Monday, April 30, 2007

Perempuan Indonesia: Fakta dan Harapan atas Tiga Problem Besar Kaum Perempuan

A. Pengantar

Seribu satu masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi kaum perempuan tengah dihadapi bangsa Indonesia.[1] Namun, tidak semua anggota masyarakat dan pejabat negara yang peduli terhadap problem ini. Kasus beda dan silang pendapat antara Menteri Pemberdayaan Perempuan dengan Jajaran Departemen Tenaga Kerja merupakan satu contoh dari apa yang bisa disebut upaya pemberdayaan perempuan belum menjadi fokus bersama, melainkan masih bergantung pada individu-individu yang duduk dalam posisi penting di institusi negara. Usulan untuk menghentikan sementara pengiriman buruh perempuan/pembantu rumah tangga ke Arab Saudi ditentang habis-habisan oleh Menteri Tenaga Kerja Bomer Pasaribu saat itu. Padahal menurut para aktivis perempuan, juga Menteri Pemberdayaan Perempuan langkah penghentian sementara itu dimaksudkan untuk menyusun satu perangkat hukum yang memberi perlindungan terhadap buruh perempuan/pembantu rumah tangga di Arab Saudi.

Jika fakta bahwa kekuatan pemberdayaan masih bergantung pada individu dan bukan lahir dari upaya sistematik negara maka problem-problem yang menerpa kaum perempuan sangat sulit ditanggulangi. Perempuan mengalami penindasan berlapis, seperti runtutan anak tangga, terlebih dalam sistem dan tatanan negara yang militeristik: dalam undakan rumah tangga, pabrik, dan kehidupan sosial secara umum.

Kekerasan dalam rumah tangga, merupakan problem besar sejak lama. Anak perempuan, perempuan dewasa, dan ibu usia lanjut telah menjadi obyek kekerasan anak laki-laki, pria dewasa dan bapak, kakek. Perjuangan melawan kekerasan di rana domestik (domestic domain) ini menjadi perjuangan besar para pihak yang konsern terhadap problem perempuan. Hal ini disebabkan, baik laki-laki dan perempuan seringkali tidak menyadari bentuk-bentuk kekerasan telah terjadi di rumah tangga mereka.

Dipabrik, perempuan rentan akan kekerasan dan perlakuan eksploitatif. Dengan dalih perempuan lebih telaten dan rajin, pihak perusahaan dan pemilik modal seringkali menyembunyikan maksud kejinya. Upah yang lebih murah menjadi salah satu alasan mengapa para pemilik modal lebih memilih perempuan menjadi buruh dipabriknya.

Selanjutnya, perempuan dan anak paling menderita di wilayah-wilayah konflik dan tatkala perang berkecamuk. [2] Selama perang penaklukan wilayah dengan menggunakan kekuatan, pemerkosaan, pembunuhan perempuan dan anak-anak dijadikan bagian dari taktik oleh pihak yang bermusuhan untuk teror dan mengendorkan semangat pihak lawan. Disamping itu pembunuhan bertujuan untuk menghentikan proses reproduksi dan keberlanjutan generasi. Di daerah konflik yang berkepanjangan, kaum perempuan dijadikan pelacur. Kondisi dimana perempuan dan anak hingga sekarang menjadi tumpu korban kekerasan didaerah konflik masih terus terjadi. Sementara, dimasa “damai”, komisi dan organisasi yang bekerja untuk tujuan rekonsiliasi dan perdamaian harus bekerja keras dan sabar untuk menunggu kesiapan “survivor” mengungkapkan kepedihan yang dialaminya.

Kalyana Mitra pada tahun 1999, menerima 171 perempuan Aceh korban serangan seksual pihak TNI. Menurut Ita F. Nadia, motif kekerasan seksual dilakukan sebagai taktik untuk memancing “gerakan pengacau keamanan” turun gunung. Sementara Pelapor Khusus PBB, Radikha Coomarasamy mengungkapkan bahwa dirinya pernah menjumpai survivor perempuan Aceh yang diperkosa dan diserang secara seksual dalam berbagai kegiatan peristiwa dimana militer memaksa mereka untuk memberitahukan persembunyian para suami mereka yang dituduh anggota GPK.

Menurut Ketua Yayasan Perempuan Irian Jaya, Yusan Peblo, kekerasan terjadap perempuan di tanah Papua, seringkali terjadi di 12 wilayah. Kondisi yang paling memperihatinkan, seperti diungkapkan Yusan yang juga anggota Dewan Kehormatan Komnas HAM Perempuan RI, terjadi di wilayah Jayawijaya, tepatnya di pengunungan Bintang. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di propinsi ini antara lain dipaksa menikah diusia muda, dianiaya, tidak mendapat hak-hak warisan keluarga dan kekerasan seksual.[3]

Data Tim Kemanusiaan Timor Barat (TKTB) yang melakukan fact finding selama Februari – April 2000 menunjukkan terjadi delapan perkosaan, 14 pelecehan seksual, 8 kehamilan yang tidak dikehendaki, 64 kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 26 penganiayaan bukan KDRT. Kasus-kasus terjadi sebelum, selama dan paska diselenggarakannya Jejak Pendapat. Data ini dikumpulkan dari 74 lokasi dimana terdapat 200 lokasi kamp pengungsi di Timor Barat.[4]

Jika menoleh kebelakang, sejarah menunjukkan perempuan Indonesia direpresi selama masa pendudukan Jepang (1942-1945). Kasus perbudakkan seksual yang dilakukan tentara dan pegawai sipil Jepang menorehkan luka pedih para mantan jugun-ianfu.[5]

Boleh jadi benar – meminjam pendapat seorang aktivis perempuan – bahwa kekerasan atau pun diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan merupakan bentuk pelanggaran HAM yang paling tua, dimulai dari pelanggaran secara pribadi yakni dalam rumah tangga sampai di ruang-ruang publik.[6]

Tulisan ini akan menguraikan beberapa problem besar yang dihadapi kaum perempuan saat ini, seperti: (1) Kekerasan dalam Rumah Tangga; (2) Buruh Perempuan; dan (3) Perkosaan. Selanjutnya, akan dideskripsikan dinamika yang terjadi pada masa peralihan. Secara umum data-data tentang pelanggaran hak perempuan dikumpulkan dari berbagai periode dengan penekanan pada kurun waktu tahun 2000.


B. Tiga Dari Banyaknya Problem Perempuan Indonesia

Kalau kita melihat deret angka, intensitas dan tingkat kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sendiri sangat tinggi. Dari 217 juta jiwa penduduk Indonesia diantaranya 24 juta perempuan atau 11,4 persen terutama di pedesaan mengaku pernah mengalami tindak kekerasaan.[7] Angka-angka ini senyatanya akan lebih besar mengingat banyak kasus yang tidak dilaporkan dan diketahui. Secara paralel, disatu sisi, problem-problem yang menimpa perempuan diamini oleh masyarakat sebagai sesuatu yang lazim. Disisi lain, jumlah kaum perempuan yang sebenarnya korban tetapi tidak merasa dilanggar hak-haknya juga tidak sedikit. Selain itu, problem serius lainnya, yakni proses persalinan yang tidak baik mengakibatkan kematian dua orang ibu tiap dua jam ketika melahirkan.[8]

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Seringnya perempuan itu menerima perlakuan yang tidak adil dan kekerasan maupun objek eksploitasi akhirnya tindak kekerasan itu dianggap biasa, sehingga perempuan tidak lagi merasa kalau hak-haknya dilanggar.[9] Ketidakadaan koreksi dari masyarakat bagaikan masyarakat membolehkan kejahatan terjadi. Dalam konteks ini, kekerasan dalam rumah tangga merupakan sebuah problem yang sangat pelik. Banyak kasus yang menimpa kaum perempuan didalam rumah tangga tidak pernah dilaporkan. Penyebabnya, antara lain terdapat anggapan dikalangan pasangan suami-isteri sendiri bahwa kasus yang terjadi dalam rumah tangga murni pribadi yang tidak layak diketahui umum.[10]

LBH Apik Jakarta misalnya, dalam kurun tahun 2000, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sudah dilaporkan mencapai 280 kasus.[11] Angka-angka ini akan bertambah jika dikumpulkan dari berbagai lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan. Jumlah masih akan bertambah mengingat problem yang disebutkan diatas, tidak adanya pengaduan.
Buruh Perempuan

Kisah miris selalu melekat pada buruh perempuan. Pelanggaran hak buruh perempuan dapat dilacak dari kondisi upah yang rendah dimana jenis volume perkerjaan hampir sama bahkan serupa dengan lelaki. Hak-hak yang diabaikan meliputi juga tunjangan kesejahteraan dan lama waktu pensiun termasuk hak reproduksi mereka seperti cuti haid dan cuti melahirkan. Pendek kata, buruh perempuan rentan menjadi korban praktek-praktek kerja yang eksploitatif.

Kasus buruh migran adalah representasi paling nyata dari percampuran ketamakan dan eksploitasi dengan kekerasan terhadap kaum perempuan. Seorang Kartini binti Karim, buruh migran asal Karawang, menghadapi hukuman rajam sampai mati di Uni Emirat Arab – berkat perhatian banyak pihak akhirnya Kartini dapat bebas. Seorang Imas, wajahnya rusak disiram air keras majikanya. Seorang Masitoh, oleh majikannya di Arab Saudi, kepalanya dibenturkan ke tembok, saluran pernafasan dan pencernaanya rusak. Selama dirawat di Rumah Sakit, Masitoh harus bernafas dengan dan makan lewat selang dileher dan perutnya.

Solidaritas perempuan, dalam waktu kurang dari 6 bulan ditahun 2000, lembaga ini mendapat pengaduan 664 orang, 8 orang diantaranya adalah korban perkosaan dan pelecehan seksual, 6 orang kekerasan fisik hingga cacat seumur hidup, 3 orang meninggal dunia, 3 orang dipenjara, 29 orang gaji tidak dibayar dan PHK sepihak, 15 orang hilang kontak, dan 600 orang lebih kasus penipuan calon-calon buruh migran dalam negeri.[12]

Selain kekerasan fisik, psikis dan seksual tersebut yang berakibat sakit, cacat permanen, dampak psikologis hingga kematian. Problem yang muncul dari bekerjanya buruh migran meliputi juga: meningkatnya angka perceraian dan anak terlantar.

Dibalik tragedi tersebut, antara tahun 1994 - 1997 Depnaker mencatat, devisa yang datang dari buruh migran yang bekerja di Saudi Arabia tercatat sekitar 1 milyar USD dari total devisa negara secara keseluruhan sebesar 2.684.035.741 USD. [13] Dalam kurun 1994 - 1999 buruh migran perempuan mencapai 70% dari total 1,4 juta buruh migran. Sebanyak 90% dari buruh perempuan bekerja di sektor domestik sebagai pembantu rumah tangga.[14] Angka-angka fantastis pemasukkan devisa tidak serta merta membawa kondisi yang menggembirakan bagi para buruh migran perempuan.

Perkosaan

Menurut Staf Ahli Meneg Urusan HAM Bidang Pencegahan Disktiminasi dan Perlindungan Golongan Minoritas, DR. Musdah Mulia, MA, kasus pemerkosaan di Indonesia saat ini terjadi hampir tiap lima jam.[15] Sedangkan Khofifah Indar Parawansa, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (MNPP), mengungkapkan kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan dan anak-anak cenderung meningkat. Namun, diakui, banyak sekali kasus yang tidak dituntaskan, bahkan kekerasan dan perkosaan terhadap kaum perempuan oleh sebagian masyarakat telah dianggap hal biasa dan tidak perlu dipermasalahkan. [16] Perkosaan dianggap aib bagi keluarga, sehingga sedapat mungkin disembunyikan. Jika kasus sampai pada proses peradilan, seringkali Hakim memutuskan vonis sangat ringan kepada pelaku.

Usia penyertaan perkosaan, menurut Sawiri Supardi – seorang psikolog, sangat bervariasi. Peluang perempuan menjadi korban perkosaan terjadi dalam kisaran 3 – 70 tahun bahkan lebih. Dampaknya sangat tragis, bagi anak-anak dan perempuan dewasa korban perkosaan. Gejala neuritis-noogenis kerap menjangkiti korban perkosaan, gejala jiwa yang ditandai adanya perasaan hampa, masa depan tidak jelas, merasa kurang harga diri. Karena peningkatan akan kadar keberadaan dan kesadaran dirinya sangat intens, sehingga korban dihinggapi ketegangan berlanjut, yang menyebabkannya sangat rentan terhadap fluktuasi kehidupan emosionalnya. Mudah mengalami depresi, mudah tersinggung, marah. Walaupun terkadang sesekali seolah gembira, namun lebih sering merasa dirinya terpuruk, tanpa ujung pangkal. Konsentrasi korban sering tertanggu dan korban akan menghayati gangguan ini secara terus menerus, berlanjut. Kondisi yang dialami berakibat menurunnya prestasi sosial.[17]


C. Mengapa Perempuan?

Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan dan kekerasan yang menimpa buruh perempuan dapat ditarik benang merah sebagai berikut:

· Pelanggaran hak asasi yang terjadi menunjukkan perempuan masih dianggap warga kelas dua. Politik kelaziman terjadi dan hal ini cenderung dibiarkan negara dan masyarakat yang memang masih menganut “ideologi” patriarkhi;

· Penempatan perempuan sebagai warga negara kelas dua tersebut menyebabkan korban-korban tidak mendapat perlakuan yang adil diberagam bidang kehidupan. Ukuran-ukuran keadilan misalnya diukur dari perspektif laki-laki. Sehingga, dibidang hukum contohnya, vonis terhadap pelaku kekerasan dirasakan sangat tidak adil. Seringkali korban pun masih dipersalahkan sebagai variable pencetus terjadinya kejahatan.

Representasi dari cengkraman “ideologi” patriarkhi dapat dilihat dari realitas bahwa pendidikan yang tinggi tidak berarti otomatis perempuan mampu melepaskan diri dari problem dasarnya yakni kemandirian. Survai yang dilakukan Penelitian dan Pengembangan Kompas terhadap perempuan di Jakarta menunjukkan pendidikan tinggi tidak berarti perempuan siap mandiri dalam bersikap. Mayoritas dari mereka lebih senang menyerahkan pengambilan keputusan pada pihak lain.[18] Namun demikian, kita memang tidak dapat menutup mata bahwa salah satu penyebab terjadinya perlakukan tak adil bagi kaum perempuan itu selama ini, akibat rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan tenaga kerja perempuan. Sekitar 80 persen mereka hanya lulusan SD.[19]

Peran negara sangat besar dalam keseluruhan proses berjalannya “ideologi” patriarki ini. Represi puluhan tahun terhadap kaum perempuan selama Orde Baru telah sukses membangun persepsi di masyarakat dengan isu: perempuan harus menikah, melahirkan dan mengasuh anak, mengurus dapur, menyerahkan segala keputusan kepada suami, patuh pada keputusan suami. Pemaksaan dan kekuasaan laki-laki dimulai dari pembagian peran-peran dilevel negara hingga hubungan seksual.

Akibatnya, dalam keseharian, perempuan memiliki kecedrungan lebih memilih dipimpin laki-laki dibandingkan dipimpin oleh sesamanya terlebih mencalonkan diri sebagai pemimpin. Komposisi ini berlaku baik dilingkungan rumah, organisasi keagamaan, dan juga organisasi politik. Pada muaranya, kebijakan yang diambil dan dijalankan menjadi timpang dan tidak memayungi aspirasi perempuan.

Tabel
“Wajah” Perempuan Indonesia
Periode 1995-2000

Fakta
Sumber

78% perempuan tinggal di pedesaan dengan 68% penduduk desa bermata pencarian sebagai petani. Hanya 2% perempuan tani yang menerima KUT. Sementara, perempuan nelayan kurang diberdayakan. Sangat jarang pemerintah dan organisasi perempuan yang memikirkan mereka.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Khofifah Indar Parawansa

Intensitas tingkat kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sangat tinggi, dari 217 juta jiwa penduduk Indonesia diantaranya 24 juta perempuan atau 11,4 persen terutama di pedesaan mengaku pernah mengalami tindak kekerasaan.
Staf Ahli Meneg HAM Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Golongan Minoritas, DR Musdah Mulia, MA

Kasus pemerkosaan di Indonesia saat ini terjadi
hampir tiap lima jam.
Staf Ahli Meneg Urusan HAM Bidang Pencegahan Disktiminasi dan Perlindungan Golongan Minoritas, DR. Musdah Mulia, MA

Usia penyertaan perkosaan, sangat bervariasi. Peluang perempuan menjadi korban perkosaan terjadi dalam kisaran 3 – 70 tahun bahkan lebih.
Sawiri Supardi, psikolog,

Korban kekerasan lebih banyak mengadukan problemnya ke teman dekat atau keluarga (44,25%) ketimbang mengadukan ke aparat penegak hukum dan lembaga peradilan (23%).
Mitra Perempuan

Data jumlah tenaga kerja wanita pembatu rumah tangga (TKW-PRT) yang mengalami kekerasan di Arab Saudi selama dua tahun terakhir meningkat 100%. Jika pada 1998 terdapat 227 kasus, maka pada 1999 terdapat 484 kasus.
Solidaritas Perempuan

Januari – Juli, 2000 tak kurang dari 664 kasus yang diterima SP: 8 korban perkosaan dan pelecehan seksual, 6 kekerasan fisik dan cacat seumur hidup; 3 meninggal dunia; 3 dipenjara; 29 kasus gaji tidak dibayar dan PHK sepihak; 15 hilang kontak; 600 kasus penipuan calon buruh migran.
Solidaritas Perempuan

Data pemerkosaan terhadap TKW PRT menunjukkan pada 1995 terdapat 59 kasus, pada 1996 terdapat 363 kasus, pada 1997 terdapat 506 kasus.
KBRI di Arab Saudi

Proses persalinan yang tidak baik mengakibatkan kematian dua orang ibu tiap dua jam ketika melahirkan.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

Mutu Perempuan Indonesia terendah di ASEAN
Deputi Bidang Kesejahteraan Gender dan Kualitas Hidup Perempuan Menteri Pemberdayaan Perempuan

Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia tertinggi di negara-negara di ASEAN, yakni 308 per 100.000 kelahiran atau rata-rata 15.000 orang ibu meninggal dunia
Deputi Bidang Kesejahteraan Gender dan Kualitas Hidup Perempuan Menteri Pemberdayaan Perempuan

Sekitar 10-20% dari 373 per seratus ribu jiwa ibu meninggal karena aborsi.
Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat Depkes dan Kesos

39% perempuan tidak lulus sekolah, hanya 13% lulus SLTP, dan kurang dari 5% yang lulus dari Perguruan Tinggi.
Deputi Bidang Kesejahteraan Gender dan Kualitas Hidup Perempuan Menteri Pemberdayaan Perempuan

Sekitar 80 persen perempuan Indonesia hanya lulusan SD
Kompas, Online 28 Juni 2000

Presentase penduduk perempuan berusia 10 tahun keatas yang buta huruf 14,1 persen lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki yang sudah mencapai 6,3%
Susenas 1999

Tingkat partisipasi angkatan kerja hanya 51,2%
Deputi Bidang Kesejahteraan Gender dan Kualitas Hidup Perempuan Menteri Pemberdayaan Perempuan

Data pada tahun 2000, fenomena anak-anak perempuan yang telibat dalam prostitusi mencapai 30% dari total pekerja seks di Indonesia (mencapai 40.000-70.000). Di Batam usia termuda 15 tahun, di Jakarta 12 tahun, di Bandung, 14 tahun dan di Yogyakarta, usia termuda 11 tahun.
Laporan penelitian 11 LSM dan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Atma Jaya.

Jumlah pelacur anak (10-16 tahun) di Indonesia diperkirakan mencapai 140.000 – 200.000 dari total jumlah pelacur.
Menteri Negara Urusan HAM

Secara umum 60-70% perempuan hidup dalam kualitas ekonomi, kesehatan dan pendidikan yang rendah
Asisten Menteri Negara dan Pemberdayaan Perempuan, dr. Abdullah Cholil

60% perempuan harus menghidupi diri sendiri dan keluarganya
Hasil Pemetaan Kementrian Pemberdayaan Perempuan

Sumber: diolah dari berbagai sumber


D. Perempuan dalam Masa Peralihan

Perempuan dan Orde Baru

Manipulasi sejarah secara sistematik dilakukan Orde Baru, terutama pada sejarah gerakan perempuan. Tanggal 22 Desember yang setiap tahun di peringati secara nasional sebagai Hari Ibu, merupakan rekayasa dan pengkerdilan peristiwa Kongres Perempuan Indonesia Nasional I di Yogyakarta di tahun 1928. Tujuh puluh tiga tahun lalu, tidak kurang dari 30 organisasi perempuan membahasa problem-problem perempuan, politik, nasionalisme dan gerakan kemerdekaan. Potensi kuantitas massa, kualitas intelektual dan potensi politik (akseptabilitas dan mobilitas politik) seperti ini secara sistematik dimandulkan lewat pelembagaan Dharma Wanita dan Program PKK.[20]

Penelitian Mitra Wacana, menunjukkan 24 persen ibu-ibu yang aktif dalam program PKK di Kodya Yogyakarta dan 32 Persen di wilayah Bantul menunjukkan kepasrahan dan kesadaran rendah atas kekerasan politik yang menimpanya.[21] Setiap gerak sanggahan yang akan dilakukan kaum perempuan akan ditangkap dan dibelenggu lewat stigmatisasi tidak bermoral dan cara-cara “Gerwani”.[22]

Di masa Orde Baru juga, di tahun 1978, untuk pertama kali, pemerintah membentuk sebuah kementerian yang menangani urusan perempuan. Namun karena watak dan karakter serta tujuannya tidak untuk memberdayakan perempuan, maka “Menteri Urusan Peranan Wanita”[23] menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai alat kooptasi untuk kepentingan rezim Suharto. Satu contoh, manipulasi kompensasi dana bagi para mantan jugun-ianfu berjalan tanpa koreksi lembaga ini. Pemerintah RI meminta penyaluran diberikan dengan mekanisme antar pemerintah (G to G), padahal di negara tetangga yang terdapat kasus serupa, di Filipina dan Korea Selatan, dana kompensasi pemerintah Jepang diberikan langsung kepada korban.[24]

Di era Soeharto, Indonesia meratifikasi Konvensi PBB untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) di era Orde Baru, tepatnya lewat UU No. 5 Tahun 1987. Dalam Konvensi ini negara berkewajiban (pasal 2 Konvensi) untuk bukan sekedar menjamin hak-hak perempuan tetapi juga merealisasikan hak-hak tersebut. Hal ini berarti, bukan sekedar teks hukum positif melainkan juga dikenyataan sehari-hari. Kewajiban negara tidak hanya dalam bentuk regulasi, tetapi juga aksi-aksi yang dilakukan pejabat dan lembaga, menghormati dan melindungi hak-hak perempuan. Negara juga berkewajiban untuk menyediakan upaya penanggulangan yang cepat terhadap korban. Diera Soeharto, kewajiban-kewajiban negara seperti ini masih diabaikan.

Perempuan di Era Transisi

Di Level Negara

Agaknya asumsi bahwa perjuangan pemberdayaan perempuan masih bergantung pada individu-individu yang duduk dalam posisi penting di institusi negara masih kental terasa. Tidak berlebihan jika dalam era transisi untuk membentuk perangkat dan sistem yang baik, kita memerlukan individu-individu yang baik pula.

Abdurrahman Wahid yang terpilih menjadi Presiden RI membawa keuntungan tersendiri dalam perjuangan perempuan di Indonesia.[25] Diera Wahid, dua Kementerian dibubarkan, sementara Kementerian Urusan Peranan Wanita malah diperkuat. Pergantian nama Kementerian Negara Pemberdayaan dalam skala tertentu dapat dilihat sebagai politik bahasa dan upaya yang baik dalam perjuangan hak-hak perempuan di masa sekarang. Perubahan nama ini variable yang sangat positif dalam upaya gerakan perempuan secara keseluruhan.

Di era pemerintahan saat ini, Khofifah Indar Parawansa, merupakan satu nama yang tidak dapat dilalaikan untuk dibicarakan. Sepak terjang Khofifah yang menjabat Menteri NPP penting dilihat sebagai satu faktor pendorong gerakan perempuan di Indonesia. Kantornya dengan berbagai pihak yang konsern terhadap masalah perempuan telah mengeluarkan Deklarasi Komitmen Bersama Negara dan Masyarakat untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Kementerian ini juga mempromosikan pembentukkan Biro Pemberdayaan Perempuan di lingkungan institusi negara. Sejak 1999 lalu, Khofifah telah mengirimkan surat ke 19 menteri, Jaksa Agung dan Kepala BKKBN untuk tujuan ini.[26] Sangat penting dan menggembirakan langkah-langkah yang diambilnya merujuk pada cetak biru, Rencana Induk Pengembangan Nasional Pemberdayaan Perempuan tahun 2000-2004 yang disusun oleh kantornya.

Beberapa ide yang sempat dilontarkan oleh Khofifah merupakan terobosan berkualitas seperti:

· Usulan cuti sembilan hari (dalam UU Perlindungan Tenaga Kerja Wanita) untuk suami agar dapat mendukung dan mendampingi isteri ketika melahirkan[27]

· Usulan tentang pemberlakuan sistem kuota bagi perempuan untuk memegang jabatan ditiap departemen sebesar 30%.

· Promosi Kaukus Perempuan dalam Tatib DPR menjadi lembaga formal sehingga keputusannya mengikat semua fraksi.[28]


Dilevel negara saat ini telah terbentuk KOMNAS Perempuan dan Komnas Perlindungan Anak. Disamping kedua institusi ini dan Kementerian Negara PP, lembaga-lembaga yang diharapkan secara intens melakukan advokasi perempuan seperti:

· Kementerian Negara Urusan HAM, Hukum dan Perundang-undangan terutama Staf Menteri Bidang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Golongan Minoritas.

· Kepolisian RI terutama dalam pembentukkan dan penyelenggaraan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di setiap Polda dan Polres.


Peran negara dalam pemberdayaan perempuan sangat dibutuhkan guna mengatasi hambatan-hambatan pemberdayaan perempuan. Belum sepenuhnya peraturan aparat penegak hukum dan peraturan perundang-undangan memberikan perhatian pada kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal ini, menurut Mitra Perempuan, menyebabkan korban lebih banyak mengadukan problemnya ke teman dekat atau keluarga (44,25%) ketimbang mengadukan ke aparat penegak hukum dan lembaga peradilan (23%).[29]

Kemauan baik politik negara bukan hanya diditunjukkan dengan meratifikasi instrumen internasional hak asasi manusia. Selain Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 138 tentang Batas Usia Minimum Anak Bekerja dengan UU NO. 20 Tahun 1999; Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk Terburuk Pekerja Anak lewat UU No. 1 tahun 2000. Artikel-artikel yang ada mesti diimplementasikan.

Potret buruk implementasi dapat dilihat dalam kasus-kasus seperti dalam penyusunan peraturan perundang-undangan seperti UU No. 14 tahun 1979 pasal 10 tentang Hak Kuasa Mengasuh Anak, hingga saat ini belum dilengkapi dengan PP. Belum lagi problem seputar penyusunan RUU Perlindungan Anak dan RUU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Revisi UU Perkawinan. Ditingkatan kebijakan Pemeritah Daerah, kasus Perda No. 5 tahun 2000 merupakan contoh praktek diskriminasi terhadap perempuan.

Potret buruk lainnya, Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun anggaran 2001 tidak mengalokasikan dananya untuk upaya pemberdayaan perempuan. Anggaran ini sangat timpang. APBD dipatok sekitar Rp 32,48 milyar untuk anggaran pembangunan, sedangkan untuk belanja rutin birokrasi dianggarkan Rp 257,48 milyar.[30]

Dilevel Masyarakat Sipil

Koreksi atas fakta yang bersifat eksternal, didalam bawah sadar, yang merepresi individu dan menjadi bangunan pikiran masyarakat secara terus menerus dilakukan terutama semenjak periode tahun 1998. Organisasi-organisasi yang konsern terhadap masalah perempuan makin tumbuh dan berkembang. Pakem-pakem yang menyimpang dianalisis dan dicari akar masalahnya untuk suatu solusi yang realistis.

Di tahun 1998, sosok Karlina Leksono menjadi salah satu representasi dari bangkitnya sosok perempuan. Bangkitnya gerakan anti kerkerasan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran perempuan. Kaum perempuan mempertanyakan dan mengkoreksi kebijakan dan perilaku represif negara lewat aksi-aksi simpatik dan aksi damai mereka. “Suara Ibu Peduli” telah berhasil mempertontonkan dangkalnya kebijakan negara lewat aksi menggugat “harga susu” yang meningkat akibat program-program penyesuaian struktural IMF yang diterima pemerintah. Sosok-sosok perempuan seperti Nursyahbani Katjasungkana, Emmy Hafild, Wardah Hafidz, Ita F. Nadia, Gadis Arivia dan puluhan lainnya telah menjadi contoh positif bagi perempuan Indonesia. Gerakan-gerakan damai yang dipelopori kaun perempuan terus berlanjut. Para ibu mendatangi instansi-instansi militer untuk mempertanyakan keberadaan dan nasib anak-anaknya yang ditembak, diculik dan mendapat perlakuan represif.[31]

Koreksi oleh gerakan perempuan tidak sekedar ditujukan kepada hukum positif, tetapi juga ditujukan ke “hukum-hukum agama”. Satu koreksi yang signifikan termuat dalam kesimpulan Seminar Nasional Fiqhunnisa Pra-Muktamar Nadhlatul Ulama di Purwokerta, tanggal 16-17 Juli 1999, bahwa halangan terciptanya hubungan yang adil antara laki-laki dan perempuan salah satunya disebabkan penafsiran ayat Al-qur’an atau hadist yang membungkam prinsip keadilan gender.[32] Dalam kondisi ini, perempuan diposisikan lebih rendah dari kaum laki-laki.

Upaya lain, dilingkungan NU, pembentukkan dan penyelenggaraan Women Crisis Center (WCC) di pesantren-pesantren sebagai salah satu cara untuk mempercepat proses penghapusan kekerasan terhadap perempuan (PKTP). Melalui pesantren diharapkan bisa disebarkan pemikiran kritis demi nilai kemanusiaan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan.[33]

Terbentuknya Kelompok Kerja Gerakan Perempuan untuk Buruh Migran (Pokja GPBM) merupakan wujud dari kerjasama yang baik antar lembaga-lembaga dilevel masyarakat sipil yang konsern dengan perempuan. GPBM adalah kumpulan organisasi dan individu yang peduli terhadap kekerasan dan penindasan yang dialami oleh buruh migran perempuan. Sampai saat ini, organisasi-organisasi yang terlibat mencakup Solidaritas Perempuan, Komnas Perempuan, Muslimat NU, Fatayat NU, Koalisi Perempuan Indonesia, Kalyanamitra, LBH APIK, Jaringan Mitra Perempuan, SBSI.

Diskusi dan pertemuan-pertemuan secara regular kerap dilakukan organisasi-organisasi perempuan.[34] Hal ini menunjukkan ruang debat publik untuk membicarakan problem perempuan telah diupayakan seluas-luasnya. Pertanyaannya, apakah sudah cukup tersedia energi politik dilevel masyarakat sipil untuk mewujudkan rekomendasi-rekomendasi yang telah dihasilkan dari ruang ini. Organisasi perempuan juga kerap dan secara rutin menghadiri pertemuan-pertemuan ditingkat internasional.[35]

Dilevel Pasar

Agaknya dilevel pengusaha dan pemilik modal dapat dilihat realitas bebal dan rakusnya manusia. Ditangga pertama, banyak iklan yang dibuat begitu rupa untuk menarik konsumen walau melecehkan kaum perempuan, membodohi /membohongi konsumen.[36] Ditangga kedua, buruh perempuan dilanggar hak-haknya dalam proses produksi.[37] Kerentanan perempuan tidak saja terjadi saat buruh perempuan bekerja di pabrik, melainkan juga, ditangga ketiga, saat mereka hendak pulang ke rumahnya saat mereka berjalan, menunggu dan didalam angkutan umum. Perusahaan sangat jarang menyediakan jaminan keamanan terhadap para buruh perempuan. Hampir mustahil jika pemilik modal per hari kerja menyediakan fasilitas antar jemput buruhnya yang harus pulang pada malam hari, terutama bagi mereka yang bekerja di mal dengan akhir jam kerja pukul 21.00 – 22.00. Pada malam hari, bea transportasi yang bisa menjadi dua kali lipat tentu saja sangat membebani.

Selain pengusaha lokal, dinegara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, eksploitasi yang dilakukan TNCs/MNCs merupakan masalah rumit. Ditengah promosi penghargaan HAM yang dilakukan perusahaan-perusahan raksasa seperti Reebok, Nike, relokasi pabrik telah berhasil memindahkan konflik buruh di negara maju ke negara berkembang. Lagi-lagi peran negara dibutuhkan dalam problem seperti ini untuk tidak melulu melihat devisa dengan mengabaikan warga negaranya.


E. Agenda Saat ini dan Kedepan

Rehabilitasi Korban

Sejak awal Juni 2000, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta membentuk Pusat Krisis Terpadu (PKT) khusus untuk perempuan dan anak-anak korban kekerasan.[38] PKT agaknya merupakan perwujudan dari diskursus perlunya dibentuk pelayanan “one stop crisis center” yang bergema keras paska tragedi perkosaan massal di bulan Mei 1998. Di PKT itu tersedia tenaga dokter, perawat, dan pekerja sosial yang bekerja selama 24 jam. Di bidang nonmedis, korban yang datang ke PKT bisa mendapatkan layanan psikologi, kepolisian, pendampingan, advokasi, dan rumah aman (shelter). Lembaga seperti ini sudah terbentuk sebelumnya dinegara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, dan Sri Lanka. Kerja konkret seperti ini sangat dibutuhkan perempuan korban.

Membangun jaringan sosial para korban

Sharing pengalaman antar korban dengan melibatkan publik secara luas bertujuan untuk membangun jaringan sosial para korban untuk mendorong negara melakukan perbaikan-perbaikan. Jika jaringan sosial terbentuk dan kuat, selangkah maju untuk menggugat kembali komite-komite, badan-badan yang pernah dibentuk, seperti TGPF untuk Kasus Mei 1998, pengungkapan misteri kasus Marsinah – buruh industri arloji PT Catur Putra, Sidoarjo. Menagih janji merupakan tugas penting dari jaringan korban seperti ini.

Kampanye serta pendidikan politik perempuan massal dan massif

Babak Pencerahan dibuka paska mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Sosialisasi Ide dan Kampanye secara massal dan sistematik mesti dilakukan. Peluncuran buku-buku yang sifatnya panduan dan laporan tentang hak-hak perempuan sangat baik sebagai upaya penyediaan bahan dan telaah kritis.[39] Selain menerbitkan buku-buku dari hasil terjemahan[40], tuntutan hasil karya riset yang baik berbasis data dan realitas kehidupan di Indonesia dari para aktivis yang konsern dengan problem perempuan semakin meningkat.[41] Tema-tema seperti perempuan dalam otonomi daerah merupakan salah satu tema yang perlu digali, terutama berkaitan dengan nasib perempuan buruh, tani dan perempuan nelayan.

Tulisan-tulisan seputar sosok perempuan pemimpin dan intelektual penting juga didesiminasikan. Sejarah kaya akan sumber seperti ini.[42] Dengan belajar dari mereka, harapannya calon-calon pemimpin-perempuan dapat melakukan perannya dengan baik.

Kampanye yang dilakukan lewat publikasi media cetak seperti jurnal, bulletin dan media elektronik yang telah dilakukan sangat membantu.[43] Tak kalah pentinya kampanye yang dilakukan dengan menggunakan momen-momen regular antara lain: Hari Perempuan, Hari Perempuan Internasional, Hari Buruh Perempuan; Hari Buruh Migran; Hari AIDS Sedunia.
Pelurusan sejarah

Mesin peredaman ingatan kritis seperti manipulasi sejarah mutlak mesti dilawan. Memang tidak mudah, terlebih kebohongan-kebohongan atas ingatan masa lampau telah terlanjur “dipercaya” sebagai kebenaran. Pemutarbalikkan fakta seputar Gerwani, tidaklah mudah diluruskan. Dalam pigura besar, masih banyak sejarah gerakan perempuan dan sosok-sosok perempuan yang ditenggelamkan demi kepentingan dan kekuasaan laki-laki.

Merebut Jabatan Strategis

Gerakan perempuan yang mencoba mempertanyakan komposisi dan jumlah perempuan yang duduk di jabatan-jabatan strategis di institusi-institusi negara tidak dapat dilihat sekadar sebagai politik quota. Melainkan juga upaya yang sistematik memasukkan aspirasi perempuan secara langsung dalam proses penyusunan dan pelaksanaan kebijakan yang berdimensi publik. Tidak saja di lembaga negara, percepatan juga mesti dilakukan pada level lembaga-lembaga masyarakat sipil.

Kualitas dan kuantitas perempuan Indonesia adalah kekuatan besar. Dari segi kualitas, dilevel organisasi masyarakat, periode 1950-an, NU pernah memiliki perempuan yang duduk di lembaga Syuriah. Sedangkan dilevel institusi negara, perempuan dapat menunjukkan kiprahnya. Tinggal lagi, komposisinya harus dapat menentukan dalam pengambilan keputusan. Dari segi kuantitas, potensi ini bisa dilihat dari jumlah pemilih perempuan di Pemilu 1999 mencapai 51%, lebih banyak dari pemilih laki-laki. Namun demikian, dengan sistem Pemilu yang sekarang, faktanya hanya 45 perempuan atau 8,9% saja yang duduk di Parlemen.[44] Dampaknya, apa yang dikeluhkan banyak aktivis perempuan, pembahasan kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang berkait langsung dengan isu perempuan seperti UU Buruh Migran hingga dua periode Parlemen tidak selesai. Oleh karenanya uji upaya ini nantinya dapat dinilai dengan apakah kebijakan negara akan berperspektif gender jika representasi perempuan di Parlemen telah berimbang.


F. Catatan Penutup

Pertama, dalam kasus perselisihan pandangan antara Menteri Pemberdayaan Perempuan Menaker Bomer Pasaribu misalnya, kembali publik melihat pihak mana yang memenangkan pertarungan. Pokja GPBM sendiri melakukan kampanye untuk menekan pemerintah agar mau menghentikan untuk sementara waktu pengiriman TKW ke Arab Saudi. Belajar dari pengalaman, memang sebaiknya, tujuan negara untuk pengiriman buruh perempuan mesti diperhatikan. Negara Arab Saudi, merupakan negara yang memang menjanjikan dalam segi pendapatan. Namun kekekerasan yang menimpa buruh migran perempuan dinegeri ini sangat tinggi.

Data yang dikumpulkan Solidaritas Perempuan, menunjukkan jumlah tenaga kerja wanita pembatu rumah tangga (TKW-PRT) yang mengalami kekerasan di Arab Saudi selama dua tahun terakhir meningkat 100%. Jika pada 1998 terdapat 227 kasus, maka pada 1999 terdapat 484 kasus. Data tersebut sejalan dengan data KBRI di Arab Saudi yang mencatat pemerkosaan terhadap TKW PRT. Pada 1995 terdapat 59 kasus, pada 1996 terdapat 363 kasus, pada 1997 terdapat 506 kasus.

Kedua, selain butuh individu-individu cerdas, faktor biaya pun bisa menjadi “masalah” tersendiri. Pusat Krisis seperti PKT RSCM hanya dapat dibentuk dikota-kota besar lainnya hanya jika mendapat dukungan dana, yang tentunya tidak sedikit. Ruang PKT di RSCM sendiri sangat kecil dan agak tersembunyi, terletak di lantai 2 gedung IGD RSCM. Malah petugas di RSCM umumnya tidak mengetahui adanya PKT. Jika pun ada dana, contoh APBD Pemda DIY adalah momok bagi kita semua.

Ketiga, Dukungan internasional juga merupakan elemen penting dalam upaya pemberdayaan perempuan: NGOs, Negara, dan PBB. Pemanfaatan mekanisme internasional memang telah dilakukan oleh para aktivis perempuan. Advokasi paling tidak difokuskan pada Komisi Status Wanita dan Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi dibawah CEDAW.[45] Laporan PBB mungkin memang tidak dapat memuaskan semua pihak. Satu hal yang bisa ditangkap tujuan untuk mendorong peran negara sangat kental dalam laporan yang disusun lembaga HAM di PBB. Begitu juga dalam kasus laporan Pelapor Khusus, Radhika Radikha Coomarasamy, tidak semua bahasa yang keras membawa efek yang menguntungkan. Komunikasi dan jaringan dilevel international diperlukan dimana telah beberapa kasus menunjukkan perilaku negara berubah setelah terjadi penetrasi dunia internasional. Masalah yang terjadi disini merupakan bagian masalah didunia.

Dibagian bumi mana pun, kemerdekaan yang telah dienyam sebagian perempuan belumlah berarti karena masih banyak perempuan yang masih menjadi obyek kekerasan. Sedangkan, kaum laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan sama sekali tidak mengambil keuntungan apa pun karena ia dilahirkan kedunia mempunyai ibu, anak, keluarga yang laten/dapat menderita perlakuan kekerasan yang sama dalam kehidupannya.RPP

* Kepala Divisi Riset, Publikasi dan Pendidikan LBH Jakarta


Catatan Belakang:

[1] Sebagai ilustrasi lihat Table “Wajah Perempuan Indonesia” dalam tulisan ini.

[2] Kekerasan terhadap perempuan dimasa perang dan konflik terjadi dibanyak negara. Susan Brownmiller mendeskripsikan perilaku pemerkosaan perempuan Cina oleh tentara Jepang pada PD II di Nanking. Perkosaan dipakai sebagai alat teror saat tentara Jerman memasuki Belgia pada PD I; Perkosaan menjadi alat balas dendam saat tentara Rusia memasuki Berlin (PD II); Perkosaan terjadi saat Pakistan menyerbu Bangladesh. Perkosaan terjadi di Perang Vietnam, konflik Bosnia, Peru, Kashmir, Rwanda, Afrika Selatan, Mozambik, Chad, Irlandia, Argentina, Chile. Lihat: Kompas, Swara, No 47 Tahun I, 21 Oktober 1999; Nur Iman Subono, “Perempuan, Perang dan Perkosaan”, dalam Jurnal Perempuan No. 15

[3] Kompas, 14 November 2000

[4] Data ini dimuat karena patut diduga dibeberapa kasus pelaku berasal dari kalangan militer dan warga sipil Indonesia. Lihat: Kompas, 16 November 2000

[5] Salah satu buku yang mengulasi masalah ini, A. Budi Hartono dan Dadang Juliantoro, Derita Paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu pada masa Pendudukan Jepang 1942-1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1997.

[6] Lihat pendapat Umi Hilmi, Bali Post, 13 Desember 2000

[7] Kompas Online, 28 Juni 2000

[8] Kompas, 24 Desember 1999
[9] Bali Post, 13 Desember 2000

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Detik Com, 4 Agustus 2000

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Kompas Online, 28 Juni 2000

[16] Suara Pembaruan, 31 Agustus 2000

[17] Sawitri Supardi “Perkosaan dan Respons Perempuan-Korban”, Kompas, Swara, No. 51 Tahun I, 4 November 1999

[18] Kompas, Swara, No. 65 Tahun-I, 30 Desember 1999

[19] Kompas Online, Op.cit.

[20] Organisasi Dharma Wanita ditandai dengan struktur yang militeristik dibawah satu komando. Mekanisme kontrol dilakukan lewat pelembagaan sistem jenjang secara paralel dengan jabatan sang suami. Disatu pihak, jenjang karier sang suami dikontrol lewat penilaian atas perilaku sang isteri, sehingga dominasi suami juga berjalan seiring dengan penetrasi terhadap sang istri. Bukti sub-ordinasi sang isteri sangat jelas dengan tidak adanya hak suara untuk bebas memilih partai politik, dengan pengistilahan “Keluarga Besar” Korpri, “Keluarga Besar” Militer. Dari sudut stuktur kelembagaan, Dharma Wanita mirip dengan organisasi Fujinkai di masa pendudukan Jepang. Dari sudut visi dan misi Dharma Wanita (Panca Dharma Wanita) dapat disejajarkan dengan lembaga bentukkan negara totaliatarian dan otoritarian seperti: di Jerman pada zaman Hilter (NAZI) berkuasa: Kinder (anak), Kuche (dapur), dan Kirche (Gereja). Lembaga-lembaga represif seperti ini juga dibentuk di negara-negara Amerika Latin yang diperintah rezim militer.

[21] Kompas, Swara, No. 47 Tahun I, 21 Oktober 1999

[22] Sejarah tentang cerita “Pesta Harum Bunga”, dan peran perempuan diperiode 1965 banyak dipakai sebagai alat propaganda Orde Baru merepresi gerakan perempuan. Asvi Warman Adam dan Stanley menyatakan banyak kebohongan yang menyangkut Gerwani. Lihat: Kompas, 11 November 1999.

[23] Pemakaian kata “wanita” – wani ditata (obyek) - sendiri merupakan politik bahasa yang bertujuan mereduksi peran dan posisi kaum “perempuan” – sang puan (subyek). Akar kata perempuan seringkali diambil dari kata “empu”.

[24] Pemerintah Jepang memberikan kompensasi sebesar 390 juta Yen. Dana disinyalir disalurkan ke Panti Werdha dibeberapa propinsi: Jatim, Sumut, Sumbar, Sumsel, Sulsel, Sultra, DKI, Jabar, Yogya dan Kaltim. Lewat Departemen Sosial, sejumlah 38 juta yen telah disalurkan ke Panti-panti Werdha pada masa anggaran 1997/1999. Ironisnya, dari hasil pengamatan Kaulan Perempuan, tidak satu pun Panti Werdha yang dimaksud menampung para mantan jugun-ianfu ini. Lihat: Kompas Online, 14 November 2000.

[25] Abdurrahman Wahid dikenal dekat di kalangan aktivis perempuan. Dibulan Januari 1999, Wahid sebelum diangkat menjadi Presiden RI pernah menyelenggarakan kegiatan “open house” di kediamannya di Warung Sila. Sementara istrinya, Sinta Nuriyah seringkali terlibat dalam aksi demonstrasi, diskusi dan kegiatan solidaritas menentang kekerasan terhadap perempuan.

[26] Kompas, 14 Desember 1999

[27] Republika, 9 November 2000

[28] Selain Khofifah di Parlemen, Marwah Daud mempromosikan terbentuknya Indonesia Parlementarian on Gender, Population and Development – forum kerjasama antar partai ini telah banyak dilakukan dinegara lain.

[29] Kompas, 17 Desember 1999.

[30] Kompas, 20 April 2001

[31] Gerakan damai yang dilakukan kaum perempuan menghenyakkan dunia. Kaum perempuan di Argentina dan Chile merupakan dua contoh legendaris. Para Ibu dari Plaza de Mayo tidak secara rutin melakukan kegiatan mengenang anak-anak mereka yang hilang sekaligus meminta pertanggungjawaban negara. Dampaknya gerakan kaum ibu yang dipimpin perempuan kelas pekerja, Ny. Bonafini, merevolusi peta politik dan sistem pemerintahan di Argentina. Begitu pun apa yang dilakukan kaum ibu semasa pemerintahan rezim militer dibawah Jenderal Pinochet di Chile.

[32] Kompas, 18 Juli 2000

[33] Menteri Pemberdayaan Perempuan sempat mengungkapkan upaya mewujudkan WCC secara nasional - seperti yang diusulkan Komnas HAM Perempuan – lewat koordinasi dengan Departemen Kesehatan, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Kapolri dan Departemen Agama. Kompas 18 Desember 1999.

[34] Divisi Perempuan dan Anak LBH Jakarta, contohnya, setiap minggu menerima 3 – 5 undangan kegiatan yang bertema perempuan.

[35] Dilevel internasional, telah 2 dekade pemberdayaan dan upaya pemajuan hak-hak perempuan berjalan. Dekade pertama, termasuk periode Declaration of the Decade for Women (1975-1985), pengadopsian Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, four world conferences on Women, pengadopsian secara konsensus terhadap Nairobi Forward Looking Strategies (1985) dan Beijing Declaration and Platform for Action. Konferensi dunia lainnya, Vienna Conference on Human Rights dan Conference on Population and Development. Mengenai hal ini lihat: Shanti Dairiam, “Developing Integrated Framework for Women’s Advancement of Women”, training materials of IWRAW Asia Pacific.

[36] DR. Thamrin Amal Thomagola, MA mengajukan tesis tentang 5 pencitraan perempuan yang diekploitasi untuk kepentingan iklan, yakni: (1) citra peraduan; (2) pigura; (3) pilar rumah tangga; (4) pergaulan; dan (5) citra pinggan. Menurutnya juga, jika dihitung-hitung produk yang dipakai dari ujung rambut hingga ujung kaki sebanya 75 macam. Iklan ekpoitatif yang dibuat bukan saja untuk konsumen laki-laki melainkan juga kaum perempuan, sebagai pangsa pasar yang begitu besar jumlahnya.

[37] Program PBB untuk Pembangunan (UNDP) dalam laporan Pembangunan Manusia (HDR) tahun 1995 memuat upah buruh perempuan lebih rendah 30-50% dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang sama.

[38] Kerjasama antara RSCM, Komnas Perempuan, UNIFEM, dan UNFPA. Kalangan profesi yang berkaitan dengan kesehatan seperti ikatan dokter dan kebidanan sudah menyatakan mendukung penuh, juga LSM perempuan. Terhitung dalam kurun tiga bulan sejak diselenggarakan PKT telah menangani 70 korban kekerasan, di antaranya anak-anak dan remaja korban perkosaan. Beberapa di antaranya sempat dirawat di IGD dan berobat jalan.

[39] Seperti "Pengintegrasian Hak Asasi Perempuan dan Perspektif Gender" - diterbitkan YLBHI; buku "HAM dalam Praktek: Panduan Melawan Perdagangan Anak dan Perempuan" yang disusun oleh Global Alliance Against Traffic in Women (GAATW) dengan kontribusi tulisan sejumlah LSM di kawasan Asia Tenggara, terbit atas kerja sama Solidaritas Perempuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Terre des Hommes Netherlands.

[40] Buku-buku terjemahan seperti hasil karya Saskia Eleonora Wieringga yang diterbitkan Kalyanamitra sangat membantu peningkatan pemahaman tentang problem perempuan di Indonesia.

[41] Diskursus di masyarakat dan dilevel negara dapat dibagun dari hasil penelitian yang baik. Ester Boserup, adalah contoh besar. Tulisannya Women’s Role in Economic Development di tahun 1970 menjadi gelombang wacana yang menyebabkan kelahiran konsep pengintegrasian kepentingan perempuan dalam pembangunan di setiap negara. Laporan Ester untuk PBB isinya mengkoreksi asumsi laki-laki sebagai kepala keluarga yang produktif dan berpredikat agen pembangunan. Studinya di beberapa negara di Afrika menghasilkan sebuah deskripsi fakta bahwa perempuan memainkan peranan sangat penting dalam bidang pembangunan khususnya pertanian.Perkembangannya, saat ini indikator angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan, disamping pendidikan, sanitasi, air bersih, kesehatan menjadi indikator penting bagi keberhasilan pembangunan.

[42] Sejarah peradaban telah melahirkan sosok perempuan sebagai pemimpin. Sosok pemimpin di Kerajaan Samudra Pasai: Sultanah Ratu Nur Ilah; Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675). Sultanah Nuruh Alam, Sultanah Inayat Syah dan Sultanah Kamalat Syah. Selama 60 tahun Aceh dipimpin seorang perempuan. Majapahit berkembang tatkala dipimpin Ratu Tibuana Tunggadewi. Ratu Sinuhun (Sriwijaya) menyusun aturan Simbur Cahaya yang berisikan prinsip keadilan gender. Di bagian bumi lainnya, sejarah modern negara-bangsa telah melahirkan tokoh-tokoh pemimpin Golda Meir (Israel, 1969-1974), Sirimavo Bandaranaike (Srilanka, 1960-1965, 1970-1977), Indira Ghandi (India, 1966-1977), Corazon Aquino (Filipina, 1986-1992), Violeta Barrios de Chamoro (Nikaragua, 1990-1996), Benazir Bhuto (Pakistan, 1988-1990, 1993-1996), Begum Khalida Zia dan Sheik Hasina Wajed (Bangladesh), Gloria Macapagal Arroyo (Filipina, Sekarang). Sosok perempuan muslim sebagai intelektual dapat dilihat seperti dalam tulisan Ruth Roded, Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata para penulis Biografi Muslim, Mizan, Bandung, 1995

[43] Kampanye yang dilakukan Yayasan Jurnal Perempuan lewat publikasi jurnal dan program radio merupakan upaya yang sangat baik dalam menyuarakan keadilan gender.

[44] Pada tahun 1995, didunia, rata-rata perempuan yang duduk dilembaga legislatif 10%, kemudian tahun berikutnya naik 13,4%. Dinegara-negara Eropa telah mencapai 30%. Kompas, 24 April 2001

[45] Beberapa konvensi telah diratifikasi Indonesia: The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD) lewat UU No. 29 tahun 1999; The Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment od Punishment (CAT) lewat UU No. 5 tahun 1998; The Convention on the Rights of the Child (CRC) lewat Keppres No. 36 tahun 1990. Dari konvensi-konvensi ini yang telah diratifikasi tidak satu pun prosedur komunikasi yang diakui dan diterima Pemerintah Indonesia.
Load Counter