Prosedur komunikasi dan komplain dalam mekanisme dan system Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) digunakan sebagai aktivitas pencarian judicial remedies dilevel internasional, bagi para korban kejahatan hak asasi manusia (HAM). Tujuannya, antara lain: mendapatkan dorongan dan desakan komunitas dilevel global kepada Negara dalam pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Walaupun aktivitas ini bersifat komplementer, penggunaan prosedur ini dalam skala tertentu dapat memicu perbaikan-perbaikan situasi dilevel domestik.
Karena pengaruh tersebut, intensitas pembawaan dan kampanye persoalan-persoalan HAM ke PBB dilakukan ribuan orang setiap tahun melalui mekanisme yang ada. Tulisan ini akan memberikan gambaran prosedur-prosedur yang seringkali digunakan untuk meminta PBB berbuat sesuatu atas problem pemenuhan HAM yang terjadi.
Prosedur dibawah perjanjian dan Prosedur Khusus
Komplain dibawah hukum internasional HAM yang utama: dilakukan lewat alas acuan perjanjian-perjanjian (treaties) dan prosedur khusus yang disediakan Komisi HAM (Commission on Human Rights) – juga Komisi Status Perempuan (Commision on the Status of Women).
Prosedur dibawah perjanjian, setidaknya mulai digunakan – dan dikembangkan mekanismenya, sejak periode awal 1970. Komplain dilakukan dibawah aturan: Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR); Konvensi menentang Penyiksaan (CAT); Konvensi anti Diskriminasi Rasial (CERD); dan Kovensi anti Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Sesuai dengan tajuk konvensi, komplain atau keluhan didasarkan pada klausa dan klasifikasi HAM yang ada dimasing-masing perjanjian. Upaya ini ditujukan kepada sebuah komite quasi-judicial, yang selanjutnya melakukan examinasi atas komplain-komplain yang diterimanya. Mekanisme yang sama berlaku juga untuk prosedur komplain kepada Komisi HAM dan Komisi Status Perempuan, dimana kedua komisi ini melibatkan lembaga politik yang beranggotakan perwakilan dari Negara.
Komplain yang diajukan pada komite diistilahkan sebagai “komunikasi” atau “petisi”. Masing-masing petisi ini mempunyai form khusus yang meminta penyediaan informasi spesifik termasuk korespondensi yang ada. Beberapa hal yang penting dalam menggunakan mekanisme prosedur, sebagai berikut:
1. memberikan informasi-informasi dasar personal;
2. mengajukan petisi dengan segera – walaupun tidak ada aturan soal batas waktu.
Prosedur pengajuan petisi: ika petisi kita dieksaminasi Komite, kita akan mendapat advice of registration. Komite akan mengirimkannya ke Negara untuk meminta komentar atas petisi kita. Jika Negara memberikan komentarnya, pengaju petisi diberikan kesempatan untuk memberikan komentar balik. Jika Negara tidak mau merespon permintaan Komite, maka komite selanjutnya dapat mengambil keputusan berdasar petisi original kita.
Petisi yang dieksaminasi Komite dengan melewati dua tahap: “admissibility” dan “merits”. Admissibility, kasus merujuk pada persyaratan formal dimana komplain kita harus jelas sebelum komite memeriksanya, menyangkut antara lain: otorisasi pengaju petisi; berkesuaian dengan provisi-provisi dalam perjanjian (ratione materiae). Sedangkan, “merits”, dimana kasus dipertimbangkan sudah dimengerti dengan baik, dimana komite memutuskan apakah hak-hak yang dijelaskan dalam petisi memang sudah dilanggar.
Komite dibekali kapasitas untuk mengambil urgent action jika dianggap perlu. Mekanisme berdasarkan interim action yang dilakukan komite (“interim measures”) untuk mencegah problem HAM yang lebih serius, seperti urgent action atas kasus deportasi seseorang yang menghadapi resiko penyiksaan jika dilakukan. Pendeknya, “interim measures” ini digunakan berdasarkan isu yang mendesak dan tidak dapat ditunda atau diulang dimasa selanjutnya. Jika kita ingin komite mempertimbangkan upaya ini, mesti secara eksplisit dimuat dalam petisi yang kita buat – dengan tentu saja menjelaskan dengan rinci dan dengan argumen yang kuat mengapa upaya ini diperlukan.
Dalam keputusan yang nantinya dibuat Komite, kita juga dapat meminta Komite untuk tidak memuat nama individu jika dianggap membahayakan kepentingan personal. Permintaan ini akan dipertimbangkan komite sebelum keputusan finalnya menjadi dokumen publik. Paska keputusan dibuat, komite dapat mengundang Negara untuk memberikan informasi dengan waktu tiga bulan tentang langkah-langkah yang diambil berkaitan dengan problem HAM yang terjadi.
Prosedur 1503
Prosedur 1503, merupakan prosedur komplain tertua dalam system PBB. Digunakan dibawah mekanisme Komisi HAM berdasarkan Economic and Social Council resolution 1503 (XLVII), 27 May 1970. Dalam prosedur ini, komplain lebih bersifat umum, ketimbang individual. Serta diajukan dalam kasus-kasus yang kualifikasinya kejahatan berat. Ditahun 2000, terjadi amandemen prosedur (revised 1503 procedure) dengan tujuan untuk memfasilitasi lebih banyak dialog dengan Pemerintah dan menyediakan peluang debat yang efektif dalam Komisi ini.
Prosedur 1503 dapat digunakan untuk Negara mana pun, tanpa harus mempertimbangkan apakah Negara ini telah meratifikasi perjanjian yang ada. Sekali kita mengajukannya, kita tidak lagi melakukan respon ditahapan selanjutnya. Komplain ditujukan ke Kantor Komisioner Tinggi HAM (OHCHR) di Jenewa, Swiss. Komplain ini dieksaminasi oleh mekanisme Komisi HAM, level tertinggi dalam UN human rights machinery, yang dapat memberikan dorongan dan desakan kepada Negara, karena sifat lembaga ini merupakan lembaga politik. Namun, kelemahannya, jika kita menggunakan prosedur ini, kita tidak mendapatkan informasi tentang putusan-putusan yang diambil, beserta alasan mengapa putusan semacam itu yang dijatuhkan. Prosedur 1503 dapat juga digunakan dan ditujukan kepada Komisi Status Perempuan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi trend global dan pola-pola problem hak asasi perempuan.
Sebagai tambahan, Indonesia pernah dieksaminasi oleh Komisi HAM. Eksaminasi terjadi periode 1978 – 1981 (sessi 34th – 37th), dan periode selanjutnya, 1983 – 1985 (39th – 41th). Eksaminasi, menyangkut aneksasi militer Indonesia ke Timor Leste.
* Artikel dalam diskusi ELSAM, Februari 2004.