Monday, April 30, 2007

Hak Atas Pendidikan Pasca Ratifikasi Kovenan Ekosob: Pendidikan Biaya Tinggi dan Siswa (Mencoba) Bunuh Diri

Apa hubungan antara peratifikasian Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob) dengan perkara bunuh diri? Salah satu faktor yang memotivasi anak dan orang dewasa untuk bunuh diri, antara lain rasa malu tidak mampu membayar biaya pendidikan! Setidaknya inilah yang dapat ditangkap dari berita di media.

Masih ingat sejumlah peristiwa tragis: Andi Purwanto (20 tahun), penjual sandal jepit asal desa Talang, Tegal ini mencoba bunuh diri dengan minum 3 saset rancun serangga. Pemuda ini melakukan aksi nekat karena merasa tak mampu membiayai 2 orang adiknya untuk bersekolah (Kompas 6,/5/05). Penghasilannya sebagai penjual sandal jepit, hanya berkisar untung Rp 3.000 – 5,000 per hari, sementara ia perlu memberi uang saku dan ongkos untuk adik-adiknya Rp 4.000.

Contoh lain anak-anak yang nekat bunuh diri: Eko Haryanto (15), siswa kelas 6 SD Kepunduhan 1 Kramat, Tegal yang nekat gantung diri karena malu menunggak 10 bulan sumbangan biaya pendidikan (SPP) disekolahnya. Per bulan, sekolahnya memungut SPP Rp 5.000. Aksi nekatnya berakibat fatal, sempat diberitakan Eko menderita pembengkakan otak akibat kekurangan pasokan oksigen ke otaknya. Ayah Eko sehari-hari menjadi kuli panggul, sementara ibunya menjadi buruh tani didesanya. Kasus Eko ini, sempat diberitakan Harian Kompas, paling tidak di 4 terbitan (3,4,6,7/5/2005).

Hampir sama seperti Eko, Haryanto (12), siswa SD Negeri Sanding IV Garut pun nekat mencoba bunuh diri dengan menggantung diri dengan kawat di kusen belakang rumahnya. Lagi, karena malu, tak dapat membayar Rp2.500 untuk kegiatan ekstrakurikuler, membuat sulaman burung di sekolahnya. Sehari-hari sang ayah bermata pencaharian buruh pikul di Pasar Garut.

Akan banyak kisah dan peristiwa tragis semacam ini, yang boleh jadi tidak sempat terberitakan. Namun, dapat digambarkan betapa anak-anak dari keluarga miskin mencapai jutaan jiwa yang harus putus sekolah. Data dari Pusat Data dan Informasi Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional (Kompas 3/5/05) memproyeksikan, murid yang putus sekolah tahun ajaran 2004-2005 di level SD, SMP/MTs, SMA/ MA mencapai 1.122.742 anak, dengan komposisi anak yang putus sekolah paling banyak adalah mereka yang duduk di bangku Sekolah Dasar, yakni mencapai 685.967 siswa SD. Dari tim Balitbang juga diketahui bahwa biaya pendidikan di Indonesia lebih banyak ditanggung orang tua murid dan masyarakat ketimbang pemerintah, dengan komposisi orang tua mesti menanggung antara 53,74 hingga 73,87% dari total biaya pendidikan.


Ratifikasi Kovenan Hak Ekosob (ICESCR)

Pada 30 September 2005, parlemen dan pemerintah menyetujui 2 kovenan induk hak asasi manusia. Pada sidang paripurna DPR di Gedung DPR/MPR, Ketua Komisi I DPR RI Theo L Sambuaga membacakan hasil pembahasan dua kovenan itu. Lengkaplah the bill of human rights menjadi norma hukum dinegeri ini: Deklarasi Hak Asasi Manusia; Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob) dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol).

Salah satu pesan yang perlu disampaikan paska ratifikasi Kovenan Ekosob: menteri pendidikan nasional harus bekerja lebih keras! Pasal 14 Kovenan Ekosob memuat ketentuan obligasi (kewajiban) Negara Pihak untuk mengimplementasikan pendidikan dasar (primary education) cuma-cuma atau gratis, dalam artian tidak ada lagi pungutan yang memberatkan orang tua murid/siswa: cuma bayar SPP, cuma bayar uang buku, uang gedung, dan seterusnya.

Dengan diratifikasinya Kovenan Hak Ekosob, maka Pemerintah sebaiknya mengadopsi prinsip-prinsip pemenuhan hak setiap orang untuk menikmati pendidikan, seperti yang dimuat dalam pasal 14 Kovenan. Komite Ekosob pada 1999 telah merinci dan memberikan penjelasan mengenai definisi dari istilah kunci dan elemen pokok berkaitan dengan pemenuhan hak atas pendidikan dasar. Nantinya elemen inilah yang menjadi salah satu bahasan pada saat Komisi Ekosob memeriksa laporan yang disusun Pemerintah paska ratifikasi. Elemen-elemen yang dimaksud (UN doc. E/C.12/1999/4), sebagai berikut :

Pertama, pendidikan dasar wajib (compulsory). Dalam prinsip ini akan dilihat apakah terdapat hambatan bagi anak usia sekolah untuk menikmati pendidikan dasar. Penilaian juga dilihat apakah terjadi bentuk dan praktik diskriminasi terjadi dalam hal persamaan akses antara anak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh pendidikan dasar. Program wajib belajar yang dirumuskan dan diimplementasikan mesti memperhatikan kualitas yang baik, relevan untuk anak dan berkontribusi pada realisasi hak-hak anak yang lain.

Kedua, pendidikan dasar cuma-cuma/gratis (free of charge). Prinsip ini dipenuhi dengan cara: memastikan ketersediaan pendidikan dasar yang dikelola Negara, dilaksanakan tanpa memungut biaya dari anak, orang tua atau walinya. Karenanya, sekecil apa pun tuntutan pungutan, secara praktik dapat membahayakan pemenuhan hak ini, terutama bagi keluarga miskin. Sebagai contoh pungutan uang prakarya Rp 2500 terhadap anak, untuk keluarga miskin sangat memberatkan. Sejumlah imedia memuat berita tidak jarang pungutan-pungutan semacam ini menjadi salah satu faktor aksi bunuh diri siswa/murid karena merasa malu tidak dapat berpartisipasi. Upaya pencegahan praktik-praktik pungutan semacam ini, mesti dirinci dalam Rencana Aksi yang disusun pemerintah, termasuk cara pengawasannya. Komite Ekosob sendiri dapat memeriksa iuran langsung (direct costs) dan pungutan lain (other indirect costs) berdasarkan kasus per kasus.

Ketiga, pengadopsian rencana rinci (adoption of a detailed plan). Paska ratifikasi Kovenan Ekosob, Pemerintah diminta untuk merumuskan dan selanjutnya menetapkan rencana aksi yang rinci untuk pemenuhan pendidikan dasar bagi setiap anak usia sekolah. Diberikan waktu maksimal 2 tahun untuk perumusan rencana aksi ini, yang mesti memuat semua upaya untuk merealisasikannya. Partisipasi publik (masyarakat) menjadi prasyarat dalam proses perumusan dan secara periodic terlibat dalam review dan evaluasi rencana aksi. Memastikan pemenuhan asas akuntabilitas dalam perumusan dan pengawasan implementasi rencana aksi juga menjadi tanggungjawab Pemerintah.

Keempat, kewajiban/obligasi (obligations). Dalam praktik, Negara Pihak tidak dapat lari dari tanggung jawabnya untuk menetapkan rencana aksi tidak dapat dilanggar hanya karena alasan tidak mempunyai sumber daya. Jika memang benar-benar tidak ada sumber daya, maka Pemerintah dapat mengupayakan “international assistance and cooperation" seperti dimuat dalam pasal 23 Kovenan Ekosob.

Kelima, implementasi secara terus menerus (progressive implementation). Dalam rencana aksi ditetapkan dalam rencana jadwal untuk memastikan pemenuhan hak atas pendidikan secara cuma-cuma dapat terlaksana secara nasional. Sebagai contoh terdapat deklarasi bahwa semua anak akan mendapatkan pendidikan dasar cuma-cuma pada tahun 2010, disertai dengan bagaimana cara merealisasikannya. Realisasinya dapat secara bertahap dengan prioritas wilayah atau prioritas anggaran, sehingga benar-benar bebas dari segala macam pungutan yang memberatkan siswa dan keluarganya. Sehingga terealisasi pendidikan gratis yang bukan sekedar lips service.

Kelima hal itu, merupakan konsekwensi hukum, pasca pengesahan Kovenan Ekosob. Karenanya penggiat bantuan hukum dan advokat publik perlu menggugat Pemerintah, jika kewajiban diatas tidak dilakukan. Inilah yang disebut justisiabilitas hak ekosob, dimana pemenuhan hak ekosob dapat dimintakan atau diklaim lewat badan peradilan.
Load Counter