Monday, November 03, 2008

Partisipasi Masyarakat Dalam Pembuatan Hukum: Menguntungkan Pejabat!

Oleh A. Patra M. Zen dan Angelique Jaime**

Paper singkat ini bertujuan untuk memberikan pengantar bagi diskusi lebih lanjut tentang “hak partisipasi masyarakat dalam penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang maupun peraturan daerah – selanjutnya dalam tulisan ini disingkat “hak partisipasi masyarakat”.(1) Dalam tulisan ini akan dideskripsikan keuntungan/manfaat aparat Negara, pejabat Pemerintah dan Anggota Parlemen (DPR/DPRD) jika turut mempromosikan, melindungi, melaksanakan atau memenuhi hak partisipasi masyarakat.

Selanjutnya, paper ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis dua tema: (1) hak partisipasi dalam hukum internasional (hak asasi manusia), serta: (2) hukum yang menjamin hak partisipasi masyarakat atau konsultasi publik di negara tetangga Thailand.

Dibagian akhir, tulisan ini ditutup dengan tawaran kerjasama mempromosikan dan mengimplementasikan “hak partisipasi masyarakat”, terutama dalam penetapan maupun rancangan peraturan daerah.


A. Mengapa Menguntungkan Pejabat Pemerintah dan Anggota Parlemen?

“Hak partisipasi masyarakat” telah menjadi isu global, menjadi isu komunitas internasional. Tentu dengan banyak alasan. Telah banyak argumen “hak partisipasi masyarakat” jika dipenuhi akan memberikan manfaat bagi publik dan rakyat banyak. Namun, manfaat apa yang akan diperoleh aparat Negara jika memenuhi hak masyarakat ini?

Setidaknya ada 4 manfaat, yang dapat dinikmati, sebagai berikut:

Pertama, pejabat dan anggota parlemen mendapatkan banyak masukan, sehingga diharapkan peraturan atau kebijakan yang ditetapkan tidak salah sasaran, berguna dan juga bermanfaat bagi masyarakat banyak. Para komentator menyatakan, pemenuhan hak partisipasi masyarakat yang genuine akan mengurangi efek oposisi lawan politik dan juga dapat menyebabkan situasi: walaupun publik tidak setuju dengan “keputusan akhir”, namun mereka paham alasan “keputusan akhir” yang diambil Pemerintah atau DPR/DPRD karena alasan yang dikemukakan oleh pejabat merupakan alasan yang “objective” dan “reasonable”.

Kedua, terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan termasuk terhindar dari praktik korupsi. Pemenuhan “hak partisipasi masyarakat” berkaitan dengan pemenuhan sejumlah prinsip antara lain keterbukaan (transparansi), pemenuhan hak atas informasi serta melibatkan sebanyak-banyaknya kelompok masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang marjinal, tidak teruntungkan dan miskin. Tidak tertutup kemungkinan “orang baik” yang terjurumus menyalahgunakan kekuasaan atau melakukan praktik korupsi karena kebijakan yang diambil tidak transparan dan tidak melibatkan publik secara luas. Publik disini juga, termasuk akademisi, aktivis organisasi masyarakat sipil serta organisasi profesional.

Ketiga, menjadi refensi dan contoh best practices (contoh-contoh terbaik) sekaligus pejabat yang bersangkutan menjadi kampiun (champion) dalam pemenuhan salah satu hak asasi manusia yang fundamental ini. Secara paralel, juga dapat membuka pintu bagi pemenuhan hak asasi manusia yang lainnya, termasuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob). Namun perlu dicatat, “bukti yang baik ini” bertujuan untuk mendapatkan “keputusan yang tepat”.

Keempat, meningkatkan “popularitas” pejabat yang bersangkutan dimata konstituennya, dan masyarakat secara umum. “Popularitas” yang dimiliki, secara realpolitiek tentu saja mendukung karier politik yang bersangkutan. Tentu, “popularitas” bukanlah menjadi tujuan utama, namun tidak dapat dipungkiri pejabat yang merakyat dan sering mendengar konstituen dan rakyat banyak, dapat diistilahkan pejabat popular.

Tentu masih banyak argumen keuntungan bagi pejabat yang dapat dirumuskan. Keempat manfaat tersebut merupakan contoh sekaligus ilustrasi bahwa pemenuhan “hak partisipasi masyarakat” menguntungkan semua pihak. Kadangkala, memang bisa menyebabkan proses keputusan yang diambil agak memakan waktu, namun hal ini dapat menjadi investasi yang sangat berharga karena peraturan atau kebijakan yang partisipatif akan menghemat waktu, uang dan lainnya termasuk mencegah konflik yang mungkin timbul.


B. Hak Partisipasi Masyarakat: Isu Global

Dilevel internasional “hak partisipasi masyarakat dalam penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang maupun peraturan daerah” merupakan salah satu ‘prinsip hak asasi manusia yang lebih luas yakni: “hak untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik (pemerintahan), hak dipilih dan memilih serta persamaan hak terhadap pelayanan publik”.(2) Kovenan International tentang Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan hak ini dalam pasal 25. Sebagai informasi, RUU tentang Pengesahan Kovenan Internasional ini (ICCPR) telah dimasukan sebagai prioritas dalam program Legislasi Nasional Tahun 2005 – 2009. Setelah diratifikasi, Pemerintah Republik Indonesia diwajibkan memberikan laporan periodik, karenanya, tidak menutup kemungkinan wilayah/daerah Anda akan dilaporkan sebagai contoh terbaik dalam pemenuhan pasal 25 ICCPR ini.

Tidak usah menunggu hingga ditetapkanya RUU Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, daerah/wilayah Anda (sudah) dapat menjadi contoh terbaik dalam promosi dan pemenuhan hak partisipasi perempuan serta penghapusan diskriminasi terhadap perempuan didalam kehidupan publik dan politik. Pasal 7 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) menyatakan bahwa Pemerintah mesti melakukan semua tindakan yang dapat dilakukan untuk memastikan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam: (1) memilih dan dipilih disetiap pemilihan umum, dan pengambilan pendapat publik serta semua dapat memilih dan dipilih dalam lembaga-lembaga publik yang menerapkan mekanisme pemilihan; (2) berpartisipasi dalam perumusan/formulasi kebijakan pemerintah dan implementasinya serta memegang jabatan publik dan menjalankan fungsi-fungsi publik disemua level pemerintahan, serta; (3) berpartisipasi dalam organisasi non-pemerintah dan asosiasi yang berkaitan dengan kehidupan publik dan politik. CEDAW diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7/1984.(4) Ketentuan pasal 18 UU ini, menyatakan Pemerintah Indonesia, setidaknya setiap empat tahun sekali atau pada saat Komite CEDAW meminta, mesti menyampaikan laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB, untuk dipertimbangkan oleh Komite CEDAW. Pertanyaannya, apakah wilayah/daerah Anda (sudah) dapat disebut sebagai contoh terbaik pemenuhan hak partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan?

Selain perhatian terhadap kaum perempuan, komunitas internasional juga memberikan perhatian terhadap hak partisipasi kelompok-kelompok minoritas, antara lain dinyatakan dalam Deklarasi tentang Hak-hak Kelompok Masyarakat Minoritas dalam Hal Nasionalitas, Etnis, Agama dan Bahasa.(4)

Sebagai tambahan, pentingnya partisipasi masyarakat dalam perspektif hukum internasional, juga berkaitan dengan pemenuhan hak-hak asasi manusia lainnya, sebagaimana telah disinggung dibagian awal. Keterkaitan hak partisipasi masyarakat dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta pembangunan politik, sempat dikemukakan Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).(5) Pada saat membuka sesi Kelompok Kerja PBB untuk Hak atas Pembangunan, dinyatakan: “(k)omunitas internasional telah menyampaikan dan berulangkali menegaskan dibanyak kesempatan bahwa hak atas pembangunan memiliki substansi khusus, yakni berintikan hak partisipasi.(6)


C. Ideal Partisipasi

Komite CCPR telah merumuskan ideal pemenuhan hak setiap orang (“every citizen”) untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih serta persamaan hak untuk mendapatkan akses pelayanan publik – hak-hak ini disebut dengan “the core of democratic government based on the consent of the people”. Ideal partisipasi masyarakat ini oleh Komite dijabarkan, antara lain sebagai berikut:
- Hak setiap orang untuk “berpartisipasi dalam urusan-urusan publik”, merupakan konsep yang luas berkaitan dengan pelaksanaan kekuasaan politik, khususnya kekuasaan legislatif, eksekutif dan administratif. Karenya, mencakup semua aspek administrasi publik, dan penyusunan serta implementasi kebijakan baik dilevel internasional, nasional, region, maupun ditingkat lokal. Hak ini mesti dijamin dalam konstitusi, undang-undang termasuk peraturan daerah.(7)
- Partisipasi warga negara secara langsung dalam melaksanakan urusan publik dapat dilakukan saat mereka memegang jabatan sebagai anggota parlemen dan menjabat di pemerintahan. Secara paralel, warga negara juga dapat secara langsung berpartisipasi dalam urusan-urusan publik pada saat mereka memilih atau mengubah konsitusi atau menentukan isu yang menjadi urusan publik lewat proses referendum atau proses elektoral lainnya. Selain itu, warga negara dapat berpartisipasi secara langsung lewat organisasi-organisasi masyarakat (popular assemblies) dan organisasi-organisasi rakyat akar rumput, yang mempunyai kekuasaan untuk membuat suatu keputusan tentang isu-isu lokal atau urusan-urusan didalam komunitas tertentu dimana mereka dapat menjadi perwakilan warga negara pada saat konsultasi publik diselenggarakan oleh pemerintah.(8)
- Warga negara dapat juga berpartisipasi dalam pelaksaan urusan publik lewat debat publik dan dialog dengan wakil-wakil yang dipilih mereka (dalam Pemilu) atau lewat kapasitas organisasi yang mereka miliki sendiri. Dalam konteks ini, diperlukan sebuah “organisasi rakyat yang kuat dan efektif”. Hak ini juga mempunyai prasyarat dimana terdapat situasi perlindungan hak asasi lainnya, yakni: kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat.(9)
- Hak dan peluang setiap warga negara untuk mendapatkan akses atas pelayanan publik, termasuk melakukan aksi afirmatif agar terjadi persamaan akses terhadap semua pelayanan publik. Karenanya Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menghapuskan praktik-praktik diskriminasi.(10)
- Tak kalah penting, “hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik, hak memilih dan dipilih serta persamaan hak untuk mendapatkan akses pelayanan publik” dapat dipastikan pemenuhannya, jika terdapat “kebebasan pers dan; adanya kebebasan setiap warga negara melakukan aktivitas politik secara individual atau melalui partai politik atau organisasi-organisasi masyarakat lainnya; kebebasan dalam mengikuti debat publik; melakukan demonstrasi damai (peaceful demonstration) dan pertemuan-pertemuan massa; adanya kebebasan untuk memantau dan mengkritik serta menjadi oposisi; kebebasan untuk mempublikasikan political material; berkampanye dalam Pemilu atau proses pemilihan lainnya, serta; kebebasan untuk mempromosikan ide-ide politik.(11)


D. Hak Partisipasi Masyarakat dan Konsultasi Publik di Thailand: Sebuah Perbandingan(2)

Ideal partisipasi tersebut, dapat dikatakan ingin dicapai oleh komunitas internasional, oleh Pemerintah dibanyak negara. Dalam kesempatan ini Penulis, akan memberikan gambaran tentang praktik konsultasi publik dan hak partisipasi masyarakat di Thailand. Pemilihan Thailand disebabkan negara ini terletak di satu kawasan dengan Indonesia (Asia Tenggara).

Thailand merupakan salah satu negara yang sering menjadi contoh dan model pemenuhan “hak partisipasi masyarakat” dalam proses amandemen konstitusi – yang diistilahkan amandemen konsitusi dari akar rumput.

Selain pengalaman amandemen konstitusi, sejumlah pengalaman dalam melaksanakan konsultasi publik di Negeri ini menarik untuk menjadi bahan diskusi.

Pengalaman dan praktik konsultasi publik di Thailand terjadi pada 14 Oktober 1974 saat terjadi demonstrasi besar menentang UU Perencanaan Kota (the City Planning Act). Dampaknya masih bisa dirasakan saat ini, Bangkok Metropolitan Administration (BMA) dibentuk untuk mengevaluasi Bangkok City Planning. Rencana Tata Kota Bangkok dipublikasikan di sejumlah koran (surat khabar) termasuk denah penggunaan lahan untuk selanjutnya dimintakan komentar tertulis dari penduduk yang berdomisili di Bangkok. Selain itu badan ini juga menyediakan forum terbuka bagi warga Bangkok untuk mengekspresikan pendapat serta argumennya.

Selanjutnya, konsultasi publik dalam pengambilan keputusan (decision making process) diadopsi dalam Promotion and Conservation of Environmental Quality Act (1992). Menarik untuk dicatat, UU ini memuat aturan: Pemerintah Thailand wajib memberikan mensubsidi atau memberikan dana kepada NGOs untuk melakukan penelitian berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup dan konservasi sumber dan kekayaan alam. Juga UU ini mewajibkan adanya environmental impact assessment report (EIA) sebuah proyek yang dianggap akan berdampak pada lingkungan. Report ini disusun oleh independent specialist.

Demonstrasi massa rakyat yang besar terjadi lagi di Thailand pada Mei 1992, meminta amandemen konstitusi dan juga meminta pemerintah meningkatkan pelayanan publik.

Kemudian pada Januari 1996, Kabinet menyetujui Rule of the Office of the Prime Minister on Public Consultation by Public Hearings. Dalam aturan ini dinyatakan:

“if the Minister or Provincial Governor, as the case may be, is of opinion that an implementation of any project under his/her power and duty may cause adverse impact to environment, culture, occupation, safety, way of life of individual, community or society and may cause serious arguments among interested parties, the Minister may organize public hearings.”

Sebaliknya:

“…if any interested party is of opinion that an implementation of any government project may cause such adverse impact, he/she may submit written complaint to concerned government agencies. In the case where no response is given or he/she is not satisfied with such response, he/she may ask the Minister or Provincial Governor to organize public hearings on the project.”(13)

Dari pengalaman Thailand, sebuah pelajaran dapat diambil, dalam praktiknya dengar pendapat formal yang dilakukan dijadikan satu-satunya mekanisme untuk mengumpulkan komentar publik, akibatnya aparat pemerintah tidak berusaha mengembangkan metode tersebut atau berusaha mencari teknik-teknik lain yang lebih tepat. Disamping itu, dalam praktik juga terjadi informasi yang diberikan tidak up to date; tidak dipraktikan komunikasi dua arah, serta mengalami sejumlah hambatan karena tidak adanya aturan dan prosedur standarnya. Sebagai solusi, diajukan UU yang memuat prosedur administratif dan prosedur umum proses pengambilan kebijakan, serta diajukan juga UU Informasi yang bertujuan untuk menetapkan metode dan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi resmi. Kedua UU ini mulai berlaku pada akhir 1996 dan 1997. Sebagai catatan, di Indonesia, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, merupakan salah satu RUU yang masuk dalam daftar prioritas RUU Program Legislasi Nasional Tahun 2005.

Kembali ke Thailand Konstitusi Thailand (1997), memuat aturan konsultasi publik, section 59 menyatakan:

“A person shall have the right to receive information explanation and reason from a State agency, State enterprise or local government organization before permission is given for the operation of any project or activity which may affect the quality of the environment, health and sanitary conditions, the quality of life or any other material interest concerning him or her or a local community and shall have the right to express his or her opinions on such matters in accordance with the public consultation procedure, as provided by law.”

Dilevel praktik, mekanisme konsultasi publik di Thailand dijabarkan sebagai berikut:
- Mesti dilakukan lewat metode yang variatif;
- Konsultasi publik yang formal mesti dilakukan oleh komite independen ad hoc. Anggota komite ini dipilih dari daftar “impartial specialists” oleh “independent organization”;
- Untuk terwujudnya “good understanding” antara Pemerintah dan para pihak, respon dari konsultasi publik mesti dibuat dan laporannya dipublikasikan.
- Jika institusi Pemerintah gagal mengorganisir konsultasi publik, para pihak memiliki hak untuk menggugat di Pengadilan Administratif.

Selanjutnya teknik, untuk mengumpulkan informasi, sebagai berikut:
- internet interaktif;
- penyebarluasan RUU atau Rancangan Peraturan secara gratis ke sebanyak-banyaknya masyarakat lewat institusi pemerintahan atau otoritas lokal;
- iklan layanan masyarakat (advertesing) untuk meminta komentar, diiklankan di surat khabar dan radio-radio;
- seminar – banyak universitas di Thailand secara sukarela bekerja sama untuk mengorganisasir seminar dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan tentu saja pejabat pemerintah.

Warga atau penduduk dapat memberikan komentarnya melalui telepon, faksimile, surat dan internet interaktif.


D. Penutup: Bekerja Bersama(14)

Tercatat, Forum LSM Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu lembaga anggota Koalisi Kebijakan Partisipatif. KKP, merupakan salah satu koalisi yang memiliki perhatian terhadap “hak masyarakat dalam penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang maupun peraturan daerah” . Saat ini Sekretariat Nasional KKP bertempat di kantor Yayasan LBH Indonesia di Jakarta.

Koalisi yang beranggotakan tidak kurang dari 161(15) organisasi masyarakat sipil telah merumuskan prinsip-prinsip yang harus dimuat dalam RUU termasuk Ranperda, sebagai berikut:
1. “Inisiasi untuk membuat peraturan atau kebijakan bisa muncul dari Pemerintah dan DPR ataupun masyarakat.
2. Pemerintah dan DPR wajib melibatkan masyarakat seluas-luasnya menyusun kebijakan/aturan hukum.
3. Pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah dan DPR wajib dilakukan secara terbuka dan bersama-sama masyarakat.
4. Membuka ruang aksesabilitas yang sebesar-besarnya pada proses tersebut, melalui berbagai macam cara seperti konsultasi publik, mendorong prakarsa masyarakat dan sebagainya.
5. Berpihak pada kelompok-kelompok masyarakat yang paling rentan dari lahirnya suatu kebijakan (publik) atau penyusunan suatu aturan (hukum).
6. Adanya pengakuan dari negara atas hak setiap warga untuk ikut serta dalam proses penyusunan kebijakan/aturan hukum, serta jaminan atas pelaksanaan hak tersebut.
7. Adanya akses untuk meraih keadilan apabila prosedur (tata cara) penyusunan suatu aturan hukum tersebut dilanggar/menyimpang, misalnya hak untuk meminta banding. Termasuk di sini adalah hak masyarakat untuk melakukan peninjauan kembali apabila substansi/materi produk hukum tersebut tidak sesuai dengan kepentingan rakyat banyak.
8. Memastikan adanya akuntabilitas (pertanggungjawaban) dari para perumus kebijakan (eksekutif) dan penyusun aturan hukum (legislatif) atas prosedur penyusunan tersebut.”(16)

Lembaga-lembaga serta individu, pakar hukum, akademisi yang bergabung dalam KKP telah menorehkan sejarah mekanisme pembentukkan perundang-undangan di Indonesia. Beragam bentuk advokasi dilakukan untuk mendesakkan ruang partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan membentuk perundang-undangan.(17) Sebagai contoh, menjelang rapat paripurna untuk persetujuan bersama DPR dan Presiden terhadap RUU PPP, anggota KKP secara intens melobby anggota DPR dan melakukan upaya-upaya seperti menggelar konferensi pers meminta penundaan persetujuan sekaligus merekomendasikan dimuatnya secara eksplisit hak setiap orang untuk terlibat dalam proses pembentukkan perundang-undangan. Rekomendasi KKP ini selanjutnya diadopsi dalam pasal 58 UU No. 10/2004 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan. Anggota Panja Fraksi Reformasi, Mutammimul Ula dan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Depkeh HAM, Abdul Gani Abdullah sempat menyatakan bahwa DPR dan Pemerintah telah menerima aspirasi dari kelompok masyarakat yang tergabung dalam KKP berkaitan dengan pasal 58.(18)

Satu hal yang juga penting, namun kerap terlupa, KKP bersama-sama akademisi dan pakar hukum telah mencegah bangsa ini kejurang “sesat hukum”. Menjelang diundangkannya RUU, KKP mengorganisir beragam aktivitas untuk mendesak DPR merubah hirarki perundang-undangan yang dimuat dalam RUU PPP. Saat itu, KKP mengorganisir diskusi, talk show, konferensi pers dan pembuatan press release, termasuk bersama-sama para akademisi, yang secara individual mendukung KKP melobby sejumlah anggota DPR termasuk anggota Panja untuk merubah hirarki perundang-undangan yang “sesat”. Draft RUU yang dibahas DPR sempat mencampuradukkan peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan, termasuk memuat peraturan Bank Indonesia dalam hirarki perundang-undangan. (19) Upaya KKP dan sejumlah akademisi/pakar hukum ini kemudian diadopsi dalam pasal 7 UU PPP perihal jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, KKP telah mencegah terjadinya kekacauan dalam sistem hukum di Indonesia.

Upaya-upaya yang dilakukan KKP direkam oleh “Pusat Informasi Tata Pemerintahan yang Baik di Indonesia”, sebuah lembaga non-pemerintah. Dalam paragraf pembuka artikel yang memuat profil KKP, dinyatakan:

“Profil kali ini sengaja mengetengahkan sosok institusi yang tengah gigih berjuang untuk lahirnya sebuah tatanan yang mengatur pelibatan masyarakat khusus dalam penyusunan kebijakan. Tidak tanggung-tanggung, institusi ini langsung melakukan intervensi ke tubuh komisi dua DPR RI dan ikut serta mengkritisi lahirnya sebuah RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangan (TCP3).”(20)

Sebagai penutup, Seknas KKP bersedia menjadi “kendaraan bersama” dan “jembatan” semua pihak untuk mempromosikan “hak partisipasi masyarakat” dalam proses pembuatan undang-undang dan peraturan serta kebijakan publik lainnya, termasuk memfasilitasi pertukaran gagasan tentang “partisipasi masyarakat” dan memfasilitasi peningkatan kapasitas dan kemampuan “legal drafting”. Tentu Seknas KKP tidak melakukannya sendiri, Seknas KKP akan memberikan referensi dan rekomendasi lembaga-lembaga atau individu-individu, termasuk akademisi anggota KKP dan kontak person pejabat negara lainnya yang dianggap mampu dan cakap untuk membagi pengetahuan, ilmu dan pengalamannya.

Terima kasih.

* Pengantar diskusi pada Seminar Publik “Rakyat Berhak Terlibat”, Ruang Seminar Gedung UC, UGM, Yogyakarta, 27 April 2005.

Catatan Belakang

* Pengantar diskusi pada Seminar Publik “Rakyat Berhak Terlibat”, Ruang Seminar Gedung UC, UGM, Yogyakarta, 27 April 2005. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Forum LSM DIY, yang telah memberikan kesempatan untuk hadir dalam Seminar ini.
** Pengumpulan dokumen awal dilakukan oleh Angelique Jaime, volunteer (sukarelawan) pada Koalisi Kebijakan Partisipatif (KKP).

(1) Jaminan hak ini dinyatakan secara tegas dalam pasal 53 (Bab X mengenai Partisipasi Masyarakat) UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), disahkan pada 22 Juni 2004. Dalam hukum positif kita, hak ini juga dinyatakan dalam Konstitusi, pasal 28F dan Peraturan Pemerintah No. 25/2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD, terutama pasal 84 – yang perlu direvisi (Penulis), berkaitan dengan ketentuan “hanya undangan dapat berbicara dalam persidangan dan rapat DPRD”.
(2) Penjabaran hak ini, dapat dilihat dalam UN doc. CCPR. General Comment No. 25: The right to participate in public affairs, voting rights and the right of equal access to public service (Art. 25):. 12/07/96. CCPR/C/21/Rev.1/Add.7.
(3) Lihat UU No. 7/1984, pasal 7. CEDAW sendiri diadopsi oleh oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi 34/180 pada 18 December 1979. Berlaku (entry into force) pada 3 September 1981.
(4) Deklarasi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB lewat Resolusi No. 47/135 pada 18 Desember 1992. Lihat art. 2 (2) dan (3). Sedangkan obligasi (tanggungjawab) Negara untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk pemenuhan hak kaum minoritas dibidang pembangunan dan kemajuan ekonomi, lihat art. 4 (5).
(5) Lihat UN doc. Office of the High Commissioner for Human Rights. 7 Februari 2003. “Opening Statement of the High Commissioner for Human Rights to the Fourth Session of the Open-Ended Working Group on the Right to Development”.
(6) Ibid.
(7) UN doc. CCPR. General Comment No. 25: The right to participate in public affairs, voting rights and the right of equal access to public service (Art. 25):. 12/07/96. CCPR/C/21/Rev.1/Add.7., para. 5.
(8) Ibid, para. 6.
(9) Ibid., paras. 8, 12 and 26. Tentang hak bebas berpendapat dan berekpresi, antara lain lihat juga ICCPR, art. 19; UN doc. Commision on Human Rights resolution 2003/42. Adopted without a vote. 59th meeting, 23 April 2003.
(10) Ibid., para. 23.
(11) Ibid., para. 25.
(12) Bagian ini disusun berdasarkan paper Pakorn Nilprapunt “Thailand’s Public Consultation Law: Opening the Door to Public Information Access and Participation” Teks di www.lawreform.go.th
(13) Dikutip dari Pakorn Nilprapunt “Thailand’s Public Consultation Law: Opening the Door to Public Information Access and Participation”
(14) Bagian ini mengutip dokumen KKP. Lihat A. Patra M. Zen, Kertas Kerja Koalisi Kebijakan Partisipatif. “Membangun Koalisi yang Otoritatif Dalam Menilai Proses Pembuatan Perundang-undangan yang Partisipatif”, Edited Version, April 2005, hal. 3 – 5.
(15) Daftar 161 nama anggota KKP dapat dilihat di A. Patra M. Zen, Afrizal Tjoetra dan Sugiharto A. Santoso. 2003. Koalisi Kebijakan Partisipatif. Jakarta: Yappika, h. 28 – 40. Direktori ini memuat juga contact person, dan nomor kontak anggota KKP. Jumlah ini terus meningkat, dalam Pertemuan Nasional KKP di Cipanas 14 – 18 Maret 2005, tercatat jumlah anggota KKP sebanyak 180 lembaga dan individu.
(16) Ibid., h. 14-15.
(17) Lihat Kompas. 12 Mei 2004. “LSM Tolak Pengesahan RUU Perundang-undangan”; Lihat juga Kompas. 17 Mei 2004. “RUU Perundang-undangan Tidak Berpihak kepada Masyarakat” Upaya yang pernah dilakukan KKP termasuk menyelenggarakan seminar, diskusi dan konferensi pers serta mengirimkan surat pembaca ke media-media cetak. Satu contoh, antara lain lihat: Afrizal Tjoetra. “Partisipasi Publik Tidak Terjamin” dimuat dalam rubrik Kontak Pembaca harian Sinar Harapan, 6 Maret 2004; lihat juga Hukumonline. 23 April 2004. “Pakar Hukum Tegaskan Perlunya Partisipasi Publik dalam Pembentukan Undang-undang” Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=10167&cl=Berita; Kompas. 23 April 2004; Sinar Harapan. 14 April 2004. “Koalisi LSM Usulkan DPR Tunda Pengesahan RUU”
(18) Pernyataan tersebut dapat dilihat di Hukumonline, 27 April 2004. “Pemerintah dan Komisi II Akhiri Deadlock RUU PPP” Teks di http://hukumonline.com/detail.asp?id=10193&cl=Berita
(19) Lihat Hukumonline. 27 Februari 2004. “Jika RUU PPP Disahkan, Sistem Hukum Indonesia Kacau”.
(20) Lihat Good Govenance Newsletter. Vol. 2, Mei 2002. “Koalisi Kebijakan Partisipatif”. Versi online dapat dilihat di http://www.goodgovernance.or.id/NewsContenView.asp?mid=7&newsmenu_id=2&
Load Counter