Ambil satu contoh: pengalaman dalam mengadvokasi UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Kurang lebih 2 tahun, Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP) – sebelumnya Koalisi TCP3 – melakukan advokasi RUU ini, dengan hasil (hanya) dua pasal usulan Koalisi yang diadopsi DPR, yakni pasal 7 tentang hirarki dan jenis peraturan perundang-undangan dan pasal 53 tentang hak setiap orang dalam proses pembentukkan peraturan perundang-undangan.
Dari proses advokasi RUU tersebut, paling tidak ada 4 pelajaran penting yang dapat diambil: Pertama, adanya tuntutan untuk Koalisi menyediakan dokumen dan memfasilitasi semua pihak yang memiliki perhatian untuk terlibat dalam advokasi kebijakan; kedua, adanya keperluan mengenal dan saling-kenal dengan anggota DPR dan pejabat Pemerintah yang terlibat dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU menjadi UU; ketiga, idealnya proses advokasi sebuah RUU merupakan aktivitas pokok dan utama, sehingga dapat dimotori oleh sekelompok orang yang profesional dan penuh waktu (full-time); keempat, tidak sedikit energi dan sumber daya, termasuk dana yang dikeluarkan dalam proses advokasi kebijakan, menyebabkan adanya kontroversi soal bandingan ukuran keberhasilan: dari proses atau hasil yang telah dicapai.
Artikel ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis pengalaman proses advokasi UU No. 10/2004 yang diharapkan dapat memberikan manfaat bagi rencana advokasi kebijakan yang akan dikerjakan oleh para peserta pelatihan ini. Sesuai dengan TOR yang diterima, deskripsi dan analisis akan dibatasi pada tahap mencari dan mengetahui sumber daya dan lingkungan sekitar.(1)
A. Mengidentifikasi Pemangku Kepentingan dan Mitra
Pemangku kepentingan (stakeholder) dapat didefinisikan sebagai “para pihak: individual, kelompok individu, atau lembaga yang merupakan audience penting, klien, grup, penerima manfaat, pendukung atau investor dalam organisasi”.(2) Dalam praktik, identifikasi pemangku kepentingan dan mitra diharapkan menjawab 2 soal: siapa saja? dan; mengapa mereka mendukung kita?
Secara singkat aktivitas selanjutnya, adalah memulai mendaftar dan mendokumentasikan para pemangku kepentingan dan mendiskusikan dengan cara atau jalan bagaimana para pihak mendukung kita? Dalam konteks ini bentuk-bentuk dukungan dapat berupa, antara lain: (i) dukungan politik; (ii) akses (lebih banyak pendukung dan dukungan); (iii) dukungan teknis seperti sumber informasi dan penelitian, konsultasi, keahlian, kesempatan pelatihan, bantuan administrasi atau logistik; (iv) akses atas kemungkinan dukungan dana dan koneksi; (v) perluasan perhatian publik dan kemungkinan tercapainya tujuan.
Sebagai catatan, dalam praktik, terdapat hubungan timbal balik agar dalam proses memperoleh dukungan berjalan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan mengapa para pihak mendukung kita, perlu dijawab secara paralel, “keuntungan” apa yang akan diperoleh mereka? Tentu saja, tidak menutup kemungkinan, adanya dukungan dari para pihak memang benar-benar tulus tanpa pamrih apa pun.
B. Menerapkannya dalam Advokasi RUU
Pada saat mengadvokasi RUU PPP, banyak pihak telah terlibat. Koalisi berupaya melibatkan sebanyak mungkin pihak untuk mendukung adanya “hak masyarakat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan”. Identifikasi pemangku-kepentingan dilakukan dengan cara diskusi kecil atau diskusi terbatas, yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan melakukan pendekatan terhadap para individual/kelompok yang dinilai akan memberikan dukungan kepada aktivitas Koalisi.
Tabel 1
Aktivitas Pertemuan Simpul yang Melibatkan Anggota DPR RI
No. | Wilayah | Pelaksana | Waktu | Anggota DPR |
1. | Sumatera Utara | Bakumsu | 8 September 2003 | Firman Djaya Daely, PDIP, Komisi II |
2. | Jawa Timur | YPSDI | 15 September 2003 | K.H. Yusuf Muh, PKB, Komisi II |
3. | Nusa Tenggara Barat | Konsepsi | 2 – 4 Oktober 2003 | Burhan Djabir Magenda, Golkar, Komisi II |
4. | | Kopel | 4 – 5 Oktober 2003 | Prof. Dr. M. Asikin, Fraskis Reformasi, Komisi II |
5. | Jawa Barat | Sawarung | 7 – 8 Oktober 2003 | H. Didi Supriyanto, PDIP |
6. | | Forum LSM DIY | 8 Oktober 2003 | Hajriyanto Y. Thohari, Golkar |
7. | Sumatera Barat | LP2M | 9 – 11 Oktober 2003 | H. Patrialis Akbar, Fraksi Reformasi, Komisi II |
8. | | Walhi Sulteng | 15 – 16 Oktober 2003 | Prof. Dr. Tunggul Sirait, PDKB, Komisi VIII |
9. | | Yadah | 15 – 16 Oktober 2003 | Hasanuddin Murad, Golkar |
10. | Nusa Tenggara Timur | Sanlima | 26 – 27 Oktober 2003 | Agustin Teras Narang, PDIP |
Sejumlah aktivitas dilakukan oleh Koalisi, antara lain: melibatkan para anggota DPR RI dalam pertemuan simpul di sejumlah daerah – seperti termuat dalam tabel 1 diatas; melibatkan para akademi dalam kegiatan seminar, diskusi, talkshow dan konferensi pers; melibatkan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam aktivitas KKP. Hingga saat ini Sekretariat Nasional KKP mengelola sebuah mailing list dengan ratusan partisipan.(3)
C. Pro dan kontra terhadap Substansi RUU/UU
Dalam proses advokasi, Koalisi mencatat tidak sedikit anggota DPR yang mendukung gagasan dan prinsip pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan perundang-undangan, sebagai contoh dukungan dari anggota Panitia Kerja (Panja) dari Fraksi Reformasi, Mutammimul ‘Ula.(4) Para akadimisi yang aktif mendukung aktivitas Koalisi, antara lain Maria Farida Indrati Soeprapto dan Marwan Mas.
Seperti dikemukakan dibagian awal, (hanya) 2 pasal usulan Koalisi yang diadopsi oleh DPR. Dengan kata lain, tidak seluruh draft atau RUU alternatif yang diajukan Koalisi diterima oleh DPR. Para pihak yang pro dan kontra, dapat ditelusuri dengan mendokumentasikan berita dimedia. Sebagai contoh, dari media, KKP mengetahui bahwa Permadi dari Fraksi PDIP Perjuangan dan Lukman Syaefudin, anggota Baleg dari fraksi Persatuan Pembangunan merespon positif gagasan pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan perundang-undangan.(5) Kala itu Permadi menyatakan: “…pihaknya akan senang sekali jika LSM menyampaikan RUU berikut Daftar Inventaris Masalah (DIM)-nya ke DPR…”.(6)
Selanjutnya, mengetahui pernyataan-pernyataan yang kontra, dapat bermanfaat agar kita dapat mempersiapkan argumen yang lebih kuat untuk merespons pendapat yang tidak mendukung (kontra). Respon sekaligus kampanye, dapat dilakukan dengan cara menggelar konferensi pers.(7)
Dalam kelembagaan KKP, konsep dan gagasan hingga penelitian dilakukan oleh sebuah tim yang disebut dengan Tim Substansi dengan peran dan fungsi: “menganalisis dan mengkritisi substansi peraturan perundang-undangan serta menawarkan gagasan baru dan melakukan kajian kritis terhadap peraturan perundang-undangan yang partisipatif baik prinsip maupun mekanismenya”.(8)
Sebagai informasi, selain Tim Substansi, KKP membentuk 2 tim lain, yakni: Tim Kampanye dan Tim Lobby. Peran dan Fungsi Tim Kampanye yakni: “melakukan sosialisasi dan publikasi isu partisipasi masyarakat pada kalangan masyarakat luas, yang substansinya telah melalui proses pengkajian di Tim Substansi”.(9) Sementara, Tim Lobby berperan dan berfungsi: “melakukan pendekatan dan mempengaruhi para pembuat kebijakan”.(10)
D. Dampak Undang-undang terhadap Perempuan dan Orang Miskin
Untuk mengidentifikasi dampak sebuah kebijakan atau peraturan perundang-undangan, dapat menggunakan metode “policy impact analysis” atau analisa dampak kebijakan, dalam konteks ini secara khusus terhadap perempuan dan orang miskin. Secara sederhana, terdapat 2 pertanyaan yang perlu dijawab, yakni: (i) apa saja substansi atau ketentuan dalam sebuah RUU/UU yang berakibat negatiif?; (ii) bagaimana ketentuan tersebut menyebabkan dampak negatif dalam praktik?;
Dari perspektif perencanaan strategis, preposisi ideal sebuah kebijakan atau undang-undang dapat membantu memberikan gambaran pada masyarakat, termasuk kaum perempuan dan kelompok masyarakat miskin akan pengaruh (positif) dan dampak (negatif) yang akan (atau telah) ditimbulkan. Selanjutnya, dapat diteruskan dengan meneliti secara langsung (penelitian lapangan) untuk menggali informasi “ketentuan apa yang seharusnya dimuat atau tidak dimuat” dalam rancangan kebijakan yang bersangkutan. Pekerjaan kita, pada dasarnya merupakan refleksi dari kesadaran kolektif dimana masukan dari kelompok-kelompok marjinal merupakan basis dari sumber informasi.
Mengambil pengalaman KKP, ideal dan argumen pokok yang dikembangkan yakni bahwa prinsip dan praktik pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan bertujuan agar peraturan yang ditetapkan membawa manfaat bagi masyarakat termasuk kelompok miskin. Dengan kata lain, tidak diadopsinya ketentuan tentang hak partisipasi masyarakat, akan membawa dampak negatif: aspirasi dan kepentingan masyarakat diabaikan dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan.
Untuk konteks advokasi yang dilakukan berkaitan dengan kepentingan kelompok perempuan dan/atau kelompok miskin, maka ideal atau argumen pokok yang dikembangkan dapat bersumber dari konstitusi atau Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) – yang telah diratifikasi Indonesia. Dengan meletakkan gagasan yang sejak awal merujuk pada konsitusi UUD 1945 misalnya, bertujuan agar argumen yang dikembangkan dapat berguna untuk tahapan selanjutnya, sebagai contoh dalam proses dan pelaksanaan uji formil dan materiil (judicial review) undang-undang di Mahkamah Konstitusi.
E. Penutup
Dalam praktik, variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan advokasi sangat beragam. Karenanya, praktik langsunglah yang dapat memberikan pengetahuan, pelajaran dan pengalaman yang terbaik. Sebagai contoh, dalam mengidentifkasi pemangku kepentingan, hanya dengan praktik langsung kita dapat mengetahui perubahan-perubahan dalam proses advokasi. Terlebih dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan yang nota-bene diputuskan oleh para politisi. Tidak tertutup kemungkinana dalam sebuah RUU, seorang anggota DPR mendukung kita, namun di RUU yang lain, individu yang sama mempunyai pendapat yang berseberangan dengan kita.
Akhirnya, selamat Berdiskusi.
* Pengantar diskusi pada Training of Trainers (TOT) Advokasi. “Otonomi, Pluralisme dan Pendidikan Alternatif”. Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (Kapal Perempuan). 9 September 2005.
Catatan Kaki:
(1) Dalam sejumlah manual dan modul “strategic planning”, tahapan tersebut diistilahkan berbeda-beda. Lihat antara lain Frank Martinelli. 1999. Strategic Planning Manual. The Centre for Public Skills Training: Milwaukee; Lihat juga CEPDA. Strategic Planning An Inquiry Approach. The CEPDA Training Manual Series. Volume X. The Centre for Development and Population Activities: Washington DC. Artikel ini disusun dengan menggunakan kedua manual tersebut.
(2) CEPDA. Ibid. p. 9.
(3) Mailing list ini beralamat kebijakan_partisipatif@yahoogroups.com. Dibuat pada 1 November 2001. Per 5 September 2005, tercatat 263 partisipan menjadi anggota milist ini.
(4) Lihat A. Patra M. Zen. 2005. Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembentukan Perundang-undangan Partisipatif. KKP dan YLBHI: Jakarta., h. 4
(5) Lihat Hukum Online. 29 November 2004. “Tim Perencanaan Legislasi Perlu Dibentuk”. Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=11636&cl=Berita
(6) Ibid.
(7) Antara lain, konferensi pers penolakan rencana pengesahan RUU Pembentukkan Peraturan Perundangan-undangan yang dilakukan KKP. Lihat antara lain Kompas. 12 Mei 2004. “LSM Tolak Pengesahan RUU Perundang-undangan”.
(8) A. Patra M. Zen. Op.cit., h. 10.
(9) Ibid., h. 10 – 11.
(10) Ibid., h. 11.