Monday, April 30, 2007

Pelayanan Publik dan Pemenuhan Hak Ekosob

Artikel singkat ini bertujuan untuk memaparkan gambaran sekaligus menjadi bahan diskusi lanjutan tentang peraturan dan program pemerintah, terutama yang disusun dibawah kementerian Pendayagunaan Aparat Negara (PAN). Selanjutnya, pada bagian kedua, dipaparkan deskripsi dan analisis pelayanan publik dari disiplin hak asasi manusia (HAM), terutama berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob).

Dibagian ketiga, akan diuraikan betapa kebijakan dan praktik pelayanan publik, sekaligus pemenuhan hak-hak ekosob masyarakat, merupakan kebijakan dan praktik yang menguntungkan semua pihak: masyarakat dan pemimpinnya.


Pelayanan Publik: Peraturan dan Program Pemerintah

Acuan pemerintahah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik mesti dijalankan, antara lain dengan dengan mengacu pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti asas umum penyelenggaraan Negara, yang telah diatur dalam UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam UU ini, pasal 3, dinyatakan 7 asas umum penyelenggaraan Negara: (1) kepastian hukum; (2) tertib penyelenggaraan Negara; (3) asas kepentingan umum; (4) keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6) profesionalitas, dan; (7) akuntabilitas. UU No. 28/1999 tersebut juga memuat hak masyarakat dalam penyelenggaraan Negara, antara lain hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara.[1]

Diskursus tentang RUU tentang (Standar) Pelayanan Publik, setidaknya sudah menguat sejak 2 tahun lalu. Dari aspek legal-formal, sejumlah peraturan telah dikeluarkan dalam kaitan pelayanan publik, yakni:

- Instruksi Presiden No.1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintahan Kepada Masyarakat;
- Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan;
- Keputusan Men.PAN Nomor 63 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelayanan publik;
- Keputusan Men.PAN Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat;
- Keputusan Men.PAN Nomor 26 Tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan publik;
- Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur negara No.81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum;
- Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara kepada Pemerintah Daerah menjelaskan 17 langkah strategik peningkatan pelayanan publik serta program aksi apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah;

Dari pemantauan media, problematik yang perlu diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebijakan (Beleidsregel), antara lain:
- standar minimum, apa-apa yang mesti menjadi standar pelayanan yang bersifat umum;
akuntabilitas penanggungjawab dan pelaksana pelayanan publik. Hal ini perlu dirumuskan, jangan sampai beban dan tanggungjawab hanya diemban oleh pegawai lapangan, melainkan juga mengatur para pejabat dieselon yang tinggi;
- mekanisme pengaduan, keluhan, komunikasi atau gugatan hukum terhadap pejabat atau institusi yang diklaim tidak melakukan tugas dan pelayanan kepada publik sebagaimana mestinya. Selanjutnya, juga perlu diatur penerapan sanksi baik administratif dan sanksi pidana kepada pihak yang telah lalai ataupun dengan sengaja tidak melakukan fungsinya. Tentu saja perlu ditindaklanjuti bukan hanya sebatas sanksi melainkan perbaikan dan peningkatan pelayanan serta menyelesaikan masalah yang muncul;
- keterlibatan optimum dari masyarakat dalam bentuk pengawasan, dan jika diperlukan keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat dalam perencanaan pelayanan publik yang akan dilakukan aparat;

RUU Pelayanan Publik disusun kementerian PAN. Rancangan ini diserahkan kepada Presiden pada 7 September 2005. Kemudian Presiden pada 12 Oktober 2005 menyerahkan rancangan kepada RUU tentang Standar Pelayanan Publik ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR sendiri memasukan Rancangan Undang-undang (RUU) Standar Pelayanan Publik dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2006 – salah satu dari 43 RUU prioritas.

Selain RUU ini, Menteri PAN Taufik Effendi dengan kantor kementrian PAN-nya menyatakan telah merencanakan, mengembangkan dan melaksanakan program untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, seperti:[2]

(1) pengembangan nomor identitas pelayanan publik (NIPP). Dengan menerapkan sistem ini target pendapatan negara dari sektor pajak diharapkan dapat meningkat 3 kali lipat dari Rp. 200 triliun/tahun menjadi Rp. 600 triliun/tahun. NIPP ini berfungsi sebagai identitas untuk mengakses layanan publik;

(2) penerapan Nomor Identitas Bersama (NIB) atau Single Identity Number (SIN) untuk peningkatan pelayanan publik. Dari situs kementerian PAN, diketahui per Oktober 2005, kementrian ini telah membuat kesepakatan bersama, diwakili Deputi Pelayanan Publik Kementerian PAN dengan Dirjen Pajak Departemen Keuangan, Dirjen Aplikasi Telematika Departemen Kominfo – secara formal dituangkan dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB). Sistem ini diuji coba di DKI Jakarta, Surabaya, Sidoarjo, dan selanjutnya akan dikembangkan di Medan, Palembang, Bandung, Cimahi, Semarang, Yogyakarta, Makassar, Manado dan kabupaten Bandung;

(3) pengembangan dan pemanfaatan e-government bagi instansi pelayanan publik, diberlakukan di Pusat dan di Daerah, dengan tujuan aksesibilitas cepat terhadap data dan informasi, serta memperkecil peluang kebocoran dana dan KKN;

(4) menyusun dan menerapkan Standar Pelayanan secara Transparan dan Akuntabel, diterapkan kepada seluruh Unit Pelayanan di Pusat dan Daerah;

(5) evaluasi terhadap sistem dan prosedur pelayanan untuk menyempurnakan sistem dan prosedur pelayanan;

(6) penerapan Penetapan Kinerja (Performance Agreement) secara berjenjang antara antara Pembina Penyelenggara Pelayanan publik dengan Pimpinan Unit Pelayanan publik merupakan komitmen tertulis untuk melakukan peningkatan kualitas pelayanan publik sehingga dapat dijadikan evaluasi terhadap kinerja yang bersangkutan pada akhir tahun anggaran;

(7) penyusunan pedoman supervisi Pelayanan publik, sebagai acuan bagi para aparat yang melaksanakan fungsi dan tugas supervisi di setiap unit pelayanan publik untuk meiakukan pemantauan dan penilaian kinerja aparat penyelenggara pelayanan publik.

(8) penyusunan Pedoman Deregulasi dan Debirokratisasi di bidang Pelayanan publik untuk acuan dan petunjuk pelaksanaan bagi seluruh instansi pemerintah di pusat maupun daerah, mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh untuk meiakukan deregulasi dan debirokratisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang bermasalah;

(9) asistensi, monitoring dan evaluasi penerapan Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Tahun ini, direncanakan program asistensi pada 22 provinsi. Tahun lalu telah dilakukan di 11 provinsi;

(10) penilaian Prestasi dan Inovasi Unit Pelayanan publik, yang ditindaklanjuti dengan predikat terbaik diberikan penghargaan piala, sedangkan yang berprestasi dengan predikat baik diberikan penghargaan piagam;

(11) penyusunan Pedoman Umum standar Pelayanan publik. Lewat Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Pedoman Umum Penyusunan Standar Pelayanan publik, nantinya setiap unit penyelenggara pelayanan publik baik pusat dan daerah menyusun standar pelaksanaan pelayanan publik;

(12) peningkatan pelayanan publik dengan pemberdayaan partisipasi masyarakat madani. Program ini dilakukan atas bantuan hibah dari Republik Federal Jerman berupa bantuan teknis, dimulai pada 2000 hingga 2007. Program ini telah dilaksanakan di kabupaten dan kota Bima (pelayanan kesehatan di Puskesmas), kabupaten Solok (pelayanan administrasi di Nagari), kabupaten Jombang (pelayanan pertanian), dan kabupaten Sleman (pelayanan Izin Mendirikan Bangunan). Secara singkat, program ini bertujuan mengembangkan metode peningkatan pelayanan publik yang berbasis pengaduan. Sebagai catatan, metode ini sudah dipublikasi dalam Buku Manual Praktis “Peningkatan Kualitas Pelyanan Publik Melalui Partisipasi Masyarakat Dalam Rangka Kepemerintahan yang Baik”. Sejumlah kabupaten percontohan yang menerapkan metode peningkatan pelayanan publik

(13) pemantauan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik, melalui forum konsultasi pemantauan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur;

(14) optimalisasi percepatan fungsi pelayanan publik di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dengan contoh: Banda Aceh, Sigli, Lhok Seumawe, dan Sabang;

(15) penerapan ISO-9000 untuk peningkatan pelayanan publik. Akreditasi yang berhubungan dengan jaminan mutu yang diakui dunia internasional adalah akreditasi 1S0-9000. Pada tahun anggaran 2006 akan dipilih beberapa unit pelayanan yang paling siap untuk diakreditasi, yang pelaksanaannya akan dibantu Kementerian PAN. Salah satu provinsi yang mengarah dan menerapkan standar mutu ini adalah Jawa Timur. Unit pelayanan publik di Jawa Timur yang sudah mendapat sertifikat ISO-9001: 2000 jumlahnya meningkat pesat dari 13 unit pada bulan April2005 menjadi 31 unit pada bulan Oktober 2005. Pada bulan Oktober 2005 yang sedang dalam proses sertifikasi jumlahnya ada 18 unit. Unit organisasi Internal Pemerintah Daerah juga diakreditasi untuk mendapatkan sertifikat 1S0-9000, diantaranya: Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur, Sekretariat Daerah Kabupaten Malang, sekretariat Daerah Kota Malang, sekretariat Daerah kabupaten Bojonegoro. Sebagai tambahan, Jawa Timur sebagai Daerah Percontohan Pelayanan Publik di Indonesia.

Kesengajaan memaparkan program pemerintah yang dilakukan kementerian PAN tersebut untuk mengajak diskusi lebih lanjut mengevaluasi dan memberikan kontribusi fakta yang terjadi dimasing-masing tempat perihal program peningkatan pelayanan publik didaerah masing-masing.


Problematik dan Prinsip Pemenuhan Hak-hak Dasar

Pelayanan publik dalam peraturan perundang-undangan dibatasi pada aktivitas pelayanan yang dilaksanakan aparat pemerintah, bisa dalam bentuk barang dan jasa. Problemnya, barang dan jasa publik tidak semuanya “dikuasai” dan dikelola instansi pemerintah dan badan usaha milik negara. Problem ini, dari sudut pandang pemenuhan hak asasi, sangat penting untuk dicarikan solusinya. Sebagai contoh, penguasaan dan pengelolaan sumber daya air – sebagai barang publik – yang diberikan peluang untuk diusahakan orang perseorangan atau badan hukum privat.

Hal tersebut menjadi penting untuk dijadikan masalah, karena ada upaya ditingkat pemerintah sendiri untuk mengkorporatisasi pelayanan publik. Dalam arti, pemerintah hanya mempunyai peran regulator, sementara pelaksana dan pelaksanaannya sehari-hari diserahkan orang perseorangan atau dimiliki secara privat. Dalam dokumen berjudul “Capaian Strategis Kementerian PAN Selama Satu Tahun Kabinet Indonesia Bersatu” dinyatakan rencana korporatisasi unit pelayanan publik, seperti rumah sakit dan unit-unit pelayanan yang menghasilkan pendapatan sendiri untuk diprivatisasi dengan menggunakan pendekatan manajemen bisnis/wirausaha.[3]

Disiplin HAM, merumuskan 3 kewajiban (obligasi) utama pemerintah dalam lapangan hak asasi, yaitu: (1) menghormati (to respect); (2) melindungi (to protect), dan (3) memenuhi (to fulfill) yang didalamnya mengandung makna memfasilitasi (to facilitate), membantu (to assist) dan menyediakan (to provide). Dengan menggunakan pendekatan ini, maka lingkup pelayanan publik yang relevan, utamanya dalam tanggungjawab pemerintah memenuhi hak asasi individu dan masyarakat, baik dibidang hak-hak sipil dan politik mau pun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.

Hak setiap orang untuk mendapat pelayanan publik, dijamin, setidaknya dalam 2 perajanjian internasional tentang hak asasi manusia. Jaminan ini, dinyatakan dalam Kovenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights),[4] dan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination).[5]

Kovenan dan Kovensi internasional tersebut memberikan penekanan pada hak setiap orang untuk mempunyai akses yang sama dalam memperoleh jenis dan bentuk-bentuk pelayanan publik (public service), tanpa diskriminasi berdasarkan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, keyakinan politik dan pendapat, latar belakang sosial, kepemilikan, dan status lain. Dalam konteks pelayanan publik, prinsip non-diskriminasi ini menjadi penting untuk dimuat dalam prinsip utama. Tidak jarang, pelayanan publik diselenggarakan secara pilih bulu, mendahulukan pelayanan kepada orang yang kaya dan sebaliknya kelompok masyarakat miskin ditelantarkan.

Dari disiplin HAM, dapat diambil prinsip-prinsip dalam pelayanan publik, seperti: non-diskriminasi; realisasi dan peningkatan terus menerus (progressive realization); adanya justisiabilitas jika pelayanan publik tidak memenuhi standar minimum.

Selanjutnya, dalam pemenuhan hak-hak ekonomi sosal dan budaya (hak ekosob), pelayanan publik mesti memberikan kontribusi pada jaminan: (1) availabilitas (ketersediaan); (2) aksesibilitas (mudah diakses); (3) fasilitas cuma-cuma (gratis) atau afordabilitas (keterjangkauan harga) yang bergantung pada progresif realization menuju ketersediaan fasilitas cuma-cuma; (5) akseptibilitas (kesesuaian dengan situasi dan kondisi), serta; (6) kualitas.[6]

Kembali ke soal pelayanan publik, merujuk kepada sifatnya, jaminan-jaminan yang seharusnya dilindungi (ketersediaan, mudah diakses, fasilitas cuma-cuma, keterjangkauan harga, kesesuaian dengan situasi dan kondisi, serta pelayanan berkualitas), ditujukan kepada pelayanan yang bersifat umum. Menurut Sri Redjeki Hartono, pelayanan publik dapat diklasifikasikan dua kategori berdasarkan sifatnya, yakni: Pertama, bersifat umum, pelayanan yang diberikan kepada siapapun yang membutuhkan pelayanan, diberikan oleh instansi publik yang diberikan wewenang untuk itu, seperti: pelayanan untuk memperoleh dokumen pribadi antara lain dokumen jati diri, dokumen status seseorang, dan dokumen tentang pembuktian pemilikan benda-benda tetap dan benda-benda bergerak. Kedua, bersifat khusus, pelayanan yang timbul karena adanya suatu hubungan hukum diantara institusi publik tertentu dengan kelompok masyarakat atau publik tertentu. Keduanya, hanya dapat dijalankan oleh aparat dan administrasi Negara yang profesional.[7]

Dengan memperhatikan sifatnya, maka dapat dapat disusun standar minimum pelayanan publik untuk pelayanan yang bersifat umum. Standar minimum, dapat mencakup: prosedur dan waktu. Untuk hal-hal yang dapat diklasifikasikan sebagai hak-hak dasar masyarakat, perlu juga dimuat rumusan perolehannya secara cuma-cuma, gratis, tanpa biaya. Jika pun dipungut biaya, maka prinsip yang tak boleh diabaikan seperti yang telah dikemukakan mesti ada jaminan keterjangkauan biaya bagi masyarakat secara luas, dan pemberian fasilitas kepada masyarakat miskin, marjinal dan terpinggirkan.


C. Pelayanan Publik: Pelaksanaan Obligasi Pemerintah dalam Pemenuhan Hak Ekosob

Pemerintah Kabupaten Jembrana, dapat dikatakan, salah satu contoh pemerintahan yang telah memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, sekaligus menjalankan obligasi pemerintah untuk memenuhi hak ekosob. I Gede Winasa, Bupati Kabupaten Jembrana merupakan salah satu contoh paling populer, seorang pejabat yang secara konkret mempromosikan dan mengupayakan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob), terutama hak atas pendidikan, hak atas kesehatan dan hak atas standar hidup yang layak – melalui pengembangan ekonomi rakyat.[8]

Tabel 1

Jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Pendapatan Asli Daerah

Kabupaten Jembrana (2000 – 2004)
Tahun
APBD
PAD

(dalam Rupiah)

2000
66.911.688.691
2.551.526.749

2001
131.599.246.286
5.540.224.419

2002
171.703.401.395
11.555.147.609

2003
193.157.562.548
11.055.956.008

2004
205.000.287.634
9.785.500.000


Sumber: Dharma Santika Putra dan Nanoq da Kansas. 2004: 218.

Di kabupaten ini kita dapat temukan dan melihat implementasi kebijakan-kebijakan strategis, seperti: pembebasan biaya pendidikan untuk sekolah negeri dan pemberian beasiswa; peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan tenaga pengajar/guru, peningkatan kualitas sarana dan prasaran pendidikan; program ‘asuransi kesehatan’ untuk rakyat melalui Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ); mendorong berkembanganya koperasi, pemberdayaan masyarakat (Pokmas); proteksi petani, dengan cara membentuk Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Jembrana dan pemberian dana talangan kepada petani sehingga tidak diculasi tengkulak.[9]


Tabel 2

Contoh Indikator Pemenuhan Hak-hak Ekosob di Kabupaten Jembrana
Indikator
Tahun
Perubahan

2001
2002

Keluarga Miskin
19,4%
10,9%
Berkurang 44%

Kematian Bayi (per 1.000 lahir hidup)
15.25
8,39
Berkurang 45%

Tingkat kegagalan menyelesaikan sekolah (drop-out) Sekolah Dasar
0,08%
0,02%
Berkurang 75%


Sumber: Diolah dari Yayasan Tifa. 2005: 5.


Sebagai informasi, Winasa, meraih sejumlah penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI): (1) inisiator program sekolah gratis bagi SD, SMP, dan SMP pada 2004; (2) pelayanan kesehatan gratis melalui program JKJ; (3) proyek pengolahan air mineral dari air laut; (4) membebaskan pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi lahan sawah; (5) memperoleh prosentase suara terbanyak dalam Pilkada pada 12 Oktober 2005, yakni 88,56 persen suara dari total suara yang sah – dengan kata lain hampir 90 persen masyarakat Jembrana memilihnya[10]

Secara politik, sepak terjang Bupati Winasa, secara otomatis – mau tidak mau, suka tidak suka – berdampak positif terhadap posisi dan jabatannya. Bahkan pengaruhnya bukan saja terhadap dirinya. Image positif dimasyarakat, bahkan menular kepada isterinya.

Isteri Winasa, Ratna Ani Lestari, kemudian terpilih menjadi Bupati Banyuwangi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 20 Juni 2005 lalu. Berpasangan dengan Yusuf Nurhadi Iskandar, Ratna dicalonkan oleh 18 partai politik kecil, yang bahkan sama sekali tidak mendudukkan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Banyuwangi. Pasangan ini meraih 39,3 persen suara dari total suara yang sah.

Ratna awalnya keluar sebagi pemenang dalam Rapat Kerja Cabang Khusus DPC PDIP Banyuwangi, dengan perolehan 17 dari 21 suara Pengurus Anak Cabang (PAC) PDIP. Perkembangannya, Ratna dijegal DPP PDI-P, yang lebih merestui Ali Saroni dan Yusuf Widyatmoko, sebagai pasangan Cabup dan Cawabup. Dihalangi jalannya, kemudian Ratna mengikuti konvensi 18 partai politik kecil tersebut yang bergabung dalam Gabungan Partai Politik Non-Parlemen (GPPNP), dan lagi, Ratna menang dalam konvensi ini.

Satu hal yang menarik, kerap Ratna mengkampanyekan visi dan misinya tentang pendidikan cuma-cuma. “Kalau Jembrana, kabupaten termiskin di Bali, saja bisa menggratiskan pendidikan, kenapa Banyuwangi tidak”.[11] Janji inilah yang kemudian, menjadi salah satu faktor penting, mendorong masyarakat Banyuwangi memilihnya. Walaupun, aral rintang, pun setelah ia dinyatakan sebagai pemenang Pilkada, seperti digugat di Pengadilan, tetap saja akhirnya pasangan Ratna – Yusuf dilantik menjadi pasangan Bupati dan Wabup Banyuwangi. Satu lagi rekor MURI tercatat, Ratna dan Winasa, merupakan pasangan bupati pertama kali di Indonesia.


Penutup

Saat ini, diera kepemimpinan politik serta pemerintahan, ditentukan melalui mekanisme pemilihan secara langsung, seperti pemilihan kepala daerah (Pilkada), maka masyarakat perlu memilih pimpinannya dengan cemat, jeli dan bijaksana. Salah satu pertimbangan untuk menentukan pilihan, dapat digunakan penilaian terhadap komitmen sang calon atas pelaksanaan pelayanan publik dan pemenuhan hak-hak ekosob.

Dalam hal yang konkret dan faktuil, kiprah bupati Jembrana dan terpilihnya bupati Banyuwangi, merupakan contoh baik bagi siapa pun yang berkeinginan untuk meniti karir dibidang politik. Jabatan bukanlah tujuan, melainkan alat untuk menuju kemerdekaan bangsa ini, menuju situasi dan kondisi dimana setiap orang menikmati pelayanan publik, menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Siapa mau memecahkan rekor Winasa?

Selamat berdiskusi


* Dipresentasikan pada Roundtable Discussion “Mendorong Agenda Tata Kelola Kebijakan Pelayanan Publik” Kerjasama Malang Coruption Watch dan Yappika, Malang, 18 – 20 Desember 2005.

Catatan Belakang:

[1] Lihat UU No. 28/1999, Pasal 9 ayat (1) huruf b.

[2] Lihat “Capaian Strategis Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara selama satu Tahun Kabinet Indonesia Bersatu” Teks di http://www.menpan.go.id/main_news.asp?id=55

[3] Lihat “Capaian Strategis Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara selama satu Tahun Kabinet Indonesia Bersatu” Teks di http://www.menpan.go.id/main_news.asp?id=55

[4] Diadopsi dan terbuka untuk penandatangan, ratifikasi dan aksesi dengan Resolusi Majelis Umum PBB 2200A (XXI), 16 Desember 1966. Kovenan internasional ini berlaku (entry into force) pada 23 Maret 1976. Pada 30 September 2005, DPR dan Pemerintah memberikan persetujuan bersama untuk mengesahkan kovenan ini.

[5] UN doc. General Assembly resolution 2106 (XX), 21 Desember. Entry into force 4 January 1969. Konvensi Internasional ini menjadi hukum positif Indonesia, melalui UU No. 29/1999.

[6] Mengenai prinsip-prinsip pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, lebih lanjut dapat dilihat antara lain A. Patra M. Zen. 2005. Tak Ada Hak Asasi yang Diberi. YLBHI: Jakarta.

[7] Dikutip dari Komisi Hukum Nasional. “Reformasi Sektor Pelayanan Publik” Maret 2004. Teks di http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?mode=detil&id=62&PHPSESSID=6c50c1f50787a0ed4c2e52fc2853a2a1

[8] Untuk memahami katalog hak asasi manusia, baik hak-hak ekosob, maupun hak sipol, lihat antara lain A. Patra M. Zen. 2005. Tak Ada Hak Asasi yang Diberi. Jakarta: YLBHI. Dalam buku ini, dapat ditemui tolok ukur (benchmarking) dan indikator pemenuhan hak-hak ekosob, seperti hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas tanah (lahan).

[9] Untuk mengetahui profil Kabupaten Jembrana dan program-program strategis serta profil Bupati I Gede Winasa, lihat antara lain: Dharma Santika Putra dan Nanoq da Kansas (Pen/Editor). 2004. Menerjemahkan Otonomi Daerah Tanpa Basa-Basi. Pokok-pokok Pikiran Prof. Dr. drg. I Gede Winasa. Negara: KKBJ – Bali; Nanoq da Kansas. 2004. (Cet. Ke-2 Edisi Revisi). Anak Desa Penantang Zaman. Biografi Singkat Prof. Dr. drg. I Gede Winasa. Negara: Komunitas Kerja Budaya; Pusat Pengembangan Jembrana. 2003 (Cet. Ke-2). Jabatan untuk Rakyat: Kisah Kontroversial I Gede Winasa. Negara: PPJ; Yayasan Tifa. 2005. Semua Bisa Seperti Jembrana. Kisah Sukses sebuah Kabupaten Meningkatkan Kesejahteraan Rakyatnya. Jakarta: Tifa.

[10] Tempo Interaktif. 6 Februari 2006. “Raih Suara Terbanyak, Bupati Jembrana Masuk MURI”

[11] Dikutip dari Kompas. 14 Juli 2005. “Bupati Banyuwangi Tanpa Dukungan Parlemen. Isu Pendidikan Gratis Mampu Membius Pemilih”
Load Counter