Pengantar Diskusi
A. Prolog
Pengertian advokasi dalam tulisan ini bermakna pembelaan dalam arti luas, baik yang dilakukan lewat upaya hukum (litigasi) maupun diluar upaya ini (non-litigasi). Litigasi maksudnya, melakukan pembelaan terhadap klien – korban - kita dalam proses peradilan. Sedangkan non-litigasi, upaya pembelaan yang dilakukan dengan beragam cara seperti aksi (demonstrasi) – bertujuan untuk melakukan desakan terhadap para pihak untuk berbuat sesuatu atau mengeluarkan kebijakan; mengkampanyekan kasus/masalah dengan tujuan mendapatkan simpati/dukungan terhadap kasus atau korban; atau pun melakukan pembelaan dengan cara-cara lain yang dianggap dapat membantu upaya penyelesaian masalah atau membantuk korban yang kita bela/dampingi.
Dalam artikel ini, subyek yang melakukan advokasi dibatasi: mahasiswa, sesuai dengan audiens dalam acara ini. Karenanya, upaya advokasi dalam artikel ini lebih ditujukan pada upaya-upaya pembelaan diluar jalur sistem peradilan – seperti yang diperankan pengacara publik atau advokat hak asasi manusia.
B. Konteks dan Batasan
Posisi mahasiswa dalam advokasi bersifat pendampingan. Dalam prakteknya, suka atau tidak suka, mahasiswa tetap menjadi ‘orang luar’ dalam proses advokasi. Dalam batas ini, korban yang diadvokasi menempati posisi yang lemah dalam artian, tidak memiliki akes terhadap sumber daya ekonomi, politik dan sosial. Sebagai ilustrasi, korban dalam kontek advokasi: petani miskin yang dirampas tanahnya oleh aparatur negara atau pemilik modal (kapital) besar; massa buruh yang dipecat sewenang-wenang; atau pun kelompok atau komunitas penduduk yang dilanggar hak asasinya. Lebih jauh, demonstrasi mahasiswa untuk mendesak pemerintah menurunkan harga, dapat dikategorikan sebagai upaya advokasi rakyat kebanyakan, karena dampak negatif yang dihasilkan oleh kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga mendera mayoritas masyarakat yang tidak memiliki sumber daya ekonomi yang memadai. Dengan kata lain, korban disini bukanlah ditujukan untuk individu atau kelompok yang ‘kuat’ atau ‘berkuasa’ terlebih mengadvokasi ‘penguasa’.
Tulisan ini akan mendeskripsikan dan mendiskusikan salah satu tahapan dalam advokasi, yakni perencanaan. Dalam melakukan pembelaan yang hendak dilakukan diperlukan perencanaan yang baik dengan salah satu satu tahapan: ‘pemetaan masalah’. Advokasi yang dilakukan adalah advokasi ‘berpihak’. Karenanya salah satu tujuan penting dalam pemetaan masalah ini untuk menentukan siapa ‘korban’. Lebih lanjut, pemetaan masalah bertujuan untuk mengetahui beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, latar belakang sebuah kasus atau masalah. Pada bagian ini, latar belakang yang hendak dicari bukan saja faktor pencetus (trigering factor) melainkan akar problem. Akar masalah ini bisa saja konflik ekonomi, sosial atau pun budaya. Sebagai contoh, apa yang diistilahkan media publik (surat kabar, televisi, dsb) sebagai konflik komunal atau konflik horizontal – konflik yang terjadi antar sesama komunitas masyarakat, tidak dapat serta merta dipercaya sebagai konflik antar masyarakat an sich. Dengan demikian, untuk membuktikan sebuah teori kasus yang hendak disusun dan ‘dipertahankan’, akar masalah sebenarnya mesti diketahui terlebih dahulu. Kegunaan dalam advokasi antara lain, dapat dipergunakan untuk mendesak pertanggungjawaban negara (state obligation), utamanya dalam promosi, perlindungan dan pemenugan hak asasi para pihak yang berkonflik.
Kedua, para-pihak yang terlibat dalam kasus. Dalam konteks ini, elaborasi dan penyelidikan terhadap para pihak yang terlibat mesti dirangkai menjadi sebuah ‘cerita’ dengan bagian-bagian episodenya. ‘Menggambarkan’ para-pihak sedetail-detailnya menjadi salah satu tugas ‘pendamping’. Setelah para pihak kunci telah teridentifikasi, selanjutnya disusun sebuah kerangka kerja yang memungkinkan para pihak terlibat dalam ‘pembelaan’ atau minimal, tidak menghalang-halangi ‘pembelaan’ yang hendak dilakukan. Pada umumnya para pihak yang didentifikasi berasal dari tiga lingkaran besar: negara; pasar (market), dan korban baik korban langsung – maupun korban yang tidak langsung, dan komunitas masyarakat secara keseluruhan.
Ketiga, menyusun strategi pendampingan. Strategi ini berbeda dengan strategi perlawanan atau pembelaan yang disusun ‘korban’. Perbedaannya, dilihat dari aspek ‘si pembuat strategi’. Strategi pendampingan yang disusun mahasiswa tidak dapat dipaksakan dan wajib ‘berdialog’ dengan strategi ‘si korban’. Saat pilihan strategi antara mahasiswa dengan ‘korban’ berbeda, keputusan akhir mesti dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan korban.
C. Prasyarat dan Metode Memetakan Masalah
Untuk mencapai hasil ‘peta’ dengan maksimal, sebaiknya dilaksanakan dengan proses belajar bersama korban atau seringkali disebut dengan metode ‘live in’ atau ‘hidup bersama. Proses belajar bersama ini akan mengurangi bahkan mencegah ‘informasi manipulatif’. Informasi sejati (genuine) dan kenyataan lapangan sangat bisa dicapai jika ‘pendamping’ menggalinya di lapangan secara langsung. Metode live-in, pada dasarnya melengkapi analisis yang bersifat kwantitatif terhadap data-data social (quantitative analysis of social data), sehingga pengalaman yang didapat bukan sekedar data statistik. Pada umumnya, pada kegiatan live-in, ‘pendamping melakukan observasi, bertanya, dan jika diperlukan mengorganisir grup diskusi yang membahas problem secara regular.
Belajar besama akan mempermudah ‘pendamping’ untuk mengetahui organisasi sosial dimana korban berdomisili. Sebagai contoh, proses belajar ini akan mengeksaminasi bagaimana konflik terjadi dan dikelola, kebutuhan-kebutuhan sosial, kepentingan-kepentingan individu, budaya atau pun mengetahui symbol-simbol yang dipunyai organisasi sosial tersebut.
Metode ‘belajar bersama’ seringkali secara parallel dilakukan dengan proses ‘pendidikan popular’. Dalam hal ini, ‘pendamping’ menjadi fasilitator dalam proses belajar yang ditandai dengan proses partisipasi. Untuk dapat mencapai hasil yang maksimal, tak pelak lagi faktor individual ‘pendamping’ menjadi faktor yang penting. Diperlukan ‘pembela dan pendamping’ yang memenuhi persayaratan antara lain punya komitmen tinggi untuk melakukan advokasi, mau belajar, dan konsisten.
D. Epilog: Langkah Selanjutnya
Merumuskan perencanaan pendampingan. Perumusan dilakukan dengan asumsi Perencanaan Strategis (Renstra) sudah dilakukan. Dengan demikian, pendampingan yang dilakukan ‘mengabdi’ pada strategi besar (fundamen) yang sudah disusun. Sebagai contoh, ‘Pekan Pelatihan Advokasi’ idealnya, merupakan bagian kegiatan dari renstra yang sudah ditetapkan dan disepakati sebelumnya. Hal ini mencegah kegiatan menjadi sebatas ‘rutinitas’ atau sebatas ‘kegiatan reaksioner’ yang ditandai hal-hal seperti: tidak adanya follow up atau rencana tindak lanjut; tidak lahirnya sebuah ‘kelompok advokasi’ atau tidak terukurnya output dari pekan pelatihan. Secara singkat, renstra yang disusun sebaiknya memenuhi prinsip-prinsip: (1) sistematis; (2) merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang dapat diukur dan dicapai; (3) dilakukan dengan mengikuti jadwal waktu. Renstra dibuat dengan mempertimbangkan analisis ‘SWOT’ (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dan analisis ‘kawan’ dan ‘lawan’.
Sebagai catatan penutup, uraian diatas hanyalah merupakan salah satu usulan pedoman. Pada prakteknya teori mau pun metode mesti di uji dilapangan, karenanya fleksibilitas diperlukan dengan muara pertimbangan: keutungan-keuntungan dapat dicapai dalam upaya advokasi yang dilakukan.
* Paper pada Pekan Pelatihan Advokasi. Dept. Litbang dan Pengkajian SEMA FH Universitas Attahiriyah. Jakarta. 3 Februari 2003.