Monday, April 30, 2007

Mulai Senjata Hingga Plastik: Untuk Siapa (R)UU Rahasia Negara?

"Selama ini harga senjata itu sering dikatakan rahasia, tapi anehnya para rekanan justru punya semua"
Djoko Susilo, anggota Komisi I DPR dari F-Partai Amanat Nasional (Kompas. 3 Mei 2006)


"Apakah plastik ini rahasia negara?"
Daniel Dhakidae, Kepala Litbang Harian Kompas (Kompas Online. 24 Oktober 2002)


Pengantar

Menurut Djoko Susilo, dalam pembelian senjata MI-17 beberapa waktu lalu, apabila skandal itu tidak terbongkar, maka negara akan rugi 4 juta dollar AS.[1] Sementara Daniel Dhakidae, sempat mencontohkan kasus menarik pada 1986 dimana sebuah surat khabar membuat bocoran tentang keputusan pemerintah soal regulasi monopoli plastik. Buntutnya, media tersebut kemudian mendapat masalah.[2]

Karenanya, kekhawatiran UU Rahasia Negara akan hanya menguntungkan pihak yang selama ini mengeruk uang negara, sebagaimana sempat dinyatakan Djoko Susilo, sangatlah relevan.[3] Sama halnya dengan kekhawatiran Daniel Dhakidae, bahwa UU Rahasia Negara nantinya berpeluang dijadikan alasan untuk menutup akses informasi masyarakat atas hal-hal yang hendak diketahuinya.[4]

Sementara, pejabat pemerintah tak sungkan mengumbar pernyataan sebuah dokumen diklasifikasikan sebagai rahasia negara. Sebagai contoh, peristiwa Mendiknas Bambang Sudibyo yang sempat menyatakan bahwa draf Rencana Strategis Depdiknas Tahun 2005 – 2009 adalah Rahasia Negara, dan menyatakan para wartawan yang memberitakan hal ini dapat dituntut secara hukum.[5]

Agar kekhawatiran, sekaligus fakta diatas tidak berulang menjadi kenyataan, maka diperlukan sebuah UU mampu menjawab problem-problem penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan kejahatan hak asasi manusia. Untuk siapa UU Rahasia Negara nantinya?; untuk perlindungan keamanan warga negara (human security), untuk mewujudkan pemenuhan hak asasi manusia Indonesia atau malah untuk perlindungan keamanan para pejabat Negara yang korup atau pelaku kejahatan hak asasi manusia?

Dalam hal proses pembahasan draft RUU Rahasia Negara, YLBHI memberi penghargaan yang tinggi kepada Pemerintah, khususnya pihak Dephan, yang dapat dikatakan menerima baik usulan-usulan masyarakat. Kepala Biro Hukum Dephan, M. Fachruddien bahkan sempat secara publik mempersilahkan masyarakat yang ingin memberikan usulan terhadap drat RUU Rahasia Negara.[6] Demikian juga sikap terbuka menerima usulan yang pernah disampaikan Ketua Panitia Antardepartemen RUU Rahasia Negara, Mayjen Prasetyo.[7] Dokumen seperti drat RUU versi 4 Mei 2006, sebagai contoh, dapat diakses oleh Tim Monitoring YLBHI. Namun demikian, akses dan keterbukaan semacam ini, semestinya berjalan beriringan dengan pengadopsian rekomendasi-rekomendasi yang diajukan masyarakat luas.

Sebagai informasi, hingga saat ini, setidaknya terdapat 4 draft yang disusun Dephan, diperbaharui paling akhir draft 4 Mei 2006. Empat draft yang dimaksud sebagai berikut: (1) versi 25 Oktober 2005; (2) versi 16 Januari 2006; (3) versi 24 Februari 2006; dan (4) versi 4 Mei 2006. Draft ini merupakan draft hasil harmonisasi yang dilakukan Dephan dengan Tim Kecil dan Tim Besar yang dibentuk.[8]


Perbandingan Draft versi Sebelumnya dengan Versi 4 Mei 2006

Dari hasil perbandingan antara draft RUU versi 24 Februari dengan versi 4 Mei 2006 (lihat Lampiran), sejumlah perbedaan yang perlu apresiasi dan sekaligus perlu didiskusikan lebih tajam, setidaknya, sebagai berikut:

1. Dalam konsideran Menimbang RUU draft terbaru sudah memasukkan Pasal 28F UUD 1945.[9] Secara lengkap pasal ini menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

2. Definisi sudah diupayakan dilimitasi dengan mengganti kalimat "segala sesuatu" menjadi: “…informasi, benda, dan/atau aktivitas secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan….” (Lihat Pasal 1 ayat (1) draft versi 4 Mei 2006);[10]

3. Rumusan mengenai perlindungan fisik dan mental yang diberikan kepada Pengelola Rahasia Negara beserta keluarganya, dalam Pasal 18 draft versi 4 Mei 2006 ditambahkan kalimat "yang dinilai memiliki resiko keamanan tertentu. Namun dalam draf terbaru, tidak ada penjelasan mengenai "resiko keamanan tertentu ini"

4. Penambahan Kepala Arsip Nasional RI sebagai Anggota Tetap Dewan Rahasia (lihat Pasal 24 ayat (2) draft versi 4 Mei 2006)[11];

5. Adanya penegasan bahwa Dewan Rahasia Negara mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan kepada polisi, jaksa dan/atau hakim untuk mengetahui Rahasia Negara untuk pemeriksaan alat bukti yang dilakukan secara tertutup (lihat Pasal 26 ayat (2) draft versi 4 Mei 2006). Sebelumnya ketentuan yang berkaitan dengan hal ini dirumuskan "Persetujuan kepada polisi, jaksa, dan/atau hakim oleh Dewan Rahasia Negara...hanya dilakukan dalam suatu pemeriksaan alat bukti secara tertutup berdasarkan pertimbangan tertentu".

6. Dalam versi sebelumnya, model pengambilan keputusan yang berlaku pada Dewan Rahasia Negara untuk menentukan perpanjangan masa retensi Rahasia Negara yakni dilakukan secara pleno yang dihadiri paling sedikit ½ (setengah) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota (lihat Pasal 28 ayat (2) draft versi 24 Februari 2006). Sementara dalam draft terbaru model pengambilan keputusan semacam ini dihilangkan.

7. Selanjutnya, rumusan daluwarsa penuntutan tindak pidana dan daluwarsa menjalankan tindak pidana Rahasia Negara dalam versi terbaru dihilangkan. Dalam versi sebelumnya, perihal daluwarsa ini ditetapkan setelah 18 (delapan belas) tahun sejak berakhirnya masa retensi (lihat Pasal 34 ayat (2) dan (3) draft versi 24 Februari 2006).

8. Perubahan amanat untuk membentuk Dewan Rahasia Negara, paling lama 1 (satu) tahun sejak UU diundangkan (lihat Pasal 46 draft versi 4 Mei 2006); sebelumnya ditentukan paling lama 2 tahun (lihat Pasal 44 draft versi 24 Februari 2006).

9. Pemberlakuan UU ini, dalam draft terbaru, dinyatakan 5 (lima) tahun sejak tanggal diundangkan (lihat Pasal 46 draft versi 4 Mei 2006); sementara dalam draft versi 24 Februari 2006, dinyatakan UU mulai berlaku pada tanggal diundangkannya (lihat Pasal 48 draft versi 24 Februari 2006).

10. Dibagian Penjelasan, draft versi terbaru, menambahkan instrumen pokok hak asasi manusia internasional, selain pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, ditambah pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik[12], yang pada dasarnya sudah diinkorporasikan dalam hukum nasional lewat UU No. 12/2005 tentang pengesahan kovenan internasional ini.


Rekomendasi

Sejumlah rekomendasi telah dilontarkan dan diusulkan.[13] Berikut dibawah ini, rekomendasi atau usulan yang hendak disampaikan dalam kesempatan ini:

Mendahulukan pembahasan sekaligus penetapan UU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP), selanjutnya RUU Rahasia Negara dibahas dan disingkronkan dengan UU KMIP;

Perihal definisi, walaupun sudah nampak adanya upaya limitasi atau pembatasan, namun masih perlu dimuat definisi yang lebih ketat. Dalam konteks ini, dapat digunakan rumusan yang negatif, yakni:

“…adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diluar perihal dugaan dan/atau perkara korupsi dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional dan/atau ketertiban umum.”[14]

Dengan memuat rumusan seperti diatas, Pemerintah secara formal menunjukkan itikad baik dan mereafirmasi sekaligus menjawab kritik UU ini nantinya berpeluang digunakan sebagai dasar legitimasi bagi penyalahgunaan kekuasaan dan upaya menyembunyikan praktik-praktik korupsi didalam tubuh lembaga-lembaga Negara, termasuk instansi pemerintahan.

Perihal kewenangan Dewan Rahasia Negara, terutama ketentuan yang menyangkut kewenangan Dewan Rahasia Negara “memberi persetujuan atau penolakan kepada polisi, jaksa, dan/atau hakim untuk mengetahui Rahasia Negara dalam proses peradilan” (lihat Pasal 26 ayat (1) huruf c Draft RUU versi 4 Mei 2006) dan kewenangan memberikan persetujuan kepada polisi, jaksa dan/atau hakim sebagaimana pasal 26 ayat (1) huruf c, dapat mengetahui Rahasia Negara dalam suatu pemeriksaan alat bukti secara tertutup (lihat Pasal 26 ayat (2) Draft RUU versi 4 Mei 2006). Rumusan ini pada dasarnya mengacaukan sistem peradilan. YLBHI sejak awal mengkritik ketentuan ini, karena dalam proses persidangan, kecuali peraturan perundang-undangan memberlakukan ketentuan sidang tertutup untuk umum[15], maka hakim diawal sidang, menyatakan “sidang terbuka untuk umum”.[16]

Mengakomodasi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengetahui Rahasia Negara jika terdapat indikasi/dugaan korupsi maupun dalam proses peradilan;

Ketentuan mengenai Pedoman Rahasia Negara, terutama Pedoman Umum, semestinya dimuat dalam UU, bukan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (lihat Pasal 12 ayat (3) Draft versi 4 Mei 2006).


Lampiran

Perbandingan RUU Rahasia Negara
Versi 24 Februari dengan versi 4 Mei 2006


*** Paper pada Editors Meeting tentang RUU Rahasia Negara, YLBHI, Jakarta 16 Mei 2006. Paper ini disusun atas bantuan Donny Ardyanto, M. Fadli dan Maheri dan Kuriyani.


[1] Kompas. 3 Mei 2006. “RUU RN Belenggu Demokrasi Dikhawatirkan Suburkan Korupsi”

[2] Kompas Online. 24 Oktober 2002. “Tidak Perlu Ada UU tentang Rahasia Negara”

[3] Lihat Kompas. 3 Mei 2006. Op.cit.

[4] Lihat Kompas Online. 24 Oktober 2002. Op.cit.

[5] Lihat antara lain A. Patra M. Zen. ““Membedah Sesat Pikir RUU Rahasia Negara”, h. 7 – 8; lihat juga Wisnu Dewabrata. “Tarik Ulur RUU Rahasia Negara” dalam Kompas. 2 Januari 2006.

[6] Lihat Kompas. 6 Februari 2006. “Rahasia Negara dan KMIP”.

[7] Lihat antara lain Wisnu Dewabrata. Ibid.

[8] Tim Kecil, terdiri dari Dephan, Lembaga Sandi Negara, BIN. Sementara, Tim Besar, instansi-instansi yang dilibatkan oleh Dephan. Tim Besar ini mengacu pada draf RUU Rahasia Negara, yang memuat tentang Dewan Rahasia Negara.

[9] Periksa A. Patra M. Zen. “Membedah Sesat Pikir RUU Rahasia Negara”. Laporan YLBHI No. 9 – November 2005. Laporan Pemantauan dan Analisa Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara, h. 1; periksa juga A. Patra M. Zen. “Rahasia Negara: Rahasia untuk Apa?. Tinjauan RUU Rahasia Negara dari Perspektif Disiplin Hak Asasi Manusia”. Paper pada FGD “Menyoal Kerahasiaan Negara secara Komprehensif dalam Sistem Negara Demokratik”, Imparsial, Jakarta 9 – 10 Februari 2006, h. 1.

[10] Periksa A. Patra M. Zen. “Membedah Sesat Pikir RUU Rahasia Negara”, h. 12; periksa juga A. Patra M. Zen. “Rahasia Negara: Rahasia untuk Apa?, h. 4; Lihat juga Kompas Cyber Media. 18 Januari 2006. “YLBHI: RUU Rahasia Negara Berbahaya”. Teks di http://www.kompas.com/utama/news/0601/18/163732_.htm

[11] Periksa A. Patra M. Zen. “Membedah Sesat Pikir RUU Rahasia Negara”, h. 16, 22; periksa juga A. Patra M. Zen. “Rahasia Negara: Rahasia untuk Apa?, h. 7.

[12] Periksa A. Patra M. Zen. “Membedah Sesat Pikir RUU Rahasia Negara”, h. 4, 5; periksa juga A. Patra M. Zen. “Rahasia Negara: Rahasia untuk Apa?, h. 2, 3.

[13] Lihat A. Patra M. Zen. “Membedah Sesat Pikir RUU Rahasia Negara”, h. 23 – 24; A. Patra M. Zen. “Rahasia Negara: Rahasia untuk Apa?, h. 4 – 7. Lihat juga Kompas. 1 September 2005. “Prinsip HAM Harus Dijunjung dalam Pembahasan RUU”; Hukum Online. 15 September 2005. “RUU Rahasia Negara Bisa Timbulkan Penyalahgunaan Kekuasaan”; Kompas. 16 September 2005. “Pemerintah Diminta Bersikap Terbuka”; Detikcom. 18 Januari 2006 “YLBHI Tolak RUU Rahasia Negara”; Kompas Cyber Media. 18 Januari 2006. “YLBHI: RUU Rahasia Negara Berbahaya”; Warta Kota. 19 Januari 2006 “RUU Rahasia Negara Berbahaya. Potensial Lindungi Pelanggar HAM dan Korupsi”; Kompas. 2 Februari 2006. “RUU KMIP Harus Diselesaikan Lebih Dahulu”; Detikcom. 26 April 2006. “RI Tak Butuh RUU Rahasia Negara”; Kompas. 28 April 2006. “RUU Rahasia Negara. Tiga Kali Direvisi, Belum Juga Membaik”.

[14] Periksa A. Patra M. Zen. “Membedah Sesat Pikir RUU Rahasia Negara”, h. 14.

[15] Antara lain, ketentuan pengadilan anak dimana pelaksanaan sidang tertutup untuk umum. Lihat UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 17 ayat (1) huruf c.

[16] Periksa Kompas. 28 April 2006. “RUU Rahasia Negara. Tiga Kali Direvisi, Belum Juga Membaik”.
Load Counter