat menghidupi keluarganya secara layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, kesempatan memperoleh promosi ke jenjang yang lebih tinggi, serta menikmati istirahat, liburan dan pembatasan kerja yang wajar dan hak-hak yang melekat didalamnya (Pasal 7 Kovenan).

Selanjutnya, Negara berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Kovenan wajib memberikan perlindungan khusus kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan, karenanya berhak mendapat cuti dengan upah/gaji dan jaminan sosial yang memadai. Sementara Pasal 10 ayat (3) Kovenan, meminta Negara untuk melakukan perlindungan bagi anak-anak dan remaja dari semua bentuk eksploitasi ekonomi dan sosial.

Perlindungan, sebagai obligasi Negara, juga dilakukan seperti memastikan setiap orang bebas dari kelaparan (Pasal 11 ayat (2) Kovenan) dan bebas untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan).

Memenuhi: memfasilitasi dan menyediakan (to fulfill: to facilitate and to provide)

Obligasi untuk memenuhi hak asasi manusia secara inheren mempunyai makna Negara melakukan upaya untuk memfasilitasi dan menyediakan hak-hak ekosob setiap warga negaranya. Perwujudan obligasi Negara untuk pemenuhan hak ekosob, sebagaimana dimuat dalam Kovenan sebagai berikut:
- Menyediakan lapangan kerja dan memfasilitasi bimbingan teknis, program-program pelatihan, dan kegiatan ekonomi produktif (Pasal 6 Kovenan);
- Menyediakan dan memfasilitasi jaminan sosial termasuk asuransi sosial bagi setiap warga negara (Pasal 9 Kovenan);
- Menyediakan bantuan kepada keluarga untuk merawat dan mendidik anak-anak yang masih dalam tanggungannya (Pasal 10 Kovenan);
- Dengan kerjasama internasional, Negara menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pangan, sandang dan perumahan, dan perbaikan kondisi hidup semua orang secara terus menerus (Pasal 11 Kovenan);
- Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas standar kesehatan fisik dan mental setinggi-tingginya yang dapat dicapai (Pasal 12 Kovenan);
- Menyediakan dan memfasilitasi (akses) atas pendidikan, termasuk memenuhi hak setiap orang menikmati pendidikan dasar yang wajib dan cuma-cuma (compulsory and free of charge) (Pasal 13 dan 14 Kovenan). Tidak seperti sekarang, “cuma” bayar SPP, “cuma” bayar buku, dan seterusnya pungutan yang membebani siswa dan orang tua murid;
- Menyediakan dan memfasilitasi (akses) semua orang untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapannya (Pasal 15 ayat (1) Kovenan);

B.2. Mengenal Lebih Dekat: Obligasi Negara Menurut Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob

Pasal 2 ayat (1) Kovenan Hak Ekosob menyatakan:

“Setiap Negara Peserta Kovenan ini berupaya untuk mengambil langkah-langkah, secara sendiri maupun melalui bantuan dan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang ekonomi dan teknis, sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia, yang mengarah pada pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnya dari hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dengan semua cara yang tepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif”.

Menurut Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Komite Hak Ekosob), Pasal 2 tersebut mengandung kepentingan khusus untuk mencapai pemahaman seutuhnya atas Kovenan dan harus dilihat dalam hubungannya yang dinamis dengan semua ketentuan Kovenan lainnya. Pasal 2 ini menjelaskan sifat dari kewajiban yang umum ditempuh oleh Negara Peserta Kovenan.[15]

Selain itu, nampak penting di sini untuk memahami arti dari istilah-istilah yang digunakan dalam Pasal 2 Kovenan untuk memahami bagaimana implementasi kewajiban Negara seharusnya dijalankan. Istilah-istilah seperti: berupaya mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps), sejauh dimungkinkan oleh sumberdaya yang tersedia (to the maximum available resources), pencapaian secara bertahap demi realisasi sepenuhnya (achieving progressively the full realization), dan dengan semua cara yang tepat, termasuk pada khususnya dengan mengadopsi langkah-langkah legislatif (by all appropriate means including particularly adoption of legislative measures)’ adalah bersifat unik dan tidak terdapat, atau tidak digunakan dalam obligasi yang dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol).

Penggunaan istilah “Setiap Negara Peserta... berupaya mengambil langkah-langkah” sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 (1) Kovenan Hak Ekosob, memang biasanya ditafsirkan dengan kandungan arti implementasi Kovenan secara bertahap. Namun demikian, Komite Hak Ekosob melalui Komentar No. 3 telah menjelaskan bahwa,

“…walaupun realisasi sepenuhnya atas hak-hak yang relevan bisa dicapai secara bertahap, namun langkah-langkah kearah itu harus diambil dalam waktu yang tidak lama setelah Kovenan berlaku bagi Negara Peserta bersangkutan.”[16]

Langkah-langkah tersebut haruslah dilakukan secara terencana, konkrit dan diarahkan kepada sasaran-sasaran yang dirumuskan sejelas mungkin dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban Kovenan.’

Komite Hak Ekosob mengakui bahwa negaralah yang harus memutuskan langkah-langkah yang tepat dan hal tersebut bergantung pada hak yang hendak diimplementasikan. Selanjutnya Komite menegaskan bahwa, laporan Negara Peserta harus menyebutkan tidak hanya langkah-langkah yang telah ditempuh namun juga alasan mengapa langkah-langkah tersebut dianggap sebagai paling tepat berikut situasi-situasinya.[17] Interpretasi Komite terhadap istilah ‘all appropriate measures’ jelas berkaitan baik dengan kewajiban melakukan (obligations of conduct) maupun kewajiban hasil (obligation of result).

Sementara itu berkait istilah ‘mengadopsi langkah-langkah legislatif’ (adoption of legislative measures) Komite memberi peringatan bahwa keberadaan hukum jelas penting tetapi hal tersebut belumlah cukup membuktikan Negara Peserta telah menjalankan kewajibannya sesuai Kovenan. Berdasarkan pengalaman Komite ketika membahas laporan Kanada menyatakan, jika laporan difokuskan secara sempit pada aspek-aspek legal semata, maka kecurigaan biasanya akan muncul berkenaan dengan adanya kesenjangan antara peraturan perundang-undangan dengan praktek.

Dalam kenyataan, pembelajaran dan ekspresi dari banyak Negara Peserta dalam mengimplementasikan kewajibannya telah mendorong pentingnya aplikasi pendekatan berbasis hak dalam “pembangunan”. Suatu kebijakan ekonomi atau pembangunan memang untuk mencapai kesejahteraan warganegaranya, tetapi mereka tidak dapat dibuat menunggu pemenuhan hak-hak asasinya sampai klaim “pertumbuhan ekonomi” memungkinkan hal itu.

Kini ratifikasi Kovenan Hak Ekosob memberi pemahaman mendasar bahwa peningkatan ekonomi haruslah secara nyata didasarkan pada penghormatan dan realisasi hak asasi manusia. Pada titik ini, Komite sekali lagi memberi peringatan bahwa klausul realisasi secara progresif sepatutnya juga dicerminkan pada pelaksanaan kewajiban yang menjamin agar tidak terjadi perkembangan regresif atau kemunduran.

Jika hal itu pun terpaksa dilakukan dan terjadi, maka harus dijalankan dengan pertimbangan yang sangat hati-hati, dibutuhkan justifikasi penuh dengan mengacu pada inti hak yang ditentukan dalam Kovenan dan dalam konteks pemanfaatan sejauh mungkin atas sumberdaya yang ada. Komite mengakui pentingnya sumberdaya bagi pemenuhan hak-hak ini, tetapi tidak menganggap bahwa ketersediaan sumberdaya sebagai alasan untuk lepaskan kewajibannya. Dalam kasus semacam ini, Komite menyatakan bahwa, dalam kasus dimana sejumlah cukup signifikan rakyat hidup dalam kemiskinan dan kelaparan, maka Negara harus membuktikan bahwa kegagalannya memenuhi hak-hak orang-orang ini memang diluar kendali. Disinilah konteks gagasan kewajiban minimum (minimum core obligation) yang dikembangkan oleh Komite.

Komite melihat bahwa setiap Negara Peserta mempunyai kewajiban minimum untuk memenuhi tingkat pemenuhan yang minimum dari setiap hak yang terdapat dalam Kovenan. Komentar Umum No. 3 memberi ilustrasi yang sangat jelas untuk hal ini. Sebagai contoh, jika terdapat penduduk secara massal, menderita kelaparan, tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, tak mempunyai tempat bernaung dan perumahan, atau tidak menikmati pendidikan dasar, maka dapat dinyatakan Negara gagal menjalankan obligasinya berdasarkan Kovenan.[18]

Lebih jauh Komite menjelaskan bahwa sekalipun didapati kenyataan tidak cukupnya sumberdaya yang ada, kewajiban Negara tetap dijalankan untuk menjamin pemenuhan hak yang seluas-luasnya dalam kondisi yang sangat terbatas itu. Bahkan, pada saat terjadi keterbatasan sumberdaya yang akut, anggota masyarakat yang rentan dapat dan memang harus mendapatkan perlindungan dengan diadopsinya program-program yang dirancang relatif murah.

Pasal 2 ayat (1) Kovenan, juga menegaskan tentang perlunya kerjasama dan bantuan internasional berkait dengan upaya realisasi hak. Pada kenyataannya memang Negara Peserta mengalami kesulitan dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak secara penuh. Dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga, yang biasanya menunjuk pada keterlibatan lembaga atau badan pembangunan multilateral dan keuangan internasional, untuk mendukung bantuan teknis dan pinjaman dana.

Problemnya, pada banyak Negara, bahwa pada akhirnya mereka menjadi sangat tergantung pada aliran dana luar negeri, terjebak pada hutang luar negeri yang sangat besar, dan sementara itu sebagian besar penduduknya tetap dan jatuh miskin. Kesulitan utama dari persoalan ini adalah operasional dari lembaga atau badan pembangunan multilateral dan keuangan internasional itu lepas dari kerangka kerja hak asasi manusia, dan Negara pengutang tidak berdaya karena situasi ketergantungan dan keterjebakan hutang yang dialaminya.

Pada suatu titik momentum ketika kelaparan dan kemiskinan menjadi musuh nomor satu dari semua Negara di dunia ini, kerjasama pembangunan internasional ditandai oleh berbagai perubahan cara pandang dan kebijakan yang merujuk pada pemahaman bahwa realisasi hak asasi manusia merupakan kunci untuk lepas dari situasi ini. Tetapi terpisahnya logika globalisasi ekonomi dengan kerangka kerja hak asasi manusia menjadikan harapan akan membaiknya situasi derita dunia menjadi pupus kembali.[19]


C. Pelanggaran Hak dalam Kovenan Hak Ekosob dan Monitoring Obligasi Negara

C.1. Pelanggaran Hak Ekosob: Indikator Keberhasilan dan Kegagalan Obligasi Negara

Komite menegaskan bahwa Negara Peserta yang penduduknya dalam jumlah yang signifikan mengalami kekurangan bahan pangan, kekurangan pelayanan kesehatan dasar, tiada akses terhadap pemukiman dan perumahan yang layak, atau tiada akses terhadap pendidikan dasar merupakan petunjuk awal bagi kegagalan Negara untuk memenuhi kewajiban sebagaimana diatur Kovenan. Pemahaman ini didasarkan pada keberadaan gagasan kewajiban minimum (minimum core obligation) yang dikembangkan oleh Komite. Konsep kewajiban minimum diajukan oleh Komite untuk menyangkal alasan tidak adanya sumberdaya sebagai faktor yang mencegah pemenuhan kewajiban. Komite menegaskan bahwa Negara mempunyai kewajiban minimum guna memenuhi realisasi setiap hak yang terdapat dalam Kovenan pada tingkat yang minimum. Kegagalan untuk memenuhi kewajiban minimum dapat disebut sebagai pelanggaran terhadap hak yang termuat dalam Kovenan Hak Ekosob.

Dalam perkembangannya, penguatan konsep pelanggaran Hak Ekosob terus dilakukan oleh banyak ahli hukum hak asasi manusia internasional yang kemudian dituangkan dan dikenal sebagai Prinsip-Prinsip Limburg (the Limburg Principles). Prinsip-prinsip ini memberikan kerangka dasar bagi pengembangan lebih lanjut atas berbagai asumsi dan konsep pelanggaran Hak Ekosob.[20] Tetapi yang penting dipahami di sini adalah bahwa kegagalan Negara Peserta untuk memenuhi kewajiban yang terkandung dalam Kovenan jelas merupakan pelanggaran terhadap Kovenan.

Pelanggaran terhadap Kovenan tersebut, dapat dimaknai, dalam situasi dan kondisi dimana Negara Peserta:
(i) gagal mengambil langkah-langkah seperti yang disyaratkan dalam Kovenan;
(ii) gagal menyingkirkan segera atas berbagai hambatan yang menghalangi realisasi hak secara penuh;
(iii) gagal untuk mengimplementasikan hak yang perlu segera direalisasikan;
(iv) menerapkan pembatasan atas hak yang diakui dalam Kovenan dengan alasan-alasan yang tidak sesuai seperti yang disyaratkan Kovenan;
(v) sengaja menghambat atau menghalangi realisasi bertahap atas hak-hak yang diakui dalam Kovenan;
(vi) gagal menyampaikan laporan sebagai ditentukan dalam Kovenan.

Sementara itu, di sisi lain, karena pengembangan konsep pelanggaran hak banyak difokuskan pada pemenuhan kewajiban, maka pemahaman akan penegakan realisasi hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan wilayah eksekutif dengan berbagai kebijakan dan programnya. Komite jelas menolak pemahaman ini. Komite menyatakan bahwa hak ekosob juga menjadi urusan pengadilan. Dengan begitu, menurut Komite, penegakan hak-hak yang terkandung dalam Kovenan Hak Ekosob ini bisa ditangani oleh pihak yudikatif. Komite Hak Ekosob melalui Komentar Umum No. .3 telah mengidentifikasi beberapa ketentuan Kovenan yang bisa ditangani segera oleh pihak yudikatif, seperti:
- non-diskriminasi dalam realisasi hak (Pasal 3 Kovenan);
- upah yang adil dan setara; upah yang sama bagi pekerjaan yang sama antara laki-laki dan perempuan (Pasal 7 huruf (a) angka (i) Kovenan);
- hak untuk membentuk serikat buruh dan hak mogok (Pasal 8 Kovenan);
- perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan sosial (Pasal 10 ayat (3) Kovenan);
- pendidikan dasar (Pasal 13 angka (2) huruf (a) Kovenan);
- hak orang tua untuk memilihkan sekolah bagi anak-anaknya guna menjamin pendidikan agama serta moral yang sesuai dengan keyakinan mereka (Pasal 13 ayat (3) Kovenan);
- hak untuk mendirikan dan mengarahkan sekolah (Pasal 13 ayat (4) Kovenan);
- kebebasan melakukan penelitian ilmu pengetahuan serta kegiatan kreatif (Pasal 15 ayat (3) Kovenan).

Untuk mengukur apakah Negara berhasil atau sebaliknya gagal dalam menjalankan obligasinya, seperti termuat dalam Kovenan Hak Ekosob, dapat menggunakan kebijakan dan standard yang sudah ada. Jika belum maka, perlu dibuat blue-print untuk masing-masing pemenuhan hak ekosob, yang dimuat dalam katalog hak Kovenan – utamanya dalam Bab III (Pasal 6 sampai dengan 15 Kovenan)

Sebagai contoh, dalam rangka pemenuhan hak setiap orang untuk menikmati standard hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk ketercukupan pangan, pakaian dan perumahan yang layak, serta peningkatan kondisi kehidupan secara terus-menerus, pemerintah misalnya telah merumuskan kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPNK). Menariknya, dokmen ini disusun dengan perspektif, yang memandang problem kemiskinan berakait langsung dengan tidak terpenuhinya hak-hak dasar, utamanya hak-hak ekosob. Dalam dokumen ini juga ditegaskan, peristiwa kemiskinan adalahmasalah hak asasi manusia. Selain itu, SPNK juga memuat rekomendasi cara-cara penghapusan kemiskinan dan pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dengan mekanisme implementasi yang diadopsi oleh Kovenan Hak Ekosob. Memeriksa, dokumen SNPK ini, dapat dikatakan, kebijakan ini merupakan bentuk pengakuan, di satu sisi, kualitas kehidupan seseorang sangat bergantung pada realisasi hak-hak asasinya, dan di sisi lain adalah menjadi kewajiban Negara untuk melaksanakan realisasi hak-hak asasi itu sepenuhnya.[21]

SPNK dapat dikatakan berhasil antara lain jika peringkat Indonesia, dalam Human Development Index (HDI) naik dan terjadi peningkatan indikator-indikator kesejahteraan. Karenanya, dokumen SPNK mesti diletakan pada dokumen yang semestinya membawa implikasi bukan saja ekonomi, tapi juga politik dan hukum. Para penanggunjawab dan aparat Negara yang terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi semestinya dapat dimintai pertanggunjawaban secara politik dan hukum.

C.2. Mekanisme Monitoring Pelaksanaan Obligasi Negara

Selain memberikan penafsiran dan elaborasi terhadap pasal-pasal dalam Kovenan, fungsi utama Komite Ekosob, melakukan pemantauan terhadap implementasi obligasi Negara Pihak dalam mempromosikan, menghormati, melindungi dan memenuhi (memfasilitasi dan menyediakan) hak-hak ekosob masyarakat.

Mekanisme monitoring implementasi ketentuan dalam Kovenan Hak Ekosob, dilakukan antara lain melalui pengawasan yang dilakukan Komite Hak Ekosob yang dibentuk berdasarkan Kovenan, atau disebut dengan mekanisme berdasarkan perjanjian (treaty-based mechanism).

Walaupun “terlambat” lahir, dibandingkan “Komite Hak Asasi Manusia”, Komite Hak Ekosob mulai menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas pada 1986, menggantikan sebuah Kelompok Kerja (Working Group) yang dibentuk Dewan Ekonomi dan Sosial – Economic and Social Council (ECOSOC). Komite ini terdiri dari 18 pakar independen yang bekerja untuk memeriksa (mengeksaminasi) laporan Negara Pihak dalam menjalankan obligasi (kewajiban) yang tercantum di Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Hak Ekosob).

Dalam menjalankan fungsinya, Komite bekerjasama dengan lembaga-lembaga khusus PBB yang lain. Sebagai contoh, dalam memeriksa laporan yang berkaitan dengan obligasi negara untuk memenuhi hak atas pangan, seperti dinyatakan dalam Pasal 11 Kovenan, Komite bekerja sama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian – Food and Agriculture Organisation (FAO). Contoh lain, dalam memeriksa obligasi pemenuhan hak atas pendidikan, Komite mengambil manfaat dan bekerjasama dengan para pakar yang bekerja pada Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB – United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO). Demikian juga kerjasama dengan Organisasi Buruh Internasional – International Labor Organisation (ILO) dalam kaitan dengan hak-hak buruh atau bekerjasama dengan UN Centre for Human Settlement (Habitat) berkaitan dengan hak setiap orang untuk menikmati perumahan yang layak.

Dialog yang terjadi antara Komite dengan perwakilan Negara dikembangkan, untuk selanjutnya Komite memberikan rekomendasi tentang hal-hal yang perlu dilakukan Negara selanjutnya. Dalam hal ini, Komite dituntut selalu mengembangkan praktik kreatif untuk mendorong Negara Pihak benar-benar menjalankan kewajibannya.

Dalam melaksanakan fungsinya, Komite juga memperhatikan dokumen yang berkaitan dengan hak-hak ekosob, seperti Prinsip-prinsip Limburg (Limburg Principles), yang kemudian dikembangkan di Maastricht pada 1986.[22]

Selain treaty-based mechanism tersebut, maka dimungkinkan juga pengawasan dilakukan berdasarkan non-treaty based seperti prosedur khusus (special procedure) dibawah Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) – yang sekarang diganti oleh Dewan Hak Asasi Manusia (Human Rights Council). Komite Hak Ekosob dalam menjalankan fungsinya juga mendengarkan pendapat dan masukan dari para pelapor khusus ini (lihat Tabel 3).


Tabel 3
Prosedur Khusus dibawah Komisi Hak Asasi Manusia, dengan Mandat Tematik yang relevan dengan Hak-hak Ekosob (Per 1 Februari 2006)
Nama/Mandat
Dasar Pemberian Mandat
Nama dan asal negara pemegang mandat
Tahun
Nomor Resolusi


Penting untuk diingatkan lagi, partisipasi dan keterlibatan masyarakat dimungkinkan secara penuh, berdasarkan Kovenan Hak Ekosob, dimana Komite senantiasa meminta atau terbuka untuk menerima masukan dari organisasi-organisasi non-pemerintah ketika memeriksa laporan yang disampaikan Negara Pihak.


D. Penutup: Preferensi Ideologi Kerakyatan, Keadilan Sosial dan Kebebasan Masyarakat

Secara normatif, dapat dikatakan, jelas apa yang menjadi hak setiap warga negara. Begitu juga obligasi atau kewajiban dari Negara dalam pemenuhan hak ekosob. Namun, bahan bakar pemenuhan hak ekosob ini, tidak lain tidak bukan adalah ideologi yang mendasari orde ekonomi, politik dan hukum. Tanpa kehadiran atau absennya pilihan idelogi yang benar-benar hendak membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik: kesejateraan rakyat dan keadilan sosial, maka norma dan standar hak asasi manusia hanya menjadi tumpukan kertas tebal yang dibinding apik: sebagai bahan rujukan tanpa tindakan.

Tidak hanya pemerintah yang tengah berkuasa, DPR dan lembaga yudikatif, salah satunya dapat membawa masalah tersendiri dalam upaya pemenuhan hak ekosob. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, atau putusan-putusan Mahkamah Agung juga membawa implikasi terhadap jaminan hak-hak ekosob. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, misalnya justeru malah melapangkan jalan bagi komersialisasi air dan mampetnya akses masyarakat terhadap sumber-sumber air. Sebaliknya putusan Mahkamah Agung yang memenangkan pengujian Peraturan Daerah (Pemda) yang merubah status sejumlah rumah sakit umum daerah (RSUD) Jakarta – menjadi Perseroan Terbatas (PT) justru dapat dikatakan sebagai sebuah benteng terhadap komersialisasi pelayanan kesehatan, yang seharusnya menjadi obligasi Negara.

Sebagai akhir, perlu dicatat, dalam UU No. 11/2005, dinyatakan bahwa pertimbangan Indonesia menjadi Negara Pihak Kovenan Hak Ekosob karena “Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada 1945 menjunjung tinggi HAM”. Tantangannya tidak lain: melahirkan kembali para pemimpin, para anggota parlemen, dan para hakim yang menyadari benar dan mampu menyelami suasan kebatinan dan tujuan berdirinya Republik ini, antara lain: menentang imperialisme dan menyejahterakan semua rakyat Indonesia. Mudah-mudahan janin yang ada tak lama lagi lahir!


Tentang Penulis

A. Patra M. Zen, Ketua Ad Interim Badan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Penerima Beasiswa the British Chevening Scholarship (2001/2002) untuk LL.M in International Human Rights Law di University of Essex, Inggris. Penulis, editor dan co-editor buku, antara lain: Buku Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (2006); Inkonsistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergolak? (2005); Tak Ada Hak Asasi yang Diberi (2005); Sengketa Konstitusional Lembaga-lembaga Negara (2005); Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembentukkan Perundang-undangan yang Partisipatif (2005); Refleksi dan Penyusunan Strategi Mewujudkan Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Buku Pintar. 60 Menit Memahami (Mengawasi) Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2004); Considering General Election in Aceh under the Martial Law (2004); Koalisi Partisipasi (2003), dan Hukum Perdata di Indonesia (2001). Kritik dan saran dapat melalui patra.m.zen@gmail.com

Andik Hardiyanto, saat ini Direktur Eksekutif Social and Economic Rights Action Centre (SiDAN). Penulis Agenda Land Reform di Indonesia Sekarang, Hasil Studi Identifikasi Potensi Land Reform di Indonesia (1998); Land Reform by Leverage In Indonesia (1998).


[1] Lihat juga CESCR. Sixth session (1991). General Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11(1) of the Covenant), paras. 8 (a), 13 and 18. Lihat juga secara khusus CESCR. Sixteenth session (1997). General Comment No. 7: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant): Forced Evictions.

[2] Lihat OHCHR. Fact Sheet No. 16 (Rev. 1), The Committee on Economic, Social and Cultural Rights.

[3] Tentang hal tersebut, lihat antara lain A. Patra M. Zen. “Cara Mudah Menjadi Kepala Daerah: Dari Komitmen Pemenuhan Hak Ekosob Rakyat”, paper pada Pendidikan Kritis untuk Aktivis Partai Politik (Penegakan Demokrasi dan Pemenuhan Hak Ekosob), kerjasama LBH Bandar Lampung dan FES Jakarta, Bandar Lampung, 23 – 25 Februari 2006.

[4] Lihat UN doc. CESCR.Twenty-ninth session (2002). General Comment No. 15: The right to water (arts. 11 and 12 of the Covenant).

[5] Lihat UN doc. CESCR. Fifth Session (1990). General Comment No. 3: The Nature of State parties’ obligations (art. 2, para. 1, of the Covenant), para. 10.

[6] Periksa juga CESCR. Twentieth session (1999). General comment No. 11: Plans of action for primary education (art. 14).

[7] Ibid., para. 1.

[8] Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 3. Op.cit., para. 1.

[9] Ibid., paras. 7, 9; 10 – 11; Lihat juga A. Patra M. Zen. “Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menarik Pengalaman Internasional, Mempraktikannya di Indonesia.” dalam Jurnal HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Vol. 1 No. 1 Oktober 2003., pp. 36 – 47.

[10] UN doc. CESCR. Sixth session (1991). General Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant), para. 19.

[11] Bahasan yang rinci tentang prinsip full and meaningful participation dalam proses pembangunan, antara lain lihat A. Patra M. Zen, “A critical contextual human rights analysis of Kedung Ombo Large Dam Project in Indonesia”. Dissertation for LL.M in International Human Rights Law, University of Essex (2002). Tidak Dipublikasikan, h. 26 – 28; lihat juga “What does the rights to participate mean”, paper diskusi pada “Development and Human Rights”, Essex University, 26 September 2002.

[12] Lihat UN doc. CESCR. Third session (1989). General Comment No. 1: Reporting by States parties, para. 9.

[13] Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 4. Op.cit., para. 8(a).

[14] Lihat antara lain Siaran Pers Bersama Yayasan LBH Indonesia, Walhi, KSPA dan ELSAM, 9 Mei 2005 tentang Penetapan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. “Pemerintahan SBY-Kalla Menunjukkan Watak Aslinya: Mendahulukan Kepentingan Pemilik Modal Daripada Kepentingan Masyarakat”; Lihat juga Kompas. 10 Mei 2005. “Lebih Represif, Perpres Nomor 36/2005 Harus Dibatalkan”; Suara Pembaruan. 10 Mei 2005. “Perpres tentang Pengadaan Tanah. Pemerintah Dinilai Lebih Represif”; Kompas. 6 Juni 2006. “Selesai, Revisi Perpres Tanah. Sejumlah Kalangan Nilai yang Direvisi Tak Signifikan”; Kompas. 7 Juni 2006. “YLBHI Minta Revisi Perpres Diwaspadai”;

[15] UN doc. CESCR. General Comment No. 3. Op.cit., para. 1.

[16] Ibid., para. 2.

[17] Ibid., para. 4.

[18] Ibid., para. 10.

[19] Andik Hardiyanto., et.al., Empat Pilar Demokratisasi Melawan Kemiskinan dan Pemiskinan, GAPRI, Jakarta, 2005.

[20] The Limburg Principles on the Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, atau lebih dikenal dengan Limburg Principles, dihasilkan dalam sebuah pertemuan pakar hukum internasional di Maastricht, Belanda pada Juni 1986. Human Rights Quarterly, Vol. 9, No. 2, May 1987, p. 122. Dapat juga ditemukan pada UN doc. E/CN.4/1987/17, annex.

[21] Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK), Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, Oktober 2005. Dokumen kebijakan ini menggunakan pendekatan berbasis hak untuk memahami kemiskinan dan mengembangkan upaya-upaya penanggulangannya. Menjadi menarik di sini, karena dokumen ini kemudian dijadikan rujukan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, dan termasuk pula sebagai rujukan penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) dan RPJM Daerah

[22] Lihat UN doc. E/CN.4/1987/17, annex. Limburg Principles on the Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Dokumen ini dirumuskan dan disetujui oleh kelompok ahli dalam pertemuan hukum internasional di Maastricht Belanda.


Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan

UU No. 11/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).

UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air

Peraturan Presiden No. 35/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Untuk Kepentingan Umum


Kebijakan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.

Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SPNK).


Artikel/paper

A. Patra M. Zen. “Cara Mudah Menjadi Kepala Daerah: Dari Komitmen Pemenuhan Hak Ekosob Rakyat”, paper pada Pendidikan Kritis untuk Aktivis Partai Politik (Penegakan Demokrasi dan Pemenuhan Hak Ekosob), kerjasama LBH Bandar Lampung dan FES Jakarta, Bandar Lampung, 23 – 25 Februari 2006.

----------. “Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menarik Pengalaman Internasional, Mempraktikannya di Indonesia.” dalam Jurnal HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Vol. 1 No. 1 Oktober 2003., pp. 36 – 47.

----------. “A critical contextual human rights analysis of Kedung Ombo Large Dam Project in Indonesia”. Dissertation for LL.M in International Human Rights Law, University of Essex (2002). Tidak Dipublikasikan

----------.“What does the rights to participate mean”, paper diskusi pada “Development and Human Rights”, Essex University, 26 September 2002.

Andik Hardiyanto., et.al., 2005. Empat Pilar Demokratisasi Melawan Kemiskinan dan Pemiskinan. GAPRI: Jakarta.


UN docs.

UN doc. GA Res. 2200A (XXI), 16 December 1966. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27.

----------. E/CN.4/1987/17, annex. The Limburg Principles on the Implementation of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.


· General Comment Committee on Economic, Social and Cultural Rights

CESCR. Third session (1989). General Comment No. 1: Reporting by States parties.

---------. Fifth Session, 1990. General Comment 3: The Nature of States partie’s obligations (art. 2, para. 1 of the Covenant).

---------. Sixth session (1991). General Comment No. 4: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant).

---------. Sixteenth session (1997). General Comment No. 7: The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant): Forced Evictions.

---------. Nineteenth session (1998). General Comment No. 9: the domestic application of the Covenant.

---------. Twentieth session (1999). General comment No. 11: Plans of action for primary education.

---------. Twenty-ninth session (2002). General Comment No. 15: The right to water (arts. 11 and 12 of the Covenant).


· Fact sheet

OHCHR. Fact Sheet No. 16 (Rev. 1), The Committee on Economic, Social and Cultural Rights.


Lainnya

Siaran Pers Bersama Yayasan LBH Indonesia, Walhi, KSPA dan ELSAM, 9 Mei 2005 tentang Penetapan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. “Pemerintahan SBY-Kalla Menunjukkan Watak Aslinya: Mendahulukan Kepentingan Pemilik Modal Daripada Kepentingan Masyarakat”;

Suara Pembaruan. 10 Mei 2005. “Perpres tentang Pengadaan Tanah. Pemerintah Dinilai Lebih Represif”.

Kompas. 10 Mei 2005. “Lebih Represif, Perpres Nomor 36/2005 Harus Dibatalkan”.

Kompas. 6 Juni 2006. “Selesai, Revisi Perpres Tanah. Sejumlah Kalangan Nilai yang Direvisi Tak Signifikan”.

Kompas. 7 Juni 2006. “YLBHI Minta Revisi Perpres Diwaspadai"
Load Counter