Wednesday, August 11, 2010

Hak atas Tanah: Hak Masyarakat untuk Sejahtera dan Bahagia

“Kepentingan masyarakat dan kepentingan perorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya” (Pasal 2 ayat 3).
(Dikutip dari: Memori Penjelasan atas Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria)

Pertanian merupakan sektor dengan kontribusi PDRB tertinggi di Maluku Utara dan menjadi basis mata pencaharian masyarakat terutama di perdesaan.
(Dikutip dari Master Plan Pembangunan Pertanian Maluku Utara 2010 – 2014. Teks di http://malut.litbang.deptan.go.id)



Apakah ada hak masyarakat (termasuk masyarakat adat atas tanah) dalam sistem hukum Nasional? Jawabnya ada. Apakah di lindungi, dihormati dan dipenuhi? Soal lain!

Jika disimak dari UU Pokok Agraria (UU 5/1960) yang merupakan satu-satunya peraturan perundang-undangan yang tersisa, yang didebatkan dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini, pemuatan kata masyarakat dalam konteks bumi, air dan ruang angkasa, merujuk pada sejumlah gagasan kemerdekaan Republik, yaitu:

- Membangun masyarakat yang adil dan makmur (Konsideran);

- Mencapai sebesar-besarnya kemakmuran-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum yang merdeka berdaulat, adil dan makmur (Ps. 2 ayat (3));

Masalah utama terkait hak atas tanah, saat ini tidak lain tidak bukan adalah soal ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Tanah menjadi komoditas, diperjualbelikan. Karena komoditas, maka siapa yang mempunyai modal atau uang, ia dapat memiliki dan menguasai tanah. Apa yang disebut dengan tanah ulayat atau tanah adat, tidak luput dan tidak terhindar dari transaksi jual-beli ini.

Ada yang tidak adil, ada yang timpang dan ada yang tidak imbang dalam kehidupan sehari-hari. Ukuran yang paling mudah adalah, luas lahan yang dimiliki rumah tangga untuk pertanian dan perkebunan, dibandingkan dengan luas yang dimiliki perusahaan. Ketimpangan ini mengakibatkan munculnya petani tak bertanah, buruh, tani atau mencari kerja menjadi buruh di kota.


*****

Orde Lama, terlepas dari banyak kelemahannya, telah menerbitkan peraturan hukum yang membuka jalan untuk pelaksanaan landreform, antara lain:
- Perpu 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian;
- UU 2/1960 tentang Bagi Hasil;
- PP 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah;
- PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian.

Kesemua pasal dan ayat yang melindungi hak masyarakat tetap ada. Namun dalam praktik kebanyakan tidak berdaya. Sebagai contoh, sejak 1967, diterbitkan UU Pokok Kehutanan, dan selanjutnya PP Penguasaan Hutan, yang memunculkan dan melahirkan pemegang konsesi Hak Penguasaan Hutan (HPH) lewat alas Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan besar. Hak masyarakat hukum adat sejak itu, seakan tidak berdaya karena cara-cara perolehan tanah dan penguasaan tanah menurut hukum adat dianggap tidak pernah ada.

Contoh lain, sejak diterbitkannya PP 40/1996 yang mengatur Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, telah menyimpang dari UUPA dengan memuat HGU yang berasal dari tanah negara diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun (Ps. 8). Dalam UUPA, HGU diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun, kecuali bagi perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama. Dalam UU 25/2007 tentang Penanaman Modal bahkan HGU dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbarui selama 35 tahun. Hal ini berlaku juga untuk Hak Guna Bangunan selama 80 tahun (50 tahun; 30 tahun) dan Hak Pakai selama 70 tahun (45 tahun; dan dapat diperbarui selama 25 tahun). Patra M Zen, dkk sebagai kuasa pemohon, tidak lama setelah UU Penanaman Modal disetujui bersama oleh Pemerintah dan DPR, mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (Perkara 22/PUU-V/2007). Dalam putusan yang dibacakan pada 25 Maret 2007, MK membatalkan anak kalimat ’di muka sekaligus’ dan ’sekaligus dimuka” dalam Pasal 22 UU Penananam Modal.


*****

Hukum dan perundang-undangan adalah salah satu alat peradaban yang paling efektif untuk mencapai keadilan. Tetapi ditangan pembuat kebijakan yang mengabaikan keadilan, hukum dan perundang-undangan juga menjadi alat kekuasaan yang paling cepat dan ampuh mencabut hak-hak masyarakat dan melahirkan pelanggaran hak asasi manusia.

Norma dan standar hak asasi manusia telah memberikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip hubungan dua pihak yaitu pemegang hak yaitu warga negara dan masyarakat disatu sisi, dan pemegang kewajiban yaitu Negara. Negara, dalam hal ini, memastikan seluruh manfaat dan klaim pemegang hak terpenuhi. Standar hak asasi manusia mesti dijamin dalam hukum sehingga menjadi hak hukum pemegang hak. Kewajiban menghormati, seringkali dipersamakan dengan kewajiban negatif, dimana negara diwajibkan untuk tidak melakukan intervensi. Sebaliknya kewajiban positif, memberikan mandat kepada negara untuk tidak abstain dari tindakan tertentu.

Secara singkat, dalam disiplin hukum hak asasi manusia, dikenal 3 tipe atau level kewajiban negara - yang dalam perkembangannya mulai diperluas menjadi kewajiban yang mengikat juga bagi entitas non-negara. Kewajiban yang dimaksud, yaitu:

1. Menghormati: dilarang melakukan apa pun untuk mencegah akses secara langsung maupun tidak langsung

2. Melindungi: mencegah siapa pun yang dapat membatasi akses; mencegah pihak ketiga melakukan intervensi negatif; mencegah perlakuan diskriminatif; memberikan perlindungan kepada kelompok marjinal: anak-anak, perempuan, difabel, usia lanjut; mencegah praktik tradisional yang dinilai membatasi dan melanggar

3. Memenuhi (memfasilitasi dan menyediakan): proaktif menggunakan akses, sumber daya dan alat; mengadopsi legislatif, administratif, anggaran, yudisial, promosi dan upaya yang diperlukan untuk realisasi hak secara penuh; penerbitan kebijakan dan rencana yang detail untuk pemenuhan hak; melaksanakan riset dan menyediakan akses informasi.

Wujud esensialnya pemenuhan hak, berupa, antara lain: ketersediaan (availability) - pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur; adanya akses (accessibility); akseptibilitas (acceptability) bentuk dan substansi; kesesuaian (adaptability), termasuk kesesuaian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan kualitas (quality) pemenuhan hak.

Sebelum Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights) di adopsi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 16 Desember 1966, UUPA sudah memuat ketentuan ”Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial” (Ps. 6) yang menjamin hak kolektif masyarakat atas tanah. Fungsi sosial mempunyai makna:

”...hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara”.
(Dikutip dari Memori Penjelasa atas RUUPA)

Pertanyaannya kemudian, apakah masyarakat Maluku Utara sudah sejahtera dan bahagia?

Karenanya, saya lebih cenderung mengunakan istilah advokasi kesejahteraan dan kebahagiaan untuk mencegah konflik-kekerasan di Maluku Utara.

Selamat berdiskusi.

Ternate, 2 Agustus 2010

* Komite Pengarah Jaringan Advokat Pembela Kepentingan Publik (Pil-Net)
** Pengantar Diskusi pada Seminar dan Lokakarya, “Advokasi Isu Agraria yang Potensial Menciptakan Konflik di Maluku Utara”, Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Ternate bekerjasama dengan Serasi-Usaid. Ternate, 1 – 3 Agustus 2010.
Read More..

Tuesday, November 04, 2008

Privatisasi Emas Biru: Standard Setting, Kasus Dan Kemungkinan Terburuk

I. PROLOG

Para pemain sepak bola mencuri waktu untuk minum saat pertandingan dihentikan sesaat oleh wasit pemimpin pertandingan, agaknya ada dua orang pemain terkapar dilapangan rumput. Haus! Beruntung tersedia, kemasan botol – tentu saja dengan kualifikasi air sehat dan bersih. Kita tak akan membicarakan panjang lebar soal pertandingan sepak bola. Tapi soal air, yang tidak hanya dibutuhkan pemain bola karena kelelahan menyerang dan mempertahankan gawangnya. Air yang dibutuhkan seluruh penduduk dunia, milyaran jiwa!(1)

Air, mengutip Professor Budi Widianarko dari Universitas Katolik (Unika) Soegipranata, Semarang, sesuatu yang menurut pengetahuan berasal dari hujan kosmik yang telah berlangsung empat milyar tahun.(2) Sangat jauh sebelum diketemukannya ilmu ekonomi. Perkembangannya, ilmu ekonomi telah menghantarkan korporasi berkehendak menguasai hasil hujan kosmik ini lewat jalur privatisasi.

Minimal, kita membutuhkan 50 liter air setiap hari: untuk minum, masak, mencuci, sanitasi. Tak muncul masalah jika jumlah air – sehat dan bersih – berbanding seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Realitasnya, pertumbuhan penduduk berbanding dengan kelangkaan air. Kelangkaan air meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun. Kondisi ini menghasilkan satu dari lima jiwa yang hidup didunia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Sumber air yang dikuras – dampak dari proyek-proyek raksasa semacam pembangkit tenaga listrik dan pertambangan – termasuk penghancuran hutan, dan pencemaran sumber air – polusi, limbah dan pestisida, turut mempercepat proses kelangkaan air. Akibat terbatasnya jumlah air, terjadi perang untuk memperebutkannya, terjadi ketimpangan penggunaan, serta terjadi represi oleh yang Kuat atas yang Lemah.

Tulisan ini tidak akan membahas secara detail mengenai ketimpangan penggunaan air penduduk dunia – seperti seorang warga di Amerika Serikat (AS) yang rata- rata menggunakan 250-300 liter air setiap hari, sementara dibelahan dunia lain, seperti Somalia, setiap hanya (mampu) bertumpu pada 9 liter air per hari,(3) tetapi lebih ditujukan untuk memberikan gambaran tentang perang. Sebuah pertempuran yang melibatkan miliaran jiwa penduduk dunia. Sebuah perang antara rakyat, Negara dan pelaku non-negara (PNN). Lebih lanjut tulisan ini akan mengeksaminasi problem privatisasi sektor keairan – dilevel internasional dan domestik, untuk kemudian diberikan perkembangan standar setting hak asasi manusia (HAM) yang menyangkut masalah ini, dengan ditutup sebuah rekomendasi perlunya dibentuk sebuah Komisi Nasional Sumber Daya Air (Komnas SADAR).


II. AIR, MASALAH MENGALIR SAMPAI JAUH

A. Krisis Air

A.1. Ancaman Global

Di kota-kota besar, pasokan air bersih berkurang sekitar 40 persen oleh berbagai sebab.(4) Setidaknya ada 3 sumber kelangkaan sumber-sumber daya alam yang paling berharga yakni peningkatan populasi, polusi dan perubahan cuaca.(5) Dari Koichiro Matsura, Direktur Jenderal Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (UNESCO) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), kita diberi peringatan, "(d)ari semua krisis sosial maupun alam yang kita alami krisis air adalah yang paling utama untuk kelangsungan kehidupan kita dan planet bumi ini."(6)

Diprediksi, ditahun 2025, penduduk akan menderita kekurangan air yang parah, mencapai sekitar 2,7 milyar orang atau sekitar sepertiga populasi dunia.(7) Selanjutnya, dalam sebuah Laporan UNESCO(8) dinyatakan, diperkirakan pada tahun 2050, populasi penduduk dunia meningkat hingga 2 milyar jiwa, atau tidak kurang dari 9,3 milyar jiwa, dengan pesebaran di 48 negara. Diprediksikan, lebih dari 7 milyar di 60 Negara – utamanya di Negara-negara Berkembang – akan menderita kekurangan dan krisis air bersih.

Bahaya polusi terhadap sumber-sumber air menjadi sumber terburuk rusaknya ketersediaan air bersih secara berkesinambungan. Per hari, 2 ton limbah mencemari sungai, danau dan sumber-sumber lain. Tidak kurang dari 12 km2 sumber air dunia yang tercemar. Jika tak dihalangi, akan terjadi peningkatan sumber air yang tercemar, mencapai 18 ribu km2 ditahun 2050 atau sama dengan sembilan kali lipat jumlah air yang dapat dipakai untuk irigasi tanaman pangan saat ini. Dari aspek, perubahan cuaca, peningkatan suhu planet bumi (global warming) – akibat prilaku (kejahatan) manusia, turut berkontribusi pada sumber-sumber air. Situasi ini menyebabkan, pola curah hujan berubah dan mutu air menurun akibat perubahan temperatur – dan juga polusi.

Dibenua Afrika, menurut laporan PBB,(9) lebih dari 300 juta orang menghidupi situasi kekurangan air dan tidak punya akses atas air bersih. Sekitar 385 juta lainnya kekurangan akses pada sanitasi. PBB juga mencatat, sedikitnya 17 negara di Afrika merupakan negara yang langka air bersih. Air bersih dengan mutu terbaik, masih hanya dapat dinikmati oleh penduduk Finlandia.(10)

Tak ayal, krisis global ini telah menjadi perhatian komunitas internasional. Bersyukur, aktivis HAM, lingkungan hidup, dan “anti-globalisasi” baik dari Negara Berkembang maupun Negara Maju bahu membahu mendorong perubahan ke arah yang lebih baik. Secara parallel, Organisasi PBB sendiri, mencanangkan kebutuhan penyediaan dana sekitar sekitar US$ 12,6 milyar per tahun(11) untuk mengurangi separuh jumlah penduduk dunia yang tidak punya akses atas air bersih dan sistem sanitasi dasar, hingga tahun 2015 – seperti dicanangkan dalam Development Millenium Goals (MDGs).(12)

Sebagai tambahan, World Water Council (WWC), misalnya mengupayakan penyediaan dana sebesar 180 milyar dollar AS untuk penghematan air, sanitasi, pertanian, dan pembangunan pembangkit listrik tenaga air, serta mengelola cadangan air – untuk jangka waktu 3 tahun. Ditahun 2003, WCC menyediakan anggaran sebesar US$ 80 milyar.(13) Sementara, khusus untuk kawasan Asia dan Pasifik, pemerintah Australia berjanji menyediakan anggaran US$ 80 juta, untuk aktivitas keairan.(14)

A.2. Krisis Air di Indonesia

Data reflektif dari keprihatinan dunia, bisa dilihat di Sumatra hingga Papua Barat.(15) Untuk pulau Jawa – pulau dengan populasi terpadat di Indonesia, krisis air sempat dikemukakan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim.(16) Nabiel menyatakan, defisit air di pulau ini meningkat dari 4 bulan per tahun menjadi sekitar 6 bulan. Menurutnya, selain perkara kuantitas, kualitas air pun buruk. Pendapat Nabiel, peningkatan defisit air ini salah satunya diakibatkan dengan penebangan hutan di Pulau Jawa.

Di Jawa Barat (Jabar), faktor manajemen keairan juga berdampak pada krisis air. Apun Affandi, Kepala Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jabar menjelaskan, eksploitasi air tidak terkontrol dan banyak terjadi pengalihan fungsi lahan yang digunakan untuk daerah tangkapan air, menjadi dua faktor penyumbang krisis air di wilayah ini. Contoh juga diberikan Apun tentang kondisi ekologi daerah aliran Sungai Citarum yang jauh merosot dibanding awal tahun 1990. Kurun waktu, 12 tahun, akibat penyusutan luas areal hutan – dari dari 21,4 persen menjadi 14,2 persen – dan penurunan jumlah luas lahan pertanian – dari 56 persen menjadi 27,5 persen – serta pengalihan fungsi daerah resapan air: situ dan bukit menjadi vila dan perumahan mewah “orang berduit”, krisis air pun menjadi fenomena dan kenyataan tak terhindari.(17)

Krisis air diakibatkan oleh pencemaran, antara lain terungkap dalam kasus yang terjadi di Dusun Karanganyar, Kecamatan (Kec.) Banyumanik, Jawa Tengah (Jateng). Penduduk tak dapat menikmati air bersih – diduga akibat limbah PT Mega Safe Tyre Industri, sebuah pabrik ban. Sumur-sumur penduduk tercemar minyak solar dari pabrik yang bertempat di Jalan Perintis Kemerdekaan Semarang.(18) Sekitar 100 keluarga di Dusun ini berdomisili tepat dibelakang tembok pabrik. Harapan warga sederhana, pabrik diminta untuk memulihkan air diwilayahnya dan menghentikan pencemaran lingkungan.

Di wilayah ibukota Negara dan sekitarnya tak berbeda. Situasi krisis air ditunjukkan dengan situasi dimana sungai-sungai yang melintasi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Bogor, Tanggerang dan Bekasi (Jabotabek) mengering. Sungai yang masih berair, menyempit, dangkal dan tercemar limbah.(19) Sepuluh tahun lalu, diwilayah ini, air tanah bisa dinikmati warga, dengan hanya menggali sedalam 7 – 12 m.(20) Tidak sekarang, dibanyak tempat, penduduk yang memanfaatkan air tanah, paling tidak mesti menggali 20 – 55 m. Problemnya air tanah tidak hanya dimanfaatkan rumah tangga, tapi juga industri, sekarang saja mencapai 9 juta per kubik per detik – dengan perkiraan 10 tahun mendatang akan mencapai tidak kurang dari 33 juta per kubik per detik.(21)

Tentu saja, pemanfaatan air tanah bukan tanpa aturan. Regulasi Pemerintah DKI Jakarta mengatur penggunaan air tanah hanya diperbolehkan hingga kedalaman 12m untuk keperluan rumah tangga dan maksimal 100m untuk keperluan industri. Pelanggaran ketentuan ini, “seperti biasa” dilakukan. Sejumlah industri, menyedot air dan mengebor hingga kedalaman 200 m.(22) Data Kementerian Lingkungan Hidup mengungkapkan, 2 tahun belakang, krisis air sudah mendera 11 kecamatan – dari 43 kecamatan. di Jakarta. Sebanyak 17 kecamatan mengalami kerawanan air.(23) Sebelum tahun 2000, sumur-sumur di Jakarta mencapai 3.117 buah dengan kapasitas pengambilan air tanah mencapai 16.4 juta per kubik per tahun. Angka ini meningkat menjadi 3224 sumur dengan kapasitas 17,5 juta meter per kubik per tahun.(24)

B. Air: Perang, krisis dan artinya bagi kelompok marjinal dan tak teruntungkan

B.1. Air: Perang, Krisis dan Nasib Petani

Konflik perebutan sumber-sumber air serta kemarau panjang dan kekeringan memiliki makna dan dampak langsung bagi jutaan penduduk di Indonesia. Kondisi parah dan menyedihkan dialami petani secara rutin.

Perang air tidak mustahil terjadi – dengan segala konsekwensinya. Konflik penduduk dengan perusahaan sudah banyak terjadi. Satu contoh terjadi di Kabupaten (Kab.) Banyumas. Sejumlah petani di Desa Kawungcaran, Tambagsora dan Karanggintung mengeluh karena kesulitan irigasi.(25) Penduduk menyatakan sumber-sumber air yang sejak lama dipergunakan untuk irigasi, seperti di Kawungcarang sekarang dikuasai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Banyumas – mata air diwilayah ini sudah dimanfaatkan penduduk sejak tahun 1928 sewaktu masih pemerintahan Kolonial Belanda. Ratusan kolam ikan dan puluhan hektar tanaman pangan kekuarangan air. Petani merugi. Sebelumnya petani 1 kali masa tanam, bisa memanen 6 – 8 kwintal gabah. Tidak sekarang, petani hanya bisa memanen 2 kwintal gabah. Begitu pun petani pengelola kolam ikan – yang mesti gulung tikar karena tak mendapat air. Pihak PDAM sendiri, seperti pernyataan Priyambodo, Direktur Teknik PDAM, menyangkal perusahaannya sebagai sumber kekurangan air di tiga desa ini. Priyambodo menyatakan kekurangan air disebabkan faktor alam.
Tahun lalu (2002), kekeringan yang mendera salah satu kawasan krisis air, Kidul, DIY menyebabkan penduduk yang sebagian keluarga petani harus mengeluarkan Rp 60.000 – Rp 80.000 untuk satu tangki air ukuran 8.000 liter.(26) Untuk keluarga dengan anggota lebih dari 5 orang, 1 tangki ini hanya cukup untuk kebutuhan 1 minggu. Harga yang tinggi ini tentunya memberatkan penduduk. Salah seorang warga Desa Karang Asem, mengaku harus menjual 2 ekor kambing, ternaknya dan dua batan kayu jati untuk membeli air, makanan dan kebutuhan ternak yang dimilikinya. Kondisi ini bukan tanpa sepengetahuan Pemerintah Daerah setempat. Bambang Ismadi, Kepala Desa Karang Asem mengamini kondisi yang dialami warga. Ungkapnya, warga di desanya mulai menjual ternak dan kayu jati untuk menjual air. Dan kondisi ini terjadi setiap tahun. Krisis air menyebabkan ternak kurang pakan, lading petani tidak dapat ditanami rumput gajah dan jagung. Jika membeli petani mesti mengeluarkan Rp 200 per batang dari pedangan. Tentu saja sangat memberatkan. Satu ekor sapi bisa menghabiskan ratusan batang sekali makan. Akibatnya ternak menjadi kurus. Harga jual pun turun.

Periode 2002, wilayah Jawa Timur (Jatim), menurut Ir Mohammad Maksum MSc, Kepala Dinas Pertanian propinsi ini, potensi kehilangan padi mencapai 25.000 ton atau sekitar Rp 30 milyar dari lahan seluas 5.000 ha yang ditanami.(27)

Ditahun yang sama, di Jateng, tercatat, sebanyak 7 dari 16 Kec.: Banjarejo, Kunduran, Ngawen, Kradenan, Todanan, Kedungtuban, dan Blora, mengalami kesulitan dan krisis air yang parah – 130 dari 295 desa di Kab. Blora. Selain kesulitan air minum, kekeringan menyebabkan petani gagal panen. Catatan Sri Sutarni, Kepala Dinas Pertanian (Dipertan) Kab. Sukoharjo, bulan Januari 2002 lalu, total sawah puso akibat kekeringan di Kab. Sukoharjo 386 hektar: Kec. Nguter (339 hektar), Kec. Bulu (13 hektar), dan Kec. Weru (34 hektar). Di Sukohardjo, Sragen dan Blora tidak kurang 1.124 hektar tanaman padi puso akibat kekeringan.(28)

Di Jabar, Akibat kekeringan ini, ratusan hektar sawah di Desa Cibarusah tak dapat ditanami. Para petani, pada akhirnya banyak yang bekerja sebagai kuli serabutan. Sedangkan mereka yang punya keahlian lain dan masih berusia muda, memilih berangkat mengadu nasib ke ibukota Jakarta.(29)

B.2. Perempuan dan anak-anak: Perlu kebijakan affirmatif

Anak-anak menderita berbagai penyakit akibat kekurangan air bersih – penyakit infeksi ditularkan sebagian besar terjadi akibat penggunaan air yang tidak bersih. Karena peran tradisional perempuan di sektor reproduksi, ia dan anak-anaknya adalah pihak yang paling menderita akibat tidak memiliki akses atas air bersih.

Di Kab. Grobogan, Jateng akibat kekeringan, selama periode Januari – Juni 2002, sejumlah 3.716 jiwa menderita diare. Dari jumlah ini, 60 persen adalah anak-anak. Puskesmas Kedungjati – yang letaknya terpencil dan menjadi satu-satunya harapan penduduk,(30) dalam sepekan melayani 173 pasien penyakit diare. Sarmidjo, seorang staf di Kec. Kedungdjati, memberikan informasi, penderita diare diwilayahnya meningkat antara lain akibat dropping air ke desa ini tersendat.(31) Wabah diare terjadi juga ditahun 2001, utamanya di Kec. Panawangan, saat itu, sehari terdapat kasus 70 penduduk terserang diare. Penyebabnya, menurut sebuah penelitian, karena keracunan makanan dan kesulitan air bersih. Menurut keterangan dr Singgih Pudjirahardjo, Kepala Dinas Kesehatan dan Sosial (DKS) Kab. Grobogan, penduduk di daerah kekeringan – seperti Grobogan, juga rentan menderita penyakit demam berdarah dengue (DBD). Di periode Januari – Juni 2002, pihaknya mencatat 2 orang warga meninggal dunia akibat penyakit ini.

Data lain. Saat membuka Sesi Keempat Kelompok Kerja Hak Atas Pembangunan, Komisioner Tinggi PBB untuk HAM menyatakan, 2/3 penduduk dunia yang buta huruf adalah perempuan.(32) Setiap 1 dari 48 perempuan di Negara Ketiga meninggal dunia pada saat melahirkan. Sejumlah 11 juta anak-anak meninggal dunia tiap tahun sebelum mencapai usia 5 tahun, umumnya akibat menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Bagaimana dengan akses terhadap air? Di Forum lainnya, Forum Kyoto (Third World Water Forum – TWWF), Sergio Viera de Mello, menyatakan akses setiap penduduk atas air tak bisa dikompromikan.(33) Catatannya, 1 juta penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap air yang aman, dan lebih dari 2 juta penduduk tidak mempunyai akses atas sanitasi yang memadai serta lebih dari 3 juta penduduk meninggal dunia akibat penyakit yang berkaitan dengan ketidakadaan air sehat dan bersih.(34)

Ketimbang laki-laki, kaum perempuan, terdepan menjadi korban akibat tidak memiliki akses terhadap air bersih. Situasi ini disebabkan adanya pembagian kerja tradisional. Kaum perempuan dibebani tanggungjawab dan aktivitas domestik, seperti mengambil dan membawa air, mencuci pakaian, memasak dan memandikan anak. Situasi ini memang telah memperburuk kondisi perempuan yang memang sangat buruk, seperti di ungkap, Kunio Waki, Wakil Eksekutif Direktur Dana PBB untuk Kependudukan (UNFPA). Waki menyatakan, dewasa ini tercatat, setiap menit 380 perempuan hamil – separuh dari jumlah itu tidak menginginkan kehamilannya; setiap menit sekitar 110 perempuan mengalami kehamilan dengan penderitaan komplikasi dan penyakit; setiap menit setiap perempuan melakukan aborsi; serta setiap menit, 11 perempuan terinfeksi HIV.(35)

Penelitian yang dilakukan oleh International Development Research Center (IDRC)(36) mengungkap fakta, di beberapa wilayah di Afrika Barat, perempuan menggunakan 27 persen kalorinya untuk mencari air bersih. Terungkap, 6 – 8 jam waktu yang digunakan perempuan untuk aktivitas mencari dan mengambil air. Kondisi serupa dialami oleh 2/3 dari seluruh rumah tangga di Afrika Selatan (Afsel), yang mesti mencari air jauh dari rumah, tempat tinggal mereka. Kondisi semacam ini boleh jadi tak jau berbeda di Indonesia – perlu penelitian berdasarkan data dampak krisis air.(37)

Akses atas air bersih yang tidak dimiliki penduduk di Afrika Sub-Sahara menyebabkan tingginya angka kematian bayi. Ditahun 2000, terdokumentasi, angka kematian bayi mencapai 172 per 1.000 kelahiran hidup.(38) Data lain, mengungkapkan, lebih dari 50 juta anak perempuan usia sekolah diplanet ini tak bersekolah karena harus mengambil air dan mencari kayu.(39)


III. PRIVATISASI: SIAPA MENGAIL UNTUNG DIAIR BERSIH

A. Sepak terjang Korporasi Raksasa dan Lembaga Keuangan Internasional dibidang Keairan

Menarik memang, nilai strategis dan arti penting air bagi hajat hidup manusia pun diakui oleh para petinggi pelaku Non-Negara (PNN).(40) Faktanya, Bukan rahasia lagi, perusahaan raksasa, atau lebih dikenal dengan perusahaan trans/multi nasional (TNCs/MNCs) yang berkantor pusat di kapital-kapital negara maju, telah menentukan nasib milyaran umat manusia yang hidup diplanet bumi. Di negara Azerbaijan hingga Zaire, perusahaan-perusahaan ini mengeruk provit, sekaligus membawa masalah kemanusiaan. Pun, perilaku lembaga-lembaga keuangan internasional (IFIs) semacam Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

PNN tersebut dengan kompak bergandengan merintis dan menata jalan privatisasi. Cara efektif telah dibangun, lewat menjadikan privatisasi sebagai keharusan setiap Negara, sebagai prasyarat (kondisionilitas) diberikannya hutang oleh IFIs. Selanjutnya, ketentuan-ketentuan perdagangan internasional – yang mesti dipatuhi – bagi setiap Negara Penghutang antara lain melaksanakan deregulasi dan privatisasi sektor keairan.

Miris memang, aksi PNN tersebut, paralel dengan dukungan pemerintah-pemerintah Negara Maju. Sebut saja, hasil pertemuan para Menteri di Doha, Qatar, dengan terang, Uni-Eropa (European Union) dan Negara maju lainnya mengusulkan untuk memasukkan air sebagai satu jasa lingkungan di bawah GATS (General Agreement on Trade in Services).(41) Disepakati, adanya pengurangan hambatan tarif dan non-tarif untuk jasa dan produk lingkungan untuk Negara-negara Ketiga, dengan syarat membuka jasa layanan sektor keairan. Lewat kesepakatan ini, tidak kurang 109 negara diminta untuk memprivatisasi jasa layanan suplay air.

Aksi PNN – dan pemerintahan Negara Maju – juga dilakukan dengan cara mengintervensi dan meloby lembar per lembar dokumen dan hasil penelitan lembaga-lembaga di PBB. Alur evaluasi, kritik seringkali “dihempas” dengan pemuatan rekomendasi yang kontroversial: apalagi, kalau bukan mendorong privatisasi air disektor keairan – seperti terungkap dalam sebuah laporan UNESCO yang dirilis di Paris, Prancis baru-baru ini.(42)

Rintisan PNN – plus pemerintah Negara Maju – yang dimulai setidaknya 10 tahun lalu – bahkan jauh dari itu – agaknya mulai berbuah. Hal ini bisa dilihat dari kemiripan – kalau tak hendak disebut seragam – dari pasal-pasal dalam Undang-undang (UU) dan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Sumber Daya Air (SADAR) di semua Negara Berkembang. Sebagai catatan, di Indonesia, Bank Dunia mengeluarkan kebijakan Water Resources Sector Adjusment Loan (WATSAL), sebuah program dana yang mencapai US$ 300 juta untuk membiayai reformasi total disektor keairan global.(43)

Dari Business Watch Indonesia (BWI), publik makfum, peranan WTO amat signifikan dalam proses privatisasi di Indonesia. Menurut studi dari lembaga ini, rangkaian privatisasi, buah kompensasi untuk WTO karena telah memberikan paket hutang sejumlah US$46 miliar. Selanjutnya, BWI menyatakan, telah berjalan “gerakan” sistematis untuk proses privatisasi pelayanan dasar masyarakat: listrik, kesehatan, juga air bersih.(44)

Dilevel global, tangan-tangan PNN terus menjulur. Tahun lalu, World Sumit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afsel telah berhasil dijadikan forum untuk melegitimasi privatisasi air oleh PNN ini. Ironis memang, forum “Pertemuan Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan” telah “kecolongan” mengagendakan “Pertemuan Dunia untuk Privatisasi Berkelanjutan”.

Privatisasi air mengkhawatirkan dapat dilihat dari banyak kaca mata. Kemiskinan, salah satunya. Satu dari tiga orang di dunia ini sekarang hidup dengan pendapatan kurang dari dua dollar AS per hari. Dari jumlah ini, sekitar 800 juta orang di antaranya tidur dalam keadaan lapar setiap malamnya. Setengah dari mereka berada dalam tingkat kemiskinan yang buruk dan hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 1 per hari.(45) Privatisasi bagi penduduk miskin, bermakna mengalokasikan lagi pendapatan yang sudah sedikit untuk kebutuhan yang paling fundamental.

B. Privatisasi di Indonesia

Di Indonesia, paling tidak, sejak tahun 1998, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebenarnya sudah tercium menjadi salah satu agenda pemerintah. Sebut saja, dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 103/1998 tentang Tim Evaluasi Privatisasi BUMN lalu setahun kemudian, keluar Keppres No. 126/1999 tentang Tim Kebijakan Reformasi BUMN – kedua Keppres ini kemudian dicabut dan diganti pada 21 Februari 2001 dengan Keppres No. 24/2001 tentang Tim Konsultasi Privatisasi BUMN, yang kala itu ditandatangani Presiden Aburrahman Wahid.

Dalam Kepres No. 24/2001 tersebut, tim konsultasi – yang diketuai Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian(46) – ini menjalankan dua fungsi utama: Pertama, memberikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan mengenai: (a) BUMN yang akan diprivatisasi; (b) Perkiraan dana yang dapat diperoleh sebagai hasil privatisasi. Kedua, membahas dan memberikan jalan keluar atas permasalahan yang timbul dalam proses privatisasi BUMN sehubungan dengan kebijakan sektoral Pemerintah. Keppres Tim Ahli disusun dengan mengingat pasal 4 ayat (1) dan Pasal 33 - Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua UUD 1945. Selanjutnya, Dalam konsiderans menimbang, Keppres No. 24/2001 tersebut dinyatakan:

“Program privatisasi Badan Usaha Milik Negara merupakan kebijakan Pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja Badan Usaha Milik Negara yang meliputi perbaikan struktur permodalan, perubahan budaya perusahaan dan penciptaan nilai tambah perusahaan dengan berdasarkan pada prinsip good corporate governance yang didasarkan kepada transparansi, kemandirian dan akuntabilitas”(47)

Perkembangan selanjutnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tidak banyak berperan. Privatisasi BUMN langsung dieksekusi oleh Menteri Negara BUMN. Buah pikiran sederhana, kalau pemerintah, yang nyata-nyata mempunyai obligasi untuk melindungi dan memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) masyarakat tidak menjalankan fungsinya, apalagi sektor privat dengan modus kalau bisa 110 persen untung.(48)

Penilaian tersebut mungkin akan berlebihan, jika saja tidak terdapat contoh konkret. Prakteknya, problem korporasi yang hanya mementingkan profit, jauh meninggalkan kepentingan pelayanan publik ditangkap Hameda Deedat. Peneliti dari International Labour Resource and Information Group ini memberikan contoh gamblang. Pengamatannya, menunjukkan, swastanisasi air bersih di Propinsi KwaZulu Natal di Afsel secara fatal telah menegasikan hak rakyat atas air: "Pemasokan air dihentikan ketika orang miskin tidak bisa membayar biaya langganan air.”(49)

Fundamen problem privatisasi di Indonesia sekarang: prosesnya bukan atas dasar kepentingan bangsa, melainkan desakan IFIs – neo-liberalisme dengan agenda pokok seperti liberalisasi ekonomi termasuk agenda privatisasi – konon jauh berbeda dari pengalaman Rumania dan negara tetangga, jiran Malaysia.(50) Alih-alih selalu bertujuan untuk menambal-sulam defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah tutup mata dan sumbat telinga, jalan terus melakukan privatisasi.

Apa benar ada desakan IFIs? Bisa disimak dari secarik kliping koran. Ditahun 2002, IMF sempat (lagi) menjewer kuping pemerintah. Di bulan September, Daniel Citrin, Ketua Tim Kaji Ulang (Review) dan Kepala Perwakilan IMF untuk Asia dan Pasifik, meminta Pemerintah Indonesia untuk terus melanjutkan program-program pemulihan ekonomi yang diresepkan IMF, termasuk memprivatisasi BUMN sesuai dengan jadwal yang ada.(51) Jika terjadi penundaan privatisasi, menurutnya, menjadi sinyal yang buruk bagi investasi di Indonesia. Kala itu, Menteri Negara BUMN, Laksama Sukardi langsung menanggapi dengan pernyataan pemberian jaminan proses privatisasi BUMN akan terus dilaksanakan!(52)

Privatisasi BUMN – akhirnya – mewarnai perjalanan “pembangunan ekonomi” di Negeri ini. Berturut-turut, seperti: privatisasi PT Semen Gresik, BCA, Bank Niaga dan PT Indosat TBK. Kasus yang terakhir, telah menarik pergumulan seantero negeri. Proses divestasi saham Indosat sejumlah 41,94% kepada Singapore Technologies Telemedia (STT) mengundang sejumlah pertanyaan. Kemunduran akal pemerintah boleh jadi telah terjadi. Dari aspek ekonomi, penjualan saham ini tidak menguntungkan – terlalu murah, dan tidak sebanding dengan deviden yang secara regular diterima pemerintah dari perusahaan ini. Dari aspek yang tak kalah strategis, tak lagi bangsa ini memiliki otoritas atas satelit luar angkasa, dengan konsekwensi rahasia dan informasi strategis yang berkaitan dengan sumber daya alam dan keamanan Negara tak bisa lagi “dimonopoli” Negara. Sebuah ironi, dimana keamanan di Negeri ini, dipercaya bisa diatasi hanya oleh serdadu-serdadu memegang senjata, tanpa didukung teknologi. Dari aspek legal, kontroversi pun merebak. Ketetapan (TAP) MPR No.VI/MPR/2002, mengamanatkan penyusunan UU tentang privatisasi. Belum lagi UU ditetapkan, Indosat pun telah “dijual”. Belakangan, tidak kurang 170 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersekutu – mengexercise hak angket – untuk membatalkan divestasi BUMN ini.

Periode APBN tahun 2002, pemerintah menargetkan penerimaan dari privatisasi BUMN sebesar Rp 4,4 triliun – meningkat dari Rp 3,95 triliun diperiode sebelumnya. Hingga bulan Juni 2002, pemerintah hanya mendapat pemasukkan Rp 966 milyar ke Kas Negara, termasuk hasil divestasi saham PT Indosat.(53)

B.1. Sedikit tentang RUU BUMN

Ditahun 2002, target pemerintah dengan lantang memekik, memperoleh 6,5 trilyun pada tahun 2002, diantaranya dari aktivitas privatisasi.(54) Bak supir angkot (angkutan kota) yang mengejar “sewa”, lewat Kantor Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kebijakan mengejar £setoran” dilakukan. Periode 1 Semester 2002, pada awal tahun sudah rencana privatisasi 7 BUMN dikebut: PT Indosat Tbk, PT Wisma Nusantara Indonesia, PT Indo Farma Tbk, PT Kimia Farma, PT Angkasa Pura II, PT Indocement, dan PT Tambang Batubara Bukit Asam - merupakan kelanjutan (carry over) dari BUMN yang akan diprivatisasi tahun sebelumnya.(55) Perkembangan tak baik, yang dirasa pemerintah, akibat tak ada peraturan perundang-undangan dalam proses privatisasi, mendorong pemerintah – dan juga parlemen – mengagendakan pembahasan dan penetapan UU BUMN yang memuat aturan privatisasi.

Pembahasan RUU tentang BUMN yang memuat perihal privatisasi – walaupun memang diperlukan dan agak terlambat – mengundang nyana menimbulkan debat sekaligus kekhawatiran mendalam. Pasalnya, privatisasi dalam RUU mencerminkan agenda liberalisasi ekonomi di semua sektor, mencakup pelayanan publik. Tentu saja, akan memarjinalkan kepentingan rakyat banyak. Sayang memang, RUU yang akan berdampak pada hajat hidup ini, hanya didiskusikan terbatas ditingkat elite. Konon, dapat dipastikan RUU ini akan rampung pertengahan Mei 2003.

Keberatan atas RUU ini, setidaknya berhilir dari problem alasan keberadaan dan ketentuan dalam UU. Panitia Khusus (Pansus) RUU BUMN Komisi V DPR tidak mengadopsi amanat pasal 33 konstitusi. Revrisond Baswir mencatat statemen Ketua dan Wakil Ketua Pansus yang teramat melukai perasaan kita.(56) Wakil Ketua Pansus Penyusunan RUU BUMN, Azwir Dainy Tara, dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar) menyatakan penyusunan RUU ini memang dimaksudkan untuk melegitimasi privatisasi. Sementara, Ketua Pansus, Irmadi Lubis dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), secara tegas menyatakan bahwa penyusunan RUU BUMN ini memang tidak dimaksudkan untuk menjabarkan pasal 33 UUD 1945, melainkan untuk "menyiasati" pasal tersebut. Tak jelas apa yang dimaksud Irmadi, makna kata “menyiasati”. Tapi yang jelas, dua anggota parlemen ini tidak dikenal publik memiliki track record pembela rakyat, karenanya ungkapan-ungkapan tersebut, sebenarnya tidak membuat kita heran.

B.2. RUU tentang Sumber Daya Air (SADAR): melegalkan privatisasi

RUU tentang Sumber Daya Air (SADAR) sudah diserahkan pemerintah ke DPR. Rencana privatisasi dibidang keairan ini sudah semakin dekat. Sedekat hidung dengan mata.(57) Sama kasus dengan RUU tentang BUMN, RUU SADAR ini tak lari dari agenda liberalisasi ekonomi – sebuah pil yang “harus ditelan” sebagai konsekwensi adjusment loan dari Bank Dunia dan IMF.

Tak seperti komentar Ketua dan Wakil Ketua Pansus RUU BUMN, pernyataan Wakil Ketua DPR cukup melegakan. Muhaimin Iskandar sempat memberikan pandangannya, "Kalau perlu DPR akan mengabaikan RUU tersebut dan menundanya. Karena privatisasi selama ini ternyata tidak ada manfaatnya. Masyarakat tetap kesulitan mengakses air bersih".(58) Masih menurut Muhaimin,(59) privatisasi itu merugikan bangsa Indonesia dengan terjadinya pencaplokan aset-aset negara oleh pihak asing. Lanjutnya, air adalah satu-satunya sumber daya yang bisa langsung dinikmati rakyat. Kalau itu diprivatisasi, artinya rakyat terusir dari Buminya sendiri. Dalam sebuah diskusi - "Dampak Privatisasi Air Terhadap Hak Publik Atas Air Bersih, Sehat, dan Murah" – di Jakarta, Muhaimin, dari Partai Kebangkitan Bangsa ini sempat berjanji, akan melakukan lobi lintas fraksi untuk menghambat pembahasan RUU SADAR.(60)

Tantangannya – untuk kita, mengutip Muhaimin, "DPR tidak memiliki data cukup berkaitan dengan RUU yang dibahas, sehingga selalu kalah ketika berdebat dengan pemerintah mengenai substansinya".(61) Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KOAR), sebuah koalisi yang dimotori beberapa Organisasi Non-Pemerintah (NGOs) – yang belum lama ini terbentuk – akan jadi sangat berharga pendapatnya, jika parlemen mau bekerja sebahu.

Lobi lintas fraksi, seperti ujar Muhaimin memang diperlukan. Simak saja, dalam RUU SADAR – dalam pasal 7 – pasal 9, terdapat kategorisasi hak penggunaan air: hak guna pakai dan hak guna usaha. Dalam klasifikasi ini, pertanian sawah termasuk kedalam hak guna pakai air, sedangkan untuk usaha pertanian diluar sawah, perkebunan, tambak dan perikanan dikategorikan hak usaha air. Dengan ketentuan ini, ibu dan bapak petani harus mengurus dan mengeluarkan biaya administrasi perubahan hak guna air dari sawah ke perkebunan, tambak – atau lainnya. Ujung-ujungnya, tentu saja membebani petani.

Bahaya lain, privatisasi dimuat jelas dalam RUU tersebut pasal 46 ayat (3) dalam RUU SADAR menyatakan, pengusahaan sumber daya air dapat dilaksanakan oleh badan usaha, perorangan atau kerja sama antara badan usaha dengan izin dari pemerintah, pemerintah provinsi atau pun pemerintah Kab./kota sesuai kewenangannya. Sebelumnya, memang sudah terjadi privatisasi air seperti di Jakarta. Namun, pada waktunya nanti, benar-benar terjadi lomba privatisasi atas dasar UU ini.

B.3. Dibalik kisah privatisasi yang sudah dan tengah berjalan

Investigasi jurnalistik yang dilakukan oleh the Center for Public Integrity (CPI) atas privatisasi air di Jakarta menghasilkan penemuan “yang tidak baru”. Privatisasi air, secara pasti mulai berjalan diawal tahun 90-an, tepatnya sejak 1991, bersamaan dengan perjanjian kesepakatan antara Bank Dunia dengan pemerintah. Ketika itu, Bank Dunia menyetujui pemberian hutang ke pemerintah untuk tujuan meningkatkan infrastruktur PDAM Jaya, dengan jumlah US$ 92 juta. Konsekwensi dari hutang ini, pemerintah diwajibkan untuk membuka keran privatisasi dalam sektor keairan. CPI menemukan keterlibatan anak dan kroni mantan Presiden Soeharto, terlibat dalam proses privatisasi dan bisnis air ini.

Ada kisah menarik, dibalik pembelian saham PDAM Jaya oleh Thames dan Suez. Kiprah dua perusahaan ini tidak berawal dari proses penawaran, lelang terbuka, melainkan lewat penunjukkan langsung. Lagi-lagi KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dua perusahaan ini masuk akibat beraliansi dengan perusahaan domestik yang dekat dengan pusaran kekuasaan.(62)

Di Jateng, lain lagi. Menurut testimoni Wijanto Hadiputro, dari Unika Soegijapranata, kampusnya diminta untuk melakukan studi kelayakan dengan biaya Rp 100 juta, dengan syarat “Si Pemesan”, para peneliti mesti mengaku menerima Rp 200 juta. Studi kelayakan ini merupakan upaya penjajakan kerjasama PDAM Semarang dengan swasta asing. "…(i)ni jelas kami tolak. Kalau soal studi kelayakan saja sudah korupsi apalagi lainnya."(63) Dana Rp 200 juta ini kelak akan ditanggung penduduk Semarang jika kooporasi telah diberikan hak pengelolaan, tentunya dengan cara menangggung kenaikan tarif secara regular. Sebagai tambahan rencana (upaya) privatisasi juga berjalan di beberapa PDAM antara lain, di Manado, Pekanbaru, dan Bandung.


IV. MITOS EFESIENSI …

A. Perkara di dunia, bukan sekedar kasus!

Korina Horta, seorang pakar ekonomi-lingkungan memukakan, perusahaan minyak internasional, telah memberikan janji-janji dan harapan akan manisnya hasil pembangunan untuk penduduk lokal, namun prakteknya, operasi perusahaan semacam ini telah menggusur tanah dan harta kepunyaan (property resources) penduduk.

Dalam tulisannya, Horta mengemukakan contoh operasi proyek pipa dan minyak Chad-Kamerun (the Chad-Cameroon Oil and Pipeline Project).(64) Proyek ini, menurutnya, telah menyediakan contoh dan bukti yang tak terbantah, peningkatan marjinalisasi rakyat miskin dan masyarakat adat (indigenous people). Proyek ini telah mengambil alih lahan kepemilikan penduduk atas alas klaim lahan kosong dan tidak ada pemiliknya. Tidak dijumpai ganti kerugian atas lahan dan kompensasi atas tumbuh-tumbuhan yang telah menghidupi penduduk. Selain itu, problem lain yang muncul, penduduk disekitar proyek ini kekurangan air, akibat aktivitas pengeboran minyak meminta dan menggunakan air dengan jumlah besar. Dapat ditebak, sumur-sumur penduduk menjadi kering.

Contoh lain, di Kolumbia misalnya, korporasi mengeruk untung besar. Di negeri ini, semenjak masuknya PNN (swasta), seluruh sumber air wajib punya lisensi. Tidak terkecuali, sumur-sumur air tanah. Bahkan, petani diharuskan membeli lisensi air, sekedar untuk menampung air hujan mengairi tanah pertaniannya.(65)

B. Perkara domestik: Saat ini dan yang segera menyusul

B.1. Beruntai cerita PDAM Jaya

Apakah dengan privatisasi menjadi lebih baik: peningkatan efesiensi; pengikisan korupsi; peningkatan pelayanan dan distribusi hasil untuk rakyat? Jawabnya berpotensi ya, dan tidak. Mengutip Budi Widianarko, dalam sebuah sesi di TWWF, salah seorang eksekutif Suez, Alain Mathys, menyatakan pilihan privatisasi sama sekali tidak diperlukan, jika perusahan-perusahan Negara disektor publik mampu beroperasi efisien dan menyediakan air yang mencukupi – kualitas dan kuantitas – kepada konsumen.(66)

Setuju. Tak perlu pilihan privatisasi! Bukti kuat, bisa diambil dari pengalaman Negeri Paman Sam, sumber inspirasi dan produksi Neo-Liberalisme. Di AS, sarang pengagum dan pusat kapitalisme, investasi besar dalam proyek yang terkait air dan reformasi makro-oekonomi, tidak berhasil merangsang dan gagal mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.(67)

Tak usah susah, disini kita pun punya contoh. Pengalaman Perusahaan Air Minum (PDAM) Jakarta Raya bisa menjadi bahan evaluasi. BUMN ini bermitra dengan dua perusahan perusahaan raksasa tersebut. Orang Betawi bilang, “Nggak ngaruh!”. Malah, seperti dinyatakan Zainal Abidin, Ketua Serikat Pekerja PDAM Jaya,(68) sejak Thames dan Suez, terlibat dalam pengelolaan air di Jakarta, persoalan yang dihadapi PDAM Jaya menjadi semakin rumit: anggota Badan Pengelola dalam tubuh BUMN ini menjadi tidak independen.

Soal harga? Jangan ditanya, keterlibatan dua korporasi ini, menurut Abidin, telah menyebabkan, tarif meningkat dua kali lipat. Pendapatan PDAM Jaya sendiri, dari penjualan air minum masih belum dapat menutup "biaya air" (“water charge") yang ditetapkan Thames dan Suez – yang tentu saja penetapan biayanya tanpa ada proses konsultasi dengan masyarakat pengguna. Buktinya, sejak dilakukan privatisasi, tiap hari di masing-masing rayon, petugas menerima 20 sampai 30 keluhan pelanggan akibat air mati.

Tabel 1
Penyakit PDAM Jaya

Keluhan Warga

Jumlah

Pelanggan

Lokasi

Keterangan

Pasokan air mengecil dan sering terhenti.

200 (1500 jiwa)

Pademangan Barat dan Kampung Bahari, Tanjung Priok. Jakarta Utara

Terjadi kurun waktu lebih dari 6 bulan. Meskipun pasokan air macet, tagihan pemakaian jalan terus (lancar). Seorang warga mengungkapkan, rata-rata, warga diwajibkan membayar Rp 60.000 – Rp 75.000.

Aliran PDAM tidak lancar dan sering terhenti

Ciputat dan Meruya Ilir, dan sebagian Jakarta Utara

Tak ada tanggapan serius dari PDAM atas keluhan warga.

Pasokan air dari PDAM Jaya seringkali macet. Dibeberap rumah warga, air PDAM terhenti total.

Kelurahan Koja Selatan, Jakarta Utara

Warga terpaksa membeli dari pedagang air keliling dengan harga Rp 1000 per pikul (sekitar 10 liter). Rata-rata warga mengeluarkan Rp 5.000 (5 pikul) untuk keperluan memasak dan mandi pagi. Sore hari pada umumnya tidak mandi untuk menghemat air.

Pasokan air tidak lancar akan tetapi tagihan jalan terus.

Kelurahan Kampung Utan Kayu Utara Kec. Matraman Jakarta Timur

Meskipun air sering terhenti, pelanggan terus diwajibkan membayar tagihan, bahkan seringkali tagihan melonkak. Seperti pengalaman seorang pelanggan, dibulan Mei (2002), tagihannya masih dianggap wajar Rp 39.410, lalu tiba-tiba melejit menjadi Rp 78.410 di bulan Juni. Contoh lain, dialami warga lain, Ny. Sri. Setelah hanya diwajibkan membayar abonemen Rp 7.960 dibulan Juli, tagihannya melonjak: bulan-bulan berikut Rp 136.130 (Agustus) dan Rp 120.530 (Oktober),

Sumber: Diolah dari kompilasi data Divisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Yayasan LBH Indonesia

Tingkat kebocoran air yang menjadi tanggungjawab PDAM Jaya, amat memprihatinkan, mencapai angka rata-rata diatas 47 persen.(69) Kebocoran ini, meliputi kebocoran pipa, sambungan liar dan problem transparansi dan sistem administrasi pengelolaan air.(70)

B.2. Siapa menyusul?

Di Indonesia terdapat sekitar 292 PDAM. Ratusan perusahaan ini jika sampai waktunya – andai tanpa ada penolakan massal dan massif dari rakyat – akan dikelola pihak swasta, dikendalikan dari meja-meja gedung bertingkat dari ribuan mil di negara-negara Maju. Tidak berbeda dengan PDAM Jaya, tingkat kebocoran pengelolaan air mencapai rata-rata 20 persen.(71) Soal problem keluhan warga, tak jauh berbeda. Umumnya, air lancar mengalir dari PDAM hanya jika ada rencana kenaikan tarif. Sudah tarif dinaikkan, air macet kembali menjadi rutinitas.

Setelah kenaikan tarif PDAM Kota Semarang, sebesar 220 persen hingga 250 persen disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang, toh pelayanan PDAM tidak terjadi.(72) Simak ilustrasi dibawah ini – terjadi 2 bulan paska Pansus DPRD Kota Semarang menyetujui kenaikan tarif air PDAM:

“Selamat pagi, ada yang bisa dibantu Pak?" ujar Andar, penerima telepon nomor (024) 8315514 Sabtu (12/10) pagi. Jalur telepon itu disediakan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Semarang untuk menerima pengaduan pelanggan. Penelepon, Amiruddin, warga Perumahan Sambiroto, Kedung Mundu, segera mengungkapkan, sejak Rabu (9/10), tidak mendapat pasokan air PDAM.

Namun, Andar ternyata petugas Satuan Pengaman (SatPDAM) yang sedang jaga, dan meminta Amiruddin menelpon kembali pukul 08.00 setelah petugas tiba. Waktu Amirud-din menelepon, jam menunjukkan pukul 06.00. Tepat pukul 08.00, Amiruddin kembali menelepon dan diterima petugas bernama Nyoto. "Kami mau menagih janji, katanya air akan mengalir pukul 01.00 (Sabtu) tetapi sampai sekarang kok tidak mengalir," tanya Amiruddin.

Menanggapi keluhan Amiruddin, Nyoto menjelaskan, pasokan air macet karena debit air baku di Instalasi Pengolah Air (IPA) Pucang Gading merosot, normalnya 70 liter/detik, sekarang tinggal 40 liter/detik.

Mendapat jawaban seperti itu, Amiruddin bertanya mengapa aliran air di Perumahan Klipang berlimpah, padahal sama-sama mendapat pasokan dari IPA Pucang Gading. Dan, mengapa pasokan air PDAM tidak sampai ke Sambiroto yang berjarak tiga kilometer dari Klipang.

Nyoto meminta Amiruddin menunggu disambungkan ke petugas teknik. Dering telepon nada transfer terdengar beberapa detik kemudian putus. Saat Amiruddin menelepon lagi, terdengar nada sibuk dan tidak dapat masuk.”(73)

Tabel 2
Penyakit PDAM di Indonesia

Keluhan Warga

Jumlah Pelanggan

Lokasi

Keterangan

Seharusnya dimusim penghujan, air PDAM dapat lancar mengalir. Tapi tidak kenyataannya tidak. Aliran air, dilakukan bergilir antara 3 – 14 hari.

Kota Jayapura, Papua Barat

Kebocoran pipa PDAM

Pasokan air PDAM macet. Ketika warga mengeluh, tidak mendapat pelayanan yang baik oleh petugas PDAM.

15.000 pelanggan: 5.000 pelanggan di Semarang Timur; 5.000 di Kedung Mundu dan sekitarnya; serta 5.000 lainnya di Tanah Mas dan Semarang Utara.

Semarang Timur, Tanah Mas, dan Kedung Mundu (Tembalang), Jawa Tengah.

Tarif air minum PDAM Kota Semarang dinaikkan – sejak 1 Oktober 2002. Tidak ada perbaikan pelayanan yang dilakukan PDAM.

Pelayanan PDAM tidak lancar. Pasokan air macet dialami sebagian warga perumahan Bayumanik, di daerah Tanah Mas, Kedungmundu, Ngaliyan, dan di beberapa daerah sekitar.

111.663 pelanggan

Kota Semarang, Jawa Tengah.

Tak ada tanggapan serius dari PDAM atas keluhan warga.

Ratusan warga setiap hari terpaksa harus antri menunggu air bersih yang dipesan melalui Posko Penyediaan Air.

Lebih dari 115 pelanggan

Balikpapan, Kalimantan Timur.

Hampir sebulan air dari PDAM di kota ini tidak mengalir

Ratusan pelanggan air PDAM Tirta Kertarahardja mengeluhkan terhentinya pasokan air.

Kec. Batuceper, Kota Tangerang. Kab. Tanggerang. Banten.

PDAM Tirta Kertarahardja termasuk perusahaan yang seringkali lalai melayani masyarakat. Tercatat beberapa kasus: pipa jebol, mengakibatkan lalulintas macet sepanjang 2 km.

Pasokan air tidak lancar

Wilayah Reservoir Empat (R4), yakni: sekitar Kec. Bantarjati, Tanah Sareal, Pajajaran, dan sebagian Bantar Kemang. Kota Bogor, Jawa Barat

Jika ada posokan, aliran kecil, keruh dan berbau.

Warga mengeluh pasokan air terhenti.

30.000 pelanggan di Kota Bandar Lampung

Kota Bandar Lampung, yang terparah di daerah Way Riau, Lampung.

Halini Syahrie, Direktur Utama PDAM Way Riau, pernah mengakui agak terlambat menyikapi kesulitan konsumennya di kota ini. Sementara pelanggan mengeluh, tidak ada solusi apa pun yang ditawarkan PDAM untuk mengatasi keluhan kesulitan air dari warga.

Pasokan air terhenti.

2.500 keluarga.

Kompleks permukiman Perumnas Way Halim, Lampung

Tak ada tanggapan serius atas keluhan warga.

Sumber: Diolah dari kompilasi data Divisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Yayasan LBH Indonesia


Efesiensi bukan semestinya sebatas diujung bibir. Penentuan prioritas dan perhitungan yang baik mesti dilakukan. Pengabaian prinsip ini berakibat fatal. Ada satu contoh baik untuk soal ini. Pelayanan air ke pelanggan belum memuaskan, PDAM Surabaya malah “mengembangkan sayap”, mengoperasikan proyek air dalam kemasan. Fatal!. Akibat merugi, ujung-ujungnya proyek ini ditutup. Kerugian proyek air kemasan – yang diambil dari sumber air Umbulan, Pandaan Malang – ini diperkirakan sedikitnya Rp 2 juta per bulan.(74)


V. BUAH PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK

A. Privatisasi emas biru: besar rugi daripada untung

Apa aksi penolakan privatisasi air hanya berlangsung di Negara Ketiga? Tidak juga. Aksi menyebar disemua pelosok dunia. Aksi-aksi serupa juga berlangsung, dan dilakukan di Negara-negara Maju – sebuah bukti akurat, pelaku privat memang sama tabiatnya dimana-mana. Gerakan anti-privatisasi air pun terjadi di Negeri Ratu Elizabeth. John Kidd, Ketua Komite Air Nasional Inggris (UNISON), mengungkapkan, masyarakat Inggris termasuk yang pertama menentang privatisasi air, karena proses ini terbukti telah membuat tarif air merambat naik dan menjadi mahal.(75)

Bermula di Negara Maju, Eropa dan AS, privatisasi sektor pengelolaan air, kini memunculkan fakta, setelah satu dekade, tidak kurang 450 juta jiwa bergantung pada pasokan air dari perusahan swasta. Terdeteksi, partisipasi sektor swasta telah meningkat di bidang ini meningkat fantastic, dari US$ 297 juta dollar AS dikurun waktu 1984-1990 menjadi menjadi US$ 25 milyar selama periode 1990-1997. Pada tahun 1990-an, kurang lebih 140 perusahaan swasta di bidang pengadaan dan pengelolaan air bersih menentukan hidup kelompok masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah di berbagai negara.(76) Diperkirakan, ditahun 2015, jumlah penduduk yang bergantung pada korporasi-korporasi raksasa, akan mencapai 1,16 milyar jiwa. Celakanya, nasib umat manusia akan kebutuhan air kelak, dikontrol hanya oleh dua perusahaan saja, Vivendi dan Suez- Lyonnaise, dua buah korporasi multi-besar yang berpusat di Inggris dan Perancis. Saat ini saja, 2 perusahaan ini telah menguasai pengelolaan 70 persen air global.(77)

B. Reaksi atas aksi

Air, menurut istilah Sam Pablo dari Bolivia merupakan emas biru – menjadi rebutan antar penduduk, pemerintah dan korporasi. Si emas biru ini, secara langsung berhubungan dengan nafas seseorang. Pablo berujar, "Kalau mereka (koorporasi - pen) menguasai air kita, berarti kehidupan kita pun mereka kuasai".(78)

Di negerinya, Bechtel, perusahaan raksasa berpusat di AS mengelola sekaligus mengambil alih sektor keairan. Sejak Bechtel ada, Pablo menyatakan, telah terjadi peningkatan pengeluaran penduduk untuk air, kaum miskin mengeluarkan 35 persen dari penghasilannya untuk air, yang lebih miskin bahkan mengeluarkan 75 persen pendapatannya untuk air.(79) Tentu, kenaikan harga yang ditetapkan Bechtel sama dengan mencekik leher penduduk.

Penguasaan Bechtel, cerita lalu. Di Cochabamba, sebuah daerah di Negeri Pablo, penduduk mengambil alih pengelolaan air pihak swasta. Bechtel “terdepak”. Buntut dari kenaikan tarif yang amat tinggi, penduduk Cochabamba “menduduki” perusahaan ini. Dasar korporasi, yang tak mau sedikitpun rugi, saat ini pihak Bechtel menuntut pemerintah Bolivia membayar kerugian sejumlah US$ 25 juta akibat aksi penduduk. Adilkah?

Penuturan Oscar Olivera,(80) Koordinator NGO Air dan Kehidupan dari Bolivia, bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menilai “keadilan”. Menurut Olivera, harga air bersih di Bolivia naik sampai 300 persen ketika perusahaan multinasional dari California tersebut, mengambil alih pengelolaan air bersih. TNC sektor keairan di Negeri ini meraup tidak kurang US$14 milyar dollar AS atau berbanding dengan dua kali GDP Bolivia!


VI. EPILOG: PROTEKSI, PROTEKSI DAN PROTEKSI

A. Sosialisme a la Kampung Pulo dan Ideologi “Ridwanisme”

Pada saatnya nanti jika privatisasi keairan berjalan – lagi-lagi kalau dibiarkan, perusahaan mungkin akan mengharap kemarau panjang. Dengan demikian, dapat menjual dengan harga yang tinggi – untuk dibeli. Tak ada cerita, seperti sosialisme a la Kampung Pulo atau “ideology Ridwanisme”.

Alkisah, di desa Cibarusah dan Bojong, kekeringan mendera. Tanah retak, lahan persawahan tak dapat ditanami, jalan dan pepohonan yang masih ada berdebu. Karena kekeringan, penduduk di wilayah ini harus berjalan sejauh 5 km untuk mendapat sumber air di Kali Cipamingkis Desa Sinarjati dan Kali Cihoe di desa Ridogalih.(81) Sumber air ini hanya dapat digunakan untuk mandi dan mencuci. Sedangkan untuk air minum warga memanfaatkan satu-satunya sumber air di Kampung Pulo, Desa Sirnajati, Cibarusah, Kab. Bekasi, Jabar. Dikampung Pulo terdapat 7 sumur yang masih memancarkan air. Tidak kurang 7.680 penduduk memanfaatkan sumber-sumber air ini. Penduduk antre pagi, sore dan malam hari. Salah satu sumur yang dimanfaatkan penduduk, kepunyaan Pak Ridwan. Seorang warga menyatakan syukurnya. Ia bersyukur karena mereka yang sumurnya masih memancarkan air merelakan warga lain yang jumlahnya ribuan untuk mengambil air secara cuma-cuma.(82)

B. Serahkan Masalah pada Ahlinya

Saat musim penghujan, banjir. Dimusim kemarau, kekeringan air. Inilah situasi ulangan di Negeri kita. Jika saja air “banjir” ini bisa dimanfaatkan. Disini adagium “serahkan masalah pada ahlinya” terbukti benar. Di Negeri kita, tak kekurangan orang pandai dan ahli. Sebut saja Dr. Gatot Irianto.

Winarso Drajad Widodo, Ph.D, seorang pakar budi daya pertanian, menyatakan “(p)enghematan air, bukan saja berarti menggunakannya dalam jumlah sedikit, tetapi yang terpenting adalah memperlama ketersediaannya sepanjang tahun.”(83) Berkaitan dengan pernyataan ini, sekali lagi, pembukaan kuping dan telinga pemerintah sebenarnya diuji. Lagi, jika saja pemerintah mau sebahu, maka krisis keairan dapat dicarikan solusi. Dalam sebuah artikel, Winarso mengulas teknik yang digunakan Dr. Gatot Irianto, seorang peneliti Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.

Winarso menuturkan keberhasilan sebuah tim yang dipimpin Gatot di Kab. Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) - salah satu Kab. kering di Pulau Jawa. Tim ini mengupayakan penghambatan air hujan dari hulu ke hilir dan menyebarkan seluas-luasnya air ke tanah, dengan menggunakan teknik “Dam Parit”. Teknik ini berhasil menghambat derasnya aliran air sekaligus menjadi penampung air. Air dalam tampungan inilah yang diatur, digunakan dan dikelola dimusim kemarau dan kekeringan. Pendek kata, ini jurus “memanen air” (“rain harvesting”). Mau tahu kunci sukses keberhasilannya? Peran petani, sebagai pelaku langsung di lapangan.(84)

C. Obligasi Negara

Tercatat, setidaknya pemerintah Kab. Gresik dan Blora menunjukkan komitmen kerakyatannya.(85) Paling tidak seperti diungkap surat khabar, didua Kab. ini, pemerintah melakukan upaya mengatasi krisis air yang mendera masyarakat.

Penduduk tak dapat menolak untuk membeli air walaupun mengetahui, seharusnya cuma-cuma alias gratis. Ini terjadi. Bantuan air bersih Pemerintah Kab. Gresik, misalnya. Untuk mendapatkan air bantuan ini, penduduk dimintai uang pengganti Rp 200 per jerigen. Seorang warga menyatakan:
"(s)emua sumber air bersih di desa sudah kering dan tidak menghasilkan air lagi. Makanya, ketika warga diminta membayar, mereka tidak menolak. …kami tetap mempertanyakan mengapa program air bersih gratis tidak benar-benar diberikan secara cuma-cuma kepada warga."(86)

Basuki Widodo, Bupati Blora, menyatakan, pada periode APBD 2001, dianggarakan pembiayaan pengeboran 5 sumber air di Sendanghardjp, Ngampel dan Kedung Rejo. Dana mencapai Rp 1 milyar ini, sayangnya terbuang, kalau tak mau dibilang percuma. Pengalokasian dana berawal dari proposal dan pemaparan teknik dari pejabat Minyak dan Gas Pertaminan Daerah Operasi Hulu (DOH) Cepu, yang menyatakan diwilayah tersebut terdapat kandungan air denga debit yang besar. Selanjutnya pemerintah Blora menyerahkan dana ini ke lembaga Migas. Belakangan, air debit hasil pengeboran, sangat kecil. Argumen dari pihak Migas, sangat mengecewakan. Slamet PDAMudji, Kepala Humas Pemkab Blora, sempat menyatakan bahwa pihak Migas membela diri bahwa hasil kerja Migas yang tidak memuaskan ini karena “belum di redoi Tuhan”.(87) Argumen ini tentu banyak kelemahan. Dilain pihak, seorang pakar geologi dan ekslorasi migas, Ir Moch. Yohannes PK MSc menyatakan penentuan tentang ada atau tidaknya kandungan air akan diketahui jika sudah dilakukan penelitian geologi yang mendalam.(88)

Contoh buruk juga dapat diketemukan di Negeri ini, dalam konteks pemenuhan hak atas air penduduk. Respons pemerintah seringkali lambat, misalnya tidak ada perhatian yang tanggap dari Pemerintah Kab. Bekasi atas kesulitan yang menimpa warga Cibarusah dan Bojong Mangu.(89) Selanjutnya, kita berharap hal yang membuat dada sesak akibat ulah anggota parlemen berulang. Sebagai contoh, perilaku anggota DPRD Blora.(90) Usulan pemerintah Kab. untuk penanggulangan bencana alam termasuk krisis, dipangkas hinga Rp 150 juta, ditahun anggaran 2002. Padahal di daerah Blora, penduduk menderita krisis air – secara regular utamanya dimusim kemarau. Diperiode anggaran yang sama, parlemen menyetujui dana dan “upah” akuntan sebesar Rp 250 juta untuk kegiatan auditing. Sedangkan untuk anggaran biaya perlehatan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Bupati, anggota DPRD di Kab. ini meminta anggaran ratusan juta rupiah.

Komitmen pemenuhan hak rakyat atas air yang ditunjukkan pemerintah Kab. Gresik dan Blora pada hakikatnya merupakan perwujudan dari obligasi Negara yang tersebar di standar dan norma HAM, baik internasional maupun domestik. Sebaliknya, perilaku pemerintah Kab. Bekasi dan anggota DPRD Blora dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan HAM – dengan berbagai konsekwensi yang jelas, antara lain dapat dituntut dimuka badan peradilan.

Dalam disiplin HAM, hak setiap orang atas air yang bersih (hak atas air) merupakan “temuan” baru. Hak atas air masih “segar” dalam standar hukum internasional HAM. Kemajuan dalam standar settingnya, dimulai November 2002, saat Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the committee on economic, social and cultural rights – CESCR) mengadopsi dan mengakui hak atas air sebagai HAM dalam General Comment No. 15.(91) Konsekwensinya, setiap Negara terikat dengan 3 layer obligasi dalam bidang HAM: tanggungjawab untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) hak atas air rakyatnya.(92)

Hak atas air mengandung makna, setiap orang, tanpa ada diskriminasi apapun, memiliki hak untuk mendapatkan air, yang cukup (sufficient), sehat (safe), dapat diakses (physically accessible) dan terjangkau (affordable). Hak ini, saat erat kaitannya dengan pasal-pasal yang termuat dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) – dimana Indonesia belum meratifikasinya. Utamanya, pasal 11 dan 12 Kovenan. Hak atas air dapat diketemukan juga dalam pasal 5, 12 dan 14 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) – diratifikasi oleh Indonesia lewat UU No. 29/1999 dan pasal 24 dan 27 Konvensi International tentang Hak-hak Anak (the International Convention on the Rights of the Child) – diratifikasi Indonesia lewat Keputusan Presiden (Keppres) No. 36/1990.

Hak atas air masuk arena perhatian dari tiga Pelapor Khusus (Special Raporteur - SR) PBB: Pelapor Khusus mengenai perumahan yang layak (SR on adequate housing), Pelapor Khusus tentang Hak atas pangan (SR on the right to food) dan Pelapor Khusus tentang hak atas kesehatan (SR on the right to the highest attainable standard of physical and mental health). Baru-baru ini, ketiga mekanisme khusus PBB ini mengeluarkan pernyataan bersama didepan TWWF. Dalam pernyataan ini dinyatakan:
”Water being an essential resource for life, is one of the most fundamental elements for survival and inextricably linked to the rights to adequate housing, food and the highest attainable standard of physical and mental health, all protected by the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights…”(93)

Dalam pernyataan bersama tersebut juga dinyatakan, sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan orang banyak (essential public good), air, melampaui batas-batas benda yang dapat dikomodifikasi secara ekonomi.(94) Dalam konteks ini, privatisasi menjadi ancaman bagi upaya pelayanan air secara cuma-cuma untuk setiap orang, utamanya kelompok yang tidak teruntungkan dan marjinal.

D. Rekomendasi: Perlu dibentuknya Komnas Sadar

Perlu dibentuk Komisi Nasional Sumber Daya Air (Komnas Sadar). Fungsi dari Komnas SADAR ini, antara lain: merumuskan standar setting soal keairan, termasuk etika dan mekanisme judicial remedies; mengawasi pendanaan sektor keairan – termasuk mengawasi dana-dana hibah dari komunitas internasional yang diberikan kepada Negara; mengawasi pengelolaan sektor keairan; dan merekomendasikan kebijakan pelaksanaan pengelolaan dan penggunaan air, utamanya dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin dan marjinal. Komisi ini juga berfungsi untuk memastikan strategi dan pelaksanaan kebijakan yang menjadi tanggung jawab Negara menjadi bagian dari prosedur HAM, seperti hak setiap orang memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan disektor keairan. Selanjutnya, Komnas ini juga akan menjamin, air tidak digunakan sebagai instrumen ekonomi dan politik untuk merepresi HAM setiap orang. Kalau mau belajar, toh satu perusahaan saja, bisa mengeruk untuk sebanding dengan dua kali GDP sebuah Negara, seperti telah ditunjukkan di Bolivia! Ini pun menjadi tugas Komnas SADAR, untuk memastikan BUMN (PDAM) dapat mewujudkannya. Apa bisa ya?


Catatan Belakang

(1) Tercatat, ditahun 2001, populasi penduduk jiwa telah mencapai 6,1 milyar jiwa. Kompas. 5 Maret 2003.
(2) Kompas. 23 Februari 2003.
(3) Ibid.
(4) Kompas. 29 Agustus 2002.
(5) Dikutip dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Budaya (UNESCO). Kompas. 5 Maret 2003.
(6) Ibid.
(7) Kompas, 17 Maret 2003.
(8) Kompas. 5 Maret 2003.
(9) Maria Hartiningsih, “Jender dan Ancaman Privatisasi dalam WSSD”. Kompas, 2 September 2002.
(10) Dikutip dari Badan Pengawas Mutu Air PBB. Kompas 05 Maret 2003.
(11) Ibid.
(12) Mengenai MDGs dan Kepemimpinan Megawati, lihat tulisan penulis. “Hak Atas Pembangunan: Apa yang bisa diharapkan diakhir masa kepresidenan Megawati?”. Paper pada Karya Latihan Bantuan Hukum LBH Jakarta, 16 April 2003.
(13) Kompas.
(14) Kompas.
(15) Lihat Annex tulisan ini.
(16) Kompas. 7 Juli 2002.
(17) Ibid.
(18) Selain pencemaran, keluhan warga sejak lama atas aktivitas pabrik ban ini paling tidak sejak 5 tahun belakangan. Setiap hari butiran batu bara yang bertebangan dari cerobong pabrik mengotori air dan rumah-rumah penduduk.
(19) Kompas, 23 September 2002.
(20) Ibid.
(21) Ibid.
(22) Ibid.
(23) Kompas. 26 Agustus 2002.
(24) Ibid.
(25) Kompas, 13 Agustus 2002.
(26) Kompas 1 Oktober 2002.
(27) Kompas. 7 Juli 2002.
(28) Kompas. 21 Juni 2002.
(29) Kompas, 23 September 2002.
(30) Di Puskesmas ini, alat komunikasi yang tersedia hany pesawat handy talky (HT) 2 meter-an yang digunakan untuk komunikasi dengan kantor DKS di Kota Purwodadi. Kompas. 10 Juli 2002.
(31) Ibid.
(32) UN Doc. UN Press Release. 7 Februari 2003. “Opening Statemen of the High Commissioner for Human Rights to the Fourth Session of the Open-Ended Working Group on the Right to Development”.
(33) UN doc. UN Press Release, 19 Maret 2003. “High Commissioner, UN Experts Tell Kyoto Forum that Water is Crucial to Realization of Human Rights”.
(34) UN doc. UN Press Release, 17 Maret 2003. Statement by Sergio Vieira De Mello High Commissioner for Human Rights. Third World Water Forum.
(35) Maria Hartiningsih. Op.cit..
(36) Ibid.
(37) Lihat Annex.
(38) Maria Hartiningsih. Op.cit.
(39) Ibid.
(40) Ian Johnson, Kepala Jaringan Sosial dan Lingkungan Pembangunan Berkelanjutan Bank Dunia, pernah menyatakan, air bersih merupakan unsur paling penting untuk mengurangi angka kematian bayi dilapisan masyarakat miskin. Dikutip dari Maria Hartiningsih. Ibid..
(41) Kompas.
(42) Lihat Kompas.
(43) Lembaga WATSAL ini, beranggotakan sekitar 45 orang - sebagian besar dari Indonesia – berfungsi dan bertugas membuat kebijakan nasional tentang sumber daya air.
(44) Hukum Online, 7 April 2003. “Siapa Mengawasi Privatisasi?” Teks dapat dibaca di: http://www.hukumonline.com/artikel_detail.asp?id=7773
(45) Dikutip dari Kompas, 17 Maret 2003. Dr Mahmoud Abu-Zied, Presiden World Water Council – yang juga Menteri Sumber Daya Air dan Irigasi Mesir.
(46) Keppres 24/2001, pasal 2.
(47) Keppres 24/2001, pasal 3
(48) Lihat Siaran Pers Divisi Hak-hak Ekosob Yayasan LBH Indonesia. No.: 01/SP/YLBHI/I/2003. Mengenai RUU tentang Sumber Daya Air. “Satu lagi upaya privatisasi yang (berpotensi). melanggar hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat”. 9 Januari 2003.
(49) Maria Hartiningsih. Op.cit
(50) Lihat Kompas. 20 Desember 2001. Paska revolusi rakyat yang menumbangkan diktatoriat Nicolae Ceausescu, sejak 1991, Rumania melaksanakan privatisasi BUMN. Proses ini dikawal oleh pemerintah Rumania dengan mengembangkan mekanisme fair dan transparansi. Sedangakan resep yang dikembangkan pemerintah Malaysia dalam privatisasi BUMN-nya, sederhana: privatisasi mempertimbangkan kepentingan nasional dan rakyat banyak.
(51) Kompas, 28 Oktober 2002.
(52) Ibid.
(53) Ibid.
(54) Suhartono. “Privatisasi: Asas Manfaat Versus Asas Kepemilikan”. Kompas. 24 Maret 2003.
(55) Kompas. 18 Februari 2002. Kejar Setoran APBN 2002. Tujuh BUMN Diprivatisasi.
(56) Lihat Revrisond Baswir, “RUU (Privatisasi) BUMN?” Republika, 17 Maret 2003.
(57) Pada dasarnya, proses privatisasi sudah berjalan. Seperti kerjasama PDAM Jaya dengan Vivendi dan Suez- Lyonnaise. Sejak empat tahun lalu, 95 persen saham PDAM Jaya sudah dikuasasi dua perusahaan asing ini, selebihnya 5 persen lagi, dipegang perusahaan domestik Tera Metafora. Begitu juga privatiasi yang berjalan di Batam, Riau – yang dikelola Biwater.
(58) Kompas Online. 8 Januari 2003. “RUU Sumber Daya Air Bisa Menjadi Landasan Hukum Privatisasi Air”.
(59) Kompas. 9 Januari 2003.
(60) Ibid.
(61) Ibid.
(62) Public Citizen-Water Privatization Fiascos: Broken Promises and Social Turmoil. Maret 2003
(63) Kompas. 23 Februari 2003. “Merebut Air. Merebut Kehidupan”.
(64) Lihat Korina Horta. “Rhetoric and Reality: Human Rights and the World Bank.” Harvard Human Rights Journal Volume 15 Spring 2002, p. 234. Teks dapat dibaca di:
http://www.law.harvard.edu/studorgs/hrj/current/horta.shtml#fn1
(65) Kompas. 23 Februari 2003.
(66) Budi Widianarko, “Perang Air, Profit Versus Hak Asasi. Catatan dari The Third World Water Forum (WWF3), Kyoto-Osaka-Shiga.” Kompas, 5 Mei 2003.
(67) Kompas. 27 Maret 2003.
(68) Kompas, 20 Maret 2003.
(69) Sumber lain menyatakan tingkat kebocoran mencapai 49 persen. Lihat, Kompas Online. 29 Januari 2003. “PD PDAM Jaya Usulkan Kenaikan Tarif Air”.
(70) Dikutip dari Buyung Samudro. Kompas, 23 September 2002. “Krisis Air Serius Ancam Jakarta dan Sekitarnya”.
(71) Ibid.
(72) Kompas. 24 Agustus 2002.
(73) Kompas, 14 Oktober 2002.
(74) Kompas, 12 Oktober 2002.
(75) Kompas, 20 Maret 2003.
(76) Kompas. 29 Agustus 2002.
(77) Kompas, 20 Maret 2003.
(78) Kompas. 23 Februari 2003.
(79) Ibid.
(80) Kompas. 29 Agustus 2002.
(81) Kompas online. 23 September 2002.
(82) Kompas. 30 September 2002.
(83) Winarso Drajad Widodo, “Rain Harvesting. Jawaban Masalah Musim Kering”. Kompas. 5 Juli 2002.
(84) Lihat Ibid.
(85) Perlu sebuah studi tentang komitmen kerakyatan pemerintah sedemikian.
(86) Kompas. 19 Oktober 2002. Pihak pemerintah sendiri hanya mampu menghimbau agar awarga tidak membayar sepeser pun. Proyek penyediaan air bersih secara cuma-cuma ini memang dianggarkan dalam APBD.” Kepala Bagian Sosial Kab. Gresik sempat menyatakan akan menindak tegas petugas penyalur air yang memperjualbelikan bantuan air. Sayang, tidak tersedia data, apakah tindakan tegas ini sudah dilakukan.
(87) Kompas. 26 September 2002.
(88) Ibid. Dengan kata lain, lewat perspektif hukum pidana, pihak Migas Cepu mesti mempertanggunjawabkan perbuatannya, antara lain dengan cara menunjukkan bahwa pihaknya telah melakukan riset yang mendalam – jika tidak, perlu ada sanksi pidana terhadap pejabat yang telah melakukan kejahatan.
(89) Kompas. 23 September 2002.
(90) Kompas. 20 Juli 2002.
(91) General Comment CESCR No. 14 pada dasarnya sudah mengadopsi hak atas air, berhubungan dengan pemenuhan hak atas kesehatan. Dalam dokumen ini, dinyatakan, hak atas kesehatan meliputi juga hak setiap orang untuk memiliki akses atas air bersih dan sehat (safe and potable water), sanitasi yang memadai, kondisi kerja yang aman serta lingkungan hidup yang sehat. Namun, hak atas air secara khusus dielaborasi, baru pada UN doc. General Comment CESCR No. 15.
(92) Mengenai Obligasi Negara, Lihat antara lain: the Vienna Declaration and Programme of Action yang diadopsi dalam Konferensi Dunia HAM tahun 1993; UN doc. CESCR. General Comment No. 3. The nature of State parties’ obligations (art. 2, para. 1, of the Covenant).
(93) Dikutip dari UN doc. UN Press Release. Kyoto, 17 March 2003. Third World Water Forum.
(94) Lihat Ibid.


Annex
Tabel Masyarakat dan Krisis Air 2002 - Maret 2003

Deskripsi

Jumlah Warga

Lokasi

Kesulitan air diderita warga. Apabila tidak dicari alternatif lain guna mengatasi kekurangan air bersih di Jayapura, satu ketika warga kota Jayapura akan kekurangan air sama sekali.

Beberapa kelurahan di Kota Madya Jayapura kekurangan air bersih: Wilayah Polimak, Base G, Kota Raja, sebagian wilayah Entrop, dan sebagian wilayah Abepura.

Untuk mendapat air, harus memompa air sumur dari kedalaman 250 m - 300 m, dengan tingkat kejernihan air yang rendah. Kelangkaan air, telah menyebabkan banyak terjadi gangguan kesehatan penduduk, terutama anak-anak di Kepulauan Seribu.

18.000 jiwa

Kepulauan Seribu, antara lain: Pulau Pramuka, Kelapa, Harapan, Panggang, dan Pulau Kelapa Dua. DKI Jakarta.

Sumur yang diperdalam tidak dapat dipakai karena asin akibat instrusi air laut. Untuk mencuci pakaian atau perkakas dapur dan rumah tangga, warga memanfaatkan kubangan. Sebagian warga tak mampu membeli air bersih.

Kawasan Utara Tanggerang, seperti Kosambi, Teluknaga, Pakuhaji, Kronjo, dan Kresek. DKI Jakarta.

Setiap tahun, sebagian warga pengguna air tanah setiap tahun mesti memperdalam sumur agar dapat memperoleh air.

Desa Rawabuntu, Kecamatan Serpong, Tangerang. Banten

Warga kesulitan air bersih. Sumur tidak dapat digunakan. Jika diperdalam, air yang keluar terasa asin - akibat intrusi air laut.

Wilayah Utara Kabupaten Tangerang, Banten

Warga memanfaatkan sisa-sisa air di saluran irigasi untuk keperluan mencuci pakaian. Ribuan hektar sawah di daerah itu mengalami gagal panen atau puso.

Kawasan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten.

Datangnya El Nino menyebabkan warga menderita kabut asap dan kekurangan air bersih. Sejumlah warga terpaksa mengambil air dari parit, untuk mencuci dan mandi.

Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Ribuan warga terpaksa mencari air sendiri atau membeli dari para penjual air. Akibat krisis air, terjadi peningkatan jumlah warga yang menderita Muntaber, seperti bisa dilihat dari peningkatan jumlah pasien Muntaber di Rumah Sakit Umum (RSU) A Wahab Sjachranie, Samarinda.

Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Di sepanjang jalan mengelilingi wilayah Kaltim bagian Tengah sampai Selatan dengan jarak sekitar 3.500 km dengan mudah dijumpai warga yang berburu air bersih dengan membawa drum. Dari tahun ke tahun, air sangat sulit diperoleh. Warga menduga hal ini akibat gundulnya hutan Kaltim. Di pelosok hutan Kaltim, warga mesti menempuh jarak 6 km untuk mendapat air. Di Kampung Tukuq, Kecamatan Bentian Besar, Kabupaten Kutai Barat, masyarakat Dayak Bentian mesti berjalan kaki 6 km sekedar mencari air bersih..

Seluruh pelosok Kalimantan Timur.

Kesulitan air. Instrusi air laut terjadi diwilayah ini.

Sedikitnya 4.000 keluarga atau sekitar 20.000 jiwa

Kawasan Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

Untuk mendapatkan air, warga harus berjalan sejauh 5 kilometer, mencapai Kali Cipamingkis di Desa Sirnajati dan Kali Cihoe di Desa Ridogalih.

7.680 jiwa

Cibarusah dan Bojong Mangu, Kabupaten Bekasi. Jawa Barat

Sumur warga berair kuning dan berbau. Beberapa warga mendapati air sumurnya berwarna hitam. Air sungai pun serupa. Warga menduga, kondisi ini diakibatkan pencemaran limbah dari pabrik.

Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Ariadi, Staf Bagian Umum Kecamatan Krangkeng mengatakan, ada lima desa yang telah memasuki tahap krisis air bersih. Sumur-sumur warga sudah kering sama sekali. Jika keluar air, berasa asin dan berbau.

23.000 penduduk

Desa Singakerta, Luwunggesik, Krangkeng, Kalianyar, dan Tanjakan. Kecamatan Krangkeng. Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.

Sumur-sumur warga kering. Sungai Cibeet yang selama ini menjadi alternatif pengganti kebutuhan air warga pun kering.

30.000 warga.

Dua kecamatan di sebelah Tenggara, Kecamatan Cibarusah dan Bojongmangu, Kabupaten Bekasi. Jawa Barat.

Warga berjalan kaki sekurangnya 1 km untuk mendapatkan air dengan membawa drum/jerigen.

500 kepala keluarga (KK)

Kampung Cijati, Citape, Cicadas, Cisarua, Pamuyanan, dan Tegalkadu, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Jawa Barat.

Warga menderita kesulitan dan krisi air yang parah.

Depok, Jawa Barat.

Warga Kecamatan Jonggol mesti berjalan kaki belasan kilometre, memanggul jerigen, mencari dan mengangkut air.

Kecamatan Jonggol dan Cileungsi, Jawa Barat.

Sumur, sungai, dan sumber mata air di wilayah tersebut telah lama kering. Akibatnya, warga bahkan mengonsumsi sisa-sisa air irigasi persawahan. Walau disaring dan didiamkan terlebih dulu, air tetap saja keruh dan berwarna coklat, terpaksa diminum warga. Untuk mencuci pakaian dan mandi, warga memanfaatkan air selokan irigasi yang telah kotor bercampur lumpur dan kotoran manusia.

Desa Suka Sirna, Bangkongreang, dan Babakan Jati, sekitar 15 kilometer dari Bogor, Jawa Barat

Humas Pemkab Grobogan mengemukakan, terdapat lebih 50 desa di 12 kecamatan yang penduduknya kekurangan air.

Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Warga menderita kesulitan air. 7 dari 16 kecamatan: Banjarejo, Kunduran, Ngawen, Kradenan, Todanan, Kedungtuban, dan Blora, mengalami kesulitan dan krisis air yang parah – 130 dari 295 desa di Kabupaten Blora.

Kabupaten Blora, Jawa Tengah

Selain kesulitan air minum, kekeringan menyebabkan petani gagal panen. Menurut Kepala Dinas Pertanian (Dipertan) Kabupaten Sukoharjo, bulan Januari 2002 lalu, total sawah puso akibat kekeringan di Kabupaten Sukoharjo 386 hektar: Kecamatan Nguter (339 hektar), Kecamatan Bulu (13 hektar), dan kecamatan Weru (34 hektar). Di Sukohardjo, Sragen dan Blora tidak kurang 1.124 hektar tanaman padi puso akibat kekeringan.

Kabupaten Sukohardjo, Sragen, dan Blora Jawa Tengah.

Sejumlah warga berjalan kaki sekitar 1 km untuk mendapatkan air bersih. Warga sempat dijanjikan bantuan air bersih dari Pemerintah Kota Semarang, tapi belum direalisasikan.

500 kepala keluarga (KK)

Kelurahan Pongangan, Gunung Pati, Kota Semarang. Jawa Tengah.

Warga Pedukuhan terpencil ini, mengandalkan satu-satunya sumber air yang kian surut di hutan. Warga berjalan kaki sekitar dua kilometer mencapai sumber air.

300 penduduk.

Dukuh Semanding, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

Warga menderita kesulitan dan krisis air

2.500 warga

Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Warga kesulitan air. Untuk berhemat, sejumlah warga yang buang air besar memilih ke laut, ke pematang, ke selokan atau ke semak-semak. Jika melewati pematang, selokan atau semak-semak tercium bau menyengat. Warga menyadari kondisi ini mengganggu kesehatan, namun tidak bisa berbuat banyak karena kondisi yang terpaksa.

Sekitar 15.000 penduduk

Kawasan Tanah Mas, Semarang Timur, dan Kedung Mundu, Jawa Tengah.

Secara rutin, dimusim kemarau warga kesulitan air bersih.

200.000 penduduk

116 desa dalam 13 Kecamatan Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Sumur mongering. Sebanyak 39 titik mata air di berbagai tempat juga mongering. Kekeringan terparah dialami Kecamatan Tambak, dan Sumpiuh. Selain kering, kesulitan air juga karena instrusi air laut. Intrusi sudah mencapai desa-desa dengan jarak 6-8 km dari garis pantai.

9.266 keluarga. 3.597 keluarga di Kecamatan Tambak dan 3.017 keluarga di Kecamatan Ajibarang.

Sedikitnya di 39 desa tersebar di 10 kecamatan Banyumas, Jawa Tengah

Bagian Sosial dan Ekonomi Kabupaten Wonogiri menjelaskan, jumlah desa yang dilanda kekeringan 27 desa yang berpenduduk sekitar 14.557 keluarga atau 59.714 orang. Kekeringan di Paranggupito, melanda 8 Desa, meliputi 86 Dusun, 127 RT dan 38 RW. Dari 26 telaga dan sumber air di wilayah ini , hanya 2 yang masih berfungsi.

Total penduduk yang kekeringan di delapan desa, mencapai 20.581 jiwa.

Kabupaten Wonogiri. Jawa Tengah.

Warga yang tinggal di pegunungan dibantu pemerintah lokal. Namun hanya didrop, tiga hari sekali dengan jumlah yang dianggap belum memadai.

Sekitar 15.000 keluarga

Sedikitnya 48 desa di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Selain kesulitan air, 2.709 hektar lahan pertanian milik petani di 12 kecamatan terancam gagal panen.

7.500 keluarga di Grobogan; 3.135 keluarga di Kendal.

Jawa Tengah.

Warga menderita kesulitan dan krisis air yang parah.

2.712 keluarga

Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Warga menderita kesulitan dan krisis air yang parah.

1.726 keluarga

Desa Sambirejo, Kawasan Prambanan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Warga menderita kesulitan dan krisis air yang parah.

2.217 jiwa

Desa Giring Kecamatan Paliyan. Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Warga menderita kesulitan dan krisis air yang parah.

3.855 jiwa

Desa Karangasem. Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sejumlah warga terpaksa mandi dikubangan bersama ternak sapi. Air minum sangat sulit didapat.

Sedikitnya 41.000 jiwa

Kecamatan Tepus dan Tanjungsari. Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Sumber: Diolah dari kompilasi data Divisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Yayasan LBH Indonesia
Read More..
Load Counter