Monday, April 30, 2007

Dam Kotopanjang: Menagih Obligasi Negara dalam Proyek Pembangunan

Pengantar

Indonesia merupakan dapat dikatakan menjadi negara penting bagi Jepang. Selain dari segi historis, dimana Jepang pernah menjadi Negara kolonial, juga dari perspektif sejarah bantuan Jepang ke Negara-negara Berkembang. Dalam dokumen bertajuk “History of Japan's Assistance to Developing Countries (1945-1999)”, Mei 1998 saat mundurnya Presiden Soeharto dari kekuasaan, dicatat sebagai salah satu momen dalam sejarah dalam dokumen ini (lihat annex 1). Selain itu, Indonesia juga merupakan Negara penerima Japan’s ODA (Official Development Assistance) terbesar – lihat annex 2, jika dihitung berdasarkan cumulative disbursement [1]

Artikel singkat ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis satu momen sejarah penting – yang tidak dimuat dalam dokumen “history of Japan’s Assistance” tersebut: pembangunan dam Kotopanjang di Indonesia.

Mengapa penting?

Pertama, kasus ini merupakan kasus yang pertama dimana penduduk lokal melakukan gugatan terhadap Pemerintah Jepang dan lembaga donornya, berkaitan dengan tanggungjawab mereka terhadap dampak yang muncul akibat program pembangunan – dalam hal ini pembangunan dam. Pihak yang digugat yakni Pemerintah Jepang, Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Tokyo Electric Power Services Co (TEPSCO).[2]

Dalam sebuah seruan aksi bertajuk “Call for Disclosure of the Loan Agreement for Kotopanjang Dam Project” yang dilauching Walhi, dinyatakan bahwa pengadilan kasus dam Kotopanjang merupakan “the first case in history to sue the infamous Japanese Official Development Assistance (ODA) for human rights violation and environmental destruction in the Third World”[3] Penilaian serupa juga sempat dinyatakan the Down to Earth, dimana kasus ini merupakan “the first time the Japanese ODA has been legally challenged by people adversely affected by projects it has funded”.[4] Sementara seorang kolumnis Kiroku Hanai menyatakan kasus ini merupakan “the first lawsuit filed by foreign nationals holding the Japanese government responsible for ODA-related problems”.[5]

Kedua, kasus ini memberikan deskripsi penting untuk disandingkan dengan deskripsi keberhasilan-keberhasilan ODA yang dimuat dalam laporan-laporan tahunan Pemerintah Jepang. Ambil contoh Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation tahun 1997. Dalam dokumen ini dinyatakan beberapa keberhasilan proyek di Indonesia, antara lain, sebagai berikut:

“Generally, project identification and formulation have been performed appropriately. In terms of their social impact and economic importance, all the evaluated projects were on the whole considered to deserve high priority and to be well-matched to the development needs of their recipient country. On top of that, they were credited for contributing to recipient social and economic activities. The environmental impact is another factor that should be given ample consideration when exploring or implementing infrastructure projects. Of all the projects evaluated this year, none were given negative effects in this respect. Moreover, the evaluation findings suggested that donors and recipients alike have been devoting enough attention to the environmental impact. This was illustrated by the environmental improvements resulting from the Lower Jenebang River Urgent Flood Control Project in Indonesia…” [6]

Ketiga, prinsip-prinsip yang ada dalam UU domestik di Indonesia yakni UU tentang Lingkungan Hidup telah ini menjadi inspirasi bagi upaya penemuan hukum positif sejenis, yang berlaku di Jepang.[7] Karena di Jepang tidak mengadopsi mekanisme gugatan class action, maka gugatan yang diajukan berdasarkan surat kuasa tertulis masing-masing warga yang menjadi korban pembangunan.[8]

Keempat, adanya dukungan dan solidaritas lintas Negara. Dukungan atas gugatan ini tidak hanya berasal dari masyarakat sipil Indonesia, tetapi juga di Jepang, seperti dukungan seorang Guru Besar bidang hukum Universitas Nasional Niigata, Jepang.[9] Penduduk di Jepang pun pada dasarnya juga telah menjadi korban, merasa tertipu, karena dana publiknya dipergunakan untuk sebuah proyek yang merusak lingkungan di Indonesia. Sebuah organisasi masyarakat Jepang “Komite Pendukung Rakyat Korban Dam Kotopanjang” (The Japanese Committee Supporting the Victims of Kotopanjang Dam), terbentuk dan dideklarasikan pada 7 Desember 2001, untuk mendukung gugatan ini, dipimpin Koyama, seorang pegawai negeri di Osaka. [10]

Kelima, kasus ini mengeksaminasi prosedur judicial remedies yang disediakan badan peradilan bagi para korban kejahatan hak asasi manusia.

Kelima, kasus memberikan kontribusi kepada perubahan kebijakan dan reformasi prosedur ODA. Dalam ODA white paper 2002, bab tentang Reformasi ODA, sudah dirumuskan 15 tujuan spesifik untuk memperbaiki mekanisme ini. Namun, komentator menyatakan saat ini belum terjadi perubahan drastis yang diambil Pemerintah Jepang.[11] Tentu saja kasus dam Kotopanjang menjadi bahan masukan berharga bagi Pemerintah Jepang dalam mereformasi prosedur dan pelaksanaan ODA.


A. Dam Kotopanjang: Duduk Perkara hingga Gugatan di Pengadilan Distrik Tokyo

Proses pembangunan dam

Proses pembangunan dam Kotopanjang, tahap perencanaan, sudah dimulai sejak 1979. Pembangunan fisik proyek dimulai pada 1991. Dam selesai dan diresmikan pada 28 Februari 1997. Kemudian mulai digenangi air pada Februari 1998.

Awalnya, PT PLN sebagai pengusul proyek mengajukan proposal pembangunan dam untuk PLTA skala kecil, dengan memanfaatkan potensi Sungai Batang Mahat. Problem muncul, ketika TEPSCO (Tokyo Electric Power Service Co. Ltd.), pelaku project finding dan pihak pelaksana proyek malah mengajukan proposal untuk pembangunan dam skala besar, untuk proyek mencapai skala besar[12] Proposal TEPSCO inilah yang diterima oleh ODA. Menurut Iman Masfardi, pihak ODA (seharusnya) hanya berhak membiayai proyek sesuai dengan usulan Pemerintah yang meminta pinjaman, bukan sebaliknya malah menyetujui proposal pihak TEPSCO.[13]

Proses pembangunan ini sendiri tidak melibatkan partisipasi publik, kontrol masyarakat terhadap proyek ini ditutup, dengan akibat munculnya dugaan praktik-praktik korupsi. Rezim Soeharto dan pihak pelaksana proyek telah menjalin hubungan mutualisma. Tidak seorang pun politisi Jepang yang menyesal telah memberikan bantuan kepada rezim Soeharto.[14] Dalam ODA white paper yang disusun Kementrian Luar Negeri Jepang, bahkan tidak menyinggung kasus gugatan dam Kotopanjang. [15] Proyek ini juga bisa dikaitkan dengan meningkatnya kritik terhadap pembangunan dam di Jepang sendiri, sehingga, seperti diungkapkan Joan Carling, aktivis NGOs Network Rivers Watch East and Southeast Asia, korporasi pembangun dam dinegeri ini, mencari pasar diluar Jepang untuk mempertahankan operasi dan keuntungannya.[16] Beberapa proyek pembangunan dam di Indonesia yang difasilitasi ODA, sebagai berikut:

Hingga saat ini dokumen penting seperti Yen Loan Agreement yang ditandatangani JBIC dan Pemerintah Indonesia serta dokumen Detailed Design (D/D) yang disusun TEPSCO tidak dapat diakses publik. Seorang penulis Jepang, Takashi Itoh memaparkan Loan Agreement ini memuat 3 persyaratan pinjaman mencakup isu: ‘resident’s agreement on eviction’; ‘residents’ agreement on terms and conditions of compensation’ dan ‘proper consideration to environmental protection including Sumatran elepanths’.[17] Pada dasarnya agreement ini memuat prasyarat perlindungan masyarakat yang terkena dampak pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup. Saat tulisan ini ditulis, tengah dilakukan kampanye internasional untuk meminta pembukaan dokumen ini.[18]
Profil dam

Proyek ini kemudian dibangun dengan memotong aliran Sungai Kampar Kanan dan Sungai Batang Mahat. Dam menggenangi areal seluas 124 kilometer persegi dengan tujuan untuk menghasilkan kapasitas listrik sejumlah 114 Mega Watts. [19] Setelah selesai, ternyata PLTA ini hanya mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 30 Mega Watts.[20] Bahkan seorang komentator menyatakan tenaga listrik yang dihasilkan hanya mencapai 117 Mega Watts.[21]

Proyek dibiayai dengan utang 31,177 miliar yen dari Overseas Economic Development Fund (OECF) Jepang, dengan mekanisme ODA – dilaksanakan oleh JBIC yang kini sudah digabung dengan OECF dan Bank Exim Jepang. [22]

Akibat pembangunan dam

Akibat perubahan tersebut, terjadi kejahatan hak asasi manusia: tidak kurang dari 24 ribu jiwa dari 12 desa di Sumbar (10 desa) dan Riau (2 desa) dipindahkan secara paksa (forced resettlement). [23] Selain itu, pembangunan dam ini telah menyebabkan satwa langka berkurang dan habitat aslinya – seperti harimau Sumatera; gajah Sumatera, tapir, beruang madu Melayu, kera siamang, rusa dan kijang.[24] Salah seorang aktivis Walhi, Nur Hidayati mencontohkan satwa gajah dipindahkan ke daerah yang sama sekali tidak cocok untuk gajah, sehingga jumlahnya kian berkurang.[25] Selain itu, Nur menyatakan, hutan lindung diwilayah sekitar telah dibabat habis, kemudian diubah peruntukkannya menjadi area dam dan perkebunan kelapa sawit.

Menarik jika statement aktivis Walhi tersebut di persandingkan dengan kebijakan Pemerintah Jepang yang memperhatikan masalah kehutanan. Selama periode 1995 – 2002, tercatat Pemerintah Jepang bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia di sektor kehutanan. Banyak program yang telah dilaksanakan, oleh JICA, JBIC, MoFA (Ministry of Foreign Affairs), maupun lewat pinjaman ODA, seperti dalam tabel dibawah ini. Tercatat dalam periode ini, JICA telah melakukan sebuah development study di wilayah aliran sungai Kampar-Indragiri. Perlu dilakukan penelitian tentang hasil survey dan perencanaan yang dilakukan JICA ini: apakah juga studi ini menjawab problem rusaknya hutan lindung dan berkurangnya jumlah satwa Gajah.

Aktivis lingkungan, seperti Chairil Syah, Iman Masfardi dan Longgena Ginting, lebih jauh menilai, problem yang muncul akibat pembangunan dam ini meliputi pencerabutan masyarakat Kotopanjang dari akar budayanya dan masalah perusakan lingkungan.[26] Sebagai tambahan anggota Tim Investigasi Kantor Bantuan Hukum Riau, Ahmad Zajali, mengatakan, proyek PLTA Kotopanjang telah menenggelamkan lahan pertanian, perkebunan karet, dan sawah milik masyarakat. [27] Tidak kurang dari 12.400 hektar lahan pertanian. [28]

Perihal Korban dan Kejahatan HAM

Proyek pembangunan ini telah menyebabkan penurunan tingkat kualitas hidup masyarakat. Iswadi (30 tahun), seorang warga, korban pembangunan dam Kotopanjang berpendapat bahwa Pemerintah Jepang sedang membunuh mereka secara perlahan-lahan. [29] Menurutnya, masyarakat dipaksa pindah ke lahan yang kering dan merasakan hidup seperti di kamp pengungsi. [30] Lokasi pemindahan penduduk pun gersang.[31] Ditempat yang baru, penduduk kekurangan air bersih dan tidak punya akses terhadap listik. Banyak penduduk korban yang menjadi buruh kayu, padahal sebelumnya mereka bermata pencaharian sebagai petani. Chairil Syah menyatakan, kehidupan masyarakat malah lebih buruk, banyak penduduk terpaksa menganggur akibat kebun karet yang dijanjikan belum juga siap.[32]

Sementara Abdullah Salim (30 tahun) didepan Pengadilan Tokyo menyatakan sebelum pemindahan paksa terjadi, kelurganya hidup sederhana namun menyenangkan. Dirinya memiliki rumah, lahan pertanian dan perkebunan , akses terhadap sungai yang bersih serta dapat membiayai keperluan hidup keluarga termasuk kebutuhan pendidikan anak-anaknya.[33] Saat ini kondisi warga memperhatinkan, seperti diungkapkan Atsushi Saito, banyak anak-anak yang tidak dapat bersekolah.[34] Masalah lain kemudian muncul, seperti dikemukakan Romanila, seorang warga korban, daerah kering menyebabkan konflik horizontal antar sesama warga memperebutkan akses air bersih.[35] Atsushi Saito, seorang warga Jepang pendukung korban dam, menyatakan bahwa dibutuhkan waktu 4 jam agar penduduk sampai ke sumber air bersih.[36]

Selanjutnya, Iman Masfardi menyatakan, sekitar 4.000 kepala keluarga, korban pembangunan dam, tidak pernah memperoleh ganti kerugian yang layak. Pendapat serupa dikemukakan Zajali, yang juga aktivis NGO Jikalahari. Zajali menyatakan, warga pernah dinjanjikan mendapat kebun karet seluar 2 hektar per Kepala Keluarga. [37] Menariknya, ganti kerugian ini tidak pernah diselesaikan pihak Pemerintah lokal. Zalzali mencontohkan, sejak Saleh Djasit masih mejabat Bupati Kampar hingga menjabat Gubernur Riau, masyarakat korban di Riau belum mendapat penyelesaian ganti kerugian yang layak. [38]

Argumen ketiadaan ganti kerugian yang layak, juga dikemukakan Fumio Asano, pengacara Jepang yang menjadi kuasa hukum korban.[39] Para korban proyek, hanya diberikan uang Rp 30 atau sekitar USD 1,5 sen per meter lahan kepunyaan mereka.[40] Sebagai tambahan, Kazu0 Sumi, Professor Hukum Universitas Nasional Niigata bahkan pernah menyatakan, proyek ini telah menyebabkan pederitaan penduduk lokal, sebaliknya hanya memberikan manfaat kepada politisi Jepang, perusahaan konstruksi, birokrat dan pejabat di Indonesia – yang mempunyai hubungan khusus dengan Presiden Soerharto.[41] Sumi juga menegaskan, Pemerintah Jepang telah mengabaikan tanggungjawab merespon protes dari penduduk yang terkena dampak proyek.[42]

Chairil Syah, Wakil Sekretaris Yayasan LBH Indonesia pernah menyatakan dalam proses pembangunan dam, warga mengalami terror, intimidasi bahkah menjadi korban penangkapan sewenang-wenang (arbitrary detention), yang dilakukan aparat TNI dari Batalyon Bangkinang. [43] Sebagai contoh, pengakuan Aseem, seorang korban, yang menceritakan pengalamannya sendiri dan penduduk yang diintimidasi dan dipaksa menerima rencana pembangunan dam. Pernah pada saat ada pertemuan penduduk di rumahnya, aparat militer dan pemerintah daerah datang menggerebek dan mengancam untuk menahannya.[44]

Kasus dam Kotopanjang tersebut, menunjukkan terjadi kejahatan hak asasi manusia, baik hak ekonomi, sosial dan politik, serta hak sipil dan politik. Secara spesifik, hak-hak penduduk yang dilanggar, tetapi tidak terbatas pada pelanggaran hak-hak sebagai berikut:
- hak atas kehidupan yang layak;
- hak atas tidak boleh digusur paksa;
- hak atas pendidikan, terutama bagi anak-anak;
- hak atas kesehatan serta hak atas sumber daya air yang bersih;
- hak atas ganti kerugian yang memadai;
- hak bebas dari penyiksaan serta penangkapan sewenang-wenang.

Perihal gugatan

Gugatan dajukan oleh masyarakat korban, sejumlah tidak kurang dari 3.861 warga – dari total warga sejumlah 23.000 - untuk kerugian yang dialami mereka.[45] Gugatan juga diajukan oleh Walhi atas kasus kerusakan lingkungan. Masyarakat korban menuntut reparasi, termasuk kompensasi sebesar 19.3 juta Yen atau USD 163 juta. [46] Selain itu warga dan Walhi meminta tergugat – Pemerintah Jepang dan TEPSCO – untuk merehabilitasi fungsi lingkungan yang rusak serta turut mencarikan solusi atas penurunan jumlah hewan langka akibat pemindahan habitat satwa. [47] Kuasa hukum korban Okumura Shuji dan Shimamura Miki menyatakan, pihak tergugat meliputi Pemerintah Jepang selaku pemberi ODA; TEPSCO dalam kapasitasnya sebagai konsultan; Japan International Cooperation Agency (JICA) sebagai pihak yang melaksanakan studi kelayakan, serta Japan Bank for International Cooperation, sebagai penyandang dana.[48]

Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, A. Teguh P. sempat menyatakan bahwa gugatan ini membeberkan bukti-bukti penyalahgunaan dana ODA yang bersumber dari bantuan utang pemerintah Jepang, yang dihimpun dari pajak dan dana pensiun masyarakat negeri itu yang dipergunakan untuk pembiayaan proyek-proyek di negara berkembang.[49] Didepan sidang pemeriksaan Pengadilan Tokyo, Iswadi, seorang warga korban menyatakan dirinya ingin agar warga Jepang tahu bahwa uang pajak mereka digunakan untuk membuat penduduk seperti dirinya menderita dibanyak negara.[50]

Proses persidangan

Sidang pertama gugatan masyarakat korban dam Kotopanjang dan Walhi dilakukan pada 3 Juli 2003. Gugatan ini diwakili 3 pengacara Jepang, yakni Oguci Akihiko Oguci Akihiko, Furukawa Yosimi, dan Asano Fumio. Dalam sidang pertama, acara pemeriksaan sempat tertunda sekitar 45 menit karena Hakim Takashi Saito meminta pengunjung sidang dari Indonesia termasuk petani mengenakan baju kaos anti-bantuan luar negeri dengan tulisan “No More ODA” dan bertuliskan “Let’s unite and resist oppression”.[51] Setelah negosiasi dilangsungkan, para pengunjung yang memakai kaos ini diminta untuk duduk dibagian belakang pengadilan.[52]

Pertama, Majelis hakim membebaskan kewajiban para penggugat untuk membayar bea perkara. Keputusan ini ditetapkan pada sidang ke-5 Desember 2003.[53] Awalnya, dalam sidang ke-2 pada 9 Oktober 2003, hakim pengadilan meminta masing-masing penggugat membayar Rp 3,5 juta – jika dijumlahkan maka total mencapai Rp 7,7 miliar karena penggugat berjumlah 8.396 warga. Biaya ini kemudian dibebankan ke Walhi sebagai Kuasa Penggugat, karena hakim menilai para penggugat/korban merupakan masyarakat miskin.[54] Kuasa hukum para penggugat kemudian mengajukan permohonan pembebasan bea perkara dalam sidang ke-4 pada 13 November 2003, dengan alasan Walhi, sebagai kuasa dalam gugatan, merupakan organisasi Nirlaba.

Dalam persidangan ke-2 pada 11 September 2003, seperti dinyatakan Rully Sumanda, Direktur Eksekutif WALHI Riau, pihak Kuasa Hukum Fumio Asano memaparkan kerugian sosial yang diderita masyarakat korban.[55] Sebagai ilustrasi, sebelum desa Tanjung Pau ditenggelamkan menjadi area reservoir, masyarakat didesa ini secara regular merayakan upacara pemandian bayi yang usianya menginjak 2 bulan.[56] Upacara ini dinamakan ‘turun mandi’: setiap keluarga memandikan bayi di Sungai Mahat, dengan tujuan memberikan perlindungan dan membawanya ke publik untuk pertama kali.

Akibat kerugian yang dialami, korban menuntut repasasi dalam bentuk kompensasi sebesar USD167 juta. Menurut Rully, Walhi sedang melakukan penelitian mengenai kerugian materil perusakan lingkungan akibat pembangunan dam ini. [57] Sidang ke-3 dilaksanakan pada 9 Oktober 2003, dilaksanakan dengan mendengarkan paparan penggugat tentang kerugian lingkungan hidup [58]

Dam Kotopanjang: Kontradiksi Antagonis terhadap Kebijakan Internal ODA

Kasus ODA jelas merefleksikan kontradiksi antagonis terhadap tujuan Pemerintah Jepang menyediakan asistensi ini – lihat annex 3. Dalam website Pemerintah Jepang, dinyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan fundamental mengapa ODA dilaksanakan, sebagai berikut:

“Many people in the developing world today still suffer from conditions of malnutrition and extreme poverty. From a humanitarian vantage point, the international community cannot ignore their plight.

Environmental problems, population pressures, and food shortages count as challenges for all humankind. It accordingly seems imperative that the industrialized and developing worlds work together to address them. Moreover, as a major industrial nation, Japan should assume a leadership role in that drive.

Providing aid to the developing world and working on global issues can be expected to earn Japan's better ties with other countries, particularly in the developing world, bolster its stature in the eyes of the international community, and contribute to broader global understanding of and support for Japan and its people. Furthermore, ODA plays a very significant role in ensuring Japan's own stability and prosperity by promoting Japan's best interests including the maintenance of peace.

In a world that has been brought closer together by trends in trade and investment, and as a country heavily dependent on the rest of the world--and particularly many developing countries--for its own supplies of resources, energy, and food, Japan stands to gain in economic terms by utilizing aid to promote economic progress throughout the developing world.”[59]


Selanjutnya, kasus dam Kotopanjang juga melanggar Japan’s ODA Charter, yang menyatakan:

“Many people are still suffering from famine and poverty in the developing countries, which constitute a great majority among countries in the world. From a humanitarian viewpoint, the international community can ill afford to ignore this fact.

The world is now striving to build a society where freedom, human rights, democracy and other values are ensured in peace and prosperity…

Environmental conservation is also a task for all humankind, which all countries, developed and developing alike, must work together to tackle…”[60]

Dalam Japan’s ODA Charter, terdapat 4 prinsip yang mesti dipenuhi – yang juga dilanggar, sebagai berikut, terutama prinsip ke-1 dan ke-4, sebagai berikut: “(e)nvironmental conservation and development should be pursued in tandem, dan; (f) ull attention should be paid to efforts for promoting democratization and introduction of a market-oriented economy, and the situation regarding the securing of basic human rights and freedoms in the recipient country.”[61] Piagam ini dirumuskan melalui resolusi Kabinet Jepang pada 1992, memuat ketentuan dan pedoman tentang prinsip-prinsip, kebijakan dan prioritas ODA, dan juga menjadi sebuah “a vital role in clarifying the country's basic philosophy and guidelines for ODA.”[62]

Pada tahun 1997, Kementerian Luar Negeri Jepang mengeluarkan dokumen Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation. Dokumen ini memuat laporan MoFA yang melaksanakan evaluasi keseluruhan terhadap ODA untuk Indonesia. Tim Survey yang diketuai Hideo Monden, advisor pada the International Development Center of Japan dan mantan vice minister for the Management and Coordination Agency, melakukan evaluasi terhadap 4 tema yang menjadi perhatian, yakni (1) penghapusan kemiskinan; (2) perlindungan lingkungan hidup; (3) pembangunan sumber daya manusia dan pendidikan; (4) promosi bantuan dilevel akar rumput. Tim ini menyusun rekomendasi sebagai berikut:

“For further improvement, the evaluation team recommended additional measures of implementation frameworks in terms of finding or formulating new projects, linking projects at the local level with the evolvement of broader coverage, and having projects become self-reliant. For example, the experts on long-term assignment could participate in finding and formulating projects.”[63]

Sayangnya, tidak disebutkan, rekomendasi terhadap proyek-proyek yang sudah dikerjakan seperti proyek Dam Kotopanjang. Apalagi direkomendasikan untuk memberikan judicial remedies terhadap ribuan penduduk lokal, korban pembangunan dam ini.


C. Jepang dan Obligasi Internasional Hak Asasi Manusia

Jepang merupakan satu negara yang telah meratifikasi dan menandatangani beberapa main human rights treaties – per 2 November 2003, sebagai berikut: [64]
- The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights - ICESCR (21 September 1979);
- The International Covenant on Civil and Political Rights - ICCPR (21 September 1979);
- The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination – CERD, which signifies accession (14 Januari 1996).
- The International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women – CEDAW (25 Juli 1985);
- The Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment – CAT, which signifies accession (29 Juli 1999);
- The Convention on the Rights of the Child – CRC (22 Mei 1994)
- The Optional Protocol to the Convention of the Rights of the Child (CRC-OP-AC) on the involvement of children in armed conflict (10 Mei 2002)
- The Optional Protocol to the Convention of the Rights of the Child (CRC-OP-SC) on the sale of children, child prostitution and child pornography (10 Mei 2002)


Dengan demikian, Jepang terikat obligasi seperti dimuat dalam treaties diatas. Sebagai contoh, pasal 4 ICESCR, menyatakan:

The States Parties to the present Covenant recognize that, in the enjoyment of those rights provided by the State in conformity with the present Covenant, the State may subject such rights only to such limitations as are determined by law only in so far as this may be compatible with the nature of these rights and solely for the purpose of promoting the general welfare in a democratic society.[65]


Selanjutnya, dalam Kovenan ini, dijamin hak-hak setiap orang berkaitan dengan jaminan hak setiap orang untuk menikmati standar hidup yang layak, termasuk hak atas ketersediaan pangan, pakaian dan perumahan;[66] hak setiap orang atas standar tertinggi kesehatan fisik dan mental[67]; hak setiap orang untuk mendapat pendidikan, [68]; serta hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya.[69]

Berkaitan dengan kejahatan yang dialami para korban dam Kotopanjang berupa intimidasi terror, dan penangkapan sewenang-wenang, Pemerintah Jepang, pada dasarnya patut diduga telah melanggara obligasi untuk menjamin hak-hak sipil dan politik penduduk, seperti dimuat dalam ICCPR.[70] Pasal 7 Kovenan menyatakan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan tindakan kejam lainnya.[71] Selanjutnya, pasal 9 Kovenan menegaskan jaminan setiap orang atas kebebasan dan keamanan individu, sehingga tidak dapat ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang.[72] Sebagai tambahan, pasal 18 Kovenan menjamin kebebasan setiap orang untuk berpendapat dan mengeluarkan pikiran. [73]

Baik ICESCR maupun ICCPR telah diratifikasi Jepang sejak 1979 – bertepatan dengan tahap perencanaan pembangunan dam Kotopanjang. Dengan demikian, jaminan-jaminan hak-hak asasi manusia dalam kedua kovenan induk ini, semestinya telah dokumen pedoman bagi Pemerintah Jepang dalam melaksanakan ODA ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Karenanya, sebuah pernyataan seorang diplomat Jepang tidak menunjukkan adanya komitmen untuk memenuhi obligasi Jepang sebagai Negara Pihak Kovenan dan anggota PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang terikat dengan Piagam PBB. Dalam sebuah media dinyatakan, sumber diplomat Jepang meminta pihak Indonesia untuk memberikan kompensasi kepada para penduduk, karena pada dasarnya Indonesia yang gagal memberikan reparasi kepada para korban.[74] Dalam konteks ini sebuah studi menunjukkan pihak donor mempunyai “power” untuk melakukan upaya pencegahan kejahatan HAM dalam proyek-proyek pembangunan, sekaligus memberikan “teguran” kepada pemerintah yang diberi donor agar memberikan perlindungan terhadap warga negaranya.[75]


Penutup

Pemerintah Jepang, tidak dipungkiri telah mengupayakan berbagai reformasi terhadap ODA. Sejumlah kebijakan telah dirumuskan. Terdapat 15 specific measures untuk mereformasi ODA di 5 area, yakni auditing; evaluation; partnership with Non-Governmental Organizations (NGOs); eksplorasi, fostering dan utilizing sumber daya manusia, serta; information disclosure and public relations, dibawah prinsip “implementing whatever possible”.

Dalam konteks kemitraan dengan NGOs, Pemerintah Jepang mengidentifikasi NGOs (Non-Governmental Organizations) sebagai entitas yang mesti diajak bekerjasama dalam dibidang pemberantasan kemiskinan dan problem-problem lainnya yang ada di negara-negara berkembang. Kementerian Luar Negeri Jepang menyatakan terdapat beberapa aspek kemitraan, yakni: aspek “collaboration” atau “the utilization of human resources and know-how of NGOs” dalam implementasi proyek ODA. Selain itu terdapat juga aspek “support” melalui aktivitas ODA yang dilakukan oleh NGOs serta aspek meningkatkan “dialog” dengan NGOs.[76]

Pemerintah Jepang menunjuk para intelektual, tokoh dan ahli terkemuka yang dipimpin Dr. Toshio Watanabe, Dekan Fakultas Pembangunan Internasional, Universitas Takushoku dalam the 2nd Consultative Committee on ODA Reform. Komite ini beranggotakan 13 orang:[77] (1) Shinji Asanuma, Professor, Graduate School of International Corporate Strategy, Hitotsubashi University; (2) Mitsuya Araki, President and Chief Editor, The International Development Journal Co. Ltd.; (3) Makoto Iokibe Professor, Faculty of Law, Kobe University; (4) Kiyoko Ikegami Planning and Development Manager, Japanese Organization for International Cooperation in Family Planning; (5) Dr. Hiroya Ichikawa Director, Institute of Comparative Culture / Professor, Faculty of Comparative Culture; (6) Shigeji Ueshima, Chairman and Executive Director, Mitsui Co., Ltd.; (7) Saburo Kawai, Chairman, International Development Centre of Japan (Chair of the Council on ODA Reforms for the 21st Century); (8) Akira Kojima, Director and Editorial Page Editor, Nihon Keizai Shimbun Inc.; (9) Dr. Tomoyuki Kojima, Dean, Faculty of Policy Management, Keio University; (10) Dr. Akihiko Tanaka, Professor, Interfaculty Initiative in Information Studies, Graduate School of the University of Tokyo; (11) Keiko Chino Editorial Writer, Sankei Shimbun Co., Ltd.; (12) Yoshitaka Funato; Chairperson, Japan NGO Centre for International Cooperation (JANIC); (13) Akiko Yuge Professor, Faculty of International Exchange, Ferris Women's University.

Melihat uraian tersebut maka, ironis, jika Pemerintah Jepang tidak mau membuka seluruh dokumen yang berkaitan dengan proyek Kotopanjang. Sangat ironis, jika Pemerintah Jepang, tidak mau benar-benar mereformasi ODA: dengan memberikan judicial remedies, termasuk reparasi kepada para korban dam Kotopanjang dan merestorasi dan merehabilitasi seluruh dampak negatif yang ditimbulkan proyek ODA ini. Alangkah baiknya para Consultative Committee on ODA Reform yang mulia dan terhormat memberikan perhatiannya kepada kasus dam Kotopanjang. Semoga!


Annex 1

- History of Japan's Assistance to Developing Countries (1945-1999)
- Events concerning Japanese economic cooperation
- World events concerning economic cooperation

Annex 2
Chart Trends in ODA of Major DAC Countries
Sumber: MoFA. April 2003. The 2002 White Paper on Official Development Assistance (ODA). Chapter IV.

Annex 3
ODA Country Policy toward Major Recipients (1999)
Presented below is a country-by-country account of Japan's aid policies toward major recipient countries, based on the achievements of past aid and the results of various policy dialogues.


Catatan Belakang:

[1] Lihat MoFA doc. Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation. 1997. Lihat http://www.mofa.go.jp/policy/oda/evaluation/1997/index.html

[2] Lihat Kompas. 2 Juli 2003. “Masyarakat Kotopanjang dan Walhi Gugat Pemerintah Jepang”; Lihat juga Japanese Committee Supporting the Victims of Kotopanjang Dam. Teks dapat dibaca di http://www2.ttcn.ne.jp/~kotopanjang/ENG00.htm

[3] Lihat seruan aksi dalam http://www.foei.org/cyberaction/kotopanjang.html

[4] Lihat DTE doc. IFIs Update No. 28, September 2002. Teks dapat dibaca di http://dte.gn.apc.org/Au28.htm

[5] Kiroku Hanai. “Fair, transparent foreign aid”. The Japan Times Online. April 28, 2003. Teks dapat dibaca di http://www.japantimes.co.jp/cgi-bin/getarticle.pl5?eo20030428kh.htm

[6] MoFA doc. Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation. 1997. “Evaluation Findings in Major Sector.” Op.cit.

[7] Lihat Kompas Online. 4 Februari 2004. “Pengadilan Tokyo Bebaskan Walhi Dari Biaya Sidang Kasus "Kotopanjang". Teks dapat dibaca di http://www.kompas.co.id/utama/news/0402/04/011947.htm

[8] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003. “Proyek PLTA Kotopanjang. Lingkungan Rusak, Warga Riau Gugat Pemerintah Jepang”. Teks dapat dibaca di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0307/02/ipt01.html

[9] Kompas. 8 Oktober 2003. “3.861 Korban Kotopanjang Gugat Pemerintah Jepang”

[10] Sinar Harapan Online. Op.cit.. Tentang Komite tersebut lihat http://www2.ttcn.ne.jp/~kotopanjang/ENG00.htm

[11] Lihat Kiroku Hanai. Op.cit.

[12] Lihat Kompas. 2 Juli 2003.

[13] Ibid.

[14] Kiroku Hanai. Op.cit.

[15] Lihat Ibid.

[16] Dikutip dari Amanda Suutari. “ODA in the dock over a dam. Sumatran villagers claim 5 million yen damages each”. Japan Times. August 14, 2003.

[17] Lihat Seruan Aksi pada http://www.foei.org/cyberaction/kotopanjang.html

[18] Ibid. lihat juga artikel Down to Earth. “Kotopanjang campaign”. Teks dapat dibaca di http://dte.gn.apc.org/60BRF.htm inter alia IFIs Update.

[19] Lihat Kompas. 2 Juli 2003. Op.cit. Lihat juga Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003

[20] Lihat Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003.

[21] Kiroku Hanai. Op.cit.

[22] Lihat Kompas. 2 Juli 2003.

[23] Detikcom. 3 Juli 2003. “Masyarakat Riau-Sumbar dan Gajah Gugat Pemerintah Jepang”. Teks dapat dibaca di http://www.detik.com/peristiwa/2003/07/03/20030703-160425.shtml

[24] Lihat Kompas. 2 Juli 2003; Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003; Japan Times. 29 Maret 2003. “Sumatra plaintiffs reach 8,400 in suit over ODA-funded dam”; Japan Times. May 29, 2002. “Sumatrans seek relocation compensation. Villagers to sue Japan over unfulfilled promises from ODA dam project.”

[25] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003.

[26] Lihat Kompas. 2 Juli 2003.

[27] Kompas. 8 Oktober 2003.

[28] The Jakarta Post. July 04, 2003. “Indonesians' suit over Tokyo-funded dam gets off to stormy start”.

[29] Pernyataan ini diungkapkan pada pemeriksaan pertama di Pengadilan Tokyo pada 3 Juli 2002. Dikutip dari Agen Berita Kyodo dan Japan Times pada 3 Juli 2003, dan dimuat juga dalam Ibid.

[30] Dikutip dari Agen Berita Kyodo, seperti dimuat dalam Ibid.

[31] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003.

[32] Lihat Media Indonesia. 3 September 2003. “Korban Pembangunan Waduk”.

[33] Lihat Yumi Wijers-Hasegawa. “Sumatra islander tells court how aid project destroyed lives”. Japan Times. July 4, 2003.

[34] Japan Times. March 27, 2003. “More Indonesians to sue Japan over aid-funded dam”.

[35] Lihat Amanda Suutari. Op.cit.

[36] Japan Times. March 27, 2003.

[37] Detikcom. 3 Juli 2003.

[38] Ibid.

[39] DTE doc. IFIs Update.

[40] Ibid.

[41] Ibid. ; Yumi Wijers-Hasegawa. Op.cit.

[42] Yumi Wijers-Hasegawa. Ibid.

[43] Sinar Harapan Online. Op.cit;; DTE doc. IFIs Update.

[44] Lihat Amanda Suutari. Op,cit.

[45] Lihat The Jakarta Post. July 4, 2003.

[46] Ibid.

[47] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2004. “Proyek PLTA Kotopanjang. Lingkungan Rusak, Warga Riau Gugat Pemerintah Jepang”. Teks dapat dibaca di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0307/02/ipt01.html

[48] Lihat Media Indonesia. 3 September 2003. “Korban Pembangunan Waduk”.

[49] Kompas. Online. 4 Februari 2004. “Pengadilan Tokyo Bebaskan Walhi Dari Biaya Sidang Kasus "Kotopanjang". Teks dapat dibaca di http://www.kompas.co.id/utama/news/0402/04/011947.htm; lihat juga Gatra Online. 31 Oktober 2003. “Kasus PLTA Kotopanjang. Walhi Dibebani Biaya Perkara Rp 7,7 M”. Teks dapat dibaca di http://www.gatra.com/2003-10-31/artikel.php?id=31970

[50] Lihat Yumi Wijers-Hasegawa. Op.cit..

[51] Lihat The Jakarta Post. July 04, 2003; Yumi Wijers-Hasegawa. Ibid.

[52] Lihat The Jakarta Post. Ibid.

[53] Kompas Online. 4 Februari 2004.; Gatra Online. 31 Oktober 2003.

[54] Gatra Online.Ibid.

[55] Kompas. 8 Oktober 2003. “3.861 Korban Kotopanjang Gugat Pemerintah Jepang”.

[56] Lihat Amanda Suutari. Op.cit.

[57] Kompas. 08 Oktober 2003.

[58] Ibid.

[59] MoFA doc. Japan’s Official Development Assistance. Annual Report 1999. Teks dapat dibaca di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/note/loan-3.html

[60] ODA doc. Cabinet Decisions. June 30, 1992. Teks Dapat dibaca di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/summary/1999/ref1.html Versi revisi ODA Charter diadopsi pada Agustus 2003. Teks dapat dibaca di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/revision0308.pdf

[61] ODA doc. Cabinet Decisions. June 30, 1992.

[62] Lihat MoFA doc. January 1998. Council on ODA Reforms for the 21st Century Final Report. Teks dapat dibaca di: http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/report21.html#13

[63] MoFA doc. Annual Evaluation Report on Japan’s Economic, Cooperation. “Summary of Evaluation Finding”. 1997. Lihat http://www.mofa.go.jp/policy/oda/evaluation/1997/index.html

[64] UN doc. Office of the UN High Commissioner for Human Rights. Status of Ratification of the Principal International Human Rights Treaties. As of 02 November 2003.

[65] UN doc. ICESCR. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27. Secara spesifik larangan terhadap pemindahan paksa (forced eviction) dijabarkan dalam General Comment yang diadopsi Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) Lihat UN Doc. E/C.12/2000/4, 11 August 2000. CESCR. Sixteenth session, 20 May 1997. General comment 7.The right to adequate housing (art. 11.1 of the Covenant): forced evictions.

[66] UN doc. ICESCR. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27., art. 11 (1). Lihat juga UN Doc. CESCR. Twenty-second session, 25 April-12 May 2000. General Comment No. 14. The right to the highest attainable standard of health. (article 12 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).

[67] UN doc. ICCPR. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27., art. 12 (1). Lihat juga UN Doc. E/C.12/1999/10, 8 December 1999. CESCR.Twenty-first session, 15 November-3 December 1999. General Comment No. 13. The right to education. (Article 13 of the Covenant)

[68] UN doc. ICESCR., art. 13 (1).

[69] UN doc. CCPR. 1982. General Comment No. 8. The Right to liberty and security of the person (art. 9).

[70] International Covenant on Civil and Political Rights.

[71] Lihat UN doc. CCPR. 1982. General Comment No. 7. The prohibition of torture or to cruel, inhuman or degrading treatment of punishment (art. 7).

[72] Lihat UN Doc. CCPR. 1982. General Comment No. 8. The Right to liberty and security of the person (art. 9).

[73] Lihat UN Doc. CCPR. 1982. General Comment No. 22. The freedom of thought, conscience and religion (art. 18).

[74] Lihat Japan Times. 29 Mei 2002. “Compensate evictees from Japan-funded dam, Jakarta told”

[75] Lihat A. Patra M. Zen “A Critical Contextual Human Rights Analysis of Kedung Ombo Larg Dam Project in Indonesia.” Dissertation for LL.M in International Human Rights Law. University of Essex (UK). Tidak diterbitkan., hal. 45, 59

[76] Lihat MoFA doc. “Japan’s Foreign Policy in Major Diplomatic Fields.”

[77] MoFA doc. List of Members of the 2nd Consultative Committee on ODA Reform. As of 29 March 2002. Lihat: http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/index.html
Load Counter