Monday, April 30, 2007

Corporation Social Responsibility: Penghormatan Hak Asasi Manusia dan Babak Baru Sebuah Korporasi Untuk Meraih Keuntungan

“…transnational corporations become increasingly important in the economies of most countries an international economic relationships, unique opportunities may be significantly greater for transnational and other companies that have larger amounts of resources and therefore greater ability to use those resources for the benefit of society as well as for their shareholders…”
(UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1., para. 5)


Banyak argumen yang telah menunjukkan banyaknya keuntungan bagi masyarakat dan penduduk lokal jika pelaku non-Negara (sektor privat) memberikan kontribusi bagi pemenuhan hak asasi manusia. Kutipan tersebut diambil dari laporan yang disusun David Weissbrodt yang diberi mandat Komisi HAM, Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan HAM untuk melakukan penelitian berkaitan dengan metode kerja dan aktivitas korporasi transnasional.[1]

Namun, boleh dibilang tidak banyak argumen yang menunjukkan keuntungan yang diperoleh korporasi jika turut berkontribusi dalam penghormatan, pemajuan (promosi) dan pemenuhan HAM.

Fenomena menarik, sekaligus memunculkan pertanyaan yang menggelitik saat ini, mengapa sejumlah korporasi, secara suka rela, mau mengadopsi prinsip-prinsip penghormatan HAM dan mempertimbangkan dampak bagi pemenuhan HAM dalam setiap aktivitasnya? Beberapa contoh korporasi trans-nasional yang melakukan hal ini, seperti: 3M, Body Shop, BP Amoco, British Telecom, Cargill, C&A, Carlson Companies, Gap, H&m, ING Group, Levi Strauss, Medtronic, Nokia, Novo Nordisk, Numico, PepsiCo, PetroCanada, Reebok International, RioTinto, Sara Lee Corporation, Royal Dutch/Shell Group Companies, Starbucks, Statoil, Tata Iron and Steel Co., Volkswagen, dan Xerox.[2]

Tulisan singkat ini akan menggambarkan trend saat ini untuk menarik korporasi kedalam pusaran obligasi untuk pemenuhan HAM. Dus, artikel kecil ini akan memaparkan sekaligus menganalisis setidaknya tiga alasan kuat mengapa isu corporate social responsibility (CRS) tengah bersemai saat ini, termasuk manfaat yang diperoleh korporasi sendiri jika terlibat dalam dan mengikatkan diri pada standard setting yang ada. Sekaligus tulisan ini juga akan memancing sebuah pertanyaan untuk para pemilik korporasi: mengapa anda tidak mengupayakan penghormatan hak asasi manusia dan melaksanakan program CRS sekarang juga?

A. Meningkatnya kesadaran konsumen

Setidaknya ada kasus yang mendorong tindakan boikot para konsumen terhadap produk-produk korporasi. Liubicic (1998) menulis kasus boikot konsumen berang karena mengetahui bola-bola yang dipakai untuk pertandingan sepakbola diproduksi oleh korporasi dengan menggunakan tenaga buruh anak.[3] Sementara Zelman (1990) mempresentasikan kasus perusahan Nestle yang memproduksi makanan/formula bayi yang telah mempertinggi angka kematian bayi di Negara-negara Miskin.[4] Promosi yang dilakukan Nestle di Negara Ke-3 telah menyebabkan menurunya para ibu untuk menyusui bayinya. Penurunan angka ibu menyusui, diperparah dengan buruknya kualitas air di Negara ke-3 – yang digunakan mereka sewaktu menggunakan produk-produk Nestle. Alasan lain, para ibu tidak diberikan petunjuk yang memadai dalam menggunakan produk perusahaan ini. Situasi ini kemudian memicu para konsumen di Negara ke-3 memboikot produk-produk Nestle.


B. Pelanggaran HAM, Turunnya Nilai Jual Korporasi dan SRI

“Why would commercially successful companies …give up their activities in foreign states? High production costs? An unstable economy? Inadequate infrastucture? No: in each of these cases, the company’s decision to pull out was because of the grave human rights abuses occurring in the host state.”
(Margaret Jungk. 2001:1)

Jungk memberi tiga contoh korporasi yang akhirnya menghentikan operasi akibat kejahatan-kejahatan yang terjadi di Negara dimana mereka melakukan investasi: Shell menghentikan operasinya di Nigeria; Heineken di Birma; serta Levi Strauss di Cina.[5]

Di Indonesia, terdapat satu contoh yang baik untuk menunjukkan kaitan erat antara pelanggaran HAM dan nilai jual korporasi: kasus PT. Newmont Minahasa Raya yang beroperasi di Sulawesi Utara. Newmont, sebuah korporasi yang berpusat di Denver (US) yang mengoprasikan pertambangan emas, telah mencemari teluk Buyat, dengan zat-zat berbahaya seperti arenicum, hydrargirum, zyncum dan plumbum. Sebelumnya, para penduduk lokal mencari nafkah dari teluk ini sebagai nelayan. Hasil tangkapan para nelayan tidak laku dijual karena telah tercemar – dalam banyak kasus, ikan-ikan hasil tangkapan berpenyakit seperti terdapat benjolan ditubuhnya. Akibatnya, setelah pencemaran, derajat kesejateraan penduduk menurun, termasuk penyebaran penyakit yang diderita penduduk lokal.[6]

Kampanye yang dilakukan YLBHI – LBH Manado dan organisai non-pemerintah lainnya, baik difora domestik maupun fora internasional, langsung maupun tidak langsung menyebabkan banyak lapisan menyoroti kasus ini. Salah seorang staff LBH Manado menyatakan bahwa saham Newmont sempat turun paska kampanye yang mereka lakukan di US. Perkembangan terakhir, Newmont menghentikan operasinya di Sulawesi Utara. Boleh dibilang, image PT Newmont rusak akibat operasinya sendiri.

Sebagai tambahan, terdapat trend korporasi diwajibkan untuk mengupayakan apa yang disebut socially responsible investment (SRI). SRI mencakup tiga tipe aktivitas utama: indexes, ratings and funds. Merujuk laporan ILO, investasi yang menggunakan criteria social investment (screening, sharholder advocacy and community investing) telah meningkat dari US$40 billion in 1984 menjadi US$2.34 trillion di tahun 2001.[7] Angka ini hanya dihitung social investment di Negara US saja. Di negara berkembang, seperti Afrika Selatan, bursa efek Johannesburg diwajibakn untuk menyusuan laporan yang memuat ‘Code of Coporate Practices and Condut’ sebagai bagian dari laporan ke publik dalam rangka penjualan saham sebuah perusahaan.[8]


C. Trend International: Mulai bertemunya Rezim HAM dan Rezim Perdagangan (?)

Secara singkat, merujuk pada dokumen Global Compact, penilaian HAM atas kinerja korporasi meliputi 9 isu[9], sebagai berikut:
(1) dukungan dan penghormatan HAM yang diterima secara internasional (internationally proclaimed human rights) berdasarkan pengaruh yang dimilikinya;
(2) aktivitas yang dilakukan dipastikan tidak melanggar dan menyebabkan timbulnya kejahatan HAM (human rights abuses);
(3) mewujudkan kebebasan berserikat dan pengakuan terhadap hak atas posisi tawar kolektif buruh (the right to collective bargaining);
(4) turut serta menghapus segala bentuk perbudakkan dan pemaksaan kerja (forced and compulsory labor);
(5) berpartisipasi menghapus buruh anak;
(6) menghapus praktek-praktek diskriminasi dalam pekerjaan dan lapangan kerja;
(7) mendukung pendekatan pencegahan kerusakan lingkungan;
(8) mengambil inisiatif mempromosikan tanggungjawab lingkungan yang lebih besar;
(9) mendorong pengmbangan dan difusi tekonologi yang ramah lingkungan.

Global Compact diajukan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan pada Forum Ekonomi Dunia pada 31 Januari 1999. Saat itu, Anan meminta para pemilik korporasi untuk bergabung dengan badan-badan PBB, organisasi/serikat buruh, dan organisasi masyarakat sipil lain bekerjasama dan melakukan aksi-aksi menjawab tantangan global, termasuk menjawab problem-problem yang ditimbulkan ekonomi global. Sejak dilaunching, sejumlah korporasi trans-nasional yang dapat dikategorisasikan ‘korporasi pelopor’, menyatakan kesediaannya untuk bergabung secara sukarela, antara lain DuPont, Amazon Caribbean Guyana Ltd, SAP; British Telecom (BT), Statoil, BASF, Shell International Ltd., Hennes & Mauritz AB, Willian E. Connor & Associates Ltd., Deloitte Touche Tohmatsu (DTT), Nexen Inc., Yawal System, British Petroleum (BP), Nokia, STMicroelectronics (ST), Novartis International AG. Perusahaan anda akan menyusul?


Catatan Belakang

[1] David Weissbrodt. “Principles relating to the Human Rights Conduct of Companies”. UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1. 25 May 2000.
[2] Lihat Weissbrodt, fn. 23.
[3] Robert J. Liubicic, “Corporate Codes of Conduct and Product Labeling Schemes: The Limits and Possibilities of Promoting International Labor Rights Standards Through Private Initiatives”. 30 Law and Policy International Bussiness 111 (1998)., Lihat Weissbrodt, fn. 7.
[4] Nancy E. Zelman, “The Nestle Infant Formula Controversy: Restricting the Marketing Practice of Multinational Corporations in Third World”, 3 Transnational Law. 697 (1990). Lihat Weissbrodt, fn. 7.
[5] Margaret Jungk. 2001. Deciding whether to do Business in States with Bad Government. The Confederation of Danish Industries, The Danish Centre for Human Rights, the Danish Industrialization Fund for Developing Countries. Lihat juga Maria de los Angeles Villacis Paredes.2000. Supplementary Guide to ‘Deciding Whether to do Business in State with Bad Governments’. Danish Centre for Human Rights.
[6] Lihat YLBHI. 2002. An Indonesian Legal Aid Foundation Paper. Human Rights from Below. Potrait of Economic, Social and Cultural Rights Violation in Indonesia. YLBHI: Jakarta., p. 8.
[7] ILO doc. GB.286/WP/SDG/4(Rev.). Information Note on Corporate Social Responsibility and International Labour Standards. ILO: Geneva. March 2003., para. 18.
[8] Lihat Ibid., para. 19.
[9] Teks prinsip-prinsip bagi korporasi dan pelaku bisnis yang dirumuskan dalam Global Compact dapat dilihat di: www.unhchr.ch/global.htm. Lihat juga Guide to the Global Compact. A Practical Understanding of the Vision and Nine Principles
Load Counter