Monday, April 30, 2007

Komisi Yudisial: Kedepan UU KY Mesti Bergigi

A. Patra M. Zen dan Restaria F. Hutabarat

Pengantar: Komisi Yudisial

Artikel singkat ini hendak mendeskripsikan sekaligus menganalisis semangat awal pembentukan Komisi Yudisial (KY). Selanjutnya, juga disampaikan latar dan skenario mengapa KY dibentuk, tidak saja di Indonesia, namun juga dideskripsikan lembaga sejenis di negara-negara dunia. Semangat, latar belakang dan perlunya lembaga pengawas hakim inilah yang kemudian dibendung oleh Mahkamah Konstitusi lewat putusan No. 005/PUU-IV/2006 yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pengujian UU KY dan UU Kekuasaan Kehakiman yang diajukan 31 hakim agung. Artikel diakhiri dengan sejumlah rekomendasi, untuk revisi UU KY.

Dalam penjelasan Umum Undang-undang (UU) No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial dimuat beberapa alasan lahirnya UU KY yaitu sebagai berikut: Pertama, Indonesia adalah negara hukum. Kedua, adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang melahirkan lembaga KY. Dengan kata lain UU KY merupakan pelaksanaan terhadap UUD 1945 yang mengatur secara rinci mengenai wewenang dan tugas, pengangkatan dan pemberhentian Anggota Komisi KY, serta syarat-syarat untuk diangkat menjadi anggota, serta larangan bagi anggota KY. Ketiga, dilahirkannya KY oleh Pasal 24B UUD 1945 adalah demi mewujudkan reformasi bidang hukum yang dengan cara memberikan kewenangan kepada KY untuk mewujudkan checks and balances.

Hal penting yang perlu disoroti bahwa lahirnya KY adalah untuk mewujudkan reformasi hukum dan check and balances terhadap pelaku kekuasaan kehakiman, itulah mengapa aturan mengenai Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan KY berada di dalam Bab yang sama dalam UUD 1945 yaitu Bab IX Mengenai Kekuasaan Kehakiman. Sehingga dapat dikatakan salah satu tugas fundametal dari KY ialah mengawasi pelaku kekuasaan kehakiman, termasuk juga Hakim Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.

Memang sejak pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terdapat perdebatan yang cukup alot anatara pemerintah dan DPR mengenai pihak yang dapat diawasi oleh KY. Ide KY yang muncul pada amandemen ketiga UUD 1945. Beberapa anggota Panitia Kerja yang ada di DPR saat itu menyampaikan pendapat mengenai siapa yang dimaksud hakim yang dapat diawasi oleh KY.[1]

Andi Mattalata, (Fraksi Partai Golkar) menjelaskan bahwa Pasal 24B UUD 1945 mengandung 2 (dua) pesan, yaitu: pertama, mengenai pengangkatan Hakim Agung dan bukan Hakim Konstitusi maupun pengangkatan hakim yang lain-lain. Kemudian. Kedua, KY mempunyai kewenangan dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan Hakim, maksudnya seluruh hakim selaku pelaksana kekuasaan kehakiman”.

Sementara, M. Akil Mochtar (Fraksi Partai Golkar) menjelaskan bahwa: Panja ingin memposisikan anggota KY itu di berbagai perspektif yang berhubungan dengan tugas KY. Pertama, melakukan rekrutmen terhadap calon Hakim Agung, kemudian mengusulkannya kepada DPR. Kedua, tugas lain yang berkaitan dengan pengawasan dan juga mengawasi perilaku para hakim secara keseluruhan, bukan saja hanya Hakim Agung”.

Selanjutnya, Lukman Hakim S, (Fraksi Persatuan Pembangunan) menjelaskan bahwa: Tugas KY sebenarnya melakukan pengawasan dalam konteks perilaku, bukan dalam istilah pengawasan internal yang sebenarnya sudah dilakukan MA.

Setelah melakukan diskusi dan perdebatan panjang dan melelahkan, pada akhirnya rumusan Pasal 1 angka 5 Rancangan Undang-undang tentang KY disetujui dalam rapat Panitia Kerja pada tanggal 21 Juni 2004, dengan rumusan: “Hakim adalah Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah MA serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Jika melakukan interpretasi secara historis maka ide pembentukan KY muncul saat itu memang bertujuan agar terdapat pihak eksternal yang dapat melakukan pengawasan terhadap institusi kehakiman termasuk di dalamnya Hakim Agung, karena Pasal 2 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas menyatakan MA ialah Penyelenggara kekuasaan kehakiman.

Pengawasan eksternal sama sekali tidak mengenyampingkan pengawasan internal yang dilakukan MA terhadap hakim yang berada di badan peradilan di bawah MA. Namun, dalam cita-cita reformasi hukum yang masih kental diperjuangkan fungsi pengawasan secara internal terhadap kekuasaan kehakiman dirasa kurang efektif dan tidak berdampak positif dalam mengawasi perilaku hakim. Sehingga hadirnya KY, diharapkan mampu memperbaiki bukan hanya buruknya citra institusi peradilan di Indonesia, melainkan diharapkan memperbaik karakter dan kinerja para hakim.

Namun sejak dibentuknya KY, resistensi terhadap kehadiran lembaga negara baru ini begitu dahsyat. Resistensi yang begitu keras justru datang dari institusi hukum tertinggi di negeri ini, MA.[2]


A. Profesi Hakim dalam Peraturan Perundang-undangan

A.1. Hakim berada di bawah Departemen Kehakiman

Pada periode pemberlakuan UU No. 14/1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Badan Peradilan secara organisatoris, administrative dan finansiil berada di bawah Departemen Kehakiman[3]. Sedangkan MA berfungsi sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, menerima dan memutus permohonan kasasi terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan selain MA[4].

Wewenang lainnya ialah menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi[5].

Jadi pengawasan yang dilakukan oleh MA, merupakan bentuk pengawasan terhadap putusan hakim badan peradilan di bawahnya – merespon permohonan kasasi atau PK dari para pihak yang bersengketa kepada MA.

Sistem Pengawasan tersebut kemudian menuai banyak keraguan dan kritik terhadap independensi hakim selaku lembaga yudikatif, karena memberikan “kebebasan” untuk diintervensi pemerintah c.q. Departemen Kehakiman. Dengan kata lain, kurun waktu berlakunya UU No. 14/1970, pemerintah dapat dengan mudah mengendalikan kekuasaan kehakiman.

A.2. Hakim berada di bawah MA

Salah satu agenda reformasi Negara Indonesia 1998, yakni menegakkan supremasi hukum. Supremasi hukum hanya dapat dijalankan jika pemegang kekuasaan yudikatif melaksanakan tugasnya secara independen

Gagasan reformasi itu, antara lain diwujudkan dengan perubahan UU No. 14/1970 melalui UU No. 35/1999, dan selanjutnya diperbarui lagi lewat UU No. 4 /2004. Salah satu perubahan yang signifikan yang dicapai, yakni secara organisasi, administrasi, dan financial, MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan MA. Sedangkan Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Ketua Mahkamah Konstitusi.[6]

Problemnya, kriris kepercayaan masyarakat tidak serta merta hapus, karena perubahan peraturan perundang-undangan. per 2004, berdasarkan hasil survey lembaga, Transparency International, interaksi korupsi yang paling banyak dilakukan oleh pebisnis adalah dengan bea cukai (62% dari seluruh transaksi) disusul oleh kepolisian (56% dari seluruh transaksi), militer dan lembaga peradilan (49% dan 48% dari seluruh transaksi).

Survey yang dilakukan terhadap pebisnis mengenai lembaga mana yang harus dibersihkan terlebih dahulu, maka prioritas pertama ditujukan kepada pembersihan lembaga peradilan, diikuti dengan instansi pajak, polisi dan DPRD. Ini menunjukkan bahwa harapan terbesar dunia usaha dalam memberantas korupsi adalah pada penegakan hukum. Artinya, kalau lembaga peradilan bersih, maka dimata responden, penegakan hukum korupsi dapat berjalan dengan baik, dan hal itu akan mengurangi korupsi.[7]

A.3. Hakim dibawah Pengawasan Komisi Yudisial

Harapan terwujudnya lembaga peradilan yang bersih, tentu bukan saja diinginkan para pengusaha, melainkan semua lapisan masyarakat. Bukan saja di Indonesia, melainkan juga dibelahan dunia manapun.

Itulah sebabnya, dibanyak negara dibentuk lembaga yang dberi nama “komisi yudisial”.[8] Di Amerika Serikat misalnya, KY dibentuk di 50 Negara Bagian dan distrik Columbia, dengan fungsi antara lain meletakan standar yang tinggi dan penilaian atas perilaku hakim tanpa kompromi. Melalui tugasnya, Komisi ini dengan ketat menjaga kepercayaan publik dan melakukan disposisi secara adil atas hakim-hakim yang melanggar etika dan dianggap tidak mampu.

Di negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat, KY dibentuk pada 1971 oleh MA. Tujuh tahun kemudian, barulah keberadaan komisi ini diperkuat melalui pembuatan undang-undangnya pada 1978. Anggota komisi ini terdiri dari 9 orang, termasuk satu dari hakim pengadilan, satu hakim keliling dan 2 pengacara yang dipilih oleh MAnya. Sementara, 5 lainnya dari anggota masyarakat yang dipilih oleh Gubernur dengan seizin Senat.

Dibandingkan dengan struktur KY Indonesia, bisa dikatakan perimbangan komposisi seperti ini tidak terlihat di dalam struktur anggota KY di Indonesia. KY di Negara bagian Wisconsin ini mempunyai seorang direktur pelaksana, dengan syarat memiliki izin advokat. KY juga mempunyai investigator dan ahli hukum, yang bertugas memberikan analisa atas hasil investigasi dan untuk langkah penuntutan. KY sendiri berwenang untuk memeriksa semua dokumen hakim dan melihat apakah panduan etika sudah dilaksanakan oleh hakim.

Pada dasarnya KY memiliki dua tugas, yaitu melakukan investigasi dan memberikan nasehat. Jika terjadi komplain atas seorang hakim, komisi ini akan menunjuk suatu tim khusus untuk melakukan pemeriksaan awal, yaitu berupa investigasi. Hasil investigasi kemudian dibawa ke sidang komisi untuk diperiksa ulang. Dari hasil investigasi ini komisi akan menguji apakah kasus itu layak atau tidak untuk diteruskan pengujiannya di sidang komisi guna mengambil keputusan akhir. Putusan akhir sendiri diambil setelah mendengar keterangan hakim yang menjadi terlapor, dengan mengacu kepada hasil investigasi dari tim.

KY di negara bagian Philadelphia bertugas menyeleksi dan menilai calon-calon hakim melalui kriteria kemampuan hukum, pengalaman, temperamen, kemampuan administratif, integritas dan kemampuan untuk menggali kualitas hukum. Anggota komisi diambil dari berbagai disiplin ilmu hukum dan pernah melaksanakan praktek hukum. KY Philadelphia, memiliki divisi investigasi yang terdiri dari 9 orang ahli hukum. 9 anggota divisi investigasi ini membuka mata dan telinganya atas berbagai hal yang menyangkut tingkah laku hakim-hakim. Dalam hal ini, investigator menulis laporan atas kasus yang terjadi dan merekomendasikannya kepada komisi. Keberadaan divisi ini sangat penting untuk menjaga kredibilitas para hakim. Anggota tim ini diambil dari berbagai profesi penegak hukum, dan mereka bertugas untuk jangka waktu 3 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali lagi. Tim ini dikoordinatori oleh seorang pengacara yang sangat memahami akan aspek-aspek hukum dan perilaku dari para hakim.

Contoh lain, KY di Australia, di Negara Bagian New South Wales, lembaga ini sudah berdiri sejak 1986 lewat undang-undang, dengan tugas pokok, antara lain: (i) memperhatikan konsistensi penerapan hukum; (ii) memperhatikan pelaksanaan pendidikan berkelanjutan bagi hakim; (iii) menilai keluhan atau pengaduan atas hakim; (iv) memberi saran pada jaksa agung, dan; (v) bekerjasama dengan orang dan organisasi (para pihak) yang berhubungan dengan kinerja pengadilan dan hakim.

Banyak lagi contoh-contoh kelembagaan KY. Secara singkat Perancis, konstitusi negara ini mengatur KY dapat bertindak sebagai dewan pendisiplinan hakim disemua tingkat peradilan. Di Kroasia, KY mengangkat dan memberhentikan serta memutuskan segala hal yang berkaitan dengan kedisiplinan hakim. Selanjutnya, di Argentina, Konstitusi negara ini memberikan kewenangan kepada KY untuk memutuskan pemberhentian hakim. Sebagai tambahan, di negara tetangga kita, Thailand, KY bahkan mempunyai kewenangan hukum untuk memberikan sanksi terhadap hakim agung.


B. Menilai Putusan Mahkamah Konstitusi

Permohonan pengujian undang-undang (judicial review) yang diajukan oleh 31 Hakim Agung dapat dikatakan bentuk dari rasa takut (paranoid) para hakim agung terhadap keberadaan KY. Hal ini terlihat dari beberapa pasal yang dimohonkan untuk diuji, yakni pasal-pasal yang berkaitan dengan wewenang pengawaan KY terhadap hakim. Pasal-pasal UU No. 22/2004 yang diajukan, yakni Pasal 20[9] dan Pasal 22 ayat (1) huruf e[10] dan ayat (5)[11] serta yang berkaitan dengan “usul penjatuhan sanksi” yang diatur dalam Pasal 21[12], Pasal 23 ayat (2)[13] dan ayat (3)[14] serta ayat (5)[15], Pasal 24 ayat (1)[16] dan Pasal 25 ayat (3)[17] dan ayat (4)[18] dihubungkan dengan Bab. I Pasal 1 butir 5[19].

Beberapa alasan pun dikemukakan oleh para Hakim Agung agar pasal-pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sebagai berikut:

Pertama, dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945[20] KY mempunyai kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim adalah dalam rangka melaksanakan kewenangan KY untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Dengan kata lain, tugas utama dan satu-satunya KY ialah mengusulkan pengangkatan Hakim Agung bukan mengawasi Hakim Agung. Kewenangan lain tersebut muncul dari nafas kewenangan utama KY untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. Alasan ini dibantah oleh Saksi Patrialis Akbar. Sebagai mantan anggota PAH III dan PAH I BP MPR berkewajiban meluruskan pembacaan dan menulis UUD 1945 oleh masyarakat yang diajukan dalam persidangan, yang menyatakan bahwa asal usul materi Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 sewaktu pembahasan oleh Badan Pekerja MPR RI tidaklah dalam satu nafas antara kewenangan Komisi Yudisal dalam hal mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dengan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, akan tetapi pembahasannya terpisah antara dua kewenangan tersebut.

Kedua, UUD 1945 dalam Pasal 24B memberikan kewenangan kepada KY untuk melakukan pengawasan terhadap Hakim yaitu hanya hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan di bawah MA saja, tidak meliputi Hakim Agung dan Hakim MK. Sehingga Pasal-pasal dalam UU KY yang memperluas makna hakim yaitu hakim pada seluruh badan peradilan di bawah MA, Hakim Agung dan Hakim MK serta memberikan kewenangan kepada KY untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh hakim tersebut berarti melampaui batas wewenang yang diberikan UUD.

Ketiga, KY merupakan mitra dari MA dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang ada dibawah MA sehingga sebagai mitra KY tidak berwenang mengawasi Hakim Agung pada MA. Untuk memperkuat alasan ini, para Hakim Agung mengacu pada pasal 32[21] jo Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan ayat (4) UU MA yang pada intinya mengatur bahwa usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim dilakukan oleh KY yang diserahkan kepada MA dan kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim.

Keempat, mekanisme pemberhentian Hakim Agung dan Hakim MK berbeda dengan hakim di badan peradilan yang berada di bawah MA. Pemberhentian Hakim Agung dilakukan oleh Ketua MA dan dapat membela diri di hadapan MAjelis Kehormatan MA, demikian pula hakim MK diberhentikan oleh Ketua MK dan dapat membela diri di hadapan Majelis Kehormatan MK tanpa campur tangan dari KY. Sedangkan bagi hakim lain yang berada di badan peradilan di bawah MA, pemberhentian dilakukan oleh Ketua MA dengan mensyaratkan usul penjatuhan sanksi dari KY dan dapat membela diri di hadapan Majelis Kehormatan.

Kelima, pengawasan KY terhadap Hakim Agung mengakibatkan terganggunya hak konstitusional Hakim Agung, yang dijamin kemerdekaannya oleh UUD 1945. Hakim Agung mengacu kepada pemanggilan yang telah dilakukan KY terhadap beberapa Hakim Agung dalam hubungan dengan perkara yang telah diadilinya selama ini. Hal tersebut dianggap berpotensi dan akan membawa makna bahwa semua Hakim Agung dapat dipanggil sewaktu-waktu karena memutus suatu perkara. Dengan katan lain pengawasan KY terhadap Hakim Agung akan menghancurkan independensi Hakim Agung yang dijamin UUD 1945.

Keenam, perluasan makna hakim dalam UU KY melanggar prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni prinsip Lex Certa, yang berarti bahwa suatu materi dalam peraturanperundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan lain selain yang tertulis dalam peraturan perundangan (Lex Stricta), atau dengan kata lain prinsip suatu ketentuan atau perundang-undangan tidak dapat diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-undangan. Perluasan makna tersebut tidak berdasarkan prinsip Lex Superior Derogate Legi Inferiori, suatu perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Begitu pula dalam kaitan “penjatuhan sanksi” pada Pasal 20, 21, 22 ayat (1) huruf e dan ayat (5), 23 ayat (2)dan ayat (3) serta ayat (5), 24 ayat (1) dan 25 ayat (3) dan ayat (4) UU KY adalah bertentangan dengan asas Lex Certa dan Lex Superior Derogate Legi Inferiori.

Berdasarkan alasan-alasan terebut MK memutuskan bahwa beberapa pasal di bawah ini tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat yaitu :

a. Pasal 1 angka 5 sepanjang mengenai kata-kata “hakim Mahkamah Konstitusi”; Pasal 20; Pasal 21; Pasal 22 ayat (1) huruf e; Pasal 22 ayat (5); Pasal 23 ayat (2); Pasal 23 ayat (3); Pasal 23 ayat (5); Pasal 24 ayat (1), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Pasal 25 ayat (3), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; Pasal 25 ayat (4), sepanjang mengenai kata-kata ”dan/atau Mahkamah Konstitusi”; dalam UU KY bertentangan dengan UUD 1945.

b. Pasal 34 ayat (3) UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bertentangan dengan UUD Tahun 1945;

Putusan MK di atas bertolak belakang dari semangat dan apa yang dinyatakan dalam Naskah akademis dan RUU KY, yang menjelaskan kata ‘hakim’ mencakup hakim agung. Bahkan, cetak biru MK mengakui jika hakim di seluruh tingkat peradilan dan hakim konstitusi adalah obyek pengawasan KY.[22] Menariknya, naskah akademis tersebut disusun oleh mayoritas hakim agung yang saat ini menjadi pemohon judicial review. Salah satunya adalah Paulus Effendi Lotulung, Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara.

Lotulung dalam penyusunan naskah akademis tersebut bertindak selaku penanggungjawab penelitian.[23] Sedangkan pada halaman 121 cetak biru MK disebutkan, “Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di lingkungan peradilan umum maupun MK”. Pada endnote-nya disebutkan hal ini mengacu atau sesuai dengan pasal 1 huruf 5 UU KY.


C. Putusan MK: akibat hukum dan “mengail di air keruh”

Putusan MK tersebut memiliki akibat hukum yakni: pertama, Hakim Agung dan Hakim MK tidak dapat lagi diawasi oleh KY dan hanya bisa diawasi oleh dirinya sendiri.[24] KY hanya memiliki kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. keputusan MK menghapus kewenangan yang sangat mendasar dari KY yakni, pengawasan terhadap hakim, merupakan suatu langkah mundur dalam upaya membenahi dan menata institusi peradilan di Indonesia dari praktik “mafia” peradilan.

Putusan MK jelas tidak sesusi dengan Penjelasan Umum UU KY paragraf ke 3, yang menegaskan bahwa Pasal 24B yang menjadi dasar lahirnya KY memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada KY untuk mewujudkan checks and balances.

Walaupun KY bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Bahkan dinyatakan bahwa KY mempunyai tugas mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Baik permohonan maupun putusan MK tidak menyinggung bagian penjelasan tersebut.

MK sendiri merekomendasikan perlunya perubahan terhadap UU KY. Sedangkan untuk pengawasan terhadap Hakim Agung, MK mengharapkan agar MA dapat meningkatkan pengawasan terutama dengan cara lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Menurut MK, prinsip kebebasan hakim harus dimaknai oleh hakim sendiri sebagai adanya kewajiban untuk mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of law.[25]

Dalam putusan itu, MK pun memberikan penafsiran bahwa hakim konstitusi tidak dapat diawasi KY. Inilah yang disebut ”mengambil keuntungan dari para pihak yang berselisih pandang”.


D. Rekomendasi

Sekaranglah saatnya, dilakukan revisi, paling tidak terhadap 4 UU yakni UU tentang Kekuasaan Kehakiman, UU tentang MA, UU tentang Mahkamah Konstitusi dan UU Komisi Yudisial. Sebaiknya, dilakukan secara satu nafas (1 paket). Khusus untuk revisi UU KY, hal-hal substantif yang perlu dimuat, antara lain:

Pertama, merevisi secara komprehensif aturan mengenai mekanisme pengawasan. Selama ini UU KY tidak mengatur secara jelas bagaimana prosedur pengawasan, siapa yang mengawasi, objek yang diawasi, dan instrumen yang digunakan di dalam pengawasan. Sehingga, tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara KY dan MA dalam melakukan pengawasan terhadap hakim tidak terulang kembali.

Kedua, merevisi mengenai mekanisme pengangkatan hakim agung, perpanjangan masa kerja hakim agung, dan perubahan mekanisme pemberhentian hakim agung, mengambil alih kewenangan perpanjangan masa kerja hakim, pemberian sanksi bagi hakim serta dalam proses rekrutmen, KY diberikan kewenangan secara aktif untuk merekrut hakim agung tanpa menunggu pemberitahuan MA – antara lain dalam rangka pemenuhan jumlah hakim agung sesuai UU, yakni 60 hakim agung.

Ketiga, perlu secara rinci dan tegas diatur mengenai pengertian dan ruang lingkup perilaku hakim dalam UU KY yang baru, hal ini untuk mencegah terjadinya multiinterpretasi tentang apa yang dimaksud dengan "perilaku hakim". Tidak ada salahnya, seperti KY dinegara lain, jika KY dapat menjatuhkan sanksi atau hukuman atas para hakim yang melakukan pelanggaran.


Jika KY tidak berdaya, maka apa yang dikhawatirkan masyarakat bukan tanpa alasan: “diawasi saja para hakim masih mau menerima sepasang kain batik dan pujian, apalagi tidak ada pengawasan sama sekali”. Muaranya tentu saja, kerugian dipihak masyarakat yang mendambakan putusan dari para hakim yang bersih dan mempunyai integritas dan karakter kuat untuk mewujudkan keadilan.




Tentang Penulis


A. Patra M. Zen, saat ini Ketua Badan Pengurus Yayasan LBH Indonesia. Kritik dan saran melalui patra.m.zen@gmail.com

Restaria F. Hutabarat, saat ini staf Direktorat Bantuan Hukum dan Advokasi Yayasan LBH Indonesia.


[1] Keterangan pemerintah dalam persidangan MK terhadap uji materiel UU KY.

[2] Bentuk resistensi antara lain Ketua MA Bagir Manan tidak memenuhi panggilan KY berkaitan dengan keterlibatan 5 pegawai MA dalam dugaan suap oleh pengusaha Probosutedjo. Lihat antara lain Tempointeraktif. 16 Januari 2006. ”Komisi Yudisial Tak Bisa Panggil Paksa Bagir Manan”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/01/16/brk,20060116-72356,id.html; lihat juga Media Indonesia. 25 April 2006. ”Editorial. Resistensi MA”. 28 Juni 2006. ”MA Campuri Kewenangan Pengawasan MA”.

[3] Pasal 11 ayat (1) UU No. 14/1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman: Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansil ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.

[4] Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman

[5] PAsal 26 ayat (1) UU No. 14/1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman

[6] Pasal 13 UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

[7] ti.or.id. 16 Februari 2005. “Transparency International Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2004”, Teks di http://www.ti.or.id/press/details.php?pressID=4

[8] Tentang Komisi Yudisial di negara-negara lain, lihat antara lain Buletin Komisi Yudisial Volume I Agustus 2006 hal. 24-26; lihat juga Hukum Online. 7 Juni 2006. ”Jamak, KY Mengawasi Seluruh Hakim”. Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=14962&cl=Berita

[9] Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

[10] Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial: membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada MA dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

[11] Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), MA dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta.

[12] Untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan MA dan/atau Mahkamah Konstitusi.

[13] Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan MA dan/atau Mahkamah Konstitusi.

[14] Usul penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada MA dan/atau Mahkamah Konstitusi.

[15] Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh MA dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim.

[16] Komisi Yudisial dapat mengusulkan kepada MA dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.

[17] Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sah apabila rapat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) orang Anggota Komisi Yudisial, kecuali keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian Hakim Agung dan/atau Hakim Mahkamah Konstitusi dengan dihadiri seluruh anggota Komisi Yudisial.

[18] Dalam hal terjadi penundaan 3 (tiga) kali berturut-turut atas keputusan mengenai pengusulan calon Hakim Agung ke DPR dan pengusulan pemberhentian hakim agung dan/atau hakim Mahkamah Konstitusi maka keputusan dianggap sah apabila dihadiri oleh 5 (lima) orang anggota.

[19] Hakim adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah MA serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[20] Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim”.

[21] (1) MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalammenjalankan kekuasaan kehakiman; (2) MA mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim disemua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;

[22] Hukum Online. 16 Maret 2006. “Mencari Tafsir ‘Hakim’ dan Ruang Lingkup Pengawasannya.” Teks di http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=14554&cl=Berita

[23] Ibid.

[24] Analisis dan kritik terhadap putuasan MK tersebut, lihat antara lain Tribun Timur. 24 Agustus 2006. ”KY Dikebiri, Mafia Peradilan Bakal Marak”;

[25] Lihat Mahkamahkonstitusi.go.id. 24 Agustus 2006. “Sebagian Ketentuan UU KY dan UU KK Bertentangan dengan UUD 1945.” Teks di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=197
Load Counter