Monday, April 30, 2007

Menjadi Penyantap Daging Pembangunan. Prinsip persetujuan yang bebas dan sadar dari Penduduk Asli (Masyarakat Adat)

Pengantar

Artikel ini akan mengeksplorasi dan menganalisis dari perspektif hukum hak asasi manusia terhadap prinsip-prinsip persetujuan bebas dan sadar (terlebih dahulu diinformasikan secara untuk diberikan persetujuan) – “free, prior and informed consent” (FPIC) penduduk Asli berkaitan dengan program pembangunan, proses produksi dan investasi yang berpengaruh dan berdampak bagi kehidupan, lahan dan sumber-sumber daya alam lain di wilayah dimana mereka tinggal.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), antara lain melalui Kelompok Kerja untuk Penduduk Asli (Working Group on Indigenous People) terus mengembangkan kerangka hukum (standard setting) berkaitan tentang prinsip-prinsip tersebut. Sub Komisi Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia (Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights) mengeluarkan Resolusi 2003/29 meminta Anoanella-Iulia Motoc untuk menyusun sebuah paper kerja awal[1] yang memuat 2 hal pokok: (1) pentingnya prinsip ini dalam instrumen hukum internasional dan domestik (nasional), serta (2) penjelasan mengenai istilah “free”, “prior” and “informed” dalam kerangka prinsip.[2]

Dalam hukum internasional, prinsip Persetujuan Bebas dan Sadar (PBS) telah dinyatakan dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No. 169, yang diadopsi pada 1989, atau dikenal dengan Konvensi Penduduk Asli dan Masyarakat Adat (Indigenous and Tribal Peoples Convention). Dalam konvensi ini, ILO mewajibkan penerapan FPIC berkaitan dengan kebijakan dan praktik relokasi penduduk asli. Negara diwajibkan berdialog dan menyerap aspirasi dari penduduk dalam proses relokasi tersebut, khususnya menyangkut masalah pembangunan, lahan dan sumber daya alam lainnya.[3] Ketentuan tersebut secara prinsip berlaku sama terhadap pelaku non-negara, terutama perusahaan multi/trans-nasional.[4]

Lima tahun berikutnya, pada 1994, prinsip tersebut ditegaskan kembali melalui Resolusi Sub-Komisi yang memuat draft naskah deklarasi tentang hak-hak penduduk asli[5] sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel

PBS dalam Draft Deklarasi PPB tentang Hak-hak Penduduk Asli
Pasal

10
Penduduk aksi dilarang dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Dilarang semua bentuk relokasi yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari penduduk yang bersangkutan, secara bebas dan sadar, dan relokasi hanya dapat dilakukan setelah terjadi kesepakatan menyangkut ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan apabila dimungkinkan, kesepakatan harus juga memuat pilihan, penduduk dapat kembali lagi ke wilayah sebelumnya.

12
Penduduk asli berhak mempraktikkan dan merevitalisasi tradisi dan adat budayanya. Mencakup, hak untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan manifestasi kebudayaannya pada masa lalu, saat ini dan mendatang, seperti situs sejarah dan arkeologi, artefak, rancang-bangun, upacara, teknologi, seni pertunjukan dan sastera, berlaku juga untuk hak restitusi atas kekayaan kultural, intelektual, agama dan spiritual, yang diambil tanpa persetujuan bebas dan sadar atau diambil dengan melanggar hukum, tradisi dan adatnya.

20
Penduduk asli berhak berpartisipasi (mengambil peran) secara penuh, jika dikehendaki, melalui prosedur-prosedur yang ditentukannya, dalam proses menetapkan tindakan dibidang hukum dan administrasi, yang membawa akibat terhadap keberadaannya. Negara diwajibkan memperoleh persetujuan bebas dan sadar dari penduduk asli yang bersangkutan sebelum menetapkan dan melaksanakan tindakan-tindakan tersebut.

27
Penduduk asli berhak mendapat restitusi atas tanah, wilayah dan sumber daya alam lain, yang secara tradisional dimiliki dan ditempati atau digunakannya, juga yang telah diambil alih, diduduki, digunakan atau dirusak, tanpa persetujuan bebas dan sadar dari penduduk yang bersangkutan. Jika tidak memungkinkan, penduduk berhak untuk mendapat ganti kerugian yang adil dan wajar. Dengan pengecualian, jika disetujui, ganti kerugian dapat berwujud tanah, wilayah atau sumber daya alam dengan kualitas, ukuran dan status hukum yang sama.

30
Penduduk asli berhak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas dan strategi dalam mengembangkan atau menggunakan lahan, wilayah dan sumber daya alam miliknya, termasuk hak untuk menuntut kewajiban Negara untuk terlebih dulu mendapat persetujuan bebas dan sadar dari penduduk sebelum menetapkan/melaksanakan proyek yang berdampak pada tanah dan wilayah, khususnya proyek pembangunan, pemanfaatan atau eksploitasi sumber daya mineral dan sumber daya alam lainnya. Berdasarkan persetujuan dari penduduk asli yang bersangkutan, ganti kerugian yang adil dan wajar, wajib disediakan untuk keperluan setiap aktivitas dan tindakan yang dilakukan dalam rangka mengurangi dampak kerusakan lingkungan hidup, ekonomi, sosial, budaya dan spiritual.


Selain Sub-Komisi, mekanisme dan prosedur pengawasan berdasarkan perjanjian internasional hak asasi manusia juga menyatakan perlunya FPIC tersebut. Sebagai contoh, Komite yang dibentuk berdasarkan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, dalam Rekomendasi Umum XXIII meminta Negara Pihak untuk memastikan setiap anggota masyarakat Asli (Adat) dijamin persamaan haknya untuk berpartisipasi dan mengambil peran dalam kehidupan publik serta dilarang menetapkan peraturan dan kebijakan yang berakibat terhadap hak-hak asasi dan kebebasan fundamental penduduk Asli, tanpa persetujuan secara sadar.[6]


Keprihatinan Komunitas Internasional Menuju Pengembangan Persetujuan Bebas dan Sadar

Dapat dikatakan Persetujuan Bebas dan Sadar (PBS) merupakan perkembangan selanjutnya dari norma dan standar internasional yang berkaitan dengan hak asasi dan kebebasan fundamental “penduduk asli/masyarakat adat”.

Dalam hukum internasional hak asasi manusia, istilah yang digunakan untuk menunjuk “penduduk adat” dan “masyarakat adat”, antara lain “indigenous people” dan “tribal peoples”. Penggunaan kedua istilah ini, misalnya diadopsi Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 1989, saat menyetujui ILO Convention No. 169 concerning Indigenous and Tribal Peoples Convention.[7] Dalam klasifikasi yang disusun Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia, instrumen hak asasi yang berkaitan dengan “penduduk asli” dimasukan dalam kategori “rights of indigenous peoples and minorities”.[8] Selain Konvensi ILO 169, juga dimuat Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities.[9]


Tabel

Hak asasi dan kebebasan fundamental Penduduk Asli/Masyarakat Adat dalam Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia

Konvensi Hak-hak Anak (1989)

17 (d)
Encourage the mass media to have particular regard to the linguistic needs of the child who belongs to a minority group or who is indigenous

29 (d)
The preparation of the child for responsible life in a free society, in the spirit of understanding, peace, tolerance, equality of sexes, and friendship among all peoples, ethnic, national and religious groups and persons of indigenous origin

30
In those States in which ethnic, religious or linguistic minorities or persons of indigenous origin exist, a child belonging to such a minority or who is indigenous shall not be denied the right, in community with other members of his or her group, to enjoy his or her own culture, to profess and practise his or her own religion, or to use his or her own language.

Deklarasi Universal tentang Keberagaman Budaya (2001)

The defence of cultural diversity is an ethical imperative, inseparable from respect for human dignity. It implies a commitment to human rights and fundamental freedoms, in particular the rights of persons belonging to minorities and those of indigenous peoples. No one may invoke cultural diversity to infringe upon human rights guaranteed by international law, nor to limit their scope

Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (1993)

Preamble, para. 7
Concerned that some groups of women, such as women belonging to minority groups, indigenous women, refugee women, migrant women, women living in rural or remote communities, destitute women, women in institutions or in detention, female children, women with disabilities, elderly women and women in situations of armed conflict, are especially vulnerable to violence

Aturan-aturan Standar tentang Persamaan Peluang untuk Orang-orang Cacat (1993)

Para. 15
The purpose of the Rules is to ensure that girls, boys, women and men with disabilities, as members of their societies, may exercise the same rights and obligations as others. In all societies of the world there are still obstacles preventing persons with disabilities from exercising their rights and freedoms and making it difficult for them to participate fully in the activities of their societies. It is the responsibility of States to take appropriate action to remove such obstacles. Persons with disabilities and their organizations should play an active role as partners in this process. The equalization of opportunities for persons with disabilities is an essential contribution in the general and worldwide effort to mobilize human resources. Special attention may need to be directed towards groups such as women, children, the elderly, the poor, migrant workers, persons with dual or multiple disabilities, indigenous people and ethnic minorities. In addition, there are a large number of refugees with disabilities who have special needs requiring attention

Pedoman untuk Pencegahan Penyimpangan Kelakuan Anak-anak (Pedoman Riyadh) (1990)

Para. 15
Special attention should be given to children of families affected by problems brought about by rapid and uneven economic, social and cultural change, in particular the children of indigenous, migrant and refugee families. As such changes may disrupt the social capacity of the family to secure the traditional rearing and nurturing of children, often as a result of role and culture conflict, innovative and socially constructive modalities for the socialization of children have to be designed

Pedoman untuk Aksi bagi Anak-anak dalam Sistem Peradilan Pidana (1997)

Para. 17
Appropriate action should be ensured to alleviate the problem of children in need of special protection measures, such as children working or living on the streets or children permanently deprived of a family environment, children with disabilities, children of minorities, immigrants and indigenous peoples and other vulnerable groups of children.

Para. 36
Emphasis should be placed on formulating comprehensive prevention plans, as called for in the United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the Riyadh Guidelines). Projects should focus on strategies to socialize and integrate all children and young persons successfully, in particular through the family, the community, peer groups, schools, vocational training and the world of work. These projects should pay particular attention to children in need of special protection measures, such as children working or living on the streets or children permanently deprived of a family environment, children with disabilities, children of minorities, immigrants and indigenous peoples and other vulnerable groups of children. In particular, the placement of these children in institutions should be proscribed as much as possible. Measures of social protection should be developed in order to limit the risks of criminalization for these children.

Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar tentang Keadilan untuk Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (1985)

Para. 7
Informal mechanisms for the resolution of disputes, including mediation, arbitration and customary justice or indigenous practices, should be utilized where appropriate to facilitate conciliation and redress for victims.

Para. 14
Victims should receive the necessary material, medical, psychological and social assistance through governmental, voluntary, community-based and indigenous means.


Perhatian komunitas internasional terhadap penduduk asli diwujudkan antara lain menetapkan 1993, sebagai Tahun Internasional untuk Penduduk Asli Dunia. Pada tahun yang sama, dalam Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia (World Conference on Human Rights),[10] diberikan mandat umum kepada semua Negara, semestinya, berdasarkan hukum internasional, menjalankan langkah-langkah positif untuk memastikan penghormatan hak asasi dan kebebasan fundamental penduduk asli, berdasarkan basis persamaan dan non-diskriminasi, dan penerimaan nilai dan Keberagaman perbedaan identitas, budaya dan organisasi sosial.[11] Selanjutnya, setidaknya ada 5 program aksi yang dimandatkan untuk dilakukan[12], yakni:

- Memandatkan Kelompok Kerja Populasi Penduduk Asli (Working Group on Indigenous Populations) untuk menyelesaikan draft deklarasi hak-hak penduduk asli;
- Merekomendasikan Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) untuk memperbaharui mandat Kelompok Kerja Populasi Penduduk Asli;
- Merekomendasikan implementasi program pelayanan advisory dan perbantuan teknik dibawah sistem PBB, dapat secara langsung bermanfaat untuk penduduk asli. Untuk tujuan ini, juga direkomendasikan penyediaan sumber daya keuangan dan manusia bagi Pusat Hak Asasi Manusia (Centre for Human Rights) untuk mendorong perwujudan program aksi Wina ;
- Meminta semua Negara untuk memastikan pemenuhan partisipasi penduduk asli secara penuh dan bebas disemua aspek kehidupan bermasyarakat;
- Direkomendasikan kepada Majelis Umum (General Assembly) memproklamirkan dekade internasional untuk penduduk asli, dimulai dari Januari 1994. Selanjutnya, penggalangan dana mesti dilakukan untuk tujuan program-program yang berorientasi aksi, yang bekerjasama dengan penduduk asli serta pembentukan forum permanen untuk penduduk asli berdasarkan sistem PBB.


Dalam konteks, mekanisme Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah dibentuk Kelompok Kerja dibawah Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Minoritas (Working Group on Indigenous Populations of the Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities), serta telah diangkat Pelapor Khusus (Special Rapporteur) .

Prosedur kunjungan negara (country visits) berdasarkan mandat prosedur khusus untuk memeriksa situasi dan kondisi hak asasi dan kebebasan fundamental penduduk asli/masyarakat adat, sejumlah negara telah menyetujui mekanisme ini, per 1998, yakni: Chili[13], Guatemala[14], Meksiko[15], dan Filipina.[16] Sejak 2001, Rodolfo Stavenhagen dari Meksiko, dipercaya menjadi Pelapor Khusus untuk situasi hak asasi dan kebebasan fundamental penduduk asli, untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun.[17]

Selain mekanisme tersebut, yang langsung berkaitan dengan “Penduduk Asli”, mekanisme khusus lain juga memberikan perhatian kepada “Penduduk Asli”, sebagai contoh Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions.[18] Rentang 20 Juli 1992 sampai dengan 1 September 1996, Pelapor Khusus telah menyampaikan 818 urgent appeals mengatasnamakan 6,500 jiwa, termasuk dari komunitas penduduk asli.


Lingkup makna istilah

Persetujuan bebas dan sadar (PBS) oleh penulis, digunakan merujuk pada istilah yang digunakan untuk memudahkan konsep lengkap “free, prior and informed consent” (FPIC) atau “persetujuan bebas dan yang diinformasikan terlebih dulu. Konsep ini, dapat dikatakan merupakan penjabaran dari norma dan standar hukum internasional hak asasi manusia, seperti yang telah dikemukakan dibagian sebelumnya, misalnya sebagai pengembangan dari program dan aksi Wina yang meminta kepada semua Negara untuk memastikan pemenuhan partisipasi penduduk asli secara penuh dan bebas disemua aspek kehidupan bermasyarakat.

Konsep FPIC tersebut, mengandung 4 elemen pokok: “bebas” (“free”), “sebelumnya” (“prior”) dan “diinformasikan” (“informed”) dan “persetujuan” (“consent”). Forum Permanen untuk Isu-isu Penduduk Asli (Permanent Forum on Indigenous Issue (FPII))[19], telah memberikan kisi-kisi unsur penting konsep ini.

Pertama, “bebas”, mempunyai makna tidak adanya tekanan dalam bentuk apapun, intimidasi atau manipulasi.

Kedua, “terlebih dahulu” (prior). Informasi diberitahukan kepada penduduk asli, sebelum setiap izin atau pelaksanaan aktivitas yang akan dilakukan, dan adanya waktu yang disediakan untuk melakukan proses konsultasi atau mencapai konsensus dari penduduk asli.

Ketiga, pemberitahuan (informed) atau informasi yang diberikan dan disediakan untuk penduduk asli, sekurang-kurangnya atau tidak terbatas pada hal-hal: (1) karakter dasar (nature), ukuran (size), kecepatan (pace), daya pulih (reversibility) dan lingkup (scope) semua rencana proyek atau aktivitas; (2) alasan atau tujuan proyek dan/atau aktivitas; (3) jangka waktu; (4) wilayah-wilayah yang terkena dampak; (5) penilaian pendahuluan (a preliminary assessment) menyangkut dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup, termasuk potensi resiko, dalam konteks pemenuhan prinsip-prinsip pencegahan dampak negatif. Penilaian juga dilakukan berkaitan dengan persamaan keuntungan dan adil dalam distribusi keuntungan yang diperoleh dari proyek atau aktivitas yang akan dilakukan; (6) orang-orang yang akan dilibatkan dalam proyek atau aktivitas, termasuk anggota masyarakat adat atau penduduk asli yang nantinya dilibatkan, staf sektor privat, lembaga-lembaga penelitian, aparat pemerintah, dan seterusnya); (7) prosedur-prosedur yang diberlakukan dalam proyek atau aktivitas yang akan dilakukan.

Keempat, persetujuan (consent) mengandung prasyarat dan komponen pokok: dilaksanakannya konsultasi dan partisipasi. Dialog dilakukan untuk mencari penyelesaian dan solusi dalam atmosfir yang saling menghormati dan itikad baik, serta dilaksanakan dengan partisipasi yang penuh, bermakna dan setara (full, meaningful and equitable participation).

Penting untuk diperhatikan, proses konsultasi juga meminta waktu dan sistem yang efektif yang memberikan peluang semua pemangku-kepentingan berkomunikasi. Penduduk asli, sebagai pihak yang berkepentingan, berhak secara langsung atau memilih perwakilannya secara bebas – berdasarkan hukum atau standar yang berlaku dilokalnya, termasuk pelibatan secara aktif kaum perempuan dan anak-anak; dengan mendorong pemenuhan keseimbangan perwakilan perempuan dan laki-laki, termasuk secara sungguh-sungguh mempertimbangkan pendapat atau pandangan remaja dan anak-anak yang relevan. adat. Perspektif gender, menjadi perspektif yang mesti didorong dalam proses konsultasi, serta proses dialog dilakukan dengan memberikan peluang untuk mempertahankan sebuah pendapat.

Untuk mencapai tujuan ini, informasi, jika diperlukan, mesti dipresentasikan atau dikomunikasikan dengan bahasa yang dimengerti dan dipahami penduduk asli; jika diperlukan disediakan terjemahan atau penerjemah. Cara komunikasi yang dilakukan juga mesti mempertimbangkan tradisi bertutur yang dihidupi dikomunitas masyarakat adat, agar informasi benar-benar dapat dipahami.

Waktu yang disediakan dalam proses konsultasi, harus juga mempertimbangkan waktu yang diperlukan komunitas/masyarakat adat atau penduduk Asli menyelenggarakan prosesi atau aturan adat yang biasa dilakukan untuk membuat sebuah keputusan. Dalam konteks ini, keterlibatan penduduk mesti dilakukan dengan waktu yang cukup dalam setiap semua proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, penutupan proyek, serta distribusi hasil dan semua keuntungan yang didapat dari pelaksanaan proyek atau aktivitas.

Prosedur dan mekanisme mencapai persetujuan bebas tersebut, mesti didesain juga untuk mencegah adanya kesalahan dalam proses pencapaian persetujuan bebas dan sadar tersebut, termasuk menyediakan mekanisme pemulihan jika terjadi kesalahan, dengan membentuk suatu mekanisme nasional. Semua proses yang dilakukan, mesti menjamin “persamaan kesempatan” untuk berdebat dan memberikan pandangan atas semua bentuk perjanjian, pembangunan atau proyek yang akan dilakukan. “Persamaan kesempatan” mempunyai lingkup makna adanya persamaan akses atas pendanaan, sumber daya manusia dan material, agar terpenuhi tujuan dialog dan debat yang benar-benar genuine berkaitan dengan proyek atau aktivitas yang akan dilakukan. Prosedur mesti dikembangkan, dengan memberikan kesempatan untuk melakukan penilaian secara independen terhadap semua proses yang dilakukan.

Kesalahan dalam pemenuhan elemen-elemen “FPIC”, dapat membatalkan semua persetujuan-persetujuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat adat atau penduduk asli, yang terkait dengan proyek atau aktivitas yang dilaksanakan.


Prinsip PBS Sebagai Solusi Problem di Indonesia

C.1. Derita (Menjadi) Masyarakat Adat di Indonesia: Sebagian kasus kejahatan hak asasi manusia

Dibagian ini akan dideskripsikan sejumlah kasus atau masalah yang muncul dan masih berlangsung akibat sebuah “proyek pembangunan”, yang melahirkan banyak kerugian tidak saja material melainkan korban jiwa. Ilustrasi atau contoh-contoh kasus ini, diharapkan dapat memberikan sebuah gambaran untuk para pembuat keputusan/kebijakan (decision makers), mengembangkan sebuah metode, terutama dalam perencanaan proyek, dengan menggunakan prinsip persetujuan bebas dan sadar (PBS) ini.

Masyarakat Adat Porsea vs. PT Toba Pulp Lestari (TPL) – sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU)[20]

Operasi PT IIU sempat dihentikan, kemudian sejak Januari 2003 sudah beroperasi kembali. Kurun periode ini, perusahaan yang dibantu Brimob dan aparat kepolisian lain melakukan tindakan kekerasan terhadap penduduk, hingga tindakan penangkapan dan penahanan.

Operasi PT IIU mengakibatkan hutan rusak parah. Berdasarkan Citra Satelit Landsat, wilayah hutan Sibatuloting sudah terbuka dan mengalami erosi berat hingga sudah mengalami gully erosion; tanah longsor mencapai 24.116 ha; hasil pertanian penduduk menurun hingga 40%; kesehatan masyarakat akibat operasi perusahaan menurun. Kekerasan yang dilakukan berkaitan dengan operasi PT IIU, paling tidak telah mengakibatkan 20 penduduk meninggal dunia. Selain itu, tercatat pada 1989, tanah longsor di desa Bulu Silape mengakibatkan 13 penduduk meninggal dunia.

Di wilayah ini, tanah adat seluas tidak kurang 225 ha dikuasai perusahaan. Bahkan sempat pada 1989, PT IIU mengajukan gugatan terhadap 10 perempuan tua desa Sugapa yang mencoba mempertahankan hak atas tanah adatnya.

Masyarakat Adat Kajang, Bulukumba Sulawesi Selatan vs. PT Perusahaan Perkebunan London Sumatera (PT PP Lonsum)[21]

Konflik dan sengketa agraria ini bermula dari sejak 1980an, saat terjadi tindakan penggusuran dan perampasan lahan masyarakat adat seluas 200 ha, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan kawasan “laparayya-tinggi sihali”. Sejak itu, kekerasan demi kekerasan menimpa masyarakat adat di wilayah ini, antara lain pada 21 Juli 2003, 3 penduduk tewas akibat tindakan represif aparat keamanan.

Aksi represif tersebut, terus mendapat perlawanan dari masyarakat, baik melalui upaya hukum, juga dengan cara melakukan aksi unjuk rasa, seperti sempat pada 1 Juli 2004, tidak kurang dari 850 petani dan masyarakat adat Kajang melakukan aksi damai di kantor Pengadilan Tinggi Makassar. Sementara upaya hukum, dilakukan dengan cara pengajuan gugatan di pengadilan, dengan hasil, putusan Mahkamah Agung (MA) pada 31 Juli 1990 untuk perkara No. 2553.K/Pdt/1987 yang memenangkan gugatan masyarakat. Demikian juga putusan untuk menolak pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh PT Lonsum pada dasarnya memberikan legitimasi bagi masyarakat untuk tetap menguasai lahannya.

Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai NTT vs. Pemda Kabupaten Manggarai: Proyek Reboisasi Kawasan Hutan RTK 111[22]

Di wilayah ini, Tim Terpadu Pemda Kabupaten Manggarai melakukan tindakan perusakan lahan dan tanaman masyarakat adat Meler-Kuwus di kawasan hutan adat, yang luas totalnya tidak kurang dari 3.040 ha. Pada 14 sampai dengan 26 Oktober 2002 – berlangsung terus hingga Mei 2003, operasi Tim Terpadu ini mengakibatkan lebih dari 2.000 ha lahan penduduk rusak. Tanaman penduduk yang akan dipanen seperti cengkeh, vanili, kopi, kemiri, pisang, nangka, kacang-kacangan, rusak akibat operasi ini. Selanjutnya, sekitar 117 rumah/pondok dibakar, 7 rumah dirobohkan secara paksa. Sejumlah 20 penduduk ditangkap dan ditahan, dan korban jiwa pun jatuh, diantaranya seorang ibu, Leorgarda Lengom (75 tahun) meninggal dunia. Sementara operasi di wilayah Reok (Gendang Mahima, Senggapi, Wangkung, Racang dan Sengari) pada 14 – 15 Mei 2003 telah mengakibatkan lahan petani rusak, 3 rumah adat rusak, dan sejumlah 73 warga Gendang Mahima ditangkap dan ditahan.

Kasus tersebut, sempat menjadi perhatian Komnas HAM; pernah dibentuk Tim Investigasi. Pada 24 Mei 2003 tim ini sempat datang ke Ruteng.

Masyarakat Adat Kontu-Muna vs. Pemda Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara[23]

Penggusuran paksa yang dilakukan Pemkab Muna, antara lain dilakukan pada November 2005, bahkan operasi ini sempat dipimpin langsung Wakil Bupati Muna. Akibatnya kebun, serta pondok dan perabot rumah penduduk rusak. Juga penduduk mengalami tindakan kekerasan. Sebelumnya pada 2003, tindakan serupa pernah juga terjadi di wilayah ini.

Pada 21 – 22 November 2003, operasi yang dilakukan Pemkab Muna untuk mengusir masyarakat adat di wilayah ini. Pada 21 November, 5 penduduk termasuk perempuan ditangkap; sementara pada 22 November sejumlah 10 penduduk kembali ditangkap – proses penangkapan diwarnai tindakan kekerasan. Penduduk yang sejak lama tinggal dan mengupayakan tanaman jati, dituduh menduduki lahan tidak sah. Tanaman jati ini, kemudian diklaim sebagai tanaman dalam hutan lindung oleh Pemkab Muna.

Masyarakat Adat Kao-Malifut, Hamahera vs. PT Nusa Halmahera Minera (NHM)/Newcrest (Australia): operasi pertambangan[24]

PT NHM dengan berbekal izin sementara Dephut dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan operasi pertambangan terbuka (open-cut mining) dikawasan hutan lindung Toguraci yang dimiliki masyarakat adat Halmahera. Pada 1 Desember 2003, PT NHM dengan bantuan Brigade Mobil (Brimob) melakukan pengusiran paksa terhadap sekitar 12.000 penduduk dari wilayah Toguraci.

Sebelumnya, proyek pertambangan Gowosong yang juga dilakukan PT NHM, telah mengakibatkan masyarakat adat kehilangan hutan adat, dan berkurangnya hasil tangkapan udang dan ikan bagi penduduk.

Masyarakat Adat Mollo vs. Pemda Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT; vs PT Sumber Alam Marmer[25]

Lahan yang dimiliki masyarakat adat Mollo, Kabupaten Timor Selatan terancam akibat penetapan sepihak kawasan Cagar Alam Gunung Mutis tang dinilai batasnya dinilai melampaui wilayah adat masyarakat.

Selain masalah tersebut, masyarakat adat di wilayah Desa Tunua, Kabupaten Timor Tengah Selatan juga mengalami tindakan kekerasan berkaitan dengan operasi pertambangan PT Sumber Alam Marmer. Tercatat, sempat 51 penduduk ditangkap dan ditahan.

C.2. Masyarakat Adat dan Kandungan PBS dalam Hukum Indonesia

Pengakuan eksistensi masyarakat adat dan hukum adat, bukan hanya dalam hukum keluarga seperti perkawinan atau pengasuhan atau pengangkatan anak[26] Eksistensi masyarakat dan hukum adat, pada dasarnya diakui dalam semua sendi kehidupan masyarakat dan kehidupan bernegara. Konflik-konflik yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan disebabkan pengabaian terhadap eksistensi masyarakat dan hukum adat serta hak-haknya dalam pengelolaan sumber daya alam.

Di Indonesia, hukum nasional pada dasarnya mengakui secara tegas hidupnya kesatuan-kesatuan masyarakat adat. Namun, dalam waktu yang sama, pengakuan ini dibatasi oleh hukum itu sendiri. Rumusan konstitusi, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 pasca amandemen, menyatakan pengakuan hak-hak tradisional masyarakat adat disandarkan pada perkembangan masyarakat yang diatur dalam undang-undang. Tentu saja, penafsiran pasal ini didominasi oleh Pemerintah, dan seringkali mengabaikan aspirasi masyarakat adat itu sendiri, seperti dapat dilihat dari kasus-kasus yang dikemukakan diatas.

Selain konstitusi, dalam skala tertentu, sejumlah undang-undang (UU) pada dasarnya mengakui eksistensi masyarakat adat, seperti dalam UU Kehutanan, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Bangunan Gedung, UU Sumber Daya Air, UU Otonomi Khusus, UU Susunan Kedudukan MRP, DPR, DPD, dan DPRD, dan UU Mahkamah Agung.

Eksistensi masyarakat adat secara eksplisit dimuat dalam UU Otonomi Khusus, seperti UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Berdasarkan UU ini, masyarakat adat diberikan peluang untuk duduk dalam Majelis Rakyat Papua, sebuah lembaga yang merupakan representasi kultural orang asli Papua.[27] Demikian juga, kelembagaan adat juga diakui dalam UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[28] Di wilayah Aceh, bahkan, adat istiadat mesti diperhatikan dalam seleksi dan penempatan perwira, bintara, dan tamtama kepolisian di provinsi ini.[29]

Dari aspek ketatanegaraan, pejabat Negara seperti anggota DPD diwajibkan untuk menjaga etika dan norma (hukum) adat daerah yang diwakilinya.[30] Lebih dari itu semua anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD diwajibkan mengindahkan etika politik dan pemerintahan, dan senantiasa menggunakan, antara lain, adat budaya bangsa.[31] Sementara, dari aspek peradilan, dalam kelembagaan Mahkamah Agung (MA), dibentuk Ketua Muda Hukum Adat.[32]

Selanjutnya, dalam UU Bangunan Gedung dan UU Sumber Daya Air, dapat dilihat rumusan pengertian masyarakat hukum adat. UU Bangunan Gedung, memuat definisi masyarakat, yakni perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan lembaga atau organisasi, termasuk masyarakat hukum adat.[33] Pengertian yang sama juga dimuat dalam UU Sumber Daya Air, yang menyatakan, yang menyatakan masyarakat adalah seluruh rakyat Indonesia baik sebagai perseorangan, kelompok orang, masyarakat adat, badan usaha, maupun yang berhimpun dalam suatu lembaga atau organisasi kemasyarakatan.[34]

Dalam UU Kehutanan dikenal sejumlah istilah: “hutan adat”[35]; “masyarakat hukum adat”[36], “hak masyarakat hukum adat”[37]. Dalam UU ini, bahkan, dimuat sebuah bab mengenai Masyarakat Hukum Adat (bab IX). Istilah “masyarakat hukum adat” juga dapat ditemukan dalam UU Sumber Daya Air.[38] Dalam UU ini juga dapat ditemukan istilah “hak ulayat masyarakat hukum adat”[39] dan “kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”[40] – istilah yang juga digunakan dalam UU Panas Bumi.[41] Sebagai contoh wilayah dan masyarakat hukum adat yakni nagari, kampung, huta, bori dan marga.[42]

Pengertian masyarakat hukum adat dapat ditemukan dalam UU Sumber Daya Air, yakni: ““sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal atau atas dasar keturunan”[43] Dalam UU ini juga dinyatakan, hak ulayat masyarakat adat atau hak yang serupa dengan hak ini, diakui sepanjang memenuhi 3 unsur, yakni:

“1. unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari;

2. unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari; dan;

3. unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.”[44]


UU Kehutanan memuat kewajiban Negara untuk menampung aspirasi serta melibatkan masyarakat, adat, budaya dan tata nilai masyarakat dalam pengurusan hutan[45], termasuk dalam pembentukan wilayah pengelolaan hutan[46] Hak masyarakat hukum adat, secara spesifik dijamin dalam UU ini, yakni:

“a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku…; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.”

Tidak hanya dalam pembentukan wilayah hutan seperti dimuat dalam UU Kehutanan, masyarakat dan tanah adat/ulayat juga dijadikan dasar pertimbangan untuk penentuan wilayah dalam desentralisasi, pemekaran wilayah. Sebagai contoh proses pembentukan Kabupaten Palawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singgi, dan Kota Batam. UU pembentukan wilayah-wilayah ini sempat direvisi karena menimbulkan konflik akibat tidak mempertimbangkan wilayah tanah adat/ulayat.[47]

Dari aspek jaminan tanah ulayat, dapat dilihat antara lain dalam UU Panas Bumi dan UU Minyak dan Gas. Dalam UU Panas Bumi, dinyatakan bahwa Usaha Pertambangan Panas Bumi, tidak boleh dilakukan, antara lain di tanah milik masyarakat adat.[48] Aturan yang sama juga dinyatakan dalam UU Minyak dan Gas Bumi.[49] Dalam UU Migas, bahkan dinyatakan adanya prasyarat memasukan klausa kewajiban pengembangan masyarakat dan jaminan hak-hak masyarakat adat, dalam Kontrak Kerja Sama dibidang minyak dan gas bumi.[50]

Sebagai tambahan, UU Sistem Pendidikan Nasional memuat obligasi pemerintah sekaligus hak masyarakat adat untuk memperoleh pendidikan layanan khusus, terutama yang berdiam di daerah terpencil, dan tidak mampu dari segi ekonomi.[51]

Jika dilihat sejumlah aturan tersebut, maka sudah tersedia aturan yang pada prinsipnya mengatur tentang keterlibatan masyarakat adat. Disamping itu, sudah dimuat juga ketentuan-ketentuan yang sifatnya memberikan benefit kepada komunitas adat.

C.3. Revitalisasi Hukum Adat mewujudkan Prinsip Persetujuan Bebas dan Sadar

Secara normatif, dapat dikatakan, prinsip persetujuan bebas dan sadar mendapatkan dasar legitimasinya dalam hukum nasional, sebagaimana dikemukakan dibagian atas. Namun tantangannya, bukanlah dalam ruang lingkup “norma” atau “hukum” semata, melainkan juga preferensi ideologi dan orde ekonomi Indonesia. Dalam bidang hukum, diperlukan juga itikad baik dan dorongan politik untuk merevitalisasi hukum adat yang semestinya dipenuhi dan dipertimbangkan dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk tatkala proyek-proyek “pembangunan” berimbas kepada kepentingan masyarakat adat/penduduk asli.

Mengapa preferensi ideologi dan pilihan orde ekonomi menjadi penting? Karena dalam peraturan perundang-undangan yang sama, Negara diberikan otoritas untuk menentukan batasan “hak masyarakat hukum adat”, dengan rumusan, antara lain:

- “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”[52];
- “sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”[53]
- “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”[54]

Celakanya, UU juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengukuhkan dan bahkan menghapus keberadaan masyarakat hukum adat, sebagaimana dimuat dalam UU Kehutanan.[55] Rumusan yang serupa dipakai juga dalam Pasal 6 ayat (3) UU Sumber Daya Air, yang menyatakan, “(h)ak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air … diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.”[56]

Pasal 6 ayat (3) tersebut pernah diajukan pengujian di Mahkamah Konstitusi oleh Tim Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (Takruha). Hakim Konstitusi A. Mukthie Fadjar, dalam putusan perkara pengujian UU Sumber Daya Air ini menyatakan persetujuannya untuk mengabulkan permohonan pasal ini untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Prof Muktie dalam dissenting opinion, menyatakan:

“Alasan untuk mengabulkannya ialah bahwa pengukuhan kesatuan masyarakat adat dengan peraturan daerah (Perda) inkonstitusional, karena menurut ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, kesatuan masyarakat adat beserta hak tradisionalnya dengan ukuran “sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang…”.[57]

Hingga sekarang memang belum ada sebuah UU yang secara spesifik mengatur “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya”. Namun merekomendasikan adanya sebuah UU juga macam buah simalakama. Karena, tidak lepas dari kekhawatiran UU itu sendiri malah akan mereduksi dan melimitasi, bahkan memberikan otoritas kepada Negara untuk menghapus kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisional yang melekat. Kekhawatiran ini sangat beralasan, mengingat upaya pemberian wewenang untuk menghapuskan keberadaan masyarakat hukum adat, pernah dilakukan, paling tidak dapat dilihat dalam rumusan pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan.

Jalan keluarnya, lebih baik merevitalisasi norma dan hukum adat yang menguntungkan masyarakat adat itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan prinsip-prinsip persetujuan bebas dan sadar dalam perencanaan sebuah proyek “pembangunan”. Termasuk merevitalisasi hukum adat yang berlaku dalam hal pemberian reparasi (rehabilitasi, restitusi dan kompensasi), jika proyek dilakukan. Konflik-konflik yang sering terjadi seringkali disebabkan karena ketiadaan kepastian proyek yang dilakukan di wilayah masyarakat adat akan menguntungkan komunitas yang bersangkutan, bahkan sebaliknya menimbulkan degradasi atau penurunan taraf hidup masyarakat itu sendiri.

Belajar dari konflik-konflik yang terjadi, setidaknya dapat dideskripsikan alasan-alasan mengapa komunitas masyarakat ada melakukan penolakan hingga perlawanan, sebagai berikut:

Pertama, ketiadaan konsultasi dan dialog secara terbuka, bebas dan jujur mengenai agenda dan apa yang ada dibalik rencana “pembangunan”. Dalam konteks ini, seringkali masyarakat tidak mengetahui dampak negatif yang akan ditimbulkan, misalnya berkaitan dengan operasi sebuah pabrik. Penolakan kemudian muncul seiring dengan berjalannya pabrik tersebut, misalnya akibat limbah yang dihasilkan.

Kedua, absennya rehabilitasi yang semestinya disediakan. Hal ini berakibat terjadinya penurunan taraf hidup dan tata sosial dimasyarakat. Kasus-kasus yang paling banyak terjadi antara lain soal ganti kerugian yang tidak memadai, tidak disediakan lahan pengganti atau program relokasi dan resettlement, yang memungkinkan adanya pemulihan situasi sebelum proyek dijalankan. Dalam konteks ini, juga problem berkaitan dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sebagai contoh hilangnya mata pencarian, akses keluarga terhadap pendidikan, dan seterusnya yang ditimbulkan sebuah proyek “pembangunan”;

Ketiga, problem kriminalisasi, teror dan beragam kekerasan dari Negara dan korporasi untuk memaksakan skema proyek tanpa memberikan peluang mengadopsi aspirasi dan norma adat yang berlaku. Pemenjaraan tokoh-tokoh masyarakat, hingga kekerasan yang menimbulkan korban jiwa seringkali muncul. Lagi, kuncinya, penolakan disebabkan karena proyek yang akan atau sedang dilakukan bukan mengentaskan kemiskinan, melainkan menggusur orang-orang miskin; bukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, namun hanya mengembungkan kantong pemilik modal dan memberikan “recehan” kepada aparat Negara, yang merasa cukup menjadi komprador bagi kepentingan modal itu sendiri.

Revitalisasi norma adat dengan menggali dan mengimplementasikan nilai-nilai baik dan kearifan norma adat paling tidak dimaksudkan untuk mencegah atau memberikan solusi terhadap 3 masalah pokok tersebut. Dibanyak daerah, norma atau hukum-hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam bertujuan untuk memberikan keseimbangan tata sosial dan ekonomi komunitasnya. Proyek pembangunan tanpa mempertimbangkan norma ini, pada dasarnya secara otomatis, merusak keseimbangan yang berjalan sejak lama, bahkan sebelum adanya Negara Indonesia pada 1945. Karenanya, menjaga keseimbangan antara kepentingan “pembangunan” dan kepentingan “masyarakat” menjadi tantangan bagi para pengambil kebijakan. Untuk mencapai solusi yang dapat diterima, maka prinsip-prinsip persetujuan bebas dan sadar (PBS) paling tidak menjadi sebuah pendekatan yang semestinya digunakan.


Penutup

Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip persetujuan bebas dan sadar (PBS) atau free prior informed consent (FPIC) pada dasarnya sudah diterapkan. Prinsip ini dapat dikatakan, mempunyai banyak kesamaan dengan tata krama, norma dan hukum adat. Dalam banyak masyarakat Indonesia, sudah menjadi etika dan tata krama, meminta izin atau permisi jika memasuki wilayah, halaman atau tempat tinggal orang lain. Bukan asal masuk, bahkan merampas hak-hak si empunya rumah.

Dalam orde ekonomi yang luas, maka diperlukan peran Negara sebagai “si penjaga” wilayah. Hal ini dimungkinkan dengan diakuinya secara universal konsep sovereignty (kedaulatan). Konsep kedaulatan ini hanya dapat dikesampingkan dalam situasi khusus, seperti yang sejak lama dikembangkan hukum internasional hak asasi manusia, terutama berkaitan dengan adanya peristiwa kejahatan hak asasi manusia yang berat dan serius. Karenanya, sangat ironis, menyaksikan Negara, malah berperan sebagai “perampas” sumber daya alam yang dimiliki si empunya (rakyat), termasuk masyarakat adat, untuk selanjutnya diberikan kepada pemilik modal besar tanpa memberikan keuntungan yang seimbang kepada masyarakat yang terkena dampak.

Pemerintah semestinya memiliki preferensi ideologi kerakyatan dan kesejateraan untuk melawan orde ekonomi “pertumbuhan” (growth) atau orde ekonomi “neo-liberalisme” yang bertumpu pada kepentingan ekonomi orang seorang dengan mengabaikan kepentingan lebih banyak kemakmuran rakyat. Karenanya, peran pemerintah dan aparat Negara lainnya untuk memastikan pemenuhan prinsip bebas dan sadar dari masyarakat dalam proses “pembangunan”: memastikan peran serta masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan distribusi kenikmatan dan hasil yang diperoleh dari proyek itu sendiri.

Sudah saatnya menghentikan praktik menjadikan masyarakat sebagai “ujung tombak pembangunan”, karena selama ini, masyarakat kecil, tidak pernah menikmati daging. Hanya segelintir orang penguasa dan pengusaha lokal di Jakarta dan penguasa dan pengusaha global di Singapura, New York dan London, yang terus menerus menyantap “daging” pembangunan (development project). Sisanya, darah, tulang belulang, limbah dan sampah dibuang di negeri ini.

FPIC atau PBS memberikan kerangka yang lebih adil, sebuah prinsip yang memungkinkan penduduk dan masyarakat, termasuk masyarakat adat untuk menyatakan “tidak” kepada proyek-proyek yang tidak menguntungkannya! Prinsip ini juga, yang memberikan peluang bagi masyarakat adat untuk dapat menikmati “daging pembangunan”.

Tentang Penulis

A. Patra M. Zen

Saat ini Wakil Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Koordinator Sekretariat Nasional Koalisi Kebijakan Partisipatif (Seknas KKP), dan; Ketua Perkumpulan Masyarakat Jakarta Peduli Papua (Pokja Papua). Penulis, editor dan co-editor buku, antara lain: Buku Panduan Bantuan Hukum di Indonesia (2006); Inkonsistensi dan Separatisme Jakarta: Mengapa Tanah Papua Terus Bergolak? (2005); Tak Ada Hak Asasi yang Diberi (2005); Sengketa Konstitusional Lembaga-lembaga Negara (2005); Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembentukkan Perundang-undangan yang Partisipatif (2005); Refleksi dan Penyusunan Strategi Mewujudkan Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Buku Pintar. 60 Menit Memahami (Mengawasi) Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (2005); Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik (2004); Considering General Election in Aceh under the Martial Law (2004); Koalisi Partisipasi (2003), dan Hukum Perdata di Indonesia (2001). Kritik dan saran dapat melalui patra.m.zen@gmail.com
[1] Motoc kemudian bekerjasama dengan Tebtebba Foundation, sebuah organisasi Penduduk Asli di Filipina menyusun paper tersebut. Lihat UN doc. E/CN.4/Sub.2/AC.4/2004/4, 8 July 2004.

[2] Ibid., para. 1.

[3] Lihat UN doc. ILO Convention 1989 (No. 169), art. 6, 7 and 15.

[4] UN doc. E/CN.4/Sub.2/2003/38/Rev.2, para 10(c).

[5] UN doc. Sub-Commission resolution 1994/45, annex.

[6] Lihat UN doc. CERD. General recommendation XIII on the rights of indigenous peoples. Fifty-first session (1997), art. 4(d).

[7] UN doc. General Conference of the ILO at its seventy-sixth session, adopted 27 June 1989. Entry into force 5 September 1991.

[8] Lihat “International Law” Teks di http://www.ohchr.org/

[9] UN doc. General Assembly resolution 47/135, 18 December 1992.

[10] UN doc. A/CONF.157/23, 12 Juli 1993. Vienna Declaration and Programme of Action.

[11] Lihat Ibid., para 20.

[12] Lihat Ibid., para 28 – 32.

[13] UN doc. E/CN.4/2004/80/Add.3, 18 – 29 Juli 2003.

[14] UN doc. E/CN.4/2003/90/Add.2, 1- 11 September 2002.

[15] UN doc. E/CN.4/2004/80/Add.2, 1 – 18 Juli 2003.

[16] UN doc. E/CN.4/2003/90/Add.3, 2 – 11 Desember 2002.

[17] UN doc. CHR. Resolution No.. 2001/57.

[18] UN doc. CHR Resolution No. 1997/61.

[19] Permanent Forum on Indigenous Issues (PFII), Key elements of the principle of free, prior and informed consent, PFII, New York, 2005.

[20] Lihat Situs Walhi. “Rekaman Kasus Kekerasan Atas Petani dan Masyarakat Adat Indonesia 2003” Teks di http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/konflikmil/konf_milit_info/

[21] Lihat Siaran Pers Solidaritas Nasional untuk Bulukumba (SNUB). 1 Juli 2004. “Aksi Petani dan Masyarakat Adat Kajang Melawan PT PP Lonsum dan Kekerasan Negara”; Siaran Pers Bersama. Solidaritas Ornop untuk Bulukumba, 25 Juli 2003. “Protes Keras atas Aksi Kekerasan dan Pembunuhan yang Dilakukan oleh Aparat Polres Bulukumba terhadap Petani, Masyarakat Adat Kajang dan Aktivis di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan”; Lihat juga Siaran Pers Solidaritas Nasional untuk Bulukumba, 26 Agustus 2003. “Hentikan Pembunuhan dan Kekerasan atas Petani, Masyarakat Adat, dan Aktivis Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan”; Siaran Pers Yayasan Pendidikan Rakyat Bulukumba, 22 Juli 2003. “Polres Bulu Kumba Membantai Petani/Masyarakat Adat Kajang”; Situs Walhi. “Petani Kajang-Bulukumba Kembali Menuntut Haknya”. http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/050827_kajang_bebas_cu/

[22] Lihat Siaran Pers Tim Advokasi untuk Rakyat Manggarai Nusa Tenggara Timur (TARM). 19 Juli 2003. “Operasi Penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, Nusa Tenggara Timur”.

[23] Lihat Pernyataan Sikap Bersama (Walhi, AMAN, KontraS, PBHI, FSPI, FPPI, Huma, Agra, KPA, Tapal dan STN), .30 November 2005. “Hentikan Penggusuran dan Aksi Premanisme Pemkab Muna terhadap Masyarakat Adat Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara”; Situs Walhi. “Rakyat Menyemai Jati, Pemkab Menuai Hasil: Pengusiran dan Penangkapan Masyarakat Patu-Patu oleh Aparat Kabupaten Muna”; Situs Walhi. “Berlarutnya Kasus Kontu sebagai Salah Satu Bukti Lemahnya Kualitas SDM Pemerintah Daerah”. Teks di http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/060224_kontu_cu/

[24] Siaran Pers Bersama. (Tapak, Masyarakat Adat Kao-Malifut, Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Lindung untuk Pertambangan, Walhi, Jatam, WWF Indonesia, Yayasan Pelangi, Yayasan Kehati, Pokja PAPSDA, FWI, Icel, Jaring Pela dan MPI), 23 Desember 2003. “Masyarakat Adat Halmahera: New Crest Bongkar Hutan Adat Kami dan Langgar Hukum”.

[25] Pernyatan Sikap. Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTT. 3 Juni 2005. “Sikap dan Posisi Walhi NTT terhadap Terhadap Konflik Wilayah Adat dan Wilayah Kelola Masyarakat Adat Mollo dengan Wilayah Cagar Alam Gunung Mutis serta Kekerasan Terhadap Warga”; Siaran Pers Bersama (Tapal, Aman, Walhi dan Jatam). 12 April 2006. “Tutup Tambang PT Sumber Alam Marmer, Hentikan Kriminalisasi Warga!”

[26] Antara lain, lihat UU No. 23/2002, Pasal 39 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 7 ayat (2).

[27] Lihat UU No. 21/2001, Pasal 1 huruf (g).

[28] Lihat UU No. 18/2001, Pasal 1 ayat (3); Pasal 10 ayat (1)

[29] Lihat UU No. 18/2001, Pasal 22 ayat (1) jo ayat (4).

[30] Lihat UU 22/2003, Pasal 50 huruf j.

[31] Lihat Penjelasan Pasal 103 ayat (1).

[32] Lihat UU No. 5/2004 tentang Perubahan atas UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung, Penjelasan Pasal 5 ayat (4)).

[33] Lihat UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung, Pasal 1 angka 12.

[34] UU No. 7/2004, Penjelasan Pasal 11 ayat (1).

[35] Lihat UU No. 41/1999, Pasal 1 huruf f jo. Pasal 5 ayat (2).

[36] Lihat UU No. 41/1999, Pasal 5 ayat (3); Pasal 5 ayat (4); Pasal 17 ayat (2); Pasal 34; dan Pasal 37 ayat (1), serta; Bab IX tentang Masyarakat Hukum Adat.

[37] Lihat UU No. 41/1999, Pasal 4 ayat (3).

[38] Lihat antara lain UU No. 7/2004, Pasal 6 ayat (2); Penjelasan Umum Angka 1; Penjelasan Pasal 6 ayat (3).

[39] Lihat UU No. 7/2004, Penjelasan Umum Angka 1.

[40] Lihat UU No. 7/2004, Penjelasan Umum Angka 1.

[41] Lihat UU No. 27/2003, Pasal 51 ayat (1) huruf b.

[42] Lihat UU No. 7/2004, Penjelasan Pasal 17.

[43] UU No. 7/2004, Penjelasan Pasal 6 ayat (3).

[44] UU No. 7/2004, Penjelasan Pasal 6 ayat (3).

[45] Lihat UU No. 41/1999, Konsideran Menimbang huruf c.

[46] Lihat UU No. 41/1999, Pasal 4, Pasal 17 ayat (2).

[47] Lihat UU No. 11/2003 tentang Perubahan atas UU No. 53/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Palawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singgi, dan Kota Batam.

[48] Lihat UU No. 27/2003, Pasal 16 ayat (3) huruf a.

[49] Lihat UU No. 22/2001, Pasal 33 ayat (3) huruf a.

[50] Lihat UU No. 22/2001, Pasal 11 ayat (3) huruf p.

[51] Lihat UU No. 20/2003, Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 32 ayat (2).

[52] Lihat UU 41/1999, Pasal 4 ayat (3); Lihat juga UU No. 7/2004, Pasal 6 ayat (2).

[53] Lihat UU 41/1999, Pasal 5 ayat (3) jo. Pasal 67 ayat (1).

[54] Lihat UU No. 27/2003, Pasal 51 ayat (1) huruf b. Lihat juga UU No. 7/2004, Penjelasan Umum Angka 1.

[55] Lihat UU No. 41/1999, Pasal 67 ayat (2).

[56] Lihat UU No. 7/2004, Pasal 6 ayat (3).

[57]Mahkamah Konstitusi. Putusan Perkara No. , h. 508 – 059 – 060 – 063/PUU-II/2004. Perkara No. 008/PUU-III/2005, h. 508.


Daftar Referensi

Peraturan Perundang-undangan

UUD 1945

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan

UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung

UU No. 27/2003 tentang Panas Bumi

UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.

UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD

UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua

UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

UU No. 11/2003 tentang Perubahan atas UU No. 53/1999 tentang Pembentukan Kabupaten Palawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singgi, dan Kota Batam

UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air

UU No. 5/2004 tentang Perubahan atas UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung


Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Perkara No. , h. 508 – 059 – 060 – 063/PUU-II/2004. Perkara No. 008/PUU-III/2005. Putusan Perkara Pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar 1945.


UN docs.

A/CONF.157/23, 12 Juli 1993. Vienna Declaration and Programme of Action.

CERD. General recommendation XIII on the rights of indigenous peoples. Fifty-first session (1997).

CHR. Res. 2001/57.

CHR Resolution No. 1997/61. Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions

E/CN.4/Sub.2/AC.4/2004/4, 8 July 2004. Commission on Human Rights. Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights Working Group on Indigenous Populations. Twenty-second session. 19 – 23 July 2004. Item 5 of the provisional agenda. “Standard-Setting. Preliminary working paper on the principle of free, prior and informed consent of indigenous people in relation to development affecting their lands and natural resources that would serve as a framework for the drafting of a legal commentary by the Working Group on this concept submitted by Anoanella-Iula Motoc and the Tebtebba Foundation.

E/CN.4/2004/80/Add.3, 18 – 29 Juli 2003.

E/CN.4/2004/80/Add.2, 1 – 18 Juli 2003.

E/CN.4/2003/90/Add.3, 2 – 11 Desember 2002.

E/CN.4/2003/90/Add.2, 1- 11 September 2002.

E/CN.4/Sub.2/2003/38/Rev.2.

General Assembly resolution 47/135, 18 December 1992. Declaration on the Rights of Persons Belonging to National or Ethnic, Religious and Linguistic Minorities.

General Conference of the ILO at its seventy-sixth session, adopted 27 June 1989. Entry into force 5 September 1991. ILO Convention No. 169 concerning Indigenous and Tribal Peoples Convention

OHCHR doc. “International Law” Teks di http://www.ohchr.org/english/law/

Sub-Commission resolution 1994/45, annex.

Permanent Forum on Indigenous Issues (PFII), Key elements of the principle of free, prior and informed consent, PFII, New York, 2005.


Walhi docs.

Walhi. “Rekaman Kasus Kekerasan Atas Petani dan Masyarakat Adat Indonesia 2003” Teks di http://www.walhi.or.id/kampanye/psda/konflikmil/konf_milit_info/

Walhi. “Petani Kajang-Bulukumba Kembali Menuntut Haknya”. Teks di http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/050827_kajang_bebas_cu/

Walhi. “Rakyat Menyemai Jati, Pemkab Menuai Hasil: Pengusiran dan Penangkapan Masyarakat Patu-Patu oleh Aparat Kabupaten Muna”; Situs Walhi. “Berlarutnya Kasus Kontu sebagai Salah Satu Bukti Lemahnya Kualitas SDM Pemerintah Daerah”. Teks di http://www.walhi.or.id/kampanye/hutan/konservasi/060224_kontu_cu/


Pernyataan Sikap dan Siaran Pers

Pernyatan Sikap. Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTT. 3 Juni 2005. “Sikap dan Posisi Walhi NTT terhadap Terhadap Konflik Wilayah Adat dan Wilayah Kelola Masyarakat Adat Mollo dengan Wilayah Cagar Alam Gunung Mutis serta Kekerasan Terhadap Warga”

Siaran Pers Bersama (Tapal, Aman, Walhi dan Jatam). 12 April 2006. “Tutup Tambang PT Sumber Alam Marmer, Hentikan Kriminalisasi Warga!”

Pernyataan Sikap Bersama (Walhi, AMAN, KontraS, PBHI, FSPI, FPPI, Huma, Agra, KPA, Tapal dan STN), .30 November 2005. “Hentikan Penggusuran dan Aksi Premanisme Pemkab Muna terhadap Masyarakat Adat Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara”.

Siaran Pers Solidaritas Nasional untuk Bulukumba (SNUB). 1 Juli 2004. “Aksi Petani dan Masyarakat Adat Kajang Melawan PT PP Lonsum dan Kekerasan Negara”.

Siaran Pers Bersama. (Tapak, Masyarakat Adat Kao-Malifut, Koalisi Penolakan Alih Fungsi Hutan Lindung untuk Pertambangan, Walhi, Jatam, WWF Indonesia, Yayasan Pelangi, Yayasan Kehati, Pokja PAPSDA, FWI, Icel, Jaring Pela dan MPI), 23 Desember 2003. “Masyarakat Adat Halmahera: New Crest Bongkar Hutan Adat Kami dan Langgar Hukum”.

Siaran Pers Solidaritas Nasional untuk Bulukumba, 26 Agustus 2003. “Hentikan Pembunuhan dan Kekerasan atas Petani, Masyarakat Adat, dan Aktivis Bulukumba di Provinsi Sulawesi Selatan”

Siaran Pers Bersama. Solidaritas Ornop untuk Bulukumba, 25 Juli 2003. “Protes Keras atas Aksi Kekerasan dan Pembunuhan yang Dilakukan oleh Aparat Polres Bulukumba terhadap Petani, Masyarakat Adat Kajang dan Aktivis di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan”

Siaran Pers Yayasan Pendidikan Rakyat Bulukumba, 22 Juli 2003. “Polres Bulu Kumba Membantai Petani/Masyarakat Adat Kajang”.

Siaran Pers Tim Advokasi untuk Rakyat Manggarai Nusa Tenggara Timur (TARM). 19 Juli 2003. “Operasi Penggusuran Masyarakat Adat Meler-Kuwus, Manggarai, Nusa Tenggara Timur”.
Load Counter