Tuesday, November 04, 2008

Bantuan Hukum Indonesia: Mengurai Gagasan dan Praktiknya lewat Perjalanan LBH

Adnan Buyung Nasution benar; bantuan hukum yang mulai dicanangkannya pada tahun 1969 kongres III PERADIN di Jakarta, yang kemudian diwujudkan dengan membentuk LBH di tahun 1971, bukanlah sekedar pelembagaan pelayanan hukum buat golongan miskin, tetapi merupakan sebuah gerakan.
(Aswab Mahasin, 20 Mei 1981)

Secuplik kalimat yang ditulis Aswab Mahasin, 25 tahun lalu, masih dapat dilihat kebenarannya. Memasuki angka 36 tahun, YLBHI dan kantor-kantor LBH tetap berkiprah menyediakan bantuan hukum kepada masyarakat miskin, buta hukum dan kelompok-kelompok masyarakat yang ter/dimarjinalkan.

Artikel singkat ini akan mencoba mengurai dan memaparkan perkembangan bantuan hukum, dari perjalanan 36 tahun LBH.


A. Menembus Batas: 36 tahun Lembaga Bantuan Hukum

A.1. Bantuan Hukum: Isu dan Perkembangan Terkini

Hak atas Bantuan Hukum adalah Hak Asasi Manusia: sebuah katalog hak dasar yang saat ini tengah menguat promosinya. Bantuan hukum, berkembang tidak saja dalam konteks pembelaan korban pelanggaran hak sipil dan politik, melainkan menjadi salah satu metode dalam promosi dan pembelaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob).

Dengan melaksanakan aktivitas bantuan hukum, para advokat dan aktivis dapat mendorong perwujudan dan pemenuhan hak ekosob, dengan melakukan klaim didepan pengadilan. Gagasan inilah yang disebut justisiabilitas hak ekosob. Dimana para korban pelanggaran hak ekosob mempunyai hak hukum untuk mengklaim reparasi dan pemenuhan hak ekosob lewat mekanisme hukum, utamanya di pengadilan.

Bantuan hukum juga mejadi salah satu metode dalam agenda global saat ini: memperluas akses keadilan (access to justice) dan pemberdayaan hukum bagi masyarakat miskin (legal empowerment of the poor).

Di Indonesia, saat ini tengah dipromosikan dan diperjuangkan penyusunan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum. Dengan adanya sebuah Undang-undang, maka hak konstitusional semua orang untuk mendapat bantuan hukum mendapat sandaran hukum yang tegas: sekaligus membawa konsekwensi kewajiban (obligasi) Negara untuk mewujudkannya bagi semua orang.

Di Indonesia, gerakan bantuan hukum, tidak dapat dilepaskan dari perjalanan sejarah bedirinya sebuah lembaga bantuan hukum yang kemudian lebih dikenal dengan LBH. Berawal dari sebuah paper yang dipresentasikan Adnan Buyung Nasution pada Kongres Peradin, dalam perkembangannya, menjadi sebuah gerakan yang menginspirasi gerakan advokasi di Indonesia dan juga dinegara-negara lainnya. LBH dengan logo, seorang kurus, dengan kepala menengadah keatas, serta memegang timbangan – telah menjadi sebuah ikon – perjuangan melawan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.

A.2. Lembaga Bantuan Hukum

Menginjak usia ke-25, Daniel S Lev, sempat menyatakan, pada saat berdidi tahun 1970, banyak orang menduga bahwa LBH hanya akan bertahan paling lama lima tahun. Menurut Lev, kemampuan LBH tetap tegar berdiri selama 25 tahun sungguh diluar dugaan.(1)

Kini LBH sudah memasuki 36 tahun, per 28 Oktober 2006. Akronim atau singkatan LBH, dapat dikatakan sudah menjadi singkatan yang diketahui masyarakat luas. Nomor telpon LBH diberbagai provinsi, menjadi salah satu nomor telepon penting dalam Yellow Pages, buku petunjuk penggunaan telepon terbitan Telkom. Kantor LBH, dipersamakan dengan kantor polisi atau kantor pemadam kebakaran: penting bagi masyarakat untuk menyimpan atau mengetahui nomor telponnya, untuk sewaktu-waktu bisa menghubungi.

Demikian juga, akronim LBH telah dimuat dalam Kamus Bahasa Indonesia – Bahasa Inggris. Menunjukkan singkatan LBH telah menjadi akronim sehari-hari.(2) Bahkan dalam fora regional dan internasional, pelafalan el-be-ha (LBH) telah dikenal luas, selain pelafalan el-bie-eic (LBH), dalam abjad bahasa Inggris.

Tidak hanya ditingkat domestik, LBH juga dirujuk oleh publikasi regional dan internasional, sebagai salah satu lembaga penting yang memberikan pelayanan bantuan hukum, dan kerja hak asasi manusia.(3)

Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan YLBHI hingga hari ini terus kokoh berdiri, setidaknya: LBH dengan para advokat dan aktivisnya memiliki karakter dan ciri khas; adanya dukungan para pemikir, intelektual, tokoh masyarakat; mendapat kepercayaan dan legitimasi dari masyarakat; tradisi transparansi dan akuntabilitas, serta; adanya dukungan pendanaan bagi aktivitas dan operasional bantuan hukum. LBH yang awal berdirinya, walaupun banyak dibantu pejabat Negara – berhasil meneguhkan independensi dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat kecil dan kelompok masyarakat marjinal dan dimarjinalkan.(4)

A.2.1. Karakter dan Ciri Khas

Ketika konsep pendirian LBH dipresentasikan pada 1970, Adnan Buyung Nasution baru berusia 30-an. Adnan Buyung Nasution, menyatakan, “…tokoh-tokoh advokat yang saya kagumi, seperti Lukman Wiriadinata, Suardi Tasrif, Hasyim Mahdan, Nani Razak, Yap Thiam Hien, dll…”(5) Adnan Buyung juga banyak belajar dari para tokoh Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) yang lain, seperti: Mohammad Room, Abidin, Djamaluddin Datuk Singomangkuto, Sukardjo, dan Haryono Tjitrosoebeno.(6)

Adnan Buyung Nasution, berulangkali menyatakan bahwa advokat adalah profesi yang sangat tua, seperti profesi dokter, sudah ada sejak zaman romawi. Adnan Buyung menyatakan bahwa dirinya sangat terpengaruh pada figur-figur advokat yang menurutnya sebagai pendekar-pendekar hukum yang tangguh dalam upaya menegakkan keadilan.

Bagi Buyung, model advokat ideal itu seperti Iskak, Suyudi dan Sastro Muljono – yang membela kasus Bung Karno di Pengadilan Landraad, Bandung. Menurutnya, advokat di Indonesia:

“sejak pertama kehadirannya tidak semata-mata menjalankan profesinya sebagai mata pencaharian belaka, atau kemulian semata-mata, melainkan berbarengan dengan itu sadar dan berperan dalam perjuangan memerdekakan bangsanya dari penjajahan dan penindasan kekuasaan kolonial”.(7)

Karakter LBH, selain dibentuk oleh Adnan Buyung Nasution, sangat banyak dipengaruhi para pendiri dan tokoh masyarakat yang terpandang pada awal-awal pendiriannya. Diawal-awal berdirinya LBH, para advokat senior dan tokoh masyarakat, seperti: Lukman Wiriadinata, Yap Thiam Hiem, Suardi Tasrif – memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi perkembangan YLBHI. Pembentukan karakter juga berasal dari tauladan para tokoh seperti Gubernur DKI Jakarta ketika itu Letnan Jenderal Marinir Ali Sadikin, Jenderal (Pol) Hoegeng Iman Santoso, Jenderal (Pol) Djayusman; Mochtar Lubis, dan tidak juga: Adam Malik Wakil Presiden RI ketika itu.

Dalam pendapat Yap Thiam Hien, Lukman Wiriadinata – yang menjadi pelopor kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia – melebihi tokoh Cicero. Yap menyatakan:

“Loekman melebihi negarawan Latin yang tersohor itu. Cicero meninggalkan kata-kata mutiara yang patut dipraketkkan oleh semua orang dibawah langit yang mencintai sesamanya dan bangsa lain. Tetapi Cicero sendiri tidak melaksanakan wasiat yang di tinggalkannya kepada umat manusia. Lain dengan almarhum Loekman. Dia lebih konsisten. Segenap praktek hidupnya adalah sesuai dan konsisten dengan imannya, prinsipnya dan ucapannya kepada kawan dan lawannya, dia berlaku adil seadil-adilnya. Hidupnya, sepak terjangnya, mencerminkan kejujuran, kesetiaan pada kata dan janji. Secara sengaja dan sadar, tidak pernah dia melukai perasaan orang lain, apalagi merugikan kepentingan orang lain”.(8)

Yap Thiam Hien sendiri, sosok tauladan bagi semua advokat dan aktivis LBH. Yap, pernah dijebloskan ke penjara selama beberapa minggu karena mengungkap kasus pemerasan yang diduga dilakukan oleh pejabat kepolisian dan kejaksaan. Ia dituduh memfitnah Jaksa Tinggi Jakarta B.R.M. Simanjuntak dan Inspektur Jenderal Polisi Mardjaman, saat melakukan pembelaan di Sidang Pengadilan Istimewa Jakarta, 1967. Ia juga sempat mendekam di penjara karena dituduh telibat dalam kerusuhan Malari, 1974. Yap menolak dibebaskan dengan konsensi apapun, selain meminta agar penguasa segara membuktikan segala kesalahannya.(9)

Adnan Buyung menyatakan pernah menggambarkan karakter Yap dalam buku otobiografinya, sebagai berikut:

“…Yap Thiam Hien, bintangnya advokat waktu itu, berani membela Subandrio. Kalau tidak ada dia, tidak ada yang berani bela Subandrio yang ketika itu tersiksa, teraniaya, di condemn oleh masyarakat, dimusuhi semua orang.”(10)

Adapun Suardi Tasrif, sebagaimana Abdul Hakim Garuda Nusantara menulis:
“Beliau adalah senior, guru, pembimbing, pengarah kami tidak saja dalam kedudukannya sebagai anggota Dewan Penyantun Yayasan LBH Indonesia, akan tetapi lebih dari itu sebagai seorang pengabdi hokum yang menghendaki Lembaga Bantuan Hukum terus bergerak di jalan lurus, teguh dalam pendirian, dan tidak keluar dari garis perjuangan awal yang juga dipahatkannya ketika lembaga ini berdiri: nilai-nilai dasriah Negara Hukum dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.”(11)

Jika diselami, salah satu ciri khas advokat dan aktivis yang masih menular hingga sekarang yakni semangat kepeloporan dan kerja keras tanpa memikirkan upah – LBH seringkali menjadi tempat untuk mencari kepuasan bathin bagi para advokat dan aktivisnya.

A.2.2. Dukungan intelektual organik dimasanya

Banyak sekali akademisi yang berpengaruh dalam membentuk aktivis LBH dalam mengembangkan sekaligus menafsirkan “bantuan hukum struktural”. Diantara akademisi dan pemikir yang paling berpengaruh, seperti Paul Moedigdo, Soetandyo Wignjosoebroto, Satjipto Rahardjo. Para indonesianist, juga memberi pengaruh penting pada para aktivis LBH, seperti Daniel S. Lev.

Para pemikir, tokoh, aktivis kala itu, seperti Abdurrahman Wahid – yang kemudian menjadi Presiden RI setelah B.J. Habibie, Sijono Dirjosiswoyo, Arbi Sanit, Aswab Mahasin, Adi Sasono, Frans Magnis Suseno, juga seringkali diundang menjadi pembicara dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan YLBHI sejak era 1980-an. Selanjutnya diera 1990-an, YLBHI kerap mengundang Goenawan Wiradi, Thamrin Amal Tomagola – kemudian sempat menjadi pengurus Dewan Pembina.

Para aktivis dan akademisi itulah yang banyak menopang secara teoritik dan memberikan landasan pengetahuan bagi aktivis LBH.

Jika diamati, masing-masing LBH mempunyai “akademisi” penopang “intelektual” dan “pengetahuan” para advokat dan aktivisnya. LBH Surabaya dengan Soetando Wigjosobroto dan Suwoto Mulyosudarmo. LBH Semarang dengan Satjipto Rahardjo. LBH Bandung, dengan Goenawan Wiradi. LBH Yogyakarta, dengan Ichlasul Amal.

Sementara untuk aktivitas LBH Medan, tercatat akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang banyak mendukung kegiatan LBH di era 1980-an dan awal 1990-an antara lain Mariam Darus dan M. Solly Lubis.

Para akademisi itu, menjadi narasumber langganan dalam acara-acara diskusi yang diselenggarakan kantor-kantor LBH, termasuk dalam forum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang dihadiri para pimpinan Dewan Penyantun – sekarang Dewan Pembina, pimpinan Badan Pengurus dan pimpinan kantor-kantor LBH. Para akademisi itu juga diminta untuk menulis disejumlah publikasi YLBHI, termasuk dalam jurnal-jurnal yang diterbitkan.(12)

A.2.3. Kepercayaan dan Legitimasi dari Masyarakat

Landasan kokoh berdirinya dan kesinambungan kerja YLBHI, tidak saja datang dari para pimpinan pengurus Yayasan dan kantor LBH, namun kekokohan itu, dapat dikatakan, didapat dari berbagai pihak yang percaya bahwa bantuan hukum yang menjadi ciri khas dan kompetensi utama YLBHI, memang sangat penting untuk dilakukan – dan mesti terus dilanjutkan.

Legitimasi yang datang dari masyarakat semacam itu, memperkokoh keberadaan dan kelembagaan YLBHI sebagai sebuah lembaga. Perhatian dari semua pihak, serta dukungannya, membuat YLBHI mampu bertahan, dan diharapkan terus berkiprah memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin, kelompok masyarakat marjinal dan dimarjinalkan.

Prinsip membela tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku, etnis, asal usul, agama, keyakinan politik, adalah prinsip yang mesti dipertahankan agar kepercayaan dan legitimasi dari masyarakat terus diperoleh. Lebih dari itu, posisi dan sikap keberpihakan kepada yang lemah, marjinal dan dimarjinalkan, mesti terus dipegang teguh para advokat dan aktivis LBH.

Diawal berdirinya LBH, sejumlah kasus yang dapat mewakili keyakinan pembelaan semacam itu antara lain ditunjukkan oleh para advokat publik LBH: pembelaan para terdakwa yang dituduh terlibat G-30-S/PKI. Yap ThiamHien, Abdul Rahman Saleh dan Achmad Tamrella, diantara para advokat LBH Jakarta yang menjadi penasehat hukum Asep Suryaman, salah seorang pimpinan Partai Komunis Indonesia.(13) Kasus lainnya: tidak lain sengketa tanah Halim Perdana Kusumah, antara sekitar 500 KK versus Angkatan Udara (AURI) – sengketa pengadaan lahan seluas 1000 ha. Untuk lapangan udara Halim Perdana Kusumah di Kemayoran; kasus tanah kamping Simpruk – sekitar 700 jiwa dikampung itu digusur paksa karena lahannya hendak dibangun komplek perumahan modern; juga kasus tanah Sunter Timur, konflik lahan kepunyaan warga yan ghendak dijadikan komplek gudang entreport.

Para advokat publik LBH juga melakukan pembelaan terhadap Jenderal H.R. Dharsono dan Hariman Siregar dalam kasus Malari, 1974. Ketika itu tim pembelanya, antara lain Suardi Tasrif, Adnan Buyung Nasution, Haryono Tjitrosubono, Amartiwi Saleh, Todung Mulya Lubis dan Luhut M.P. Pangaribuan.(14)

Diera Orde Baru, sejumlah kasus besar yang sempat ditangani advokat publik LBH antara lain: pembelaan sejumlah aktivis pro-demokrasi, termasuk wartawan/jurnalis yang dituduh subversif di berbagai kota besar di Indonesia.

Para advokat LBH mengambil peran penting dalam pembelaan para mahasiswa yang memprotes kebijakan Soeharto pada 1978, atau lebih dikenal dengan peristiwa “Dewan Mahasiswa Indonesia” atau “Buku Putih Mahasiswa Indonesia. Ketika itu 8 Dewan Mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Diponegoro (UNDIP), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Brawijaya (Unibraw), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan Universitas Sriwijaya (Unsri) berkumpul dikampus ITB menerbitkan kertas kerja yang menganalisis dan menelanjangi kebijakan pemerintahan Soeharto dibidang politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya, termasuk kebijakan militer. Akibatnya, kampus ITB diserbu tentara, dan para pimpinan mahasiswa ditangkap dan dipenjara. Maqdir Ismail, salah seorang pemimpin mahasiwa Yogyakarta, yang juga ditangkap – kemudian bergabung di LBH.

Pembelaan juga dilakukan bagi para tokoh Kelompok Kerja Petisi 50. Kelompok ini mengeluarkan “Pernyataan Keprihatinan” terhadap kebijakan Presiden Soeharto, yang mengakibatkan tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjara. Petisi 50, antara lain beranggotakan Mohammad Natsir, Sanusi, H.R. Dharsono, Sjafruddin Prawiranegara, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, SK Trimurti, Boerhanuddin Harahap. Diantara tokoh Petisi 50 yang tidak ditahan: Ali Sadikin.

Para advokat LBH juga terlibat dalam pembelaan kasus Komando Jihad, peristiwa Tanjung Priok, HR Dharsono. Di akhir-akhir rezim Soeharto, para advokat dan aktivis juga menjadi motor penggerak bagi pembelaan Partai Demokrasi Indonesia dibawah pimpinan Megawati Soekarnoputri – yang kemudian menjadi Presiden RI – pasca penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro, 1996. Diberbagai kota dilakukan gugatan massal secara serentak.

Selain kasus subversif dan perkara politik, para advokat publik, aktif membela warga dalam konflik dan sengketa agraria: Kedung Ombo dan Tanah Badega, pendampingan warga korban PT Tanjung Enim Lestari pulp paper (Sumatera Selatan);(15) pendampingan warga korban PT Inti Indorayon Utama (Sumatera Utara);(16) pendampingan warga korban teluk Buyat, PT Newmont Minahasa Raya.(17)

Memasuki millennium baru, kasus yang mengemuka yang ditangani LBH antara lain kasus Abu Bakar Ba’asyir(18) dan para aktivis muslim yang ditangkap sewenang-wenang disejumlah tempat pada 2004.(19) Kantor-kantor LBH juga menjadi pembela kebebasan beragama dan kasus-kasus kelompok individu – antara lain pembelaan terhadap Ahmaddiyah,(20) Lia Eden(21) yang didakwa pasal penodaan agama. Walaupun banyak kritik, cacian bahkan tekanan dan teror, para advokat LBH tetap membela hak hukum para terdakwa.

A.2.4. Transparansi dan Akuntabilitas

Sejak awal, tradisi penerbitan laporan keuangan sudah dilakukan LBH. Di era Adnan Buyung Nasution memimpin LBH Jakarta, secara rutin laporan keuangan dimuat dalam publikasi LBH.(22) Sumber dana LBH ketika itu, dilaporkan berasal dari subsidi Pemda DKI Jakarta, sumbangan perusahaan dan individu, serta kotak donasi LBH, yang dipergunakan untuk gaji, honor dan biaya rutin/administratif. Pada 1973, total penerimaan dana untuk LBH sejumlah Rp 8.697.789. Jumlah ini naik menjadi Rp 9.846.001 pada 1974 dan kembali naik sejumlah Rp 12.008.000 pada 1974.(23) Sumbangan dari perusahaan kepada YLBHI juga dilaporan dalam publikasi LBH seperti dimuat dalam Laporan YLBHI 1984.

Pada 2003, YLBHI menjadi lembaga swadaya masyarakat pertama, yang mempublikasikan laporan keuangannya, di 5 surat kabar nasional, termasuk harian berbahasa Inggris.

A.2.5. Dukungan Pendanaan: Internal, Pemerintah Daerah, Pengadilan, Pengusaha, Publik dan Masyarakat Internasional

Hingga saat ini, keberadaan dan keberlanjutan LBH, tidak lain karena dukungan pendanaan yang didapat dari 4 sumber utama: dana dari internal lembaga – berupa sumbangan dari dewan pembina dan badan pengurus dan kantor-kantor LBH; dana sumbangan masyarakat; alokasi anggaran dari pemerintah daerah, dan pendanaan dari lembaga dana internasional.

Donasi rutin dari anggota Dewan Pembina, merupakan salah satu sumber penting saat ini. Demikian juga dari pimpinan Badan Pengurus dan pimpinan kantor-kantor LBH. Adnan Buyung Nasution, merupakan salah satu Dewan Pembina yang terus menyumbangkan dana bagi operasional kantor LBH. Sumbangan dan dukungan juga diberikan, anggota Dewan Pembina lainnya: Ali Sadikin, Toeti Herati Rooseno, Fauzi Bowo, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ake Arif. Baru pada Juli 2006, dalam sebuah rapat Dewan Pembina dengan Badan Pengurus, dihasilkan komitmen Dewan Pembina untuk menjadi donator tetap dan rutin. Ketika itu rapat dihadiri Adnan Buyung Nasution, Mas Achmad Sentosa, Tuti Hutagalung, Ake Arief, Chairil Syah, dan juga Abdul Rahman Saleh.

Diawal-awal berdirinya LBH, lembaga ini banyak mendapat dukungan dana dari pemerintah daerah. Karenanya, subsidi yang diberikan Pemerintah Daerah DKI Jakarta kepada LBH Jakarta dan pengalokasian dana untuk pembangunan gedung YLBHI di Jalan Diponegoro, bukan sebuah hal yang baru sama sekali.

Selain Pemda DKI, di awal 1980-an, Pemda Sumatera Utara, banyak memberikan bantuannya kepada LBH Medan.(24) Pemda Sumatera Barat pada 1983 mulai mengalokasikan APBD-nya untuk mendukung kegiatan-kegiatan LBH Padang.(25)

Selain pemberian dana dari Pemda Sulawesi Selatan, LBH Manado, tercatat juga sempat mendapat dana bantuan hukum dari Pengadilan Negeri Manado dan Pengadilan Negeri Tondano.(26)

Demikian juga pendanaan kantor LBH yang diperoleh dari sumbangan pengusaha dan masyarakat setempat, antara lain sudah didapat sejak awal 1980-an. LBH Medan, ketika itu mendapat dukungan materil dari pengusaha untuk melakukan aktivitasnya.(27) Di Jakarta, para pengusaha atau perusahaan, bahkan memberi sumbangan rutin per bulan, selain bantuan insidentil dan berupa barang.

Tabel
Donatur YLBHI: Melalui Folder

No.

Nama Perusahaan

Sumbangan

berupa

barang

Donasi (Rp)

Jumlah

Per bulan

Insidental

1.

PT Garuda Diesel (Ltd.), Jl. Kramat Raya No. 160, Jakarta Pusat

10.000

150.000

80.000

2.

PT Mutiara Record/PT Remaco, Glodok Plaza F/76, Jakarta Kota

150.000

3.

PT Eurindo Combined, Jl. Dr. Sahardjo 266, Jakarta 12870

60.000

60.000

4.

Garden Hotel, Jl. Kemang Raya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

50.000

50.000

5.

Shinto Paint Co, Jl. Semper Kebantenan Cilincing, Jakarta

20.000

50.000

6.

PT Mesindo Agung, Jl. Ancol III/12 Ancol Barat, Jakarta Utara

50.000

20.000

7.

PT Indoprom Company (Indonesia) LTD. PO Box 2109, Jakarta.

Menyumbang 2 (dua) judul majalah/tiap bulan. Reader’s Digest dan Fast Eastern Economic Review

50.000

8.

Kompas Gramedia Intisari, Jl. Palmerah Selatan 26 – 28 Jakarta

125.000

750.000

9.

PT Super Mi Indonesia, Jl. Raya Bogor Km. 24,8 Jakarta 13740

150.000

150.000

10.

PT Tunggal, PO Box. 9/JNG Jakarta

100.000

800.000

11.

PT Percetakan “Sinar Offset”, Jl. Pejagalan I No. 72, Jakarta Kota

50.000

50.000

Sumber: Diolah dari Laporan Tahunan YLBHI 1984 (YLBHI: 1985, 34-35).

Sumber dana lain, yakni pendanaan dari lembaga donor internasional. Dalam konteks ini, isu negatif berkaitan dengan sumber dana dari luar negeri yang diterima LBH, bukan barang baru dan baru sekarang-sekarang ini muncul. Bahkan pada 1985, telah disadari adanya ketergantungan LBH dari bantuan luar negeri.(28)


B. Bantuan hukum: berbagai pola memperluas akses keadilan bagi masyarakat

“Pohon kelapa dan pohon-pohon lain kami tumbangkan untuk dijadikan palang-palang. Kamu buat barikade dari pohon-pohon itu…”Ini tanah milik rakyat, dilarang masuk berdasarkan pasal 155 dan 156 KUHP…Sebagian kampung kan sudah hancur, sudah rata dengan tanah, yang sebagian lagi belum; itulah yang kami tutup, kami pagar. Pagi-pagi pukul 8 kami sudah siap. Penduduk …berbaris membuat pagar betis.”(29)
(Adnan Buyung Nasution, 2004:253)

Sejak kasus para advokat dan aktivis LBH berdiri bersama masyarakat melawan kekuasaan yang sewenang-wenang – saat kasus Simpruk di tahun 1970-an, saat itulah “Bantuan Hukum Struktural” sudah dipraktikan.

Dalam lintasan aktivitas, sejak berdirinya YLBHI, beragam pola pemberian bantuan hukum yang dilakukan. Aktivitas bantuan hukum, dalam praktik, serasi dan diintegrasikan menjadi aktivitas pemberdayaan dan penguatan kesadaran politik masyarakat.

Bantuan hukum, dalam kerangka kerja LBH merupakan salah satu aktivitas untuk memperluas akses masyarakat atas keadilan. Namun dalam memperluas akses keadilan bagi masyarakat, bantuan hukum di peradilan, bukan satu-satunya aktivitas. Makna memperoleh dan menikmati akses keadilan, bukan semata-mata individu atau kelompok masyarakat didampingi dalam proses pemeriksaan di kepolisian atau didampingi ketika persidangan di pengadilan, melainkan juga akses terhadap keadilan yang sesungguhnya. Kerangka berpikir seperti ini, menyebabkan advokasi litigasi (melalui mekanisme peradilan) disandingkan dan diparalelkan dengan aktivitas advokasi diluar ruang-ruang sidang, termasuk advokasi yang bersifat pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat.

Praktik para pengacara publik dan penggiat bantuan hukum, tidak saja berdebat di ruang sidang, melainkan terjun langsung ke lapangan, dapat dikatakan dipelopori oleh aktivis LBH. Aktivitas semacam ini, dalam sejarah LBH, sudah dimulai sejak era awal YLBHI berdiri. Saat itu, Adnan Buyung Nasution memberikan contoh, jika diperlukan, aktivis LBH perlu mengambil sikap dan mengambil posisi berdiri bersama-sama klien atau kelompok masyarakat korban.

Pencabutan patok-patok kayu kasus Kemayoran, merupakan salah satu momen awal dimulainya “Bantuan Hukum Struktural” secara praktik. Ketika itu, LBH membela warga kemayoran yang menuntut hak atas tanahnya kepada pihak AURI.

Contoh tersebut, kemudian dikembangkan, baik secara otodidak oleh aktivitas LBH, juga akibat komunikasi dengan para tokoh dan akademisi, serta akibat buku bacaan yang dicerna para advokat dan aktivis LBH.

Pertukaran informasi semacam itu, berkembang menjadi konsep pemberdayaan masyarakat, yang ditindaklanjuti dengan beragam aktivitas dan pola bantuan hukum berkembang ditubuh kantor-kantor LBH.

B.1. Pola Penyuluhan Hukum

LBH Medan di awal tahun 1980-an mempunyai cara unik dalam penyuluhan hukum kepada masyarakat. Di era kepemimpinan H.M. Kamaluddin, LBH Medan bekerja sama dengan tim kesehatan dari Rumah Sakit Dr. Pringadi Medan untuk memberikan pelayanan kesehatan, setelah itu baru diberikan penyuluhan hukum – dengan menggunakan logika dalam tubuh yang sehat terdapat pikiran yang sehat, kemudian baru diberikan informasi hukum.(30)

Pendirian pos-pos kepanjangan dari kantor LBH merupakan salah satu pola yang dilakukan kantor-kantor LBH untuk memperluas akses keadilan kepada masyarakat. Di awal 1980-an, LBH Medan tercatat membentuk 7 pos yang terletak di daerah Labuhan Batu, Tebing Tinggi, Gunung Sitoli, Deli Serdang, Stabat, Asahan dan Tapanuli Selatan. Bahkan LBH Medan mempunyai sebuah pos di Langsa, Aceh Timur.(31)

LBH Jakarta sejak era 1980-an telah memanfaatkan siaran radio, sebagai media penyebarluasan informasi tentang bantuan hukum, termasuk usaha penyadaran hukum bagi masyarakat. Pendidikan-pendidikan hukum juga sudah dimulai, dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat seperti kelompok buruh.(32)

LBH Bandung, diera 1980-an juga mempergunakan siaran radio untuk menyebarluaskan informasi hukum. Kerjasama dilakukan dengan Radio Republik Indonesia (RRI) Bandung dengan mengisi siaran hukum sekali dalam sebulan.(33)

LBH Manado diera yang sama, telah melakukan penyuluhan hukum dengan memanfaatkan TVRI Manado dalam Siaran Pedesaan dengan bentuk penyajian dengan fragment selama 30 menit, juga acara Topik dalam Lensa, wawancara tentang masalah hukum selama 30 menit. Diera kepemimpinan HJJ. Mangindaan, LBH Manado juga telah mengisi rubrik klinik hukum di harian Obor Pancasila Manado dan Warta Manado. Bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sulawesi Selatan, LBH Manado membentuk Tim Penyuluhan Hukum untuk masyarakat di kotamadya Manado dan Kabupaten Minahasa. Aktivitas lainnya, antara lain memberikan latihan kepada mahasiswa tentang teknik penyuluhan hukum kepada para mahasiswa yang akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).(34)

LBH Yogyakarta dimasa kepemimpinan Artidjo Alkostar – saat ini Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI – juga menggunakan media TVRI dan RRI Yogyakarta serta stasiun radio swasta dalam siaran-siaran hukum. Penerbitan juga dilakukan oleh LBH Yogyakarta antara lain “Dunia Informasi” – berupa kliping, kumpulan berita tentang hukum. LBH Yogyakarta, sempat memiliki Pos di 2 wilayah: Bantul dan Sleman.(35)

Penyuluhan hukum juga dilembagakan dalam bentuk piagam kerjasama YLBHI dengan sejumlah universitas, misalnya Piagam Kerjasama antara YLBHI dengan Universitas Ibn Khaldun Bogor yang bersepakat, pada 25 Maret 1984, menjalin kerjasama kegiatan penataran tenaga penyuluhan hukum untuk wilayah pedesaan.(36) Kegiatan ini semacam ini, dalam perkembangannya dikenal dengan Trainer of Trainers (TOT) atau Pelatihan untuk para Pelatih.

B.2. Pola Pendidikan Hukum dan Pengembangan Paralegal

Tercatat juga, LBH Yogyakarta bekerjasama Fakultas Hukum dengan Universitas Gajah Mada, pernah mengembangkan sebuah bentuk kerjasama: melibatkan para mahasiswa fakultas hukum untuk menjadi fasilitator penyelesaian perkara hukum di masyarakat. Pola semacam ini juga ditujukan sebagai salah satu media kaderisasi di LBH Yogyakarta.(37)

Sejumlah mahasiswa, yang memiliki minat dan semangat untuk membantu masyarakat, dikelompokan kedalam sebuah tim bersama dengan para pengacara publik LBH Yogyakarta. Tim ini, kemudian, mendatangi wilayah pedesaan, dan mengidentifikasi tokoh masyarakat yang berpengaruh didaerah itu. Saat dilapangan, Tim ini mengumpulkan kasus-kasus hukum yang dihadapi masyarakat. Jika, perkara atau sengketa ringan, maka penyelesaiannya dilakukan dengan cara kekeluargaan diantara pihak yang bersengketa. Namun, jika diperlukan, maka tim ini, dapat mengupayakan penyelesaiannya lewat pengadilan. Pola ini, dalam pelaksanaanya, masih menuntut peran besar dari para pengacara publik LBH, karena dalam pemecahan masalah, pengetahuan para pengacara publik relatif masih dominan.

Pendidikan hukum masyarakat dan perekrutan mahasiswa menjadi paralegal LBH, kemudian dikembangkan terus menerus. Abdul Hakim Garuda Nusantara, menyatakan:
“Kursus pendidikan hukum kilat bagi paralegal hampir setiap tahun satu kali diselenggarakan oleh Yayasan LBH Indonesia …Peserta kursus pendidikan hukum kilat atau dalam istilah YLBHI pendidikan hukum untuk pemuka informal (informal leaders) terdiri atas para mahasiswa, pemuka-pemuka masyarakat pekerja sosial lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Biasanya para peserta kursus tersebut telah mempunyai pengalaman langsung dalam menangani kasus-kasus kolektif seperti kasus penggusuran tanah, kasus pencemaran/perusakan lingkungan, kasus perburuhan, dan lain sebagainya”.(38)

Selain LBH Yogyakarta, LBH Surabaya diera Abdullah Thalib, juga telah menyelenggarakan kaderisasi mahasiswa hukum tingkat akhir, yang dilibatkan dalam penyelesaian langsung konflik-konflik hukum yang diadukan ke LBH Surabaya.(39)

B.3. Pola Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pola lain, dilakukan dengan cara, mentransfer pengetahuan, keterampilan dan memberikan sepenuhnya cara dan pilihan penyelesaian masalah kepada kelompok atau organisasi rakyat. Konsep ini dikembangkan, melalui beragam pelatihan dan aktivitas pengorganisasian buruh, petani dan kelompok masyarakat lainnya. Pola ini, dirintis sejak era 1980-an, dengan motor penggeraknya, antara lain Fauzi Abdullah.

Pola live-in atau hidup dan belajar dengan masyarakat secara langsung, dikembangkan di sejumlah LBH dipertengahan 90-an. Para pengacara publik dan penggiat bantuan hukum secara bergantian tinggal dikediaman kelompok masyarakat yang tengah mengalami konflik. Pola ini dilakukan dengan 2 tujuan: mencoba menghapus gap atau kesenjangan pengetahuan antara pengacara publik LBH dengan klien yang didampinginya, serta; menunjukan solidaritas penuh dan posisi keberpihakan kepada kelompok masyarakat yang menjadi korban atau terlibat konflik. Gagasan awal pola ini, untuk mengupayakan kesetaraan antara penggiat bantuan hukum LBH dengan masyarakat.

Tinggal “di lapangan” seperti itu, berkembang dan dikembangkan para pengacara publik dan penggiat bantuan hukum di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung. Aktivitas semacam ini, bisa dilakukan, dengan bekerjasama dengan para mahasiswa yang menjadi paralegal dan sukarelawan bantuan hukum.

Di LBH Surabaya – pada 90-an, di era Indro Sugiyanto, dengan motor penggerak saat itu, antara lain (almarhum) Munir, Andik Ardiyanto dan Boedhi Widjardjo. Di era itu, LBH Surabaya aktif bekerjasama dengan organisasi-organisasi buruh. Salah satu, kasus besar yang ditangani LBH Surabaya, yakni kasus pembunuhan Marsinah, aktivis buruh pabrik jam PT Catur Putra Surya.(40)

Selain bekerja dengan organisasi buruh, LBH Surabaya juga aktif memfasilitasi pembentukan Papan Jati (Paguyuban petani Jawa Timur). LBH Surabaya belakangan kemudian mengembangkan sebuah konsep Masyarakat Bantuan Hukum (MBH), yang konsep awalnya telah dikenal sejak penghujung 1980-an, dan dikembangkan terutama era Mohammad Zaidun.(41) MBH antara lain dimotori oleh Herlambang. Pola yang dilakukan di Jawa Timur, ditularkan di Jawa Tengah, ketika Andik Ardiyanto diminta untuk masuk ke LBH Semarang. Di Jawa Barat, LBH Bandung mempunyai hubungan kuat dengan organisasi buruh, yang dimotori antara lain Saut Ch. Manalu dan Hemasari Dharmabumi.

Sejak kepemimpinan Chairil Syah dilanjutkan Suharyono, LBH Palembang mulai memberikan bobot lebih berat pada pola pengorganisasian rakyat - dimotori antara lain Munarman dan A. Patra M Zen, aktivitas pengorganisasian masyarakat menjadi corak pokok program-program yang dilakukan LBH Palembang. Diera ini, terbentuk KSKP (Kesatuan Solidaritas Korban Penggusuran – yang kemudian berganti menjadi Kesatuan Solidaritas Kesejahteraan Petani yang berbasis disejumlah kabupaten di Sumatera Selatan.

Diawal 1980-an, LBH Palembang sempat bekerjasama dengan Kantor Wilayah Kehakiman dan Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi dalam pemberian penyuluhan hukum untuk masyarakat transmigran.(42) Dimasa kepemimpinan Masagus Zainudin, LBH Palembang sempat memiliki Pos di kabupaten Musi Rawas, dan pos di provinsi Bengkulu.(43)

Di Lampung, gerakan rakyat menguat, menjelang kejatuhan Suharto. Diprovinsi ini, keterlibatan LBH Lampung amat penting dalam organisasi Dewan Rakyat Lampung (DRL), dengan basis utamanya para petani korban penggusuran paksa. Di Lampung, para advokat LBH aktif dalam gerakan perjuangan masyarakat untuk memperjuangkan hak-hak dasar dan hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) – motor gerakan saat itu antara lain Edwin Hanibal dan Fenta, sekarang Wakil I Badan Pengurus YLBHI.

Pada awal-awal reformasi 1998 – sampai dengan awal tahun 2000, aktivitas re-klaiming tanah-tanah pertanian dan perkebunan sempat marak, sebagai salah satu aktivitas yang advokasi untuk memperjuang hak-hak dasar petani. Diera itu juga, para pengacara publik LBH membela kasus-kasus kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh petani.

Kritik paling utama, para advokat dan aktivis LBH tertinggal dalam advokasi litigasi. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri, YLBHI dan LBH Jakarta masih tetap menjadi pelopor dalam advokasi litigasi, bahkan masih mendorong penemuan-penemuan hukum baru, antara lain penerimaan hak gugat (‘standing’) oleh warga Negara atau citizen law suit.

Dalam perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pusat, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan menerima standing warga Negara, dalam perkara perdata antara J. Sandyawan Sumardi, dkk, sebagai Penggugat, versus Negara RI c.q. Kepala Negara, Presiden RI, beserta 9 institusi, sebagai Para Tergugat berkaitan dengan peristiwa pendeportasian 480.000 buruh migrant asal Indonesia dari Malaysia, yang kemudian mengalami penderitaan dalam tempat pengungsian di Nunukan.

Tradisi yang paling kuat, untuk advokasi litigasi diturunkan ke para advokat dan aktivis LBH Jakarta. Dari sini muncul nama-nama Luhut M.P. Pangaribuan, Nursyahbani Katjasungkana, Apong Herlina, Irianto Subiakto dan Daniel Panjaitan – yang selalu terlibat membela aktivis pro-demokrasi semasa perlawanan terhadap rezim Orde Baru di era 1990-an. Setelah pemberlakuan Undang-Undang Advokat, dirasakan, hampir semua LBH, termasuk LBH Jakarta, mengalami “krisis” advokat. Saat ini, kantor-kantor LBH rata-rata hanya memiliki 2 – 3 orang advokat publik – yang memiliki izin beracara.

C. 36 Tahun Bantuan Hukum oleh LBH: Apa yang Dapat Dipelajari?

Perjalanan 36 tahun LBH memberikan banyak muatan pelajaran sekaligus tantangan bagi para advokat dan aktivis LBH yang saat ini masih setia bekerja untuk lembaga publik ini. Pelajaran ini tentu saja, dapat digunakan sebagai bahan refleksi bagi lembaga-lembaga bantuan hukum dan organisasi advokasi yang saat ini tumbuh bak jamur dimusim hujan.

C.1. Menjadi mata rantai

YLBHI, dapat dikatakan telah berhasil menjadi jembatan bagi kelas terpinggirkan dengan kelas elit. Lembaga ini telah menjadi sebuah mata rantai yang menghubungkan rakyat kebanyakan dengan para pemegang kekuasaan di republik ini.

Setiap kantor LBH menjadi tempat para pencari keadilan mengadu, mencurahkan isi hati tentang masalah yang dihadapi. Dalam kurun waktu 35 tahun, YLBHI telah memiliki 15 kantor LBH di 15 provinsi.

Dalam perkembangannya, para advokat publik dan aktivis YLBHI telah menjadi mata rantai dan mewakili mulut masyarakat. Pasca 1996, mata rantai ini dapat dikelompokkan menjadi 3 menurut divisi yang dibentuk diera Bambang Widjojanto. Ketika itu Teten Masduki menjadi Kepala Divisi Perburuhan YLBHI. Hingga saat ini nama-nama aktivis LBH masih bergelut dalam isu perburuhan, seperti Surya Tjandra dan Rita Olivia (LBH Jakarta), Saut Ch. Manalu, Hemasari Dharmabumi (LBH Bandung).

Tabel
Ketua Dewan Pengurus/Badan Pengurus
Yayasan LBH Indonesia

No.

Periode

Ketua

1981 – 1984 (1983)

Adnan Buyung Nasution

1983 – 1984

Todung Mulya Lubis

1984 – 1987

Todung Mulya Lubis

1987 – 1990

Abdul Hakim Garuda Nusantara

1990 – 1993

Abdul Hakim Garuda Nusantara

1993 – 1997 (1995)

Adnan Buyung Nasution

1995 – 1996

Soekardjo Adidjojo (Caretaker)

1996 – 1997

Bambang Widjojanto

1997 – 2000

Bambang Widjojanto

2000 – 2002

Irianto Subiakto, Totok dan Mappinawang (Caretaker)

2002 – 2007 (2006)

Munarman

Mei 2006

A. Patra M. Zen (Caretaker)

Sep. 2006 – 2011

A. Patra M. Zen




C.2. Menjadi inspirator advokasi dalam arti luas

“Advokasi”, tidak menjadi kata yang populer dikalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat, namun kata ini, juga telah menjadi satu gugus program kerja dibanyak oranisasi masyarakat sipil. Oleh advokat publik dan penggiat bantun hukum LBH, Advokasi tidak saja diartikan mendampingi klien dimuka pengadilan, namun dikembangkan menjadi aktivitas mempengaruhi substansi dan muatan kebijakan dan aturan perundang-undangan – atau lebih diistilahkan dengan advokasi kebijakan, yang diletakan dalam kerangka kerja LBH sebagai “pembaruan hukum”.(44)

Para advokat dan aktivis LBH dengan aktif melakukan aktivitas lobby dan berperan dalam forum rapat dengar pendapat umum (RDPU) di DPR/D saat peraturan perundang-undangan dibahas. Kegiatan yang seringkali dilakukan, berkaitan dengan advokasi kebijakan, antara lain “pertemuan-pertemuan ilmiah untuk memberikan masukan bagi proses pembentukan dan penegakan hukum…yang kemudian dijadikan bahan masukan bagi DPR-RI”.(45)

Tidak saja berada diluar arena, advokat publik dan aktivis LBH, seringkali diminta duduk dalam panitia perumus sebuah peraturan perundang-undangan dan rancangan peraturan yang diterbitkan pemerintah. Adnan Buyung Nasution, misalnya, duduk dalam Tim Perumus Rancangan Undang-Undang (RUU), antara lain RUU Hak Asasi Manusia, RUU Pengadilan HAM, RUU Peradilan Tata Usaha Negara, RUU Tindak Pidana Korupsi, RUU Pemilu, RUU Advokat.

Dalam perkembangannya, aktivitas legal drafting dan monitoring peraturan perundang-undangan, mendorong YLBHI turut melahirkan Konsorsium Pembaruan Hukum Nasional (KRHN).(46) Peran advokat dan aktivis LBH hingga saat ini terus dilibatkan dalam perancangan perundang-undangan dan peraturan pemerintah.(47)

Selain KRHN, para advokat dan aktivis LBH turut membidani pembentukan organisasi-organsisai masyarakat sipil seperti KontraS (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), Voice of Human Rights, Baku Bae(48) - belakangan menjadi Institut Titian Perdamaian, dan ICW (Indonesian Corruption Watch). Organisasi-organisasi ini terbentuk dimasa kepengurusan Bambang Widjojanto. Belum termasuk organisasi-organisasi dimasing-masing provinsi yang pembentukannya juga diilhami dan diinisasi oleh para advokat dan aktivis LBH.

Pola pembentukan lembaga-lembaga tersebut dapat diklasifikasikan kedalam 3 besaran pokok. Pertama, difasilitasi dari program LBH, termasuk kontribusi pendanaan, dengan dukungan para advokat dan aktivis LBH diperiode yang sama.

Kedua, dimotori oleh advokat dan aktivis LBH, namun pendanaannya bukan berasal dari dana khusus yang diambil dari dan program LBH.

Ketiga, dibentuk dan didirikan oleh alumni LBH, setelah advokat dan aktivis LBH tidak lagi bekerja penuh waktu di LBH. Karenanya, dalam sejumlah kegiatan dibanyak tempat, seringkali muncul seloroh “reuni LBH” – yang berarti para advokat dan aktivis LBH kembali bertemu, walaupun sudah mewakili lembaga yang berbeda-beda.
Sejumlah advokat dan aktivis LBH yang menjadi aktor utama pendirian organisasi masyarakat sipil. Dalam era kepengurusan Adnan Buyung Nasution dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, para advokat dan aktivis LBH, turut berkontribusi melahirkan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan INGI – selanjutnya berubah menjadi INFID (International NGO Forum on Indonesian Development).

Selanjutnya, Albert Hasibuan mendirikan LKBH Golkar. Nani Yamin membentuk lembaga konsultasi dan bantuan hukum untuk keluarga, wanita dan anak – yang berada dilingkungan Mesjid Al-Azhar.

Todung Mulya Lubis, menjabat ketua Dewan Pengurus (1983 – 1987), merupakan alumni LBH yang turut membentuk banyak organisasi masyarakat sipil di Indonesia, diantaranya Cetro (Centre for Electoral Reform), Imparsial, Yayasan Aceh Kita, P2D (Perhimpunan Pendidikan Demokrasi), termasuk Yayasan TIFA – lembaga donor yang berkantor di Jakarta.

Hendardi, Luhut M.P. Pangaribuan, Mulyana W. Kusumah menjadi aktor-aktor penting dalam pendirian PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia). Selain itu, Mulyana juga dikenal sebagai pelopor pendirian KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu).

Selanjutnya, Abdul Hakim Garuda Nusantara – yang saat ini menjadi Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia – selepas dari YLBHI membentuk ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Sementara Mas Achmad Sentosa, membentuk ICEL (Indonesian Center for Environemental Law). Nursyahbani Katjasungkana, yang pernah menjabat Direktur LBH – sekarang anggota DPR RI membentuk LBH Apik. Generasi yang lebih muda, seperti Surya Tjandra dan Rita Olivia Tambunan membentuk TURC (Trade Union Rights Centre); generasi lebih muda lagi, seperti Misbachuddin Gamma, yang turut membentuk LBH Pers. Banyak advokat dan aktivis LBH juga mendorong pembentukan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dimasa-masa awal lembaga ini. Kantor-kantor LBH, dijadikan vocal point bagi jaringan KPA dibanyak provinsi. Tentu masih banyak, yang tak dapat disebut satu per satu.

C.2.1. Menyediakan Informasi dan Publikasi: Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi

Menyediakan informasi dan menyebarkannya: adalah salah satu aktivitas kampanye yang dilakukan sejak awal YLBHI berdiri. Bantuan hukum yang diberikan tidak saja bertujuan membantu dan membela klien LBH, namun mempunyai efek lain: menyebarluaskan informasi dan fakta tentang situasi dan kondisi penegakan hukum di Indonesia.

Dukungan media baik cetak maupun elektronik, merupakan bentuk kerjasama yang penting dalam menyebarluaskan berita dan informasi tentang kasus-kasus dan analisis yang diterbitkan YLBHI. Dengan dukungan ini, aktivitas bantuan hukum yang di lakukan para advokat, penggiatan dan sukarelawan YLBHI dapat diketahui masyarakat banyak. Sebaliknya, para pembuat kebijakan pun dapat mengetahui posisi dan sikap YLBHI dalam penanganan kasus atau masalah-masalah kebijakan yang dinilai merugikan rakyat miskin dan buta hukum.

Selain menerbitkan sendiri publikasinya, sejak lama LBH bekerjasama dengan 2 lembaga: LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial) dan YOI (Yayasan Obor Indonesia). Pada 1984 misalnya, YLBHI bekerjasama dengan LP3ES menerbitkan bulletin berbahasa Inggris, Human Rights Report.(49)

Publikasi yang memuat fakta dan kasus-kasus pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan, dikemas menjadi laporan hak asasi manusia, yang diterbitkan secara rutin. Tradisi ini sudah dimulai sejak penghujung 1970-an.(50) Selain itu, juga menjadi tradisi YLBHI untuk mempublikasikan catatan awal tahun atau lebih dikenal dengan istilah Catahu. Dalam laporan ini dimuat analisis dan prediksi atas situasi dan kondisi penegakan hukum dan pemenuhan hak asasi manusia kedepan.

Tradisi penerbitan buku-buku tentang hukum, demokrasi dan hak asasi manusia, berkembang pada masa Dewan Pengurus – sekarang disebut Badan Pengurus – sejak Abdul Hakim Garuda Nusantara, hingga saat ini. Motor publikasi YLBHI ketika itu, Selain Abdul Hakim, juga Benny K. Harman, Mulyana W. Kusumah, Luhut M.P. Pangaribuan dan Paul S. Baut, Kepala Departemen Penerbitan YLBHI.(51)

Diera Abdul Hakim, YLBHI juga aktif menerjemahkan buku-buku dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.(52) Selain itu, diterbitkan juga “Radar”, dengan motto “Keadilan untuk Semua”, sebuah terbitan yang ditujukan sebagai “sarana komunikasi yang aktif, timbal balik dan berkala untuk kalangan sendiri. Dimaksudkan juga sebagai media informasi bagi masyarakat mengenai masalah hukum”.(53)

Menariknya, diera itu, YLBHI juga menerbitkan juga sebuah buku “Tanya Jawab Masalah Pengawai Negeri Sipil”(54) dan Petunjuk Teknis Bank Dunia No. 80 yang memuat pedoman kebijakan bagi proyek-proyek yang dibiayai Bank Dunia.(55)

Dipertengahan 1990-an, Direktorat Operasional YLBHI mempublikasikan “Seri Laporan Kasus”, diantaranya Seri Laporan Kasus Sri Bintang Pamungkas (SBP), yang memuat dokumen proses hukum SBP yang menguasakan kepada advokat publik YLBHI mengajukan gugatan Pembatalan Surat Keputusan Jaksa Agung RI – yang memuat perintah pencegahan SBP bepergian ke luar negeri – ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, pada 13 Juli 1995.(56) Publikasi semacam ini, merupakan kelanjutan dari publikasi yang secara khusus memuat dokumen proses hukum sebuah kasus yang dihadapi klien LBH. Sebelumnya, YLBHI juga sempat mempublikasikan antara lain, pleidoi A.M. Fatwa didepan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.(57)

Diera pertengahan 90-an, terutama sejak era Bambang Widjojanto, publikasi YLBHI dimotori Andi Achdian,(58) Daniel Hutagalung(59) dan Robertus Robet.(60) Diera ini dimulai penerbitan Jurnal Diponegoro 74 – tradisi yang berjalan hingga sekarang.

Pada era kepengurusan Munarman, diterbitkan Serial Laporan YLBHI yang menyediakan analisis secara tematik.(61) Diera ini, publikasi mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya disusun antara lain oleh A. Patra M. Zen yang menjadi Kepada Divisi Hak-hak Ekosob YLBHI.(62)

C.2.3. Melakukan kampanye publik dan penggalangan solidaritas: fora nasional dan internasional

Salah satu aktivitas yang identik dengan advokasi, tidak lain aktivitas kampaye publik.
Kampanye publik, selain untuk mempengaruhi kebijakan dilevel Negara dan organisasi dunia, juga bertujuan untuk menggalang solidaritas dilevel domestik, regional dan global.

Untuk tujuan itu, YLBHI terlibat aktif dalam pembentukan organisasi masyarakat sipil dilevel regional, antara lain the Regional Council on Human Rights pada 1981 – yang diprakarsai antara lain Yap Thiam Hien dan Adnan Buyung Nasution (Indonesia), Jose W. Diokno (Filipina), T. Rajamoorthy (Malaysia) dan Thongbai Thongpao (Thailand). Contoh lain, Forum Asia yang dibentuk menindaklanjuti pertemuan organisasi non-pemerintah di Manila pada 1991 – yang saat ini mempunyai 36 anggota di 14 negara Asia. Pada General Assembly Forum Asia ke-5 di Bangkok 26 – 27 November 2006, YLBHI yang diwakil A. Patra M. Zen, terpilih melalui voting untuk menjadi salah satu Executive Committee Forum Asia periode 2006 – 2009.

C.3. Menjadi promotor ide dan praktik

Warna gagasan yang berkembang dan dikembangkan dalam LBH, dipengaruhi oleh gagasan-gagasan yang dibawa para advokat dan aktivisnya, dari hasil pertukaran dan belajar di fora regional dan internasional, juga hasil dari menempuh studi lanjutan di dalam dan luar negeri.

Selain Adnan Buyung Nasution, yang menjadi anggota International Commission of Jurist (ICJ), gagasan hak asasi manusia dikembangkan antara lain oleh Todung Mulya Lubis.(63) Di era kepemimpinan Adnan Buyung Nasution, sebagai Direktur LBH Jakarta, sudah dirintis penerbitan Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dalam Laporan yang diterbitkan pada 1979, Adnan Buyung Nasution menyatakan:

“…Laporan tahunan ini adalah suatu usaha awal pemahaman diri: sejauhmana kita menghargai hak-hak azasi bangsa kita: manusia Indonesia itu sendiri. Tentu laporan ini tidak memuat semua hal yang terjadi di tanah air karena disamping itu belum mungkin juga karena LBH sendiri hanyalah satu badan yang memiliki keterbatasan-keterbatasn. LBH tidak ada dimana-mana. Namun demikian, LBH berusaha menampilkan semua fakta yang menurut LBH pantas untuk dilaporkan…”(64)

Dipenghujung tahun 1970-an, LBH Jakarta sudah membentuk Divisi Hak-hak Asasi Manusia, dengan para personil antara lain T. Mulya Lubis, Abdul Rahman Saleh, Abdul Hakim, Nasroen Yasabari, Happy August dan Mulyana W. Kusumah. Divisi inilah yang menyiapkan laporan HAM LBH Jakarta ketika itu. Dukungan dan saran diberikan oleh Sajogyo, Suharsono Sagir, Yuwono Soedarsono, Atmakusumah, Kartono Mohammad dan Yap Thiam Hien, bahkan Sidney Jones – yang saat ini dikenal tulisan-tulisan tentang berbagai isu hak asasi manusia di Indonesia.(65) Laporan Hak Asasi Manusia, kemudian menjadi tradisi di YLBHI dan kantor-kantor LBH.

Sebagai tambahan, istilah public interest litigation, sudah diperkenalkan pada awal 1980-an oleh para advokat LBH. Metode ini kemudian dikembangkan menjadi bentuk-bentuk pengajuan gugatan class action, legal standing, citizen law suit, hingga wacana pengajuan permohonan constitutional complaint (pengaduan konstitusional).

C.4. Menjadi bidan bagi lahirnya para aktivis dan pejuang hak asasi manusia

Dalam laporan Tahunan YLBHI yang terbit pada 1985, tercatat per 1984, kantor LBH sudah berdiri di 9 ibukota provinsi yakni: Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Ujung Pandang – sekarang Makassar dan Manado.(66)

Ribuan advokat publik, aktivis, paralegal, sukarelawan (volunteer) lahir dari rahim LBH. Advokat dan aktivis saat ini, sudah banyak yang tak mengetahui, atau sempat mengenal para pelopor dizaman awal LBH. Adnan Buyung Nasution, tentu saja tidak sendiri: ia didukung dengan tulus oleh banyak orang, antara lain Minang Warman, Sukayat, Syamsi Bachrum Nasution – adik kandung Adnan Buyung Nasution yang memberikan dukungan saat LBH berdiri di Jalan Ketapang, Jakarta.

Tercatat nama-nama sarjana hukum, yang menjadi angkatan ke-1 LBH, seperti: Mohammad Assegaf, Tatang Suganda, Indra Munaan, Nurni Husein dan Sri Rezeki. Setelah itu, bergabung sejumlah nama, dan turut membantu LBH, seperti: Abdul Rahman Saleh, T. Mulya Lubis, Tuti Hutagalung, Albert Hasibuan, Erman Rajagukguk, Mas Ahmad Santosa, Lelyana, Abdul Hakim Garuda Nusantara, Mulyana W. Kusumah, Luhut M.P. Pangaribuan, Hendardi, Nursyahbani Katjasungkana, Hotma Sitompul, Fauzi Abdullah, Nani Yamin, Nurni Husein.(67)

Pengembangan staf dimulai sejak 1980-an, utamanya dirintis oleh LBH Jakarta, dengan cara antara lain mentorship, kuliah-kuliah tambahan, diskusi panel dan magang.(68) LBH Jakarta kemudian mengembangkan sebuah proses seleksi para advokat dan aktivisnya, melalui Kalabahu (Karya Latihan Bantuan Hukum). Pada 2001, Kurikulum Kalabahu, diperbaruhi dengan menambah materi “turun dan aksi ke lapangan” – para peserta kalabahu melihat dan membuat laporan langsung di wilayah-wilayah dimana korban pelanggaran hak asai manusia berdomisili/tinggal. Ketika itu A. Patra M. Zen, sebagai Kepala Divisi Riset, Publikasi dan Pendidikan merangkap Ketua Panitia Pelaksana Kalabahu 2001.

Dalam Rapat Kerja Nasional YLBHI di Denpasar, 2003, salah satu hasil keputusannya, antara lain mandat untuk pengembangan jenjang pendidikan bagi advokat dan aktivis LBH. Namun, pelaksanaanya belum semua dapat dilaksanakan. Mandat yang sudah dilaksanakan, antara lain penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) bekerjasama dengan Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) pada 2005 di Parung Jawa Barat dan 2006 di Jakarta.

C.5. Menjadi rumah rakyat

Gedung YLBHI tidak saja menjadi tempat para korban mengadukan masalahnya, namun juga telah menjadi tempat bertemu para tokoh, aktivis, jurnalis dan wartawan. Rahardjo Waluyo Djati dan Faisol Reza, salah seorang korban penculikan pada 1998, diculik di RSCM Jakarta pada 12 Maret 1998, usai melakukan konferensi pers Komite Nasional Perjuangan Demokrasi (KNPD) di kantor LBH.

Ruang kantor LBH, seringkali dipakai untuk tempat menginap para warga yang tengah memperjuangkan hak-haknya. Sementara halaman kantor, dijadikan tempat beragam aksi unjuk rasa, menaruh spanduk hingga aksi mogok makan.

C.5.1. Menjadi tempat deklarasi dan kampanye publik

Pendeklarasian sejumlah organisasi politik dan organisasi massa, mengambil tempat di Ruang Adam Malik, sebuah ruang yang biasa digunakan untuk tempat berdiskusi dan pelaksanaan konferensi pers di gedung YLBHI. Sebagai contoh pendeklarasian Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 22 Juli 1996, Komite Pendukung Megawati (KPM), pada 12 Februari 1998. Tradisi semacam itu terus berlanjut, antara lain pendeklarasian gerakan anti-premanisme pada 3 Juli 2006 – saat itu turut mendeklarasikan gerakan ini antara lain Shinta Nuriyah – isteri mantan Presiden Abdurrahman Wahid.(69) Hingga sekarang, kantor-kantor LBH seringkali digunakan oleh individu, kelompok dan organisasi masyarakat untuk penyelenggaraan konferensi pers.

C.5.2. Menjadi tempat gagasan dan perlawanan dimulai

Adnan Buyung dan Yap Thian Hiem, banyak menyampaikan gagasan sekaligus mengupayakannya. Gerakan pembebasan Tahanan Politik (Tapol), misalnya, telah disuarakan sejak 1970-an, seusai keduanya dilepas dari tahanan tanpa peradilan, setelah peristiwa Malari.

Kantor-kantor LBH seringkali digunakan untuk menyusun formula perlawanan dan aktivitas advokasi. Tidak sedikit, koalisi atau lembaga-lembaga advokasi lahir dari diskusi yang berawal dari kantor LBH, atau diinisiasi oleh para advokat publik dan penggiat bantuan hukum LBH. Gerakan anti-korupsi di Sumatera Barat yang awalnya seringkali mengadakan rapat di LBH Padang. Contoh lain, gerakan kampanye anti mafia peradilan, yang dimotori LBH Jakarta dan juga Jaringan Solidaritas untuk Penghentian Penggusuran.(70)

Di awal 2002, gagasan promosi dan pembelaan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) dimulai secara lebih sistematis, dengan pembentukan sebuah divisi. Promosi hak-hak ekosob, kemudian dijadikan tema sentral rapat kerja Nasional pada Juli 2005 di Denpasar, Bali.


D. Penutup: Penghargaan dan Pengakuan

"Pemerintah yang saya pimpin tidak pernah merasa tersinggung, marah, atau jengkel terhadap setiap langkah hukum yang dilakukan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) dan lembaga-lembaga sejenis lainnya,"
(Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, 24 April 2006)

Berbagai penghargaaan kepada LBH secara kelembagaan, dan penghargaan kepada para advokat dan aktivis LBH merupakan bentuk pengakuan terhadap aktivitas dan penggiat bantuan hukum yang bekerja di LBH.

Secara kelembagaan LBH memperoleh penghargaan Roger Baldwin Medal of Liberty. Sejumlah penghargaan juga diterima oleh pada advokat dan aktivis LBH, sebagai bentuk pengakuan terhadap kerja-kerja yang dilakukannya.

Adnan Buyung Nasution, memperoleh penghargaan: International Award for Legal Aid di Stockholm, 1976 dan London, 1977; dianugerahi Man of the Year (Indonesia Raya, 1987); mendapat penghargaan Bintang Maha Putera pada 2000. Tercatat juga, Bambang Widjojanto, memperoleh penghargaan Robert Kennedy Human Rights Award. Saat menjadi Wakil Ketua Bidan Operasional, Munir memperoleh penghargaan the Right Livelihood Award, 2000; Hounourable Mention, UNESCO – Madanjeet Singh Prize for Tolerance and Non-Violence, 2000; sebagai salah seorang dari 20 young leaders of Asia for the Millenium III (Asia Week, 1999); salah seorang dari 100 Orang Indonesia Terkemuka Abad XX (majalah Forum Keadilan), dan Man of the Year (majalah Ummat, 1998).

Kerja para advokat dan aktivis LBH, belakangan mendapat pengakuan. Dalam pertemuan puncak bantuan hukum yang diselenggarakan LBH pada 24 April 2006, sinyal perhatian Pemerintah telah diberikan. Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Presiden Susilo Bambang Yudyono (SBY), tidak kurang dari 8 menteri, termasuk Jaksa Agung RI dan Kapolri Jendral (Pol) Sutanto menghadiri acara ini. Presiden SBY ketika itu menyatakan pendapatnya tentang LBH,"walaupun kadang, suaranya terdengar keras dan lantang. Tidak perlu diubah, tidak apa-apa".(71) Menurutnya, setiap langkah yang dilakukan LBH dan pihak manapun sepanjang dilandasi itikad baik untuk menegakkan keadilan dan supremasi hukum, harus disambut baik.(72)

Baru-baru ini, YLBHI juga dipercaya menjadi penyelenggara aktivitas High Level Commission on Legal Empowerment for the Poor (CLEP) kemudian berubah menjadi CLEP (Commission on Legal Empowerment of the Poor), sebuah komisi di Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang bertujuan menggerakkan aktivitas pemberdayaan hukum bagi masyarakat miskin diseluruh dunia.(73)


Jakarta, 6 Desember 2006

Catatan Belakang

(1) Lihat Kompas. 12 Oktober 2005. “Refleksi 25 Tahun YLBHI. Harus Bisa Jawab Tuntutan Masyarakat”.
(2) Lihat antara lain John M. Echols dan Hassan Shadily. 2003. Kamus Indonesia Inggris. Edisi Ke-3. Cetakan ke-8. Jakarta: PT Gramedia Jakarta., h. 333. Dalam kamus ini, LBH diterjemahkan menjadi legal aid services.
(3) Lihat antara lain ARRC. 2003. A Directory of Asia and the Pacific Organizations Related to Human Rights Education Work. 3rd Edition. Bangkok: ARRC, p. 111.
(4) Setelah Kongres Peradin III, Agustus 1969 guna mewujudkan idenya, Adnan Buyung Nasution, sempat mendatangi Ali Moertopo untuk mengutarakan rencana pembentukan LBH – yang juga memberikan bantuan pada awal LBH Berdiri, seperti 5 buah skuter. Kemudian menemui Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin, yang kemudian sangat banyak membantu keberadaan LBH. Lihat Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto. Jakarta: Aksara Karunia, h. 221.
(5) Dikutip dari Ibid., h. 216.
(6) Lihat Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Menabur Benih Reformasi. Jakarta: Aksara Karunia, h. 25.
(7) Ibid.
(8) Dikutip dari Paul S. Baut. “Pendahuluan. Pemimpin dan Kepemimpinan yang Mandiri” dalam Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan (eds.). 1989. Loekman Wiriadinata, S.H. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: YLBHI, h. 9.
(9) Lihat Daniel S. Lev. “In Memoriam: Yap Thian Hien” dalam Daniel Hutagalung (ed.). 1998. Yap ThiamHien: Negara, HAM dan Demokrasi. Jakarta: YLBHI, h. xiii.
(10) Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto., Op.cit., h. 223.
(11) Dikutip dari Abdul Hakim Garuda Nusantara. “Kata Pengantar” dalam YLBHI. 1991. Suardi Tasrif dalam Kenangan. Jakarta: YLBHI, h. i.
(12) Tulisan Satjipto Rahardjo misalnya, dimuat dalam publikasi Radar, yang diterbitkan YLBHI. Lihat Satjipto Rahardjo, “Masalah-masalah Hukum dan Sosial dan Rangka Pemerataan Keadilan” dalam Radar. Maret – April 1988, h. 38 – 43. Tulisan ini, sebelumnya disampaikan pada Lokakarya Masalah Hukum dan Pemberi Bantuan Hukum se-Jawa Tengah kerjasama dengan LBH Semarang dan PWI Jateng, Ungaran 25 – 26 Februari 1988.
(13) Lihat LBH. 1976. Legal Aid in Indonesia (Five years of the Lembaga Bantuan Hukum). Jakarta: LBH, p. 20.
(14) Lihat T. Mulya Lubis. “In Memoriam: S. Tasrif. Pejuang Hukum yang Kesepian”, dalam YLBHI. 1991. Suardi Tasrif dalam Kenangan. Jakarta: YLBHI, h. 47 – 52.
(15) Tentang kasus itu, lihat antara lain Down to Earth Nr. 44 Februari 2000. “Protest at PT TEL pulp plant”. Teks di http://dte.gn.apc.org/44PTT.htm;
(16) Lihat antara lain Kompas. 8 Juni 2003. “Kronologi Kemelut Indorayon”;
(17) Tentang kasus ini, lihat antara lain. Suara Merdeka. 29 September 2004. “Kasus Buyat Tetap Dilanjutkan. YLBHI: Ujian untuk Polri”.
(18) Tentang pembelaan advokat dan aktivis LBH untuk Abu Bakar Ba’asyir, lihat antara lain: Tempointeraktif. 6 April 2004. “Adnan Buyung: Kalau Jadi Kacung Lebih Baik Da’i Berhenti”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/04/06/brk,20040406-30,id.html; Tempointeraktif. 5 April 2004. “Besok, Pengacara Ba”asyir Tentukan Sikap”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/04/05/brk,20040405-20,id.html
(19) Lihat antara lain. Gatra.com. 19 Juli 2005. “Ahmadiyah Tunjuk YLBHI Sebagai Kuasa Hukum”; Detikcom. 6 Agustus 2004. “Keluarga Aktivis Muslim Solo Minta Perlindungan YLBHI”.
(20) Detikcom. 13 September 2005. “LBH: Jemaat Ahmadiyah Punya Hak Kebebasan Agama”; Detikcom. 16 September 2005. “Warga Ahmadiyah Yogyakarta Datangi Kantor LBH Yogya”; Detikcom. 23 September 2006. “LBH Bandung Bentuk Tim Investigasi Penyerangan Ahmadiyah”; Detikinet.com. 14 Desember 2005. “Diminta Bongkar Plang, Ahmadiyah Padang Mengadu ke LBH”
(21) Gatracom. 19 April 2006. “Kasus Penodaan Agama. Lia Eden Mulai Disidang”; Detikcom. 1 Januari 2006. “50 Pengacara Bela Lia Eden”.
(22) Lihat LBH. 1976. Legal Aid in Indonesia (Five years of the Lembaga Bantuan Hukum). Jakarta: LBH, p. 53 - 54.
(23) Ibid.
(24) Ibid, h. 10.
(25) Ibid., h. 11.
(26) Ibid, h. 15.
(27) Ibid, h. 10.
(28) Ibid., h. 33.
(29) Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto, Op.cit., h. 252.
(30) Lihat Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. Op.cit, h. 6.
(31) Ibid, hal. 10.
(32) Ibid, h. 13.
(33) Ibid, h. 14.
(34) Ibid, h. 15.
(35) Ibid, h. 17.
(36) Lihat Ibid, h. 22.
(37) Lihat Ibid., h. 17.
(38) Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Paralegal Sebagai Bagian Dari Profesi Pelayanan Hukum di Indonesia” dalam D.J. Ravindran. 1989. Buku Penuntun untuk Latihan Paralegal. Jakarta: YLBHI , h. x.
(39) Lihat Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. Op.cit., h. 17.
(40) Pada 8 Mei 1993, mayat Marsinah ditemukan sekelompok anak-anak di gubuk ditengah sawah di desa Jagong, kecamatan Eilangan Kabupaten Nganjuk. Marsinah saat itu berusia 25 tahun. Mengenai kasus ini, lihat antara lain Alex Supartono. 1999. Marsinah. Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan Indonesia. Jakarta: YLBHI.
(41) Penggunaan istilah MBH, antara lain dapat ditemui dalam Radar. Maret – April 1988. Lihat Rubrik “Jejak LBH”, h. 69.
(42) Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. Op.cit., h. 11.
(43) Ibid, h. 12.
(44) Lihat Ibid, , h. 6.
(45) Dikutip dari Ibid, h. 6.
(46) Publikasi yang berkaitan dengan advokasi kebijakan antara lain dapat dilihat dari buku-buku terbitan YLBHI dan KRHN, seperti: Teten Masduki, Selma Widhi Hayati, Husaimah Husain, dkk. 1998. Pokok-Pokok Pikiran YLBHI tentang YLBHI ; KRHN dan KPA. Jakarta: YLBHI; Tim Penulis. Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria. Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria. Jakarta: KRHN dan KPA.
(47) Contoh paling mutakhir, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI juga melibatkan YLBHI dalam Panitia Penyusunan RPP tentang Tata Cara Pelaksanaan Jenis-jenis Tindakan. Surat Dirjen Peraturan Perundang-undangan No. I2.UM.02.10-945, 29 November 2006.
(48) Lihat antara lain Baku Bae. 2001. The Community-Based Reconciliation Process of Baku Bae in Maluku. Jakarta: Baku Bae Foundation, p. 10.
(49) Lihat Lihat Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. 1985. Laporan Tahunan 1984. Jakarta: YLBHI, h. 31. Ketika itu pendanaan didukung oleh FNS (Fredrich Naumann Stichtung).
(50) Dalam penyusunan laporan HAM itu, banyak pihak turut membantu, antara lain Dawam Rahardjo, Hero Kuntjorojakti, Daniel Dhakidaer, Kartono Mohammad, Atmakusumah.
(51) Publikasi yang diterbitkan di era Abdul Hakim Garuda Nusantara, antara lain: Mulyana W. Kusumah. 1988. Kejahatan dan Penyimpangan. Seuatu Perspektip Kriminologi. Jakarta: YLBHI; Abdul Hakim Garuda Nusantara. 1989. Politik Hukum Indonesia. YLBHI: Jakarta; Luhut M.P. dan Benny K (eds). Harman. 1989. Hak Rakyat atas Pembangunan. 40 Tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI dan Friedrich Naumann Stiftung; Mulyan W. Kusumah, Paul S. Baut dan Benny K. Harman. 1989. Konsep dan Pola Penyuluhan Hukum. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan. 1989. Loekman Wiriadinata, SH. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut (ed.). Legal Aid in Developing Countries. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut (ed.) 1989. Remang-remang Indonesia. Laporan Hak Asasi Manusia 1986 – 1987. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut dan Beny K. Harman. Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI. D.J. Ravindran (Ed.). 1989. Buku Penuntun untuk Latihan Paralegal. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut (ed.). 1990. Dilema Arus Pembangunan. Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1988. Jakarta: YLBHI.
(52) Lihat antara lain C.B. MacPherson. 1989. Pemikiran Dasar tentang Hak Milik. Jakarta: YLBHI.
(53) Dikutip dari Radar. ISSN 0216 – 7476.
(54) Lihat Tatang Suganda. 1988. Tanya Jawab Masalah Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: YLBHI.
(55) Michael M. Cernea. 1990. Petunjuk Teknis Bank Dunia No. 80. Pemukiman Penduduk Secara Terpaksa Dalam Proyek-proyek Pembangunan. Jakarta: YLBHI.
(56) Perkara No. 080/G/1995/IJ/PTUN-JKT. Ketika itu, yang menjadi Kuasa Hukum Penggugat antara lain Sukardjo Adidjojo, Amartiwi Saleh, Bambang Widjojanto, Mohammad Assegaf dan Jonly Joihin.
(57) A.M. Fatwa. 1989. Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili. Pembelaan Didepan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Desember 1985. Jakarta: YLBHI
(58) Publikasi YLBHI. 1998. Politik Pembebasan Tapol. Jakarta: YLBHI; Razif. 1998. Sejarah Pemikiran Serikat Buruh Indonesia. Andi Achdian (ed.). Jakarta: YLBHI.
(59) Antara lain, Daniel Hutagalung (ed.). 1998. Yap ThiamHien: Negara, HAM dan Demokrasi. Jakarta: YLBHI.
(60) Publikasi YLBHI. 1999. School for Rape. Perkosaan Sistematis di Burma. Jakarta: YLBHI.
(61) Lihat situs YLBHI, www.ylbhi.or.id
(62) Lihat antara lain A. Patra M. Zen. 2004. Tidak Ada Hak Asasi yang Diberi. Jakarta: YLBHI.
(63) Adnan Buyung Nasution bersama-sama dengan para pakar Rijksuniversiteit Utrecht dan Leiden – Pieter van Dijk, Th. C. van Boven, L. Betten, menerbitkan sebuah buku pertama di Indonesia, yang memuat relatif lengkap norma dan standar internasional hak asasi manusia. Ide penerbitan buku ini sudah dimulai diawal 1980-an, dimotori Ivan Katz. Buku yang pertama kali dicetak versi bahasa Indonesianya pada 1997 ini kemudian diperbaruhi dan diterbitkan pada Juni 2006. Lihat Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen. 1999. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Cetakan ke-3. Jakarta: YLBHI, Yayasan Obor Indonesia dan KAA. Sementara, pada 1993, juga bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, Todung menyunting sebuah buku penting dalam publikasi HAM di Indonesia. Buku ini memuat kumpulan tulisan dari para professor dan pemikir HAM terkemuka di dunia. Lihat T. Mulya Lubis (Penyunting). 1993. Hak-hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia. Isu dan Tindakan. Edisi ke-1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
(64) Adnan Buyung Nasution, “Pengantar” dalam T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (eds.). 1979. Laporan Tahunan Keadaan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia. Jakarta: LBH Jakarta, h. 2; lihat juga T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah. 1981. Langit Masih Mendung. Laporan Keadaan Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980. Cet. Ke-2. Jakarta: YLBHI.
(65) Lihat Ibid., h. 2 -3.
(66) Lihat T. Mulya Lubis, “Kata Pengantar” dalam Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. 1985. Laporan Tahunan 1984. Jakarta: YLBHI, h. 3.
(67) Lihat Adnan Buyung Nasution. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto. Op.cit, h. 229.
(68) Lihat Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. Op.cit, h. 12.
(69) Tentang gerakan ini, lihat antara lain Detikcom. 3 Juli 2006. “Gerakan Antipremanisme Dibentuk”
(70) Lihat Berita LBH Jakarta No. 11/Oktober 2006, h. 16.
(71) Dikutip dari Kompas. 24 April 2006. “Presiden: Pemerintah Saya Tidak Pernah Merasa Tersinggung”. Teks di http://www.kompas.co.id/utama/news/0604/24/153932.htm
(72) Ibid.
(73) Lihat CLEP doc. “Partners”. Teks di http://legalempowerment.undp.org/who/partners.html



DAFTAR PUSTAKA

ARRC. 2003. A Directory of Asia and the Pacific Organizations Related to Human Rights Education Work. 3rd Edition. Bangkok: ARRC.

Baku Bae. 2001. The Community-Based Reconciliation Process of Baku Bae in Maluku. Jakarta: Baku Bae Foundation.

Baut, Paul S.. “Pendahuluan. Pemimpin dan Kepemimpinan yang Mandiri” dalam Paul S. Baut dan Luhut M.P. Pangaribuan (eds.). 1989. Loekman Wiriadinata, S.H. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: YLBHI.
-----------, (ed.). 1990. Dilema Arus Pembangunan. Kondisi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun 1988. Jakarta: YLBHI.

-----------, (ed.) 1989. Remang-remang Indonesia. Laporan Hak Asasi Manusia 1986 – 1987. Jakarta: YLBHI.

-----------, dan Luhut M.P. Pangaribuan. 1989. Loekman Wiriadinata, SH. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman. Jakarta: YLBHI; Paul S. Baut (ed.). Legal Aid in Developing Countries. Jakarta: YLBHI;

-----------, dan Beny K. Harman. Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI.

Cernea, Michael M.. 1990. Petunjuk Teknis Bank Dunia No. 80. Pemukiman Penduduk Secara Terpaksa Dalam Proyek-proyek Pembangunan. Jakarta: YLBHI.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 2003. Kamus Indonesia Inggris. Edisi Ke-3. Cetakan ke-8. Jakarta: PT Gramedia Jakarta.

Fatwa, A.M. 1989. Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili. Pembelaan Didepan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Desember 1985. Jakarta: YLBHI

Hutagalung, Daniel (ed.). 1998. Yap ThiamHien: Negara, HAM dan Demokrasi. Jakarta: YLBHI.

Kusumah, Mulyana W., Paul S. Baut dan Benny K. Harman. 1989. Konsep dan Pola Penyuluhan Hukum. Jakarta: YLBHI.

Kusumah, Mulyana W. 1988. Kejahatan dan Penyimpangan. Seuatu Perspektip Kriminologi. Jakarta: YLBHI.

-----------., Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. 1985. Laporan Tahunan 1984. Jakarta: YLBHI.

LBH. 1976. Legal Aid in Indonesia (Five years of the Lembaga Bantuan Hukum). Jakarta: LBH.

Lev, Daniel S. “In Memoriam: Yap Thian Hien” dalam Daniel Hutagalung (ed.). 1998. Yap ThiamHien: Negara, HAM dan Demokrasi. Jakarta: YLBHI.

Lubis, T. Mulya, (Penyunting). 1993. Hak-hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia. Isu dan Tindakan. Edisi ke-1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

-----------. “In Memoriam: S. Tasrif. Pejuang Hukum yang Kesepian”, dalam YLBHI. 1991. Suardi Tasrif dalam Kenangan. Jakarta: YLBHI.

------------, “Kata Pengantar” dalam Mulyana W. Kusumah, Hasto Atmodjo dan Happy A. Wicaksono. 1985. Laporan Tahunan 1984. Jakarta: YLBHI.

-----------. dan Fauzi Abdullah. 1981. Langit Masih Mendung. Laporan Keadaan Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980. Cet. Ke-2. Jakarta: YLBHI.

MacPherson, C.B. 1989. Pemikiran Dasar tentang Hak Milik. Jakarta: YLBHI.

Masduki, Teten, Selma Widhi Hayati, Husaimah Husain, dkk. 1998. Pokok-Pokok Pikiran YLBHI tentang YLBHI ; KRHN dan KPA. Jakarta: YLBHI.

Nasution, Adnan Buyung. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto. Jakarta: Aksara Karunia

----------. 2004. Pergulatan Tanpa Henti. Adnan Buyung Nasution. Menabur Benih Reformasi. Jakarta: Aksara Karunia

-----------, “Pengantar” dalam T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (eds.). 1979. Laporan Tahunan Keadaan Hak-hak Azasi Manusia di Indonesia. Jakarta: LBH Jakarta.

-----------, dan A. Patra M. Zen. 1999. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Cetakan ke-3. Jakarta: YLBHI, Yayasan Obor Indonesia dan KAA.

Nusantara, Abdul Hakim Garuda. “Kata Pengantar” dalam YLBHI. 1991. Suardi Tasrif dalam Kenangan. Jakarta: YLBHI

-----------. 1989. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: YLBHI.

-----------, “Paralegal Sebagai Bagian Dari Profesi Pelayanan Hukum di Indonesia” dalam D.J. Ravindran. 1989. Buku Penuntun untuk Latihan Paralegal. Jakarta: YLBHI .

Pangaribuan, Luhut M.P. dan Benny K (eds). Harman. 1989. Hak Rakyat atas Pembangunan. 40 Tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI dan Friedrich Naumann Stiftung.

Ravindran, D.J. (Ed.). 1989. Buku Penuntun untuk Latihan Paralegal. Jakarta: YLBHI.

Rahardjo, Satjipto, “Masalah-masalah Hukum dan Sosial dan Rangka Pemerataan Keadilan” dalam Radar. Maret – April 1988.

Suganda, Tatang. 1988. Tanya Jawab Masalah Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: YLBHI.

Supartono, Alex. 1999. Marsinah. Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan Indonesia. Jakarta: YLBHI.

Tim Penulis. Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria. Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria. Jakarta: KRHN dan KPA.

YLBHI. 1999. School for Rape. Perkosaan Sistematis di Burma. Jakarta: YLBHI.

-----------. 1998. Politik Pembebasan Tapol. Jakarta: YLBHI; Razif. 1998. Sejarah Pemikiran Serikat Buruh Indonesia. Andi Achdian (ed.). Jakarta: YLBHI.

Zen, A. Patra M.. 2004. Tidak Ada Hak Asasi yang Diberi. Jakarta: YLBHI.


Berita

Berita LBH Jakarta No. 11/Oktober 2006.

Down to Earth Nr. 44 Februari 2000. “Protest at PT TEL pulp plant”.
Detikcom. 23 September 2006. “LBH Bandung Bentuk Tim Investigasi Penyerangan Ahmadiyah”.

-----------. 3 Juli 2006. “Gerakan Antipremanisme Dibentuk”.

-----------. 1 Januari 2006. “50 Pengacara Bela Lia Eden”.

-----------. 16 September 2005. “Warga Ahmadiyah Yogyakarta Datangi Kantor LBH Yogya”.

-----------. 13 September 2005. “LBH: Jemaat Ahmadiyah Punya Hak Kebebasan Agama”.

-----------. 6 Agustus 2004. “Keluarga Aktivis Muslim Solo Minta Perlindungan YLBHI”.

Detikinet.com. 14 Desember 2005. “Diminta Bongkar Plang, Ahmadiyah Padang Mengadu ke LBH”.

Gatra.com. 19 Juli 2005. “Ahmadiyah Tunjuk YLBHI Sebagai Kuasa Hukum”.

------------. 19 April 2006. “Kasus Penodaan Agama. Lia Eden Mulai Disidang”.

Kompas. 24 April 2006. “Presiden: Pemerintah Saya Tidak Pernah Merasa Tersinggung”.

-----------. 12 Oktober 2005. “Refleksi 25 Tahun YLBHI. Harus Bisa Jawab Tuntutan Masyarakat”.

-----------. 8 Juni 2003. “Kronologi Kemelut Indorayon”.

Suara Merdeka. 29 September 2004. “Kasus Buyat Tetap Dilanjutkan. YLBHI: Ujian untuk Polri”.

Tempointeraktif. 6 April 2004. “Adnan Buyung: Kalau Jadi Kacung Lebih Baik Da’i Berhenti”.

------------. 5 April 2004. “Besok, Pengacara Ba”asyir Tentukan Sikap”.

Situs

CLEP doc. “Partners”. Teks di http://legalempowerment.undp.org/who/partners.html

YLBHI, www.ylbhi.or.id

Lainnya

Surat Dirjen Peraturan Perundang-undangan No. I2.UM.02.10-945, 29 November 2006. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI juga melibatkan YLBHI dalam Panitia Penyusunan RPP tentang Tata Cara Pelaksanaan Jenis-jenis Tindakan.

Perkara No. 080/G/1995/IJ/PTUN-JKT.
Load Counter