Philip Pettit, menyampaikan analisa baru atas model republikanisme, dimana ia memandang tujuan dari negara pada dasarnya untuk mempromosikan kebebasan sebagai non-dominasi (freedom as non-domination).(1) Pettit memandang, gagasan kebebasan sebagai non-dominasi memberikan fundamental yang kaya bagi sebuah kebijakan politik yang radikal sekalipun, memberikan dukungan bagi sebuah konsepsi demokrasi dimana kontestabilitas mendapatkan tempat untuk memberi pesetujuan. Dalam kebebasan sebagai non-dominasi, rakyat dapat selalu menggugat dan mempertanyakan apa pun yang dilakukan negara.(2)
Pandangan freedom as non-domination, dalam praktik, pada dasarnya telah dijalankan oleh para advokat yang mengembangkan sebuah konsepsi bantuan hukum, yang bukan saja mewakili kliennya dimuka peradilan, namun juga turut menggugat kebijakan dan peraturan yang ditetapkan negara. Para advokat ini telah turut mempromosikan paham konstitusionalisme di Indonesia, sebagai salah satu fokus perhatian Daniel S. Lev. Didalam ruang-ruang pengadilan maupun diluar ruang persidangan para advokat, menggugat dan mempertanyakan kebijakan dan aturan represif negara.
Konstitusionalisme menurut Lev, memiliki makna, ”political process, with or without a written constitution, is more or less oriented to public rules and institutions intended to define and contain the exercise of political authority”.(3) Menurut Lev, inti dari konstitusionalisme adalah proses hukum, yang dipengaruhi kepentingan ekonomi, elite leverage dan nilai-nilai (values) yang ada dimasyarakat. Dalam konteks ini, gugatan dan aktivitas advokasi merupakan media kontestasi gagasan yang dilakukan para advokat versus penguasa dan otoritas politik yang berkuasa.
Lev telah turut memotret perjalanan sejarah advokasi di Indonesia. Beliau juga telah meletakkan dasar-dasar akademik bagi para advokat yang bekerja di lembaga bantuan hukum (LBH) melahirkan konsep bantuan hukum struktural (BHS) yang turut mendorong rezim konstitusional di Indonesia.
Warisan Lev lainnya, pandangannya telah memberikan satu fundamen utuh bagi profesi advokat untuk mewujudkan apa yang diistilahkan dengan “officium nobile”. Artikel singkat ini, bertujuan untuk memaknai profesi advokat sebagai profesi mulia, dari kacamata Lev.
A. Advokat dalam Pembentukan Negara Hukum
Lev dalam sebuah essaynya dengan jelas mendeskripsikan dan menganalisis proses mengonstruksi (pencarian) bentuk negara hukum di Indonesia sejak 1945.(4) Menurut Lev, advokat LBH berperan penting dalam proses pencarian jati diri negara hukum di Indonesia, terutama sejak 1970-an yang disponsori Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Lev menyatakan:
”Private lawyers are a particularly important group in the history of constitutionalism, not because they are responsible for it or even all that essential to its evolution, but because they become the most articulate rationalizes of constitutionalist idea, in which they have a direct interest.”(5)
Analisis yang diajukan Lev tersebut sangat relevan hingga sekarang. Saat demokrasi terpimpin, advokat profesional terkena dampaknya baik secara ekonomis maupun ideologis. Diera itu, para advokat profesional tidak dapat menjalankan praktik advokasi dimuka peradilan untuk membela kepentingan kliennya yang bersebrangan dengan Soekarno. Namun, kontribusi para advokat profesional terhadap kepentingan pembaharuan hukum menurun, seiring pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatannya.(6)
Menurut penulis, menurunnya kontribusi advokat profesional dalam gerakan pembaruan hukum juga disebabkan ”lepasnya” LBH dari Peradin diawal 1980-an, dengan terbentuknya Yayasan LBH Indonesia, serta adanya perpecahan organisasi advokat di Indonesia.(7)
Karenanya, gerakan pembaruan hukum di Indonesia, sejak 1980-an lebih dominan dilakukan oleh para advokat yang bergabung di Yayasan LBH Indonesia, termasuk kantor-kantor LBH di Indonesia, walaupun tetap didukung utamanya oleh advokat-advokat senior Peradin. Gerakan advokasi LBH, kemudian mengkristal menjadi konsep bantuan hukum struktural (BHS), dimana, meminjam istilah Lev, bantuan hukum yang dianut LBH, mewakili ”a highly sophisticated constitutionalist movement”.(8)
BHS, menurut Lev pada dasarnya, penolakan para advokat dan pengabdi bantuan hukum di LBH atas pembatasan jasa hukum formal semata, ”...it has conceived its work more broadly as the cutting edge of political, social and even cultural reform”. Karenanya, lanjut Lev, ”(l)aw to the LBH is both means and end ideologically, but part of the end has to be understood as a state surrounded by political and institutional controls”.(9)
Dengan konsep diatas, meminjam pendapat Lev, penanganan kasus atau perkara yang menjadi aktivitas sehari-hari para advokat dan PBH, merupakan dasar perluasan kerja, “to the representation of peasant and labor interests, social-legal and political criticsm, lobbying pressure for legal reform, defense in political trials that also provide a forum for political and legal commentary, and promotion human rights”.(10)
Melihat peran advokat LBH tersebut, bahkan Lev pun, sempat memberikan apresiasinya kepada LBH, “(y)et the LBH has contributed substantially to the development of an ideology of political, constitutional, and legal reform, built around human rights emphasies, that drawn considerable support and is likely to endure.”(11)
B. Peran Advokat Hingga Detik-detik Krisis Organik Negara Orde Baru
Dalam sebuah penelitian penulis dan Daniel Hutagalung, untuk Kelompok Kerja Pembaruan Hukum tentang paradigma pembaruan hukum di Indonesia, pernah disampaikan bahwa pada era Orde Baru, proses pencarian wujud negara hukum sempat terhenti karena kepemimpinan Presiden Suharto. Suharto telah mereduksi ketetapan normatif dalam praktik politik, yang selanjutnya menyebabkan krisis organik negara Orde Baru.(12)
Orde Baru menerapkan kebijakan dan praktik authoritarian statism, dimana produk hukum dan ketentuan normative bukanlan didasarkan pada ide negara hukum, melainkan sebagai menjadikan seluruh ketetapan normatif dibawah praktik politik, sebagai proses konstruksi discourse politik Orde Baru, yang berujung pada perlindungan kepentingan Suharto dan kroninya. Apa dampaknya terhadap masyarakat? Diluar kroni Suharto, semua rentan menjadi politik kekerasan untuk menjaga hegemoni negara, termasuk para advokat yang dianggap punya potensi melakukan counter-hegemoni terhadap rezim Orde Baru.
Sejak wafatnya tokoh-tokoh Peradin, peran advokat profit sangat berkurang untuk memberikan kritik terhadap kebijakan Suharto. Di era Suharto, peran penting mulai diemban para advokat LBH, utamanya dimotori Adnan Buyung Nasution. Bertahannya LBH dimasa Orde Baru, tidak lepas dari figur tiga serangkai: Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin(13) dan almarhum Adam Malik.(14)
Beruntung Buyung, ia ditempa dan banyak dibantu tokoh-tokoh advokat yang memiliki karakter dan integritas, seperti Lukman Wiradinata, Suardi Tasrif, Hasyim Mahdan, Nani Razak dan Yap Thiam Hien.(15)
Saat Buyung ditahan dan selepasnya ia dari penjara, para supporter dan advokat LBH terus melakukan advokasi hukum terhadap kelompok-kelompok yang dianggap membangkang Soeharto. LBH juga terus melakukan advokasi membantu masyarakat yang menjadi korban politik, kebijakan dan terapan normatif rezim Orde Baru yang terus menjaga proses investasi dan akumulasi modal internasional melalui cara-cara kekerasan dan teror.
Peran paling signifikan yang dimainkan advokat dan PBH LBH diera Orde Baru, tidak lain, sebagai kelompok yang secara rutin dan berani melakukan counter-hegemoni.(16) Ambil satu contoh saja: penanganan kasus subversi. Boleh jadi advokat LBH masuk dalam Muri (Museum rekor indonesia) sebagai advokat yang paling banyak menangani perkara-perkara subversi ketika Soeharto berkuasa. Counter hegemoni pertama yang dilakukan profesi advokat yakni kasus dakwaan subversi terhadap harian Nusantara pada 1969. Ketika itu Lukman Wiridinata, Hasyim Mahdan dan Adnan Buyung tampil sebagai pembela dakwaan subversi karena harian ini seringkali memuat karikatur, tajuk dan opini yang mengkritik Suharto, Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, dan kroni Suharto lainnya.
Counter-hegemony terus berlanjut, kasus hingga Suharto mengundurkan diri pada 1998. Sejarah selanjutnya mencatat, praktik politik a la Orde Baru akhirnya terhenti. Orde Baru mengalami apa yang diistilahkan Anthonio Gramsci sebagai krisis organik (organic crisis of the state)(17) akibat praktik politiknya sendiri. Pemicunya, tidak lain krisis ekonomi yang memaksa terjadinya perubahan politik. Rezim investasi internasional menilai kepemimpinan Suharto tidak lagi menyediakan iklim yang mampu melipatgandakan keuntungan lembaga-lembaga keuangan negara. Dengan kata lain, Suharto terpaksa mundur karena terjadi krisis hegemoni.
C. Peran Advokat dan Juridico Political Ideology Di Era Reformasi
Pasca era reformasi 1998, merupakan titik penting dalam proses pembentukan “negara hukum”. Satu hal yang kadang dilupakan orang, dibalik semua kebaikan yang dapat dinikmati dari era reformasi, terdapat sebuah fakta: reformasi merupakan pintu pembuka masuknya rezim hukum neoliberalisme.(18)
Sejak Suharto menandatangi letter of Intent IMF (International Monetary Fund) yang dipercaya oleh para penasihat ekonominya sebagai “cara terbaik” untuk keluar dari krisis ekonomi, tak pelak lagi peraturan perundang-undangan di Indonesia mesti disesuaikan dengan skema international finance institutions. Tidak kurang 43 Undang-Undang selama periode 1999 hingga 2003, tidak lain mengikuti logika dan hukum IMF.(19) Fakta termuktahir, yakni penetapan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, yang saat ini telah diajukan pengujian di Mahkamah Konstitusi, karena bertentangan dengan UUD 1945.(20) UU ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pada saat kampanye pemilihan presiden gemar bicara dan berjanji menerapkan ekonomi kerakyatan!(21)
Produk perundang-undangan yang memberi landasan praktik neo-liberalisme(22) di Indonesia jelas bertentangan dengan juridico political ideology yang mesti diperjuangkan dalam kerangka Negara Hukum: keadilan sosial dan kebebasan mayarakat. Peraturan perundang-undangan yang mengikuti logika neo-liberalisme, jelas mengadopsi kepentingan ekonomi pihak pemilik modal yang kuat, dan meninggalkan gagasan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Gagasan ”pure market” secara otomatis akan merusak tatatan dan modal sosial masyarakat.
Karenanya, sangat relevan bagi para advokat saat ini melakukan counter hegemony terhadap semua peraturan perundang-undangan yang menjamin modal ekonomi sebagai panglima, dan sebaliknya modal sosial ditinggalkan karena dianggap sebagai penyebab perekonomian menjadi kurang efisien. Karena, menjadi ”kewajiban” bagi para advokat LBH untuk menerapkan BHS, termasuk melakukan aksi hukum untuk memajukan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) sebagai proyek dan gerakan mempromosikan modal sosial masyarakat sebagai salah satu benteng penahan belitan gurita globalisasi neo-liberalisme.
D. Penutup: Esai Lev Sumber Inspirasi yang Kaya bagi Profesi Advokat
“But reformers among them provide the ideological rationalizations for political change, as indeed lawyers have done elsewhere through much of modern history. Legal systems, as they actually work, record essential codes of political relationship and authority…A small pride of professional advocates has had remarkable influence in framing the debate over legal and political change, and is likely to pursue them long into the future”.(23)
Sebagai mana pendapat Lev, eksistensi advokat, baik advokat pro-bono yang bekerja untuk LBH atau advokat profit, akan terus hidup jika terus berkontribusi terhadap perwujudan ideal negara hukum. Diluar itu, profesi advokat tereduksi sebagai sebatas pembaca undang-undang dimuka pengadilan.
Dari analisis Lev, maka jelas peran advokat sangat penting dalam pembaruan hukum dan pembentukan ideal Negara Hukum di Indonesia. Karenanya, peran LBH dan Peradi, sebagai satu-satunya organisasi advokat di Indonesia signifikan untuk gerakan pembaruan hukum di Indonesia.
Salah satu kendala yang dihadapi, tentu lemahnya ”interest” para advokat saat ini untuk memperbaiki sistem hukum. Karena, problem ”mafia peradilan” atau problem ”bobroknya sistem peradilan”, atau ”problem korupsi di Indonesia, tidak membuat pendapatan para advokat profit menurun. Bahkan signifikan menjadi lebih tinggi. Karenanya optimisme yang bisa dipupuk yakni dari para advokat muda, yang terbatas sumber dayanya untuk ”memenangkan” perkara tanpa melakukan suap atau sogok, tetapi mengandalkan pengetahuan dan keterampilannya beracara dimuka badan-badan peradilan.
Advokat profesional – profit dan pro-bono – tidak semata diukur dari kasus-kasus yang ditanganinya, melainkan juga diukur dari kontribusinya terhadap: (1) pembentukan negara hukum - konstitusionalisme, dan (2) perlindungan modal sosial masyarakat.
Advokat profit, dengan mudah menjelaskan bahwa ia membela hak hukum kliennya, tidak peduli seorang Suharto, Wiranto, Polycarpus, Anthony Salim, badan hukum dan korporasi Freeport atau Newmont. Hal ini berlaku dibelahan dunia apapun. Sama seperti profesi dokter yang menerima uang jasa dari pasiennya, dari seorang koruptor atau penjahat hak asasi manusia, juga dari masyarakat biasa yang datang berobat kepadanya. Karenanya kurang relevan mempertanyakan dan memperdebatkan perkara apa yang dibela atau siapa yang dibela oleh seorang advokat, melainkan apa sumbangannya terhadap kedua hal tersebut.
Esai-esai Lev, merupakan sumber yang kaya bagi inisiatif memuliakan peran advokat. Dari kaca mata Lev, dapat dilihat betapa advokat berperan dalam perjuangan kemerdekaan RI. Lev menyatakan, ”(i)t is possible, though a guess, that 75 percent of all ethnic Indonesian advocates were in some way organizationally involved in the pre-war nationalist movement”.(24) Selanjutnya peran advokat baik advokat Peradin maupun LBH memberikan kontribusi dalam mengkritik kebijakan demokrasi terpimpin Sukarno dan rezim Suharto.
Peran advokat mesti terus belanjut. Sebuah peran mempromosikan dan mewujudkan mempromosikan sebuah juridico political ideology: keadilan sosial dan kebebasan masyarakat. Kepergian Professor Lev merupakan kehilangan besar, guru dimana para advokat dapat menajamkan pandangan tentang peran mulia sebuah profesi.
Catatan Belakang
(1) Lihat Philip Pettit. 1999. Republicanism: A Theory of Freedom and Government. Oxford: Oxford University Press.
(2) Ibid., p. 66 – 69, 97 – 109.
(3) Daniel S. Lev. “Social Movement, Contitusionalism and Human Rights” in Daniel S. Lev. 2000. Legal Evolution and Political Authority in Indonesia. Selected Essays. Hague, London, Boston: Kluwer Law International, p. 321.
(4) Lihat Ibid., pp. 325 – 330.
(5) Lihat Ibid., p. 328.
(6) Lihat Ibid.
(7) Pertemuan nasional organisasis advokat pada 1985 berujung ricuh, sejak saat itu organisasi advokat beranak pinak hingga ditetapkannya UU No. 18/2003 tentang Advokat. Pembentukkan Peradi (Perhimpunan Advokat Indonesia) pasca UU Advokat juga masih menyisakan residu konflik, karena dianggap bukan terbentuk dari sebuah kongres advokat seluruh Indonesia. Perkembangan paling akhir, Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) juga mengalami perpecahan pada Musyawarah Nasional di Balik Papan.
(8) Dikutip dari Daniel S. Lev. Op.cit, pp. 328 – 329.
(9) Dikutip dari Ibid., p. 329.
(10) Dikutip dari Ibid.
(11) Dikutip dari Ibid.
(12) Tentang hal ini, lihat lebih lanjut “Paradima Pembaruan Hukum di Indonesia: Agenda Lembaga-lembaga Negara”. 19 Desember 2003. Naskah penelitian Kelompok Kerja Pembaruan Hukum Alternatif.
(13) Adnan Buyung dalam otobiografinya, menyebut Bang Ali sebagai benteng pelindungnya. Lihat Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Pahit Getir Merintis Demokrasi. Jakarta: Aksara Karunia, h. 129. Peran Bang Ali terhadap LBH sangatlah besar. Ia tidak saja memberikan bantuan dana, tetapi juga spirit dan moril keberanian dan kepemimpinan.
(14) Selain Bang Ali, peran Adam Malik, boleh jadi, sangat signifikan mempengaruhi Suharto untuk tidak “me-Munir-kan” Adnan Buyung Nasution, utamanya pasca peristiwa Malari. Ketika Adnan Buyung Nasution dipenjara tanpa proses peradilan, Adam Malik saat itu menjabat Menteri Luar Negeri. Ia terus menerus melaporkan surat protes baik lisan maupun tulisan ke Suharto dari komunitas internasional, seperti International Commission of Jurist, perhimpunan ahli hukum Belanda, Amerika Serikat, Inggris atau surat protes dari Amnesty International. Kepedulian Adam Malik terhadap aktivitas LBH terus berlanjut sampai ia menjadi Wakil Presiden.
(15) Lihat Ibid., h. 217.
(16) Kiprah LBH tentu tidak akan diketahui secara luas tanpa tokoh-tokoh pers: diawal pendiriannya, LBH banyak didukung oleh, antara lain Moctar Lubis dengan Indonesia Raya. Tokoh lainnya, P.K Ojong dengan Kompas-nya.
(17) Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung. Op.Cit., h. 24. Selanjutnya tentang krisis organik, lihat Antonio Gramsci. 1986. Selections from Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart, p. 210.
(18) Lihat Patra M Zen dan Daniel Hutagalung. Ibid.., h. 24 – 33.
(19) Lihat tabel inkorporasi agenda IFIs kedalam pembaharuan hukum di Indonesia. Ibid., h. 32.
(20) Lihat antara lain Kompas. 6 September 2007. “MK Diminta Batalkan UU Penanaman Modal”. Lihat juga Detikcom. 27 Maret 2007. “YLBHI: RUU Penanaman Modal Rugikan Rakyat Kecil”; Antara News. 18 Mei 2007. “YLBHI Nilai 23 Pasal UU Penanaman Modal Langgar UUD 1945”. Teks di http://www.antara.co.id/arc/2007/4/18/ylbhi-nilai-23-pasal-uu-penanaman-modal-langgar-uud-1945/
(21) Lihat antara lain. Tempointeraktif. 11 Mei 2004. “SBY Lakukan Lawatan Ke Daerah”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/05/11/brk,20040511-05,id.html
(22) “What is neoliberalism? A programme for destroying collective structures which may impede the pure market logic”. Pengertian neo-liberalisme ini dikemukakan Pierre Boirdieu untuk menjelaskan bahwa program neo-liberalisme tidak lain dari upaya untuk mewujudkan logika pasar secara murni. Dikutip dari Pierre Bourdieu, “The Essence of Neoliberalism” in Le Monde Diplomatique, December 1998.
(23) Dikutip dari Lev. “Between State and Society: Professional Lawyers and Reform in Indonesia”. Op.cit., p. 305
(24) Dikutip dari Lev. “The Origins of the Indonesian Advocacy” in Daniel S. Lev. Op.cit., p. 275.