Thursday, May 03, 2007

Menguak pembunuhan berencana munir lewat eksaminasi publik atas putusan pengadilan

Bapak/Ibu yang saya muliakan,

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Salam sejahtera bagi kita semua


Izinkan saya menggunakan waktu singkat ini untuk memberikan penghargaan yang setingi-tingginya kepada panitia eksaminasi publik terhadap Proses Hukum dan Putusan dalam Kasus Pembunuhan Berencana Munir: Taufik Basari, Asfinawati, John Muhammad, Ricky Gunawan, Hendy Sucahyo, Andhy Panca Kurniawan, Indra dan juga Renata Arianingtyas. Terhitung sejak 24 Januari saat pembentukan Majelis Eksaminasi hingga hari ini 14 Maret 2007, untuk pembacaan putusan eksaminasi, panitia telah bekerja keras untuk mempersiapkan dan memfasilitasi pekerjaan penting ini.

Eksaminasi per definisi dapat diartikan memeriksa sesuatu secara lebih dekat dan dalam, disebabkan antara lain karena adanya kekeliruan. Eksaminasi pada dasarnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau evaluasi secara sistematik.

Eksaminasi publik terhadap kasus munir tidak lain tidak lain untuk menentukan apa yang telah dilakukan hakim dari PN hingga MA dalam memeriksa dan memutus kasus pembunuhan berencana Munir. Lingkup eksaminasi pada dasarnya mengevaluasi keterampilan dan pengetahuan para hakim dalam memutus perkara ini: apa yang mereka ketahui dan bagaimana mereka menggunakan keterampilan dan pengetahuannya dalam memutus perkara.

Dengan melakukan eksaminasi, kita berharap dapat menemukan mata rantai kondisi dan efek yang menyebabkan "dibebaskannya" terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Munir dan belum terungkapnya semua kebenaran materiil dalam persidangan kasus Munir.

YLBHI dan kantor-kantor LBH telah beberapa kali terlibat melakukan dan memfasilitasi eksaminasi publik terhadap putusan lembaga peradilan. Sebagai contoh, eksaminasi terhadap kasus korupsi dana APBD di Kabupaten Blitar; eksaminasi putusan kasus korusi DPRD Kota Surabaya, eksaminasi terhadap putusan judicial review PP 110 tentang Keuangan Daerah, eksaminasi putusan MK atas judicial review UU Sumber Daya Air, dan masih banyak lagi. Sebagai tambahan, pada awal 90an, pada dasarnya YLBHI telah melakukan eksaminasi atas proses dan putusan lembaga peradilan di Aceh, yang dikumpulkan dan diterbitkan pada 1991.

Harapannya, hasil eksaminasi publik atas proses hukum kasus pembunuhan berencana Munir, oleh pakar hukum, praktisi dan aktivis hak asasi manusia ini berkontribusi terhadap upaya reformasi hukum, lembaga peradilan, dan yang terpenting berkontribusi pada pengungkapan kasus Munir itu sendiri. Kepada DR. Rudy Satriyo Mukantardjo, Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA, Prof. DR. Komariah Emong Sapadjaja, Irianto Subiakto, S.H., LL.M. dan Firmansyah Arifin, S.H.

Kepada para pihak, yang telah membantu proses dan ikhiar ini, yang tidak dapat disebut satu persatu, diucapkan haturan terima-kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.


Jakarta, 14 Maret 2007
Yayasan LBH Indonesia
Badan Pengurus



Patra M. Zen
Ketua
Read More..

Monday, April 30, 2007

Corporation Social Responsibility: Penghormatan Hak Asasi Manusia dan Babak Baru Sebuah Korporasi Untuk Meraih Keuntungan

“…transnational corporations become increasingly important in the economies of most countries an international economic relationships, unique opportunities may be significantly greater for transnational and other companies that have larger amounts of resources and therefore greater ability to use those resources for the benefit of society as well as for their shareholders…”
(UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1., para. 5)


Banyak argumen yang telah menunjukkan banyaknya keuntungan bagi masyarakat dan penduduk lokal jika pelaku non-Negara (sektor privat) memberikan kontribusi bagi pemenuhan hak asasi manusia. Kutipan tersebut diambil dari laporan yang disusun David Weissbrodt yang diberi mandat Komisi HAM, Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan HAM untuk melakukan penelitian berkaitan dengan metode kerja dan aktivitas korporasi transnasional.[1]

Namun, boleh dibilang tidak banyak argumen yang menunjukkan keuntungan yang diperoleh korporasi jika turut berkontribusi dalam penghormatan, pemajuan (promosi) dan pemenuhan HAM.

Fenomena menarik, sekaligus memunculkan pertanyaan yang menggelitik saat ini, mengapa sejumlah korporasi, secara suka rela, mau mengadopsi prinsip-prinsip penghormatan HAM dan mempertimbangkan dampak bagi pemenuhan HAM dalam setiap aktivitasnya? Beberapa contoh korporasi trans-nasional yang melakukan hal ini, seperti: 3M, Body Shop, BP Amoco, British Telecom, Cargill, C&A, Carlson Companies, Gap, H&m, ING Group, Levi Strauss, Medtronic, Nokia, Novo Nordisk, Numico, PepsiCo, PetroCanada, Reebok International, RioTinto, Sara Lee Corporation, Royal Dutch/Shell Group Companies, Starbucks, Statoil, Tata Iron and Steel Co., Volkswagen, dan Xerox.[2]

Tulisan singkat ini akan menggambarkan trend saat ini untuk menarik korporasi kedalam pusaran obligasi untuk pemenuhan HAM. Dus, artikel kecil ini akan memaparkan sekaligus menganalisis setidaknya tiga alasan kuat mengapa isu corporate social responsibility (CRS) tengah bersemai saat ini, termasuk manfaat yang diperoleh korporasi sendiri jika terlibat dalam dan mengikatkan diri pada standard setting yang ada. Sekaligus tulisan ini juga akan memancing sebuah pertanyaan untuk para pemilik korporasi: mengapa anda tidak mengupayakan penghormatan hak asasi manusia dan melaksanakan program CRS sekarang juga?

A. Meningkatnya kesadaran konsumen

Setidaknya ada kasus yang mendorong tindakan boikot para konsumen terhadap produk-produk korporasi. Liubicic (1998) menulis kasus boikot konsumen berang karena mengetahui bola-bola yang dipakai untuk pertandingan sepakbola diproduksi oleh korporasi dengan menggunakan tenaga buruh anak.[3] Sementara Zelman (1990) mempresentasikan kasus perusahan Nestle yang memproduksi makanan/formula bayi yang telah mempertinggi angka kematian bayi di Negara-negara Miskin.[4] Promosi yang dilakukan Nestle di Negara Ke-3 telah menyebabkan menurunya para ibu untuk menyusui bayinya. Penurunan angka ibu menyusui, diperparah dengan buruknya kualitas air di Negara ke-3 – yang digunakan mereka sewaktu menggunakan produk-produk Nestle. Alasan lain, para ibu tidak diberikan petunjuk yang memadai dalam menggunakan produk perusahaan ini. Situasi ini kemudian memicu para konsumen di Negara ke-3 memboikot produk-produk Nestle.


B. Pelanggaran HAM, Turunnya Nilai Jual Korporasi dan SRI

“Why would commercially successful companies …give up their activities in foreign states? High production costs? An unstable economy? Inadequate infrastucture? No: in each of these cases, the company’s decision to pull out was because of the grave human rights abuses occurring in the host state.”
(Margaret Jungk. 2001:1)

Jungk memberi tiga contoh korporasi yang akhirnya menghentikan operasi akibat kejahatan-kejahatan yang terjadi di Negara dimana mereka melakukan investasi: Shell menghentikan operasinya di Nigeria; Heineken di Birma; serta Levi Strauss di Cina.[5]

Di Indonesia, terdapat satu contoh yang baik untuk menunjukkan kaitan erat antara pelanggaran HAM dan nilai jual korporasi: kasus PT. Newmont Minahasa Raya yang beroperasi di Sulawesi Utara. Newmont, sebuah korporasi yang berpusat di Denver (US) yang mengoprasikan pertambangan emas, telah mencemari teluk Buyat, dengan zat-zat berbahaya seperti arenicum, hydrargirum, zyncum dan plumbum. Sebelumnya, para penduduk lokal mencari nafkah dari teluk ini sebagai nelayan. Hasil tangkapan para nelayan tidak laku dijual karena telah tercemar – dalam banyak kasus, ikan-ikan hasil tangkapan berpenyakit seperti terdapat benjolan ditubuhnya. Akibatnya, setelah pencemaran, derajat kesejateraan penduduk menurun, termasuk penyebaran penyakit yang diderita penduduk lokal.[6]

Kampanye yang dilakukan YLBHI – LBH Manado dan organisai non-pemerintah lainnya, baik difora domestik maupun fora internasional, langsung maupun tidak langsung menyebabkan banyak lapisan menyoroti kasus ini. Salah seorang staff LBH Manado menyatakan bahwa saham Newmont sempat turun paska kampanye yang mereka lakukan di US. Perkembangan terakhir, Newmont menghentikan operasinya di Sulawesi Utara. Boleh dibilang, image PT Newmont rusak akibat operasinya sendiri.

Sebagai tambahan, terdapat trend korporasi diwajibkan untuk mengupayakan apa yang disebut socially responsible investment (SRI). SRI mencakup tiga tipe aktivitas utama: indexes, ratings and funds. Merujuk laporan ILO, investasi yang menggunakan criteria social investment (screening, sharholder advocacy and community investing) telah meningkat dari US$40 billion in 1984 menjadi US$2.34 trillion di tahun 2001.[7] Angka ini hanya dihitung social investment di Negara US saja. Di negara berkembang, seperti Afrika Selatan, bursa efek Johannesburg diwajibakn untuk menyusuan laporan yang memuat ‘Code of Coporate Practices and Condut’ sebagai bagian dari laporan ke publik dalam rangka penjualan saham sebuah perusahaan.[8]


C. Trend International: Mulai bertemunya Rezim HAM dan Rezim Perdagangan (?)

Secara singkat, merujuk pada dokumen Global Compact, penilaian HAM atas kinerja korporasi meliputi 9 isu[9], sebagai berikut:
(1) dukungan dan penghormatan HAM yang diterima secara internasional (internationally proclaimed human rights) berdasarkan pengaruh yang dimilikinya;
(2) aktivitas yang dilakukan dipastikan tidak melanggar dan menyebabkan timbulnya kejahatan HAM (human rights abuses);
(3) mewujudkan kebebasan berserikat dan pengakuan terhadap hak atas posisi tawar kolektif buruh (the right to collective bargaining);
(4) turut serta menghapus segala bentuk perbudakkan dan pemaksaan kerja (forced and compulsory labor);
(5) berpartisipasi menghapus buruh anak;
(6) menghapus praktek-praktek diskriminasi dalam pekerjaan dan lapangan kerja;
(7) mendukung pendekatan pencegahan kerusakan lingkungan;
(8) mengambil inisiatif mempromosikan tanggungjawab lingkungan yang lebih besar;
(9) mendorong pengmbangan dan difusi tekonologi yang ramah lingkungan.

Global Compact diajukan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan pada Forum Ekonomi Dunia pada 31 Januari 1999. Saat itu, Anan meminta para pemilik korporasi untuk bergabung dengan badan-badan PBB, organisasi/serikat buruh, dan organisasi masyarakat sipil lain bekerjasama dan melakukan aksi-aksi menjawab tantangan global, termasuk menjawab problem-problem yang ditimbulkan ekonomi global. Sejak dilaunching, sejumlah korporasi trans-nasional yang dapat dikategorisasikan ‘korporasi pelopor’, menyatakan kesediaannya untuk bergabung secara sukarela, antara lain DuPont, Amazon Caribbean Guyana Ltd, SAP; British Telecom (BT), Statoil, BASF, Shell International Ltd., Hennes & Mauritz AB, Willian E. Connor & Associates Ltd., Deloitte Touche Tohmatsu (DTT), Nexen Inc., Yawal System, British Petroleum (BP), Nokia, STMicroelectronics (ST), Novartis International AG. Perusahaan anda akan menyusul?


Catatan Belakang

[1] David Weissbrodt. “Principles relating to the Human Rights Conduct of Companies”. UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1. 25 May 2000.
[2] Lihat Weissbrodt, fn. 23.
[3] Robert J. Liubicic, “Corporate Codes of Conduct and Product Labeling Schemes: The Limits and Possibilities of Promoting International Labor Rights Standards Through Private Initiatives”. 30 Law and Policy International Bussiness 111 (1998)., Lihat Weissbrodt, fn. 7.
[4] Nancy E. Zelman, “The Nestle Infant Formula Controversy: Restricting the Marketing Practice of Multinational Corporations in Third World”, 3 Transnational Law. 697 (1990). Lihat Weissbrodt, fn. 7.
[5] Margaret Jungk. 2001. Deciding whether to do Business in States with Bad Government. The Confederation of Danish Industries, The Danish Centre for Human Rights, the Danish Industrialization Fund for Developing Countries. Lihat juga Maria de los Angeles Villacis Paredes.2000. Supplementary Guide to ‘Deciding Whether to do Business in State with Bad Governments’. Danish Centre for Human Rights.
[6] Lihat YLBHI. 2002. An Indonesian Legal Aid Foundation Paper. Human Rights from Below. Potrait of Economic, Social and Cultural Rights Violation in Indonesia. YLBHI: Jakarta., p. 8.
[7] ILO doc. GB.286/WP/SDG/4(Rev.). Information Note on Corporate Social Responsibility and International Labour Standards. ILO: Geneva. March 2003., para. 18.
[8] Lihat Ibid., para. 19.
[9] Teks prinsip-prinsip bagi korporasi dan pelaku bisnis yang dirumuskan dalam Global Compact dapat dilihat di: www.unhchr.ch/global.htm. Lihat juga Guide to the Global Compact. A Practical Understanding of the Vision and Nine Principles
Read More..

Various Roles of National And International Non-Governmental Organisations (NGOs) in Relation to the Promotion and Protection of ESCR

A. Introduction

Non-Governmental Organizations (NGOs) plays important role to promote and protect human rights.[1] In term of international law of human rights, the role of NGOs introduced and based on the article 71 (Chapter X) of the United Charter (UN) and Economic and Social Council (ECOSOC) Resolution 1296 (XLIV) of 1968. Then, in 1996, 49th plenary meeting on 25 July, the ECOSOC reaffirmed the importance of the contributions of NGOs working with UN.[2][3] By the ECOSOC Decision 1996/297, NGOs are given justification to participate to all spheres of work of the UN.[4] ECOSOC also enacted Resolution of 1996/31 regulating Consultative Relation between the UN and NGOs.

In period of 1990s, the UN conducted a series of international conferences related to the topic of ECSR. For example, the UN conducted conference on the Environment and Development (UNCED) in Rio de Janeiro, 1992. About 700 NGOs participated on the preparatory process, the conference it self, and in the UN Commission on Sustainable Development.[5] A year later, 1993, about 840 NGOs participated in the World Conference on Human Rights in Vienna.

The role of NGOs it is not only considered by UN, but also by a government. NGO representatives who participated in the Conference on Social Development in Copenhagen and the Conference on Women in Beijing accounted as a part of the official delegation of many government. The UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (hereinafter the Committee) calls the Government to work together with NGOs to protect and promote ECSR.

This paper elaborates and describes the role of NGOs in relation to the promotion and protection of economic, social and cultural rights. It describes at least three roles of NGOs: to defend claim of ESCR, to monitor implementation of these rights and disseminate information related with rights. There are many strategies which can be done by national and international NGOs. These efforts could contribute to history of promotion and protection these rights. However, it also should be considered limitations of such activities.


B. The role of NGOs

B.1. Hand in hand with people to struggle defend the ESCR

One of important roles for NGOs activist is struggling to what is called by Antonio Gramsci as counter hegemony. This term as Lynne Lawner refer to:

“…the Gramscian concept par excellence and the very fulcrum of his thought, is pictured as an equilibrium between civil society and political society – more specifically still, as an equilibrium between “leadership” or “direction” (direzione) based on consent, and “domination” (dominazione) based in coercion in the broader sense.”[6]

NGOs and people should do counter-hegemony concerning two things: the idea of civil and political rights is more important than ESCR and a market integration a process seems to prioritize welfare and social justice. The Vienna Declaration and Program of Action can be a reference for them struggling against hegemony state which neglect ESCR as well as non-state actors conducting international trade.[7] In fact, on the 57th Session of the Human Rights Commission (19 March – 27 April 2001) can be seen the Southern Countries disappointed concerning global market system.

It can be argued that working in grass root level is prerequisite for NGOs activists. From the field, NGOs can understand and feel victim’s aspiration. The judicial process is not the only way to achieve ESCR, but NGOs have to figure out alternatives to pressure a state and private sector to respect these rights. For instance, NGOs activist should give a justification for peasant movement who reclaim their land that was seized in the name of investments and development.

B.2. Monitoring or “watch dog”

NGOs can arrange and submit “alternative” report to the Committee.[8] This document is a review process concerning the report which is made by Member State.[9] NGOs which work at grass root level perhaps knowing the real problem locally. Beside this, they understand the weakness and strengthen of state to fulfill and implement ESCR. This role helps the Committee to examine and evaluate Member State reports.

The collaboration between the Committee and NGOs often gives political impact. For instance, their collaboration arranged the preliminary conclusions on the Dominican Republic release in November 1996.[10] The document issued by the Committee triggered a national discussion on the rights to adequate housing and public pressure against the government to allow a technical assistance mission on the rights to housing to entry the country.[11]

In general, NGOs can submit oral and written submissions to the Committee anytime although a state is not being subject of review process. A very good example is what have be done by the Sidney advocates. Although Australia was not scheduled for review process until November 2000, the Sidney advocates campaign ESCR violation and the impact on Sydney residents of the lead-up to the 2000 Olympics.[12] In the Committee meeting in May, the Sidney[13] advocate provided oral and written submission and encourage the Committee to write letter of concern to the Government. The Committee’s letter gave a message that the international community monitor the Government and put the facts as an input for the Committee on the upcoming review.

NGOs do not only give an input to UN and its agencies but also have role to monitor the follow up from the documents which are resulted in international and national machinery of human rights protection. In Southern America, for instance, this role are contained in a document which is called "Plataforma Sudamericana de Derechos Humanos, Democracia y Desarrollo" (South American Platform of Human Rights Democracy and Development).[14] In addition, NGOs have also opportunity to work with various specialized UN body related with ESCR such as ILO and UNESCO.[15]

B.2. Educating, Promoting and Campaign

NGOs have also three roles as educator, promoter and campaigner of ESCR.[16] These roles including education research and study concerning these rights. There are many examples dealt with these roles such as the project to make thesaurus of ESCR which is conducted by the American association for the Advancement of Science (AAAS) and Human Rights Information and Documentation System, International (HURRIDOCS).[17] As Paul Hunt says the collaboration between NGOS, professional institution and scholars has succeeded addressing the Limburg principle on the Implementation of the ICESCR (1986), the Banglore (ICJ) Declaration and Plan of Action (1995), and the Maastricht Guidelines on Violation of Economic, Social Cultural Rights.[18]

Education processes are performed in formal school and non-formal education activities. These processes work with campaign activities to urge a state to ratify the Covenant. According to the Asia-Pacific NGOs workshop, NGOs activists have conducting campaign through television and radio advertisements[19] Many NGOs produce their publication. NGOs can participate in the Committee’s press conferences when they give press briefing about their conclusion reviewing a country report. Indeed, in this event, NGOs have opportunity to give press briefing regarding political aspect and human rights violation. In campaign process, it is a common practice to disseminate the fact of ESCR condition by way of electronic media including internet. Today, it is easy to find the facts or issue concerning specific country via web pages.


C. Division of work between international and national NGOs

The way to improve effectiveness and managerial capacity of NGOs activities can be done through transferring knowledge and experiences among national and international NGOs.[20] Today, many international NGOs give contribution to improvement of national NGOs. For instance, projects were conducted by People’s Movement for Human Rights Education (PDHRE)[21] and International Service for Human Rights[22]

It is useful to so send representatives to the session when CESCR members examine submit the State’s delegation about its report. The local NGOs do not have consultative or observer status can work together with the international NGOs which can do so. In this process, the problem of representatives and state of sovereignty often became a challenge for NGOs activities. The government often submit criticize even the rejection of NGOs representative to UN deal with issue of accreditation of local NGOs. The effort has purposes to prevent local NGOs take participation in the UN machinery of human right protection. To solve this problem, involvement of other civil society elements are needed.

Another issue, the Government often make a problem out of NGOs credibility particularly dealt with legitimacy and constituencies which are represented by them. Indeed, NGOs speaks on behalf of victims. In this situation, a Government often facilitated or even formed another organization to counter-action the NGOs. In Indonesia, for instance, there is a term for the organizations which are made by the Government, called as “NGOs red license plate”. Again, corporations among NGOs are needed to counter this effort.


D. The end note: evaluation and effectiveness concerning NGO’s activities

To end this paper, it is submitted several point dealt with various roles of national and international non-governmental organizations in relation to the promotion and protection ESCR. Firstly, It seems difficult to develop collective awareness among NGOs activists. According to report of workshop Human Rights NGOs Asia and Pacific can be seen that it was difficult to achieve a common stand.[23] Indeed, based on personal experience, sometimes, it can be seen that a conflict between NGOs activist happened not based on ideological reasons but just caused by personal interest.

Secondly, an issue of consistency. It can be argued that it is hard to preserve consistency working to promote human rights and democracy. NGOs activist faces this problem especially who work in totalitarian regimes. The challenge is not only the threat consisting of gun pointed but also the flattery of ‘money’.

Thirdly, in general, many NGOs in developing countries are funded by foreign funding. What will happen if these support are stopped. Can they still continue their work? These are latent question in NGOs internally and asked by commentators frequently. Other statement is about independency. Ideally, NGOs are siding with victims.

Lastly, how measure the effectiveness and success from NGOs activities. How indicate the degree of success of NGOs activities organizing and educating people? How if people ask NGOs not only promote rights but also involve in social movement. In fact, the achievement of rights related with whether there is economic and political structure transformation.

Bibliography

Center for Human Rights. 1994. United Nations Action on the Field of Human Rights. New

York and Geneva.

Craven, Matthew. 2001. ‘The UN Committee on Economic, Social and Social‘In Economic,

Social and Cultural Rights. A Texbook. (Eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan

Rosas, pp. 455 – 472. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston, and London: Martinus

Nijhoff Publishers.

Eide, Asbjorn. 2001. ‘Obstacle and Goals To Be Pusued’ In Economic, Social and Cultural

Rights. A Texbook. (Eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 553 –

562. 2nd Revised Edition. Dordrecht, Boston, and London: Martinus Nijhoff Publishers.

Gramsci, Antonio. 1979. Antonio Gramsci. Letter From Prison. Lawner, Lynne (trans). London; Melbourne; New York: Quartet Books.

Johansson, Agnetta and Anna Karin Lindblom (eds.). 1995. Beyond Vienna. NGO – Human

Rights Congress 1995. Final Report.

Rosengarten, Frank (ed.) and Raymond Rosenthal (trans.). 1994. Antonio Gramsci. Letter from

Prison. Vol. 2. New York: Colombia University Press. 2nd Revised Edition. Dordrecht,

Boston, and London: Martinus Nijhoff Publishers.

Scott, Craig. 2001. ‘Multinational Enterprises and Emergent Jurispurence on Violations of

Economic, Social and Cultural Rights’ In Economic, Social and Cultural Rights. A

Texbook. (Eds.) Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rosas, pp. 563 – 595.

Stephen, Mark. 1984 ‘The Complain Procedure of the United Nations Educational, Scientific

and Cultural Organization (UNESCO)’ In Guide to International Human Rights Practice

(ed.) Hurst Hannum, pp. 94 – 107. London: MacMillan Press.

Swepston, Lee. 1984. ‘Human Rights Procedures of the International Labor Organization’ In

Guide to International Human Rights Practice (ed.) Hurst Hannum, pp. 74 – 93. London:

MacMillan Press.

UN Documents:

E/C.12/2000/6

7 July 2000

NGO participation in the activities of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights

E/C.12/Q/AUSTRAL/1

23 May 2000

List of issues to be take up in connection with the consideration of third periodic report of Australia concerning the rights covered by articles 1 – 15 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (E/1994/104/Add.22)

UN Doc. A/53/170

10 July 1998

Arrangements and Practices for the Interaction of Non-Governmental Organizations in All Activities of the United Nations System: Report of the Secretary General (“Sorensen Report”)

E/C/12/1998/11


State obligations, indicators, benchmarks and the right to education. Background paper submitted by Paul Hunt (University of Waikato, New Zealand)

ECOSOC Decision 1996/302


NGOs on Roster for Commission on Sustainable Development

E/C.12/1/Add.6

6 December 1996

Concluding observation of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights: Dominican Republic

E/C.12/1993/WP.14

12 May 1993

NGO participation in the activities of the Committee on Economic, Social and Cultural Rights

GA Resolution 2200A (XXI)

16 December 1966

International Covenant of Economic Social and Cultural Rights (ICESCR)

Articles and Reports:

AAAS Science and Human Rights Program, Ethesaurus Economic, Social and Cultural Rights.

http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet

Hurights, Workshop for Human Rights NGOs in Asia and the Pacific.

http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/no_22/09_aceiuws.htm

ISHR Report, Partnership project (liaison programme) on the ECSR:

http://www.ishr.ch/about%20ISHR/Projects/ESCR/escr.htm

Kempf, Isabell, Civil Society and Economic, Social and Cultural Rights.

http://www.socwatch.org.uy/1998/english/development/doc7.htm;

PDHRE, 1999-2000 Annual Report. http://www.pdhre.org/report95_97/board-oct2000.html

Poirier, Jeff. Regional Workshop on Promoting and Protecting Economic,Ssocial and Cultural

Rights. http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/no_22/07_wscrws.htm

Stromquist, Nelly P. NGOs in a new paradigm of civil society. CICE, Volume 1, Number 1,

1998. http://www.tc.columbia.edu/cice/vol01nr1/nsart2.doc

Victoria Working Group, NGOs and the United Nations Commiitee on Economic, Social and

Cultural Rights. http://www.geocities.com/aserp_vwg/cescrngo.htm

Other:

http://www.un.org/esa/coordination/ngo/pdf/guidelines.pdf

http://www.hri.ca/uninfo/resolutn/dec297.shtml

http://www.un.org/esa/coordination/ngo/Resolution_1996_31/index.htm



* Paper submitted to Asian Civil Society Forum 2002, CONGO, Bangkok, 9 – 13 December 2002.

** Head of Division on Economic, Social and Cultural Rights, Board of Executive, Indonesian Legal Aid Foundation (Yayasan LBH Indonesia).

[1] See Isabell Kempf, Civil Society and Economic, Social and Cultural Rights. http://www.socwatch.org.uy/1998/english/development/doc7.htm; NGO Section of the Department of Economic and Social Affair (DESA), Association between the United Nations and Non-Governmental Organizations (NGOs). http://www.un.org/esa/coordination/ngo/pdf/guidelines.pdf

[4] See also UN Doc. A/53/170

[5] ECOSOC Decision 1996/302

[6] Lynne Lawner (trans). (1979). p. 42. About Gramsci theory of Gramsci, see Lawner. 129, 240-1, 243; Frank Rosengarten (ed.) and Raymond Rosenthal (trans). (1994). pp. 67, 69, 171-2.

[7] List of issue in regards of transnational corporation, can be seen in Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rossas (eds.), pp. 558 – 61; Craig Scott (2001) In Asbojrn Eide Catarina Krause and Allan Rossas (eds.), pp. 563 – 595.

[8] See UN Doc. E/C.12/2000/6; E/C.12/1993/WP.14.

[9] The State which have ratified the Covenant, have obligation to submit a periodic report every five year. See International Covenant of Economic Social and Cultural Rights (ICESCR), GA Resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966; entry into force 3 of January 1976 in accordance with article 27; Center for Human Rights: (1994), pp. 25 – 6, 150 – 2.

[10] Isabell Kempf, Op.cit.

[11] UN Doc. E/C.12/1/Add.6. About this issue see also Matthew Craven (2001) in Asbjorn Eide, Catarina Krause and Allan Rossas (eds.), p. 464.

[12] See article in Australian and Economic Rights Project’s Web Page in http://www.geocities.com/aserp_vwg/cescrngo.htm

[13] See UN Doc. Paras. 24 – 5.E/C.12/Q/AUSTRAL/1.

[14] Isabell Kempf, Op.cit.

[15] See Lee Swepston in Hurst Hannum, pp. 74-93; Stephen Mark in Hurst Hannum, pp. 94 –107; Center for Human Rights. Op.cit., pp. 319 – 322.

[16] See: Nelly P. Stromquist, NGOs in a new paradigm of civil society in CICE, Volume 1, Number 1, 1998. Text in http://www.tc.columbia.edu/cice/vol01nr1/nsart2.doc

[17] AAAS and Human Rights Program, E-thesaurus ESCR. http://ip.aaas.org/ethesaurus.nsf/Main?OpenFrameSet

[18] UN Doc. E/C/12/1998/11 para. 1.

[19] See Hurights, Workshop for Human Rights NGOs in Asia and the Pacific. http://www.hurights.or.jp/asia-pacific/no_22/09_aceiuws.htm

[20] See Agneta Johansson and Anna Karin Lindblom (eds.) (1995) pp. 26-28

[22] See Partnership project (liaison programme) on the ECSR: http://www.ishr.ch/about%20ISHR/Projects/ESCR/escr.htm

[23] Hurights. Op.cit.

Read More..

Human Rights Education in the Five Provinces in Indonesia

A. General description of the Human Rights Education Conducted by the LBH

Since 1970’s, besides conducting the litigation activity[1](1), like giving assistance the client in conducting the legal proceedings at the court, the LBH Offices had conducted the human rights education, the material on human rights was given in the educational program conducted by the LBH. for example, the LBH gave material on the human rights theme in Indonesia during the Law Faculty Students Training conducted by the LBH Jakarta in 1978; Upgrading on the Junior Advocates and the Labour Training in 1980, and during the Legal Training through the radio (1981). Besides that, during this era, the LBH Jakarta begins to conduct essay writing competition on human rights and the report organization, make publication (poster, sticker, bulletin, magazines) on the human rights, particularly on the human rights development and situation in Indonesia. The activity like that continues till now.[2]

Viewed from the material point, the human rights material given during the human rights education conducted by the LBH Jakarta can be classified into two categories :

1. The human rights material in the training : Litigation, Training Works on Legal Aids (Kalabahu)[3], Training on the Labour Association; the Agrarian Training, Natural Resources Division, Research Division.[4]

2. The material especially designed for the training in the theme of human rights like the Documentation Training on the human rights violation, Training on the Fact Findings on the Human Rights for the PBH LBH and the students. This training is generally conducted by the Civil and Political Rights of the YLBHI.

Except the Litigation training and the Training Works on the Legal Aids, the training was conducted in the form of Training for Trainers (TOT) and the participants were derived from the organization invited by the LBH.[5] The Human Right Training Curriculum is organized based on the participants category involved, and is referred to the main curriculum for the participants derived from the LBH Offices, covering :

1. The Human Rights phase development;
2. The UN System;
3. The UN System at the domestic level;
4. The political interest and the Interest on Politics beyond the Human Rights Instruments.
5. State and Democracy

This curriculum is organized in reference to the material and training material on Human Rights conducted by the Human Rights organization. In general, the material is derived from the Workers of the Legal Aids taking part in the Human Rights education conducted in the country and overseas.

On every training conducted for the first and second category, we always presented the case study. The participants are grouped into several groups to discuss the cases they are facing and/ they have just read/seen at the media. Then they discuss three matters :

1. Type of the human rights violation that has taken place, on going and the one predicted to take place;
2. Conduct the social analysis on the cases;
3. Plan Action : Solution and Problems.

The facilitator/trainer for the human rights training are derived from the Workers of the Legal Aids, Academicians and the NGO’s activists. And the training of the first category, the LBH involve the expert sources from the government institution, legal institution and the professionals.[6]


B. The Human Rights Education in the Five Provinces

During the period of 1998-2001, the YLBHI and LBH Jakarta conducted several human rights training in 14 of the LBH offices.[7] In order to give clearer picture of the human rights training, the writer took five samples of human rights training conducted in 5 provinces, in Banda Aceh, Jayapura, Makassar, Palembang and in Jakarta.

The matrix is organized based on the majority of opinions (above 15 people) of the participants involved in the human rights raining.[8] The training was mostly participated by 30-40 participants. Of course, beyond the matrix, the participants disclosed the same opinions to the other participants. For example, the students activists said that it was important for them to know and study more deeply of the United Nations System and some of the NGO’s activists said that they were interested with the topic of the human rights movement. And also, some farmers and labourers who said that they wanted to study more deeply on the regulations and legislation related to the Human Rights.

1. The majority of the representatives of the labourers and farmers said they expected that the human rights training would help them solve the cases they were facing, like the lands condemnations and the work termination;
2. The majority of the NGO’s activists said that the government apparatus and parliament were not the important elements to promote the human rights, but on the action plan they were trying to organize, most of them said that lobby to the parliament and government were important to do, particularly in relation to the policy making;
3. The majority of the students were more interested in material on the Human Rights, particularly those related to the mass action;
4. The NGO’s activists and students activists said that the people organizations were the main elements which influenced the human rights promotion;
5. The majority of the three participants said that media was an important element for the human rights promotion and the human rights monitoring. Besides that, they also said that forming the working network and communication one another continuously was an important work that should be done after training;
6. Accordingly, expressions uttered during the training by the participants were about the matters organized in the matrix as above.


C. Hindrance and Solution

From the experience of organizing the human rights training, there were two kinds of problems often faced by the training organizers (LBH) and the participants, among others:

1. The training conducted outside of Java, terror from the military personnel and police still took place, like when the training was conducted in Jayapura (West Papua). The military personnel came to the hotel where the training was conducted. They committed the terror by asking training method to the local organizer and to the participants and they tried to grasp the material and entered into the training committee’s room. Accordingly, the participants and the training organizers concentration was disturbed.

2. There was a case where the training participants recommended by the organizer and who was invited by the LBH did not conduct their action plan they had organized together because they had a lot of routine work, some of them moved to other institutions, etc.

Based on the above facts, we should conduct very mature preparation for every training, particularly on the location selection and the training venue. The second thing that we should pay attention is the criteria for the participants and the invited institutions, written recommendation should be requested for the participants and that they should submit brief writing on their own experience. And of course, the commitment will all depend on each individual.


D. Closing

In the 1980 era - mid 1990, the human rights training material was more focused on the civil and political rights. After the fall of Soeharto in 1998, the LBH tried to develop material related to the economy, social and culture. Based on the current situation and condition, the LBH now has the tendency to conduct training related to resolution of conflict and reconciliation, in consideration of the communal conflict taking place in Indonesia. Besides that, we also try to develop the educational material and promotion/campaign on the human rights in relation to the refugees and the Internal Displaced Person.

We continue conduction the evaluation on the human rights training curriculum. The consulting and evaluation process is conducted every year and is facilitated by the Indonesian Legal Aid Foundation - YLBHI. We may say that this program will produce more inspiration to perfect the curriculum, particularly those related to the organizing the human rights training activity conducted by the LBH Jakarta.


Attachment: 1
The Kalabahu 2001 Curriculum

The Kalabahu material is organized for the participants who are interested to be the worker of the Legal Aid in particular and in general, the material is expected to be useful for those who will take part in the legal activities and the human rights. To reach that purpose, the Kalabahu material is organized with the following classifications:
1. General Material/Introduction
2. Special Material
3. Litigation Material
4. Workshop/Training
5. Simulation of Mock Trial
6. Supporting Material
7. Case Study
8. Observation and Discussion on result

Intention for teaching the eight category of the material as above is as follows:

I. General Material
This material is the cultural theme in current. By teaching this material, the participants are expected to understand the problems being faced by the nation, by the society and by the members of society, in the international scale and in national and local scale.

II. Special Material
This material is taught in relation to the YLBHI existence, LBH Jakarta and the Division existing in the LBH Jakarta, (1) Civil and Political Rights; (2) Urban Division and Urban Society; (3) Labourer Division; (4) Women Division and; (5) Research Division, Publication and Education.

III. Litigation Material
The participants will get understanding on:

1. The case handling pattern with the public dimension interest
2. Jurisdiction technical in handling the case covers :
- the knowledge on the efforts used to defend the case, pursuant to the prevailing legal procedure.
- skill in analyzing the case as the consideration material in determining the strategy and tactic in handling the case comprehensively.
3. The concrete samples of the case handling by the LBH Jakarta


IV. Workshop/Training

The participants get the knowledge and skill by conducting the direct practice.


V. Simulation

Introduce the participants to the legal practice by conducting the simulation of the Mock Trial.


VI. The Supporting Material

The material taught to the participants are in the action form so that the participants will get general picture of the material so that they will be able to make it as guidance in planning, organizing, actuating and in carrying out the actions needed.

VII. The Case Study

The participants are expected to be able to analyze the cases in the concrete manner in the manifested form and the case that will take place (latent) and then they will be able to apply the prevailing provisions (in material and in formal way) and understand the way how to handle the case in the litigation and non-litigation manner.

*Paper to be presented on the Asian Human Rights Education Trainer’s Colloquium, Chiang Mai, Thailand, 1 - 6 April 2001.

** Head of the Research Division, Publication and Education of the LBH Jakarta.

End Note

[1] The Legal Aids Foundation (LBH) receives thousands of legal proceedings every year. IN 1970’s, number of the legal seekers coming to the LBH Jakarta was 5,706 persons. In 1980 this number was increased to 7,006 persons. During the 2000 number of clcients coming to LBH Jakarta was 20,252 persons of the 1,026 cases, with the details of : Labour Division received 371 cases; Sipol Division received (232 cases); the Urban Division and the Urban Society (186 cases) and Special Division (237 cases). Since the Legal Assistance Divisions were limited, the incoming cases were selected with certain criteria.

[2] The LBH Working Report

[3] You can see attachment regarding the Kalabahu Curriculum for 2001 conducted on 19th March to 26th April.

[4] See: the LBH Organization Structure in the Indonesian Legal Aids Foundation, Hand In hand With the People for Democracy, with no year, p. 12.

[5] The Ligitation training is the training where the training participants w=are given the material related to the empowerment of the legal proceedings as one of the advocating media. And the Training Works on Legal Aids is one of the processes which must be passed by the LBH Jakarta volunteers.

[6] See: attachment

[7] See: the LBH Offices in the Legal Aid Foundation, Op.cit., p. 14.

[8] This matrix is organized based on the experience and the report by the writer when he was the organizer and facilitator in various trainings on human rights and during his working period at Palembang LBH, the Indonesian Legal Aid Foundation and and LBH Jakarta (1995 - now).
Read More..

Undang-Undang Penyiaran: Problematik Isi UU Ditinjau dari Rezim Hukum Internasional

Meskipun persetujuan Rancangan Undang-undang (UU) tentang Penyiaran sempat batal dalam Rapat Sidang Paripurna, namun pada Sidang Paripurna selanjutnya, UU ini pun disahkan menjadi UU. Aturan ini penuh kontroversi. Ada kalangan yang menilai beberapa ketentuan dalam UU ini dapat dianggap sebagai sebuah kemajuan. Sebaliknya, UU ini bukan tanpa masalah dan bahkan mengandung bahaya besar.

Dari perspektif kemajuan, isi UU ini dianggap berpeluang menjamin keragaman informasi, mengakomodasi keberadaan media siaran komunitas dan berpihak pada pekerja penyiaran serta telah mengadopsi aturan tentang pembentukan sebuah lembaga independen: Komisi Penyiaran Independen (KPI). Sebaliknya, selain dari problem yang langsung berkaitan dengan industri penyiaran, utamanya perusahaan yang telah menyelenggarakan penyiaran secara nasional. Bahaya yang paling besar adalah “kebebasan pers” itu sendiri.

Tulisan ini akan mendiskusikan dan menganalisis kekhawatiran masyarakat dan kalangan pers berkaitan dengan “kebebasan pers” yang terancam oleh pasal-pasal yang dimuat dalam UU. Analisis akan menggunakan rezim hukum internasional yang berlaku saat ini.

Problematik utama isi UU

Secara singkat, problem pertama yang nampak jelas dalam UU yakni, berkaitan dengan posisi dan wewenang KPI dalam menjalankan fungsinya: mengatur, mengawasi dan memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan media siaran. KPI harus melibatkan pemerintah. KPI juga diharuskan untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk menyusun peraturan-peraturan pelaksana seperti mengenai lembaga penyiaran publik; pembatasan kepemilikan silang; lembaga penyiaran berlangganan; kegiatan peliputan lembaga penyiaran asing; sistem stasiun jaringan; rencana dan persyaratan teknis siaran; tata cara dan persyaratan perizinan; tata cara pemberian sanksi administrative; serta soal pemberian dan perpanjangan izin siaran.

Selain itu, secara khusus, peluang pemerintah melakukan intervensi terutama berkaitan dengan wewenang pemerintah untuk melakukan seleksi atau sensor para pihak untuk memperoleh izin penyiaran atau perpanjangan izin. Selanjutnya, wewenang KPI dalam soal izin frekuensi hanya sebatas memberikan usul. Penentu akhirnya berada di pemerintah. Sementara usulan kalangan pers UU memuat ketentuan yang meniadakan sama sekali peluang pemerintah melakukan intervensi termasuk soal izin dan penentuan alokasi frekwensi yang diharapkan menjadi kewenangan KPI tanpa ada campur tangan lembaga eksekutif. Merujuk pada ketentuan hukum lainnya seperti UU Telekomunikasi No 36/1999, masalah penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan pengendalian frekuensi pada dasarnya bisa dilakukan oleh KPI sebagai badan regulasi independen.

Kedua, adanya aturan yang mewajibkan untuk diselenggarakannya sensor atas film maupun iklan oleh lembaga yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan ini dipercaya menjadi ancaman bagi kebebasan pers.

Ketiga, kekhawatiran akan sanksi yang diatur dalam UU yang dapat berupa pidana penjara maupun denda. Pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan yang ada dalam UU berupa pidana penjara lima tahun dan denda Rp 1 milyar untuk radio dan penjara lima tahun dan denda Rp 10 milyar untuk televisi. Pers tidak diperbolehkan untuk menyiarkan hal-hal yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, atau bohong; menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, maupun mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan; memperolokkan, merendahkan, melecehkan, mengabaikan nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Evaluasi UU merujuk pada kerangka hukum internasional

Kebebasan pers prima facie hak publik untuk mengeluarkan pendapat dan berekspresi. Karenanya, kematian kebebasan pers, mengubur juga hak-hak publik. Dalam konteks kerangka hukum internasional, Indonesia adalah anggota Perserikatan Bangsa-bangsa. Sebagai konsekwensinya, Negara berkewajiban untuk menghormati hak-hak publik ini, seperti dimuat dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).

Selanjutnya, Indonesia berkewajiban untuk menggeluarkan kebijakan-kebijakan termasuk undang-undang yang menjamin hak-hak tersebut. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan mesti memberikan jaminan terhadap publik maupun kalangan pers untuk dapat menikmati hak-hak ini. Kebebasan berpendapat dan berekspresi yang secara inheren juga meliputi kebebasan berbicara dan melakukan diseminasi informasi yang mana oleh rezim hukum internasional telah diadopsi sebagai dasar bagi semua kebebasan-kebebasan (fundamental freedom) yang ada dan fundamen demokrasi bagi sebuah negara.

Merujuk pada rezim tersebut, fungsi pers dalam negara demokratis yakni: menginformasikan (to inform), melakukan penyelidikan (investigate), menyebarluaskan informasi mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku negara maupun non-negara (expose abuse) dan memberikan pendidikan (educate) masyarakat. Fungsi-fungsi ini sangat penting diamin dan hanya dapat dipenuhi oleh pers jika mass media termasuk media penyiaran bebas dari hambatan-hambatan yang tidak perlu (unnecessary constraints).

Berdasarkan uraian tiga problematic utama, UU Penyiaran diatas, terdapat peluang yang besar bagi Negara untuk gagal memberikan jaminan yang sewajarnya (adequate protection) kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam hukum internasional memang dikenal prinsip derogasi atau pembatasan yang dapat dilakukan negara. Namun demikian, derogasi dapat dilakukan Negara jika terdapat kasus-kasus pengecualian yang mendasar (highly exceptional cases). Dalam konteks “Penyiaran”, pengecualian dapat dilakukan diantaranya terdapat terdapat alasan kuat (reasonable ground) isi siaran secara sengaja (by design) dapat mengancam keamanan Negara secara langsung. Preseden hukum internasional, pengecualian seperti ini utamanya terdapat suatu kondisi dimana isi penyiaran secara sistematis berpeluang menciptakan terror dan kekerasan di masyarakat. Pejabat publik dalam hal ini wajib memberikan alasan untuk menghentikan penyiaran atau memberikan sanksi terhadap pihak yang bertanggunjawab.

Adanya aturan yang menjamin kebebasan-kebebasan tersebut bertujuan antara lain: mengindari praktek-praktek intervensi Negara berdasarkan kepentingan politik dengan menggunakan hukum positif domestik terhadap wartawan atau jurnalis serta masyarakat yang memberikan informasi. Kasus yang sering terjadi, intervensi yang paling sering terjadi yakni, dilakukannya limitasi akses media bagi lawan-lawan politik atau oposisi. pemerintah yang sedang berkuasa.

Dalam konteks penyelenggaraan sensor, bahaya terbesar sebenarnya jika pers sendiri melakukan sensor pada dirinya sendiri (self-censorship) secara belebihan akibat dari ketakukan pers menyiarkan isi siaran. Ketakutan ini sendiri sebenarnya merupakan efek lanjutan dari adanya aturan yang memang secara sengaja dibuat tanpa parameter yang jelas atau di Indonesia sering disebut dengan “pasal-pasal karet”. Ketakutan yang berlebihan jelas merugikan masyarakat, seperti: informasi yang diberikan “terpotong” vise versa anggota masyarakat sebagai konsumen siaran tidak mendapat informasi yang lengkap.

Saat ini yang diperlukan, disatu sisi adanya jaminan hukum (legal protection) terhadap kebebasan pers. Disisi lain, diperlukan juga industri penyiaran yang transparan dan memenuhi prinsip-prinsip akuntabilitas seiring dengan tuntutan terhadap jurnalis yang professional. Hal ini untuk mendapatkan nilai kredibilitas dimata publik, sehingga dengan demikian publik sendiri yang akan melakukan pembelaan jika Negara melakukan intervensi atau memberikan sanksi yang nota bene merupakan pelanggaran dari kebebasan pers itu sendiri. Lantas, apa UU ini mau direvisi lagi? Duh, para “wakil rakyat”!
Read More..

Dam Kotopanjang: Menagih Obligasi Negara dalam Proyek Pembangunan

Pengantar

Indonesia merupakan dapat dikatakan menjadi negara penting bagi Jepang. Selain dari segi historis, dimana Jepang pernah menjadi Negara kolonial, juga dari perspektif sejarah bantuan Jepang ke Negara-negara Berkembang. Dalam dokumen bertajuk “History of Japan's Assistance to Developing Countries (1945-1999)”, Mei 1998 saat mundurnya Presiden Soeharto dari kekuasaan, dicatat sebagai salah satu momen dalam sejarah dalam dokumen ini (lihat annex 1). Selain itu, Indonesia juga merupakan Negara penerima Japan’s ODA (Official Development Assistance) terbesar – lihat annex 2, jika dihitung berdasarkan cumulative disbursement [1]

Artikel singkat ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis satu momen sejarah penting – yang tidak dimuat dalam dokumen “history of Japan’s Assistance” tersebut: pembangunan dam Kotopanjang di Indonesia.

Mengapa penting?

Pertama, kasus ini merupakan kasus yang pertama dimana penduduk lokal melakukan gugatan terhadap Pemerintah Jepang dan lembaga donornya, berkaitan dengan tanggungjawab mereka terhadap dampak yang muncul akibat program pembangunan – dalam hal ini pembangunan dam. Pihak yang digugat yakni Pemerintah Jepang, Japan Bank for International Cooperation (JBIC), Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Tokyo Electric Power Services Co (TEPSCO).[2]

Dalam sebuah seruan aksi bertajuk “Call for Disclosure of the Loan Agreement for Kotopanjang Dam Project” yang dilauching Walhi, dinyatakan bahwa pengadilan kasus dam Kotopanjang merupakan “the first case in history to sue the infamous Japanese Official Development Assistance (ODA) for human rights violation and environmental destruction in the Third World”[3] Penilaian serupa juga sempat dinyatakan the Down to Earth, dimana kasus ini merupakan “the first time the Japanese ODA has been legally challenged by people adversely affected by projects it has funded”.[4] Sementara seorang kolumnis Kiroku Hanai menyatakan kasus ini merupakan “the first lawsuit filed by foreign nationals holding the Japanese government responsible for ODA-related problems”.[5]

Kedua, kasus ini memberikan deskripsi penting untuk disandingkan dengan deskripsi keberhasilan-keberhasilan ODA yang dimuat dalam laporan-laporan tahunan Pemerintah Jepang. Ambil contoh Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation tahun 1997. Dalam dokumen ini dinyatakan beberapa keberhasilan proyek di Indonesia, antara lain, sebagai berikut:

“Generally, project identification and formulation have been performed appropriately. In terms of their social impact and economic importance, all the evaluated projects were on the whole considered to deserve high priority and to be well-matched to the development needs of their recipient country. On top of that, they were credited for contributing to recipient social and economic activities. The environmental impact is another factor that should be given ample consideration when exploring or implementing infrastructure projects. Of all the projects evaluated this year, none were given negative effects in this respect. Moreover, the evaluation findings suggested that donors and recipients alike have been devoting enough attention to the environmental impact. This was illustrated by the environmental improvements resulting from the Lower Jenebang River Urgent Flood Control Project in Indonesia…” [6]

Ketiga, prinsip-prinsip yang ada dalam UU domestik di Indonesia yakni UU tentang Lingkungan Hidup telah ini menjadi inspirasi bagi upaya penemuan hukum positif sejenis, yang berlaku di Jepang.[7] Karena di Jepang tidak mengadopsi mekanisme gugatan class action, maka gugatan yang diajukan berdasarkan surat kuasa tertulis masing-masing warga yang menjadi korban pembangunan.[8]

Keempat, adanya dukungan dan solidaritas lintas Negara. Dukungan atas gugatan ini tidak hanya berasal dari masyarakat sipil Indonesia, tetapi juga di Jepang, seperti dukungan seorang Guru Besar bidang hukum Universitas Nasional Niigata, Jepang.[9] Penduduk di Jepang pun pada dasarnya juga telah menjadi korban, merasa tertipu, karena dana publiknya dipergunakan untuk sebuah proyek yang merusak lingkungan di Indonesia. Sebuah organisasi masyarakat Jepang “Komite Pendukung Rakyat Korban Dam Kotopanjang” (The Japanese Committee Supporting the Victims of Kotopanjang Dam), terbentuk dan dideklarasikan pada 7 Desember 2001, untuk mendukung gugatan ini, dipimpin Koyama, seorang pegawai negeri di Osaka. [10]

Kelima, kasus ini mengeksaminasi prosedur judicial remedies yang disediakan badan peradilan bagi para korban kejahatan hak asasi manusia.

Kelima, kasus memberikan kontribusi kepada perubahan kebijakan dan reformasi prosedur ODA. Dalam ODA white paper 2002, bab tentang Reformasi ODA, sudah dirumuskan 15 tujuan spesifik untuk memperbaiki mekanisme ini. Namun, komentator menyatakan saat ini belum terjadi perubahan drastis yang diambil Pemerintah Jepang.[11] Tentu saja kasus dam Kotopanjang menjadi bahan masukan berharga bagi Pemerintah Jepang dalam mereformasi prosedur dan pelaksanaan ODA.


A. Dam Kotopanjang: Duduk Perkara hingga Gugatan di Pengadilan Distrik Tokyo

Proses pembangunan dam

Proses pembangunan dam Kotopanjang, tahap perencanaan, sudah dimulai sejak 1979. Pembangunan fisik proyek dimulai pada 1991. Dam selesai dan diresmikan pada 28 Februari 1997. Kemudian mulai digenangi air pada Februari 1998.

Awalnya, PT PLN sebagai pengusul proyek mengajukan proposal pembangunan dam untuk PLTA skala kecil, dengan memanfaatkan potensi Sungai Batang Mahat. Problem muncul, ketika TEPSCO (Tokyo Electric Power Service Co. Ltd.), pelaku project finding dan pihak pelaksana proyek malah mengajukan proposal untuk pembangunan dam skala besar, untuk proyek mencapai skala besar[12] Proposal TEPSCO inilah yang diterima oleh ODA. Menurut Iman Masfardi, pihak ODA (seharusnya) hanya berhak membiayai proyek sesuai dengan usulan Pemerintah yang meminta pinjaman, bukan sebaliknya malah menyetujui proposal pihak TEPSCO.[13]

Proses pembangunan ini sendiri tidak melibatkan partisipasi publik, kontrol masyarakat terhadap proyek ini ditutup, dengan akibat munculnya dugaan praktik-praktik korupsi. Rezim Soeharto dan pihak pelaksana proyek telah menjalin hubungan mutualisma. Tidak seorang pun politisi Jepang yang menyesal telah memberikan bantuan kepada rezim Soeharto.[14] Dalam ODA white paper yang disusun Kementrian Luar Negeri Jepang, bahkan tidak menyinggung kasus gugatan dam Kotopanjang. [15] Proyek ini juga bisa dikaitkan dengan meningkatnya kritik terhadap pembangunan dam di Jepang sendiri, sehingga, seperti diungkapkan Joan Carling, aktivis NGOs Network Rivers Watch East and Southeast Asia, korporasi pembangun dam dinegeri ini, mencari pasar diluar Jepang untuk mempertahankan operasi dan keuntungannya.[16] Beberapa proyek pembangunan dam di Indonesia yang difasilitasi ODA, sebagai berikut:

Hingga saat ini dokumen penting seperti Yen Loan Agreement yang ditandatangani JBIC dan Pemerintah Indonesia serta dokumen Detailed Design (D/D) yang disusun TEPSCO tidak dapat diakses publik. Seorang penulis Jepang, Takashi Itoh memaparkan Loan Agreement ini memuat 3 persyaratan pinjaman mencakup isu: ‘resident’s agreement on eviction’; ‘residents’ agreement on terms and conditions of compensation’ dan ‘proper consideration to environmental protection including Sumatran elepanths’.[17] Pada dasarnya agreement ini memuat prasyarat perlindungan masyarakat yang terkena dampak pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup. Saat tulisan ini ditulis, tengah dilakukan kampanye internasional untuk meminta pembukaan dokumen ini.[18]
Profil dam

Proyek ini kemudian dibangun dengan memotong aliran Sungai Kampar Kanan dan Sungai Batang Mahat. Dam menggenangi areal seluas 124 kilometer persegi dengan tujuan untuk menghasilkan kapasitas listrik sejumlah 114 Mega Watts. [19] Setelah selesai, ternyata PLTA ini hanya mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 30 Mega Watts.[20] Bahkan seorang komentator menyatakan tenaga listrik yang dihasilkan hanya mencapai 117 Mega Watts.[21]

Proyek dibiayai dengan utang 31,177 miliar yen dari Overseas Economic Development Fund (OECF) Jepang, dengan mekanisme ODA – dilaksanakan oleh JBIC yang kini sudah digabung dengan OECF dan Bank Exim Jepang. [22]

Akibat pembangunan dam

Akibat perubahan tersebut, terjadi kejahatan hak asasi manusia: tidak kurang dari 24 ribu jiwa dari 12 desa di Sumbar (10 desa) dan Riau (2 desa) dipindahkan secara paksa (forced resettlement). [23] Selain itu, pembangunan dam ini telah menyebabkan satwa langka berkurang dan habitat aslinya – seperti harimau Sumatera; gajah Sumatera, tapir, beruang madu Melayu, kera siamang, rusa dan kijang.[24] Salah seorang aktivis Walhi, Nur Hidayati mencontohkan satwa gajah dipindahkan ke daerah yang sama sekali tidak cocok untuk gajah, sehingga jumlahnya kian berkurang.[25] Selain itu, Nur menyatakan, hutan lindung diwilayah sekitar telah dibabat habis, kemudian diubah peruntukkannya menjadi area dam dan perkebunan kelapa sawit.

Menarik jika statement aktivis Walhi tersebut di persandingkan dengan kebijakan Pemerintah Jepang yang memperhatikan masalah kehutanan. Selama periode 1995 – 2002, tercatat Pemerintah Jepang bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia di sektor kehutanan. Banyak program yang telah dilaksanakan, oleh JICA, JBIC, MoFA (Ministry of Foreign Affairs), maupun lewat pinjaman ODA, seperti dalam tabel dibawah ini. Tercatat dalam periode ini, JICA telah melakukan sebuah development study di wilayah aliran sungai Kampar-Indragiri. Perlu dilakukan penelitian tentang hasil survey dan perencanaan yang dilakukan JICA ini: apakah juga studi ini menjawab problem rusaknya hutan lindung dan berkurangnya jumlah satwa Gajah.

Aktivis lingkungan, seperti Chairil Syah, Iman Masfardi dan Longgena Ginting, lebih jauh menilai, problem yang muncul akibat pembangunan dam ini meliputi pencerabutan masyarakat Kotopanjang dari akar budayanya dan masalah perusakan lingkungan.[26] Sebagai tambahan anggota Tim Investigasi Kantor Bantuan Hukum Riau, Ahmad Zajali, mengatakan, proyek PLTA Kotopanjang telah menenggelamkan lahan pertanian, perkebunan karet, dan sawah milik masyarakat. [27] Tidak kurang dari 12.400 hektar lahan pertanian. [28]

Perihal Korban dan Kejahatan HAM

Proyek pembangunan ini telah menyebabkan penurunan tingkat kualitas hidup masyarakat. Iswadi (30 tahun), seorang warga, korban pembangunan dam Kotopanjang berpendapat bahwa Pemerintah Jepang sedang membunuh mereka secara perlahan-lahan. [29] Menurutnya, masyarakat dipaksa pindah ke lahan yang kering dan merasakan hidup seperti di kamp pengungsi. [30] Lokasi pemindahan penduduk pun gersang.[31] Ditempat yang baru, penduduk kekurangan air bersih dan tidak punya akses terhadap listik. Banyak penduduk korban yang menjadi buruh kayu, padahal sebelumnya mereka bermata pencaharian sebagai petani. Chairil Syah menyatakan, kehidupan masyarakat malah lebih buruk, banyak penduduk terpaksa menganggur akibat kebun karet yang dijanjikan belum juga siap.[32]

Sementara Abdullah Salim (30 tahun) didepan Pengadilan Tokyo menyatakan sebelum pemindahan paksa terjadi, kelurganya hidup sederhana namun menyenangkan. Dirinya memiliki rumah, lahan pertanian dan perkebunan , akses terhadap sungai yang bersih serta dapat membiayai keperluan hidup keluarga termasuk kebutuhan pendidikan anak-anaknya.[33] Saat ini kondisi warga memperhatinkan, seperti diungkapkan Atsushi Saito, banyak anak-anak yang tidak dapat bersekolah.[34] Masalah lain kemudian muncul, seperti dikemukakan Romanila, seorang warga korban, daerah kering menyebabkan konflik horizontal antar sesama warga memperebutkan akses air bersih.[35] Atsushi Saito, seorang warga Jepang pendukung korban dam, menyatakan bahwa dibutuhkan waktu 4 jam agar penduduk sampai ke sumber air bersih.[36]

Selanjutnya, Iman Masfardi menyatakan, sekitar 4.000 kepala keluarga, korban pembangunan dam, tidak pernah memperoleh ganti kerugian yang layak. Pendapat serupa dikemukakan Zajali, yang juga aktivis NGO Jikalahari. Zajali menyatakan, warga pernah dinjanjikan mendapat kebun karet seluar 2 hektar per Kepala Keluarga. [37] Menariknya, ganti kerugian ini tidak pernah diselesaikan pihak Pemerintah lokal. Zalzali mencontohkan, sejak Saleh Djasit masih mejabat Bupati Kampar hingga menjabat Gubernur Riau, masyarakat korban di Riau belum mendapat penyelesaian ganti kerugian yang layak. [38]

Argumen ketiadaan ganti kerugian yang layak, juga dikemukakan Fumio Asano, pengacara Jepang yang menjadi kuasa hukum korban.[39] Para korban proyek, hanya diberikan uang Rp 30 atau sekitar USD 1,5 sen per meter lahan kepunyaan mereka.[40] Sebagai tambahan, Kazu0 Sumi, Professor Hukum Universitas Nasional Niigata bahkan pernah menyatakan, proyek ini telah menyebabkan pederitaan penduduk lokal, sebaliknya hanya memberikan manfaat kepada politisi Jepang, perusahaan konstruksi, birokrat dan pejabat di Indonesia – yang mempunyai hubungan khusus dengan Presiden Soerharto.[41] Sumi juga menegaskan, Pemerintah Jepang telah mengabaikan tanggungjawab merespon protes dari penduduk yang terkena dampak proyek.[42]

Chairil Syah, Wakil Sekretaris Yayasan LBH Indonesia pernah menyatakan dalam proses pembangunan dam, warga mengalami terror, intimidasi bahkah menjadi korban penangkapan sewenang-wenang (arbitrary detention), yang dilakukan aparat TNI dari Batalyon Bangkinang. [43] Sebagai contoh, pengakuan Aseem, seorang korban, yang menceritakan pengalamannya sendiri dan penduduk yang diintimidasi dan dipaksa menerima rencana pembangunan dam. Pernah pada saat ada pertemuan penduduk di rumahnya, aparat militer dan pemerintah daerah datang menggerebek dan mengancam untuk menahannya.[44]

Kasus dam Kotopanjang tersebut, menunjukkan terjadi kejahatan hak asasi manusia, baik hak ekonomi, sosial dan politik, serta hak sipil dan politik. Secara spesifik, hak-hak penduduk yang dilanggar, tetapi tidak terbatas pada pelanggaran hak-hak sebagai berikut:
- hak atas kehidupan yang layak;
- hak atas tidak boleh digusur paksa;
- hak atas pendidikan, terutama bagi anak-anak;
- hak atas kesehatan serta hak atas sumber daya air yang bersih;
- hak atas ganti kerugian yang memadai;
- hak bebas dari penyiksaan serta penangkapan sewenang-wenang.

Perihal gugatan

Gugatan dajukan oleh masyarakat korban, sejumlah tidak kurang dari 3.861 warga – dari total warga sejumlah 23.000 - untuk kerugian yang dialami mereka.[45] Gugatan juga diajukan oleh Walhi atas kasus kerusakan lingkungan. Masyarakat korban menuntut reparasi, termasuk kompensasi sebesar 19.3 juta Yen atau USD 163 juta. [46] Selain itu warga dan Walhi meminta tergugat – Pemerintah Jepang dan TEPSCO – untuk merehabilitasi fungsi lingkungan yang rusak serta turut mencarikan solusi atas penurunan jumlah hewan langka akibat pemindahan habitat satwa. [47] Kuasa hukum korban Okumura Shuji dan Shimamura Miki menyatakan, pihak tergugat meliputi Pemerintah Jepang selaku pemberi ODA; TEPSCO dalam kapasitasnya sebagai konsultan; Japan International Cooperation Agency (JICA) sebagai pihak yang melaksanakan studi kelayakan, serta Japan Bank for International Cooperation, sebagai penyandang dana.[48]

Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, A. Teguh P. sempat menyatakan bahwa gugatan ini membeberkan bukti-bukti penyalahgunaan dana ODA yang bersumber dari bantuan utang pemerintah Jepang, yang dihimpun dari pajak dan dana pensiun masyarakat negeri itu yang dipergunakan untuk pembiayaan proyek-proyek di negara berkembang.[49] Didepan sidang pemeriksaan Pengadilan Tokyo, Iswadi, seorang warga korban menyatakan dirinya ingin agar warga Jepang tahu bahwa uang pajak mereka digunakan untuk membuat penduduk seperti dirinya menderita dibanyak negara.[50]

Proses persidangan

Sidang pertama gugatan masyarakat korban dam Kotopanjang dan Walhi dilakukan pada 3 Juli 2003. Gugatan ini diwakili 3 pengacara Jepang, yakni Oguci Akihiko Oguci Akihiko, Furukawa Yosimi, dan Asano Fumio. Dalam sidang pertama, acara pemeriksaan sempat tertunda sekitar 45 menit karena Hakim Takashi Saito meminta pengunjung sidang dari Indonesia termasuk petani mengenakan baju kaos anti-bantuan luar negeri dengan tulisan “No More ODA” dan bertuliskan “Let’s unite and resist oppression”.[51] Setelah negosiasi dilangsungkan, para pengunjung yang memakai kaos ini diminta untuk duduk dibagian belakang pengadilan.[52]

Pertama, Majelis hakim membebaskan kewajiban para penggugat untuk membayar bea perkara. Keputusan ini ditetapkan pada sidang ke-5 Desember 2003.[53] Awalnya, dalam sidang ke-2 pada 9 Oktober 2003, hakim pengadilan meminta masing-masing penggugat membayar Rp 3,5 juta – jika dijumlahkan maka total mencapai Rp 7,7 miliar karena penggugat berjumlah 8.396 warga. Biaya ini kemudian dibebankan ke Walhi sebagai Kuasa Penggugat, karena hakim menilai para penggugat/korban merupakan masyarakat miskin.[54] Kuasa hukum para penggugat kemudian mengajukan permohonan pembebasan bea perkara dalam sidang ke-4 pada 13 November 2003, dengan alasan Walhi, sebagai kuasa dalam gugatan, merupakan organisasi Nirlaba.

Dalam persidangan ke-2 pada 11 September 2003, seperti dinyatakan Rully Sumanda, Direktur Eksekutif WALHI Riau, pihak Kuasa Hukum Fumio Asano memaparkan kerugian sosial yang diderita masyarakat korban.[55] Sebagai ilustrasi, sebelum desa Tanjung Pau ditenggelamkan menjadi area reservoir, masyarakat didesa ini secara regular merayakan upacara pemandian bayi yang usianya menginjak 2 bulan.[56] Upacara ini dinamakan ‘turun mandi’: setiap keluarga memandikan bayi di Sungai Mahat, dengan tujuan memberikan perlindungan dan membawanya ke publik untuk pertama kali.

Akibat kerugian yang dialami, korban menuntut repasasi dalam bentuk kompensasi sebesar USD167 juta. Menurut Rully, Walhi sedang melakukan penelitian mengenai kerugian materil perusakan lingkungan akibat pembangunan dam ini. [57] Sidang ke-3 dilaksanakan pada 9 Oktober 2003, dilaksanakan dengan mendengarkan paparan penggugat tentang kerugian lingkungan hidup [58]

Dam Kotopanjang: Kontradiksi Antagonis terhadap Kebijakan Internal ODA

Kasus ODA jelas merefleksikan kontradiksi antagonis terhadap tujuan Pemerintah Jepang menyediakan asistensi ini – lihat annex 3. Dalam website Pemerintah Jepang, dinyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan fundamental mengapa ODA dilaksanakan, sebagai berikut:

“Many people in the developing world today still suffer from conditions of malnutrition and extreme poverty. From a humanitarian vantage point, the international community cannot ignore their plight.

Environmental problems, population pressures, and food shortages count as challenges for all humankind. It accordingly seems imperative that the industrialized and developing worlds work together to address them. Moreover, as a major industrial nation, Japan should assume a leadership role in that drive.

Providing aid to the developing world and working on global issues can be expected to earn Japan's better ties with other countries, particularly in the developing world, bolster its stature in the eyes of the international community, and contribute to broader global understanding of and support for Japan and its people. Furthermore, ODA plays a very significant role in ensuring Japan's own stability and prosperity by promoting Japan's best interests including the maintenance of peace.

In a world that has been brought closer together by trends in trade and investment, and as a country heavily dependent on the rest of the world--and particularly many developing countries--for its own supplies of resources, energy, and food, Japan stands to gain in economic terms by utilizing aid to promote economic progress throughout the developing world.”[59]


Selanjutnya, kasus dam Kotopanjang juga melanggar Japan’s ODA Charter, yang menyatakan:

“Many people are still suffering from famine and poverty in the developing countries, which constitute a great majority among countries in the world. From a humanitarian viewpoint, the international community can ill afford to ignore this fact.

The world is now striving to build a society where freedom, human rights, democracy and other values are ensured in peace and prosperity…

Environmental conservation is also a task for all humankind, which all countries, developed and developing alike, must work together to tackle…”[60]

Dalam Japan’s ODA Charter, terdapat 4 prinsip yang mesti dipenuhi – yang juga dilanggar, sebagai berikut, terutama prinsip ke-1 dan ke-4, sebagai berikut: “(e)nvironmental conservation and development should be pursued in tandem, dan; (f) ull attention should be paid to efforts for promoting democratization and introduction of a market-oriented economy, and the situation regarding the securing of basic human rights and freedoms in the recipient country.”[61] Piagam ini dirumuskan melalui resolusi Kabinet Jepang pada 1992, memuat ketentuan dan pedoman tentang prinsip-prinsip, kebijakan dan prioritas ODA, dan juga menjadi sebuah “a vital role in clarifying the country's basic philosophy and guidelines for ODA.”[62]

Pada tahun 1997, Kementerian Luar Negeri Jepang mengeluarkan dokumen Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation. Dokumen ini memuat laporan MoFA yang melaksanakan evaluasi keseluruhan terhadap ODA untuk Indonesia. Tim Survey yang diketuai Hideo Monden, advisor pada the International Development Center of Japan dan mantan vice minister for the Management and Coordination Agency, melakukan evaluasi terhadap 4 tema yang menjadi perhatian, yakni (1) penghapusan kemiskinan; (2) perlindungan lingkungan hidup; (3) pembangunan sumber daya manusia dan pendidikan; (4) promosi bantuan dilevel akar rumput. Tim ini menyusun rekomendasi sebagai berikut:

“For further improvement, the evaluation team recommended additional measures of implementation frameworks in terms of finding or formulating new projects, linking projects at the local level with the evolvement of broader coverage, and having projects become self-reliant. For example, the experts on long-term assignment could participate in finding and formulating projects.”[63]

Sayangnya, tidak disebutkan, rekomendasi terhadap proyek-proyek yang sudah dikerjakan seperti proyek Dam Kotopanjang. Apalagi direkomendasikan untuk memberikan judicial remedies terhadap ribuan penduduk lokal, korban pembangunan dam ini.


C. Jepang dan Obligasi Internasional Hak Asasi Manusia

Jepang merupakan satu negara yang telah meratifikasi dan menandatangani beberapa main human rights treaties – per 2 November 2003, sebagai berikut: [64]
- The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights - ICESCR (21 September 1979);
- The International Covenant on Civil and Political Rights - ICCPR (21 September 1979);
- The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination – CERD, which signifies accession (14 Januari 1996).
- The International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women – CEDAW (25 Juli 1985);
- The Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment – CAT, which signifies accession (29 Juli 1999);
- The Convention on the Rights of the Child – CRC (22 Mei 1994)
- The Optional Protocol to the Convention of the Rights of the Child (CRC-OP-AC) on the involvement of children in armed conflict (10 Mei 2002)
- The Optional Protocol to the Convention of the Rights of the Child (CRC-OP-SC) on the sale of children, child prostitution and child pornography (10 Mei 2002)


Dengan demikian, Jepang terikat obligasi seperti dimuat dalam treaties diatas. Sebagai contoh, pasal 4 ICESCR, menyatakan:

The States Parties to the present Covenant recognize that, in the enjoyment of those rights provided by the State in conformity with the present Covenant, the State may subject such rights only to such limitations as are determined by law only in so far as this may be compatible with the nature of these rights and solely for the purpose of promoting the general welfare in a democratic society.[65]


Selanjutnya, dalam Kovenan ini, dijamin hak-hak setiap orang berkaitan dengan jaminan hak setiap orang untuk menikmati standar hidup yang layak, termasuk hak atas ketersediaan pangan, pakaian dan perumahan;[66] hak setiap orang atas standar tertinggi kesehatan fisik dan mental[67]; hak setiap orang untuk mendapat pendidikan, [68]; serta hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, menikmati kemajuan ilmu pengetahuan dan aplikasinya.[69]

Berkaitan dengan kejahatan yang dialami para korban dam Kotopanjang berupa intimidasi terror, dan penangkapan sewenang-wenang, Pemerintah Jepang, pada dasarnya patut diduga telah melanggara obligasi untuk menjamin hak-hak sipil dan politik penduduk, seperti dimuat dalam ICCPR.[70] Pasal 7 Kovenan menyatakan setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan tindakan kejam lainnya.[71] Selanjutnya, pasal 9 Kovenan menegaskan jaminan setiap orang atas kebebasan dan keamanan individu, sehingga tidak dapat ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang.[72] Sebagai tambahan, pasal 18 Kovenan menjamin kebebasan setiap orang untuk berpendapat dan mengeluarkan pikiran. [73]

Baik ICESCR maupun ICCPR telah diratifikasi Jepang sejak 1979 – bertepatan dengan tahap perencanaan pembangunan dam Kotopanjang. Dengan demikian, jaminan-jaminan hak-hak asasi manusia dalam kedua kovenan induk ini, semestinya telah dokumen pedoman bagi Pemerintah Jepang dalam melaksanakan ODA ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Karenanya, sebuah pernyataan seorang diplomat Jepang tidak menunjukkan adanya komitmen untuk memenuhi obligasi Jepang sebagai Negara Pihak Kovenan dan anggota PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang terikat dengan Piagam PBB. Dalam sebuah media dinyatakan, sumber diplomat Jepang meminta pihak Indonesia untuk memberikan kompensasi kepada para penduduk, karena pada dasarnya Indonesia yang gagal memberikan reparasi kepada para korban.[74] Dalam konteks ini sebuah studi menunjukkan pihak donor mempunyai “power” untuk melakukan upaya pencegahan kejahatan HAM dalam proyek-proyek pembangunan, sekaligus memberikan “teguran” kepada pemerintah yang diberi donor agar memberikan perlindungan terhadap warga negaranya.[75]


Penutup

Pemerintah Jepang, tidak dipungkiri telah mengupayakan berbagai reformasi terhadap ODA. Sejumlah kebijakan telah dirumuskan. Terdapat 15 specific measures untuk mereformasi ODA di 5 area, yakni auditing; evaluation; partnership with Non-Governmental Organizations (NGOs); eksplorasi, fostering dan utilizing sumber daya manusia, serta; information disclosure and public relations, dibawah prinsip “implementing whatever possible”.

Dalam konteks kemitraan dengan NGOs, Pemerintah Jepang mengidentifikasi NGOs (Non-Governmental Organizations) sebagai entitas yang mesti diajak bekerjasama dalam dibidang pemberantasan kemiskinan dan problem-problem lainnya yang ada di negara-negara berkembang. Kementerian Luar Negeri Jepang menyatakan terdapat beberapa aspek kemitraan, yakni: aspek “collaboration” atau “the utilization of human resources and know-how of NGOs” dalam implementasi proyek ODA. Selain itu terdapat juga aspek “support” melalui aktivitas ODA yang dilakukan oleh NGOs serta aspek meningkatkan “dialog” dengan NGOs.[76]

Pemerintah Jepang menunjuk para intelektual, tokoh dan ahli terkemuka yang dipimpin Dr. Toshio Watanabe, Dekan Fakultas Pembangunan Internasional, Universitas Takushoku dalam the 2nd Consultative Committee on ODA Reform. Komite ini beranggotakan 13 orang:[77] (1) Shinji Asanuma, Professor, Graduate School of International Corporate Strategy, Hitotsubashi University; (2) Mitsuya Araki, President and Chief Editor, The International Development Journal Co. Ltd.; (3) Makoto Iokibe Professor, Faculty of Law, Kobe University; (4) Kiyoko Ikegami Planning and Development Manager, Japanese Organization for International Cooperation in Family Planning; (5) Dr. Hiroya Ichikawa Director, Institute of Comparative Culture / Professor, Faculty of Comparative Culture; (6) Shigeji Ueshima, Chairman and Executive Director, Mitsui Co., Ltd.; (7) Saburo Kawai, Chairman, International Development Centre of Japan (Chair of the Council on ODA Reforms for the 21st Century); (8) Akira Kojima, Director and Editorial Page Editor, Nihon Keizai Shimbun Inc.; (9) Dr. Tomoyuki Kojima, Dean, Faculty of Policy Management, Keio University; (10) Dr. Akihiko Tanaka, Professor, Interfaculty Initiative in Information Studies, Graduate School of the University of Tokyo; (11) Keiko Chino Editorial Writer, Sankei Shimbun Co., Ltd.; (12) Yoshitaka Funato; Chairperson, Japan NGO Centre for International Cooperation (JANIC); (13) Akiko Yuge Professor, Faculty of International Exchange, Ferris Women's University.

Melihat uraian tersebut maka, ironis, jika Pemerintah Jepang tidak mau membuka seluruh dokumen yang berkaitan dengan proyek Kotopanjang. Sangat ironis, jika Pemerintah Jepang, tidak mau benar-benar mereformasi ODA: dengan memberikan judicial remedies, termasuk reparasi kepada para korban dam Kotopanjang dan merestorasi dan merehabilitasi seluruh dampak negatif yang ditimbulkan proyek ODA ini. Alangkah baiknya para Consultative Committee on ODA Reform yang mulia dan terhormat memberikan perhatiannya kepada kasus dam Kotopanjang. Semoga!


Annex 1

- History of Japan's Assistance to Developing Countries (1945-1999)
- Events concerning Japanese economic cooperation
- World events concerning economic cooperation

Annex 2
Chart Trends in ODA of Major DAC Countries
Sumber: MoFA. April 2003. The 2002 White Paper on Official Development Assistance (ODA). Chapter IV.

Annex 3
ODA Country Policy toward Major Recipients (1999)
Presented below is a country-by-country account of Japan's aid policies toward major recipient countries, based on the achievements of past aid and the results of various policy dialogues.


Catatan Belakang:

[1] Lihat MoFA doc. Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation. 1997. Lihat http://www.mofa.go.jp/policy/oda/evaluation/1997/index.html

[2] Lihat Kompas. 2 Juli 2003. “Masyarakat Kotopanjang dan Walhi Gugat Pemerintah Jepang”; Lihat juga Japanese Committee Supporting the Victims of Kotopanjang Dam. Teks dapat dibaca di http://www2.ttcn.ne.jp/~kotopanjang/ENG00.htm

[3] Lihat seruan aksi dalam http://www.foei.org/cyberaction/kotopanjang.html

[4] Lihat DTE doc. IFIs Update No. 28, September 2002. Teks dapat dibaca di http://dte.gn.apc.org/Au28.htm

[5] Kiroku Hanai. “Fair, transparent foreign aid”. The Japan Times Online. April 28, 2003. Teks dapat dibaca di http://www.japantimes.co.jp/cgi-bin/getarticle.pl5?eo20030428kh.htm

[6] MoFA doc. Annual Evaluation Report on Japan’s Economic Cooperation. 1997. “Evaluation Findings in Major Sector.” Op.cit.

[7] Lihat Kompas Online. 4 Februari 2004. “Pengadilan Tokyo Bebaskan Walhi Dari Biaya Sidang Kasus "Kotopanjang". Teks dapat dibaca di http://www.kompas.co.id/utama/news/0402/04/011947.htm

[8] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003. “Proyek PLTA Kotopanjang. Lingkungan Rusak, Warga Riau Gugat Pemerintah Jepang”. Teks dapat dibaca di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0307/02/ipt01.html

[9] Kompas. 8 Oktober 2003. “3.861 Korban Kotopanjang Gugat Pemerintah Jepang”

[10] Sinar Harapan Online. Op.cit.. Tentang Komite tersebut lihat http://www2.ttcn.ne.jp/~kotopanjang/ENG00.htm

[11] Lihat Kiroku Hanai. Op.cit.

[12] Lihat Kompas. 2 Juli 2003.

[13] Ibid.

[14] Kiroku Hanai. Op.cit.

[15] Lihat Ibid.

[16] Dikutip dari Amanda Suutari. “ODA in the dock over a dam. Sumatran villagers claim 5 million yen damages each”. Japan Times. August 14, 2003.

[17] Lihat Seruan Aksi pada http://www.foei.org/cyberaction/kotopanjang.html

[18] Ibid. lihat juga artikel Down to Earth. “Kotopanjang campaign”. Teks dapat dibaca di http://dte.gn.apc.org/60BRF.htm inter alia IFIs Update.

[19] Lihat Kompas. 2 Juli 2003. Op.cit. Lihat juga Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003

[20] Lihat Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003.

[21] Kiroku Hanai. Op.cit.

[22] Lihat Kompas. 2 Juli 2003.

[23] Detikcom. 3 Juli 2003. “Masyarakat Riau-Sumbar dan Gajah Gugat Pemerintah Jepang”. Teks dapat dibaca di http://www.detik.com/peristiwa/2003/07/03/20030703-160425.shtml

[24] Lihat Kompas. 2 Juli 2003; Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003; Japan Times. 29 Maret 2003. “Sumatra plaintiffs reach 8,400 in suit over ODA-funded dam”; Japan Times. May 29, 2002. “Sumatrans seek relocation compensation. Villagers to sue Japan over unfulfilled promises from ODA dam project.”

[25] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003.

[26] Lihat Kompas. 2 Juli 2003.

[27] Kompas. 8 Oktober 2003.

[28] The Jakarta Post. July 04, 2003. “Indonesians' suit over Tokyo-funded dam gets off to stormy start”.

[29] Pernyataan ini diungkapkan pada pemeriksaan pertama di Pengadilan Tokyo pada 3 Juli 2002. Dikutip dari Agen Berita Kyodo dan Japan Times pada 3 Juli 2003, dan dimuat juga dalam Ibid.

[30] Dikutip dari Agen Berita Kyodo, seperti dimuat dalam Ibid.

[31] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2003.

[32] Lihat Media Indonesia. 3 September 2003. “Korban Pembangunan Waduk”.

[33] Lihat Yumi Wijers-Hasegawa. “Sumatra islander tells court how aid project destroyed lives”. Japan Times. July 4, 2003.

[34] Japan Times. March 27, 2003. “More Indonesians to sue Japan over aid-funded dam”.

[35] Lihat Amanda Suutari. Op.cit.

[36] Japan Times. March 27, 2003.

[37] Detikcom. 3 Juli 2003.

[38] Ibid.

[39] DTE doc. IFIs Update.

[40] Ibid.

[41] Ibid. ; Yumi Wijers-Hasegawa. Op.cit.

[42] Yumi Wijers-Hasegawa. Ibid.

[43] Sinar Harapan Online. Op.cit;; DTE doc. IFIs Update.

[44] Lihat Amanda Suutari. Op,cit.

[45] Lihat The Jakarta Post. July 4, 2003.

[46] Ibid.

[47] Sinar Harapan Online. 2 Juli 2004. “Proyek PLTA Kotopanjang. Lingkungan Rusak, Warga Riau Gugat Pemerintah Jepang”. Teks dapat dibaca di http://www.sinarharapan.co.id/berita/0307/02/ipt01.html

[48] Lihat Media Indonesia. 3 September 2003. “Korban Pembangunan Waduk”.

[49] Kompas. Online. 4 Februari 2004. “Pengadilan Tokyo Bebaskan Walhi Dari Biaya Sidang Kasus "Kotopanjang". Teks dapat dibaca di http://www.kompas.co.id/utama/news/0402/04/011947.htm; lihat juga Gatra Online. 31 Oktober 2003. “Kasus PLTA Kotopanjang. Walhi Dibebani Biaya Perkara Rp 7,7 M”. Teks dapat dibaca di http://www.gatra.com/2003-10-31/artikel.php?id=31970

[50] Lihat Yumi Wijers-Hasegawa. Op.cit..

[51] Lihat The Jakarta Post. July 04, 2003; Yumi Wijers-Hasegawa. Ibid.

[52] Lihat The Jakarta Post. Ibid.

[53] Kompas Online. 4 Februari 2004.; Gatra Online. 31 Oktober 2003.

[54] Gatra Online.Ibid.

[55] Kompas. 8 Oktober 2003. “3.861 Korban Kotopanjang Gugat Pemerintah Jepang”.

[56] Lihat Amanda Suutari. Op.cit.

[57] Kompas. 08 Oktober 2003.

[58] Ibid.

[59] MoFA doc. Japan’s Official Development Assistance. Annual Report 1999. Teks dapat dibaca di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/note/loan-3.html

[60] ODA doc. Cabinet Decisions. June 30, 1992. Teks Dapat dibaca di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/summary/1999/ref1.html Versi revisi ODA Charter diadopsi pada Agustus 2003. Teks dapat dibaca di http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/revision0308.pdf

[61] ODA doc. Cabinet Decisions. June 30, 1992.

[62] Lihat MoFA doc. January 1998. Council on ODA Reforms for the 21st Century Final Report. Teks dapat dibaca di: http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/report21.html#13

[63] MoFA doc. Annual Evaluation Report on Japan’s Economic, Cooperation. “Summary of Evaluation Finding”. 1997. Lihat http://www.mofa.go.jp/policy/oda/evaluation/1997/index.html

[64] UN doc. Office of the UN High Commissioner for Human Rights. Status of Ratification of the Principal International Human Rights Treaties. As of 02 November 2003.

[65] UN doc. ICESCR. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27. Secara spesifik larangan terhadap pemindahan paksa (forced eviction) dijabarkan dalam General Comment yang diadopsi Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) Lihat UN Doc. E/C.12/2000/4, 11 August 2000. CESCR. Sixteenth session, 20 May 1997. General comment 7.The right to adequate housing (art. 11.1 of the Covenant): forced evictions.

[66] UN doc. ICESCR. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27., art. 11 (1). Lihat juga UN Doc. CESCR. Twenty-second session, 25 April-12 May 2000. General Comment No. 14. The right to the highest attainable standard of health. (article 12 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).

[67] UN doc. ICCPR. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 3 January 1976, in accordance with article 27., art. 12 (1). Lihat juga UN Doc. E/C.12/1999/10, 8 December 1999. CESCR.Twenty-first session, 15 November-3 December 1999. General Comment No. 13. The right to education. (Article 13 of the Covenant)

[68] UN doc. ICESCR., art. 13 (1).

[69] UN doc. CCPR. 1982. General Comment No. 8. The Right to liberty and security of the person (art. 9).

[70] International Covenant on Civil and Political Rights.

[71] Lihat UN doc. CCPR. 1982. General Comment No. 7. The prohibition of torture or to cruel, inhuman or degrading treatment of punishment (art. 7).

[72] Lihat UN Doc. CCPR. 1982. General Comment No. 8. The Right to liberty and security of the person (art. 9).

[73] Lihat UN Doc. CCPR. 1982. General Comment No. 22. The freedom of thought, conscience and religion (art. 18).

[74] Lihat Japan Times. 29 Mei 2002. “Compensate evictees from Japan-funded dam, Jakarta told”

[75] Lihat A. Patra M. Zen “A Critical Contextual Human Rights Analysis of Kedung Ombo Larg Dam Project in Indonesia.” Dissertation for LL.M in International Human Rights Law. University of Essex (UK). Tidak diterbitkan., hal. 45, 59

[76] Lihat MoFA doc. “Japan’s Foreign Policy in Major Diplomatic Fields.”

[77] MoFA doc. List of Members of the 2nd Consultative Committee on ODA Reform. As of 29 March 2002. Lihat: http://www.mofa.go.jp/policy/oda/reform/index.html
Read More..
Load Counter