A. Pengantar
Makalah singkat ini disusun dengan merujuk pada term of reference (TOR) yang disusun oleh LBH Bandar Lampung. Dari kerangka acuan ini, boleh dikatakan, problem perlindungan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) bergandeng erat dengan sengketa dibidang pertanahan. Karenanya, paper ini akan memberikan gambaran mengenai standar dan norma hukum internasional hak asasi manusia (HAM) yang berkaitan dengan hak-hak rakyat, utamanya hak ekosob yang dimiliki oleh kaum tani dan tuna kisma – termasuk masyarakat adat dan kaum perempuan.
Paper ini berisikan tiga bagian. Bagian pertama, mendeskripsikan rezim hukum internasional yang mengatur tentang perlindungan warga negara terhadap hak atas tanah. Pendekatan yang hendak didiskusikan yakni, pendekatan hak rakyat atas standar hidup yang layak.(1) Lewat pendekatan ini, maka hak atas tanah merupakan prasyarat bagi rakyat, utamanya kaum tani untuk mencapai standar hidup yang layak ini. Pada bagian ini juga akan dimuat hal-hal yang relevan dalam isu hak penduduk atas tanah.
Bagian kedua, akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis strategi umum yang dipakai dalam upaya melindungi dan mendesak Negara untuk memenuhi hak atas tanah tersebut. Dalam bagian ini akan juga dimuat beberapa contoh gerakan advokasi dan kampanye yang dilakukan dibeberapa negara. Selanjutnya akan didiskusikan gagasan ‘justiciabiliti’ yang sebaiknya didesakkan perwujudannya sebagai hak konstitusi dan hak hukum.
Bagian ketiga, akan didiskusikan skema program aksi ditingkat lokal, nasional dan internasional. Akan dilakukan analisis terhadap problem domestik dan masalah global seperti kaitan antara globalisasi dan lembaga keuangan internasional dengan kaum tani di Bandar Lampung khususnya, dan kaum tani di Indonesia, umumnya.
B. Rezim Internasional Hak Asasi Manusia sebagai Parameter
Penggunaan norma dan standar hukum internasional ini dimaksudkan untuk membuat sebuah perbandingan terhadap norma dan standar hukum domestik (nasional). Tujuannya, memberikan sebuah parameter dalam artian positif dan bermanfaat bagi upaya perlindungan dan pemenuhan hak ekosob di negeri ini.
Dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob secara eksplisit dimuat hak rakyat atas standar hidup yang layak. Dinyatakan, Negara mengakui hak setiap orang untuk mencapai standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluargannya, termasuk kecukupan pangan, pakaian dan perumahan, serta peningkatan kondisi kehidupan secara terus menerus. Dalam upaya memenuhi hak ini, Negara mempunyai kewajiban (obligasi) untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan – termasuk mengeluarkan kebijakan dan mengimplementasikannya. Sementara dalam Deklarasi HAM Universal dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak memiliki property (baca: termasuk tanah) baik secara perorangan maupun secara berkelompok – dengan orang lain.(2) Negara diwajibkan untuk memastikan tidak terjadi perampasan sewenang-wenang terhadap hak ini.(3)
Dengan memakai ‘payung’ hak rakyat tersebut, maka hak atas tanah menjadi sebuah prasyarat bagi rakyat untuk mencapai kesejahteraan atau kondisi hidup yang layak. Dalam konteks ini, beberapa isu utama yang berkaitan dengan ‘hak atas tanah’ dalam rezim hukum internasional sebagai berikut:
Ø Keamanan dan jaminan hukum pengakuan hak atas tanah
Tanah merupakan alat produksi. Dengan mengolah tanah, petani berharap mendapatkan surplus produksi yang dapat dipergunakan untuk membiayai dirinya dan keluarganya serta dengan surplus ini petani dapat menabung. Maka yang diperlukan bagi kaum tani adalah keamanan dan jaminan hukum pengakuan hak atas tanah – termasuk hutan. Dengan kata lain, Negara dan/atau pelaku non negara (entitas privat) tidak dapat dengan sewenang-wenang mencabut hak atas tanah ini. Bahkan dalam masyarakat adat dikenal istilah dan konsep ‘time immemorial’ dan ‘ancestral land claim’, dengan makna, kepemilikan tanah ini sudah melekat pada komunitas jauh sebelum negara bangsa didirikan. Kolonialisasi dan imperialisme telah merampas tanah-tanah penduduk asli dan masyarakat adat. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, secara logic, maka penduduk asli dan masyarakat adat berhak untuk mendapatkan kembali hak-haknya.
Perlindungan hukum dibutuhkan untuk mencegah adanya perampasan lahan dan penggusuran atau pemindahan orang secara paksa.(4) Pemindahan orang secara paksa mempunyai makna, pemindahan individu, kelompok atau komunitas yang dilakukan dengan bertentangan dengan kehendak individu, kelompok atau komunitas itu sendiri (against their will) dari rumah atau tanahnya, dilakukan secara melawan hukum, dan dilakukan tanpa perlindungan apa pun yang semestinya diberikan oleh Negara.(5) Hukum internasional berpandangan, Negara wajib mengambil langkah dan menetapkan kebijakan yang bertujuan untuk menjamin pengakuan dan jaminan hak penguasaan tanah oleh rakyat.(6) Prioritas jaminan mesti diarahkan kepada komunitas yang tak beruntung atau masyarakat kelas bawah dan miskin. Secara paralel, Negara wajib mengambil langkah untuk memfasilitasi kepemilikan tanah bagi tuna kisma (petani tak bertanah).(7) Salah satu kebijakan yang seharunya dikeluarkan yakni, hak atas tanah ditetapkan sebagai hak konstitusional dan hak hukum.
Ø Reformasi Agraria dan Akses Sumber Daya Alam
Komunitas internasional memberikan perhatiannya kepada nasib petani. Dalam Konferensi Dunia mengenai Reformasi Agraria dan Pembangunan Pedesaan yang dioranisir oleh sebuah badan PBB (the Food and Agricultural Organisation – FAO) pada tahun 1979 telah menghasilkan pengadopsian Deklarasi Prinsip-prinsip anda Program Aksi atau popular dikenal dengan ‘Piagam Kaum Tani’. Dalam dokumen ini strategi pembangunan di pedesaan mesti memasukan kebijakan dan pelaksaan redistribusi tanah dan jaminan hak atas tanah. Jaminan ini termasuk perlindungan bagi komunitas mengontrol akses sumber agraria dan sumber daya alam.
Problemnya – bukan hanya terjadi di Indonesia – terdapat doktrin yang seringkali dipakai Negara, ‘regalian doctrin’ atau dalam konteks Indonesia dapat dipersamakan dengan konsep ‘Hak Menguasai Negara’. Doktrin ini pada dasarnya mengajarkan bahwa semua tanah adalah milik Negara. Dalam prinsip ini, proses pemberian hak menjadi mutlak wewenang Negara dan dilakukan lewat mekanisme pemberian hak kepemilikan privat, yang dalam perkembangannya ditunjukkan lewat secarik kertas sertifikat atau dokumen izin penguasaan yang dikeluarkan Negara. Dalam praktek Negara seringkali memberikan penguasaan dan pengelolaan tanah bukan kepada penduduk yang tak beruntung atau kaum petani kecil, melainkan diberikan kepada pemilik kapital besar, tanpa ada kontrak keuntungan dapat dinikmati oleh komunitas lokal utamanya si miskin.
Lagi lagi, dibutuhkan proteksi ‘dari’ Negara kepada kaum tani. Jaminan berupa hak atas penggunaan dan penikmatan hasil merupakan inti dari program reformasi agraria. Karenanya kontrol yang absolute merupakan tantangan sekaligus perjuangan yang harus dilakukan pencapaiannya. Pembaruan agraria dan program redistribusi atau restitusi tanah mutlak semestinya dilaksanakan oleh pemerintah. Program ini mesti memperhatikan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.(8)
C. Strategi Umum
Problem perampasan lahan, penggusuran atau pemindahan orang secara paksa seringkali disebabkan ‘pembangunan’.(9) Problem ini muncul ketika Negara dan pemilik kapital memerlukan lahan. Pada tahap ini, penting untuk menganalisis serta mengevaluasi kepentingan modal internasional dan ideologi pasar bebas. Perkebunan besar sebagai contoh, merupakan proses produksi yang melayani kepentingan pasar internasional. Petani kecil dalam ideologi pembangunan seperti ini dianggap tidak produktif dalam perolehan pendapatan Negara. Karenanya, Negara lebih memilih memberikan lahan bagi perkebunan besar baik kepada investor dalam negeri maupun luar negeri ketimbang memberikan proteksi dan memfasilitasi komunitas petani. Lebih memaksakan menanam kelapa sawit ketimbang mempertimbangkan lingkungan hidup dan produktifitas serta pendapatan kaum tani.
Dibanyak negara berkembang gerakan petani sudah melewati batas isu domestik. Di India misalnya, telah muncul gerakan petani menentang kebijakan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gerakan yang dimotori petani berlahan sempit, buruh tani, nelayan tradisional dan kelompok perempuan senantiasa mendiskusikan, mengkritisi kebijakan-kebijakan globalisasi. Tercatat, sebanyak 450 petani di negara bagian Andra Pradesh dan Karnataka melakukan bunuh diri sebagai aksi protes terhadap kebijakan WTO.
Prosedur perlindungan hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang bersih dan efektif. Pemerintahan ini berciri: (1) mau melindungi kepentingan rakyat dan menegakkan kedaulatan; (2) memberantas korupsi dan kolusi; (3) melindungi dan memenuhi hak asasi manusia serta menegakkan hukum yang berkeadilan, dan; (4) menjalankan sistem negara yang demokratis termasuk melibatkan partisipasi warga negara dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan distribusi hasil dari kebijakan yang dilakukan. Jika prasyarat ini sudah dilaksanakan, maka secara praktikal, gagasan dan mekanisme prosedural perihal perlindungan rakyat dari penggusuran paksa dapat dilaksanakan.
Mekanisme prosedural tersebut antar lain memberikan kesempatan bagi konsultasi yang sejati (genuine) dengan komunitas atau kelompok masyarakat yang terkena dampak ‘pembangunan’. Pembangunan selalu mesti menjawab manfaat apa yang didapat bagi rakyat. Kontestasi dari kepentingan rakyat dan pembangunan dipecahkan lewat mekanime sistem peradilan yang fair serta tersedianya legal remedies termasuk restitusi dan rehabilitasi. Jika mekanisme prosedural ini dilaksanakan, tidak seorang pun warga negara yang menolak program pembangunan! Tak seorang pun yang tak mau investor menanamkan modal di kampungnya! Siapa yang tak mau kalau proses penanaman modal, proses pembanguna akan meningkatkan kesejahteraan bagi diri dan keluarga???
Rehabilitasi memiliki makna pemulihan kondisi baik bersifat hak atas properti maupun yang bekaitan dengan penderitaan atau kerugian yang bersifat mental atau fisik ataupun status seperti semula. Sedangkan, restitusi berarti kompensasi, berupa akses terhadap tanah yang produktif – sebagai sebuah upaya peningkatan standar hidup yang layak. Selain restitusi dan Rehabilitasi, Negara juga mesti melakukan upaya agar kaum tani bisa memiliki akses penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria termasuk juga akses atas sistem produksi yang baik, proses dan sistem pasar.
D. Skematik Program Aksi
Melakukan strategi advokasi kasus per kasus selain ‘capek’ juga mengandung kelemahan tidak berubahnya sistem hukum yang memberikan perlindungan secara menyeluruh. Karenanya, strategi yang hendak dikembangkan adalah mengintegrasikan komunitas-komunitas korban, baik buruh, petani, nelayan, komunitas miskin urban dalam satu isu besar: menuntut standar hidup yang layak! Isu besar ini akan menggabungkan keseluruhan komunitas korban seperti para guru dengan gaji kecil, pengangguran dan usia kerja. Isu besar ini digunakan untuk ‘mencari’ dan mendesakkan sebuah pemerintahan yang berani dan efektif.
Isu besar ini tentu saja mesti dielaborasi sesuai dengan ‘potret’ korban. Namun demikian, ‘korban’ memiliki sebuah kesamaan gagasan praktikal, antara lain mendesakkan hak klaim rakyat atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahwa hak ekosob ini justiciable, dapat “diukur” dengan demikian dapat diklaim pemenuhannya.(10) Sebagai ilustrasi, jika para pejabat mendapat dana bagi ‘studi banding’ ke luar negeri – yang boleh jadi sebuah pemborosan dana Negara – maka petani sebenar-benarnya subyek yang mesti mendapatkan prioritas dari dana tersebut. Dengan demikian, menjadi suatu kewajaran jika rakyat meminta pemerintah untuk memfasilitasi upaya pencapaian kesejahteraan.
Negara wajib membuktikan bahwa institusi-institusi negara telah memaksimalkan semua sumber daya untuk melaksakanak program pengentasan kemiskinan, program kesejahteraan rakyat, dsb. Tanpa bisa membuktikan bahwa hal ini telah diupayakan oleh Negara, maka dalam perspektif HAM, telah terjadi pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya rakyat!
Untuk menghentikan kejahatan HAM Negara, tak pelak lagi secara programatik, kerja-kerja yang sebaiknya dilakukan antara lain pendidikan popular komunitas, mobilisasi dan upaya uji-contoh litigasi sebagai cara. Sebaiknya dilakukan penjabaran dan elaborasi sekaligus evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, misalnya kebijakan pemerintah daerah yang (berpotensi) melanggar hak ekososb penduduk Lampung. Analisis ini sebaiknya sampai menunjukkan bahwa pemenuhan hak yang dimaksud justiciable, sampai pada hitungan kerugian ekonomis, dan solusi apa yang mesti dilakukan, restitusi dalam bentuk apa, kompensasi sejumlah apa, dan program apa yang mesti dilakukan. Mengambil manfaat dan pengetahuan dari kasus Ciceconte,(11) bisa saja para aktivis, pengacara dan advokat di Bandar Lampung mengajukan gugatan ke Pengadilan di Bandar Lampung untuk menetapkan sebuah keputusan pengembalian dan pemberian fasilitas bagi petani untuk mencapai kesejahteraan. Tentu saja dengan sebuah kesadaran adanya keterbatasan hukum dan proses peradilan yang fair. Namun, sebagai sebuah metode kampanye, kenapa tidak dicoba?
Secara spesifik, untuk mengatasi problem pertanahan, salah satunya adalan mendesakkan pembentukkan Komisi Restitusi Tanah. Secara paralel ditetapkannya dan dilaksanakan kebijakan: (1) merestorasi tanah-tanah rakyat yang dirampas secara sewenang-wenang; (2) memberikan tanah bagi petani tak bertanah; (3) memberikan alternatif tanah jika tanah yang dirampas dirasa tidak dapat direstorasi; (4) memberikan kompensasi terhadap pemilik tanah akibat kejahatan yang telah dilakukan; (5) memberikan alternatif solusi seperti memberikan paket bantuan yang merupakan kombinasi dari point-point yang telah disebutkan, termasuk memberikan bantuan dan dana, pelayanan dan infrastruktur bagi korban; (6) para korban mendapatkan prioritas pengalokasian dan program pembangunan.
* Pengantar pada Workshop Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Yayayan LBH Indonesia – LBH Bandar Lampung, 30 – 31 Januari 2003.
Catatan Belakang
(1) Pasal 11 ICESCR. Sebagai catatan, Indonesia belum meratifikasi Kovenan ini.
(2) DUHAM, pasal 17 (1).
(3) Ibid. pasal 17 (2).
(4) Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 7, para. 2.
(5) Ibid., para. 3.
(6) Lihat UN doc. CESCR. General Comment No. 4, para. 8 (a) inter alia CESCR. General Comment No. 7., para. 9.
(7) Lihat. Ibid. para. 8 (e).
(8) CEDAW. General Comment No. 21., para, 27.
(9) Lihat General Comment No. 7., para. 15. Lihat juga IESCR. General Comment No. 23., para. 7.
(10) Sebuah hak dapat disebut justiciable, jika dalam kerangka hukum yang ada dijamin dan diberikan peluang untuk individu maupun komunitas didepan hukum (badan peradilan) dan mekanisme prosedural untuk melakukan klaim atas hak tersebut. Keputusan badan peradilan atau adjudikator selanjutnya dapat dipaksakan untuk dipenuhi oleh Negara atau Pelaku Non-negara (entitas privat) yang mempunyai kewajiban (obligasi) hukum memenuhi hak tersebut.
(11) Menarik untuk mendiskusikan kasus Mariela Ciceconte di Argentina. Ciceconte menggunakan pengadilan Argentina untuk meminta pemerintah membangun dan meproduksi pabrik vaksin untuk mengobati demam (hemorrhagic fever) yang terjadi dinegeri ini. Di tahun 1990-an, terjadi wabah demam yang mengancam 3,5 juta penduduk Argentina. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan vaksin yang ampuh, 95 persen efektif mengobati demam jenis ini adalah Candid 1 (“orpan vaccine”). Ciceconte mengajukan gugatan dengan argumen Pemerintah Argentina telah melanggar hak ekosob, karena ketidak tersediaan vaksin. Ciceconte meminta badan peradilan untuk menetapkan sebuah keputusan agar pemerintah menyediakan vaksin ini. Mahkamah Agung Argentina pada tahun 1998 memutuskan bahwa Negaea wajib memproduksi vaksin serta menetapkan jangka waktu untuk ketersediaan vaksin ini. Hakim Agung mendasarkan putusannya antara lain merujuk pada Deklarasi Amerika tentang Hak dan Kewajiban Manusia (the American Declaration on the Rights and Duties of Man), Deklasi HAM Universal, dan pasal 12 Kovenan Internasional Hak Ekosob, pasal 12 tentang Hak Rakyat atas Kesehatan. Sebagai catatan, proses peradilan kasus Ciceconte ini diiringi dengan demonstrasi masif dan massal di Argentina.