Monday, November 03, 2008

Standar dan Praktek Hak Asasi Manusia untuk Polisi

Pengantar

Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia akan menyusun satu buku: “Buku Panduan Umum Hak Asasi Manusia Bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia” – selanjutnya disebut dengan Buku Panduan. Saat ini, telah disusun draft kuisioner, yang memuat 3 tema pokok, yakni:
1. Umum
2. Tugas Pokok dan Fungsi
3. Pelaksanan Tugas Dilapangan

Artikel singkat ini disusun untuk merespon Draft Akhir Kuisioner untuk Konsep Penyusunan Buku Panduan Umum HAM Bagi Kepolisian Negara RI. Depkeh HAM. Tulisan ini akan mendeskripsikan norma dan standar internasional HAM yang sebaiknya dirujuk untuk penyusunan Buku Panduan. Dibagian B, akan didiskusikan beberapa topik yang relevan berkaitan dengan penyusunan Buku Panduan. Dibagian akhir artikel, akan dimuat beberapa rekomendasi berkaitan dengan Penyusunan Buku Panduan.


A. Standard dan Praktek Hak Asasi Manusia untuk Polisi dibawah Norma dan Standard
Internasional tentang Hak Asasi Manusia

Untuk Keperluan ini ada beberapa dokumen standard internasional dan pedoman yang sebaiknya dirujuk dalam menyusun Buku Panduan, seperti dokumen baik General Comment maupun General Recommendation yang diadopsi Komite HAM (CHR) dan Komite Menentang Diskriminasi Rasial (CERD); serta “Buku Saku Hak Asasi Manusia untuk Polisi”, yang diterbitkan Kantor Komisioner Tinggi HAM PBB.

A.1. General Comment dan General Recommendation

a. Polisi dan Problem Penyiksaan
Salah satu isu yang menjadi perhatian Komite HAM (CHR) adalah berkaitan dengan problem/kejahatan HAM yang dilakukan oleh polisi: penyiksaan, tindakan kejam dan tindakan merendahkan martabat manusia lainnya. Komite HAM menyatakan:

“… police officers … involved in the custody or treatment of any individual subjected to any form of arrest, detention or imprisonment must receive appropriate instruction and training. State parties should inform the Committee of the instruction and training given and the way in which the prohibition of article 7 forms an integral part of the operational rules and ethical standards to be followed by such person”.(1)

Ketentuan pasal 7 ICCPR, sebagai berikut:

“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation”.

CHR menyatakan, pasal 7 ICCPR tersebut pada hakikatnya bertujuan untuk melindungi “both dignity and the physical and mental integrity of the individual”(2) inter alia perlindungan bagi setiap orang yang terdeprivasi kebebasanya, termasuk tahanan, wajib diperlakukan dengan rasa kemanusiaan dan dengan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.(3)

b. “Exercising Police Power”
Dalam melakukan wewenangnya, khususnya melakukan penahanan atau harus dipastikan polisi juga mempunyai tanggungjawab untuk menghormati dan melindungi “human dignity” dan menjamin dan menegakkan hak asasi manusia tanpa perbedaan apa pun (diskriminasi) atas dasar ras, warna kulit atau asal etnis dan nasional.(4)

c. Polisi dan Problem Diskriminasi
Larangan untuk menggunakan “illegal force” yang dimiliki kepolisian untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang sifatnya diskriminatif terhadap individu/kelompok tertentu. Larangan diskriminasi, termasuk memastikan polisi tidak menikmati impunitas atas dasar ras, warna kulit atau asal etnis tertentu, agama dan seterusnya.(5)

d. Internal Kepolisian: Kualifikasi dan Promosi
CHR dalam sebuah General Comment pernah memberikan perhatiannya kepada problem adanya praktek-praktek diskriminasi dan/atau limitasi berkaitan dengan kualifikasi dan promosi yang dilaksanakan institusi kepolisian. Sebagai contoh, adanya praktek diskriminasi terhadap individu yang ingin bekerja sebagai polisi, atau adanya praktek-praktek diskriminasi dalam hal promosi, dengan dasar diskriminasi ras, warna kulit, asal etnis, agama dan seterusnya.(6)


A.2. Buku Panduan Terbitan OHCHR

Buku panduan yang diterbitkan Kantor Komisioner Tinggi PBB (OHCHR) dengan judul “Human Rights Standards and Practice for the Police. Expanded Pocket Book” .(7) merupakan salah satu dokumen yang digunakan dalam seri pelatihan profesional yang menjadi inisiatif dari kantor ini.

Buku panduan tersebut, boleh dikatakan lengkap karena mencakup banyak tema yang memang relevan sebagai panduan bagi aparat kepolisian, sebagai berikut:(8)
1. Application of General Human Rights Principles;
2. Ethical and Legal Conduct;
3. Policing in Democracies;
4. Non-Discrimination in Law Enforcement;
5. Police Investigation;
6. Arrest;
7. Detention;
8. Use of Force and Firearms;
9. Civil Disorder, State of Emergency and Armed Conflict;
10. Protection of Juveniles;
11. Human Rights of Women;
12. Refugees and Non-Nationals;
13. The Human Rights of Victims;
14. Police Command and Management;
15. Community Policing;
16. Police Violations of Human Rights;
17. Source for Human Rights Standards and Practice.

A.3. Sumber-Sumber untuk Praktek dan Standar HAM

Dalam buku panduan terbitan OHCHR, dimuat norma dan standard internasional, yang diadopsi PBB untuk menjadi rujukan bagi praktek kepolisian, sebagai berikut:
1. Universal Declaration of Human Rights (UDHR);
2. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR);
3. Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (CAT);
4. Convention on the Right of the Child (CRC);
5. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
(CERD);
6. Convention on the Elimination of the All Forms of Discrimination against Women;
7. Code of Conduct for Law Enforcement Officials;
8. Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials;
9. Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Forms of Detention
or Imprisonment
10. Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of
Power;
11. Declaration on the Protection of All Persons from Enforced Disappearance;
12. Principles on the Effective Prevention and Investigation of Extra-legal,
Arbitrary and Summary Executions
13. Guideline on the Role of Prosecutors;
14. Declaration on the Elimination of Violence against Women;
15. United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures (The Tokyo
Rules);
16. United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(“The Beijing Rules”);
17. United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty;
18. Model Strategies and Practical Measures on the Elimination of Violence against
Women in the Field of Crime Prevention and Criminal Justice.

Sebagai catatan, Indonesia telah meratifikasi beberapa norma internasional HAM, seperti dalam tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1
Instrumen Internasional HAM Utama yang Telah Diratifikasi Indonesia

No.

Konvensi Yang Diratifikasi

Inkorporasi dalam Hukum Domestik

1.

CERD

UU No. 29/1999

2.

CAT

UU No. 5/1998

3.

CEDAW

UU No. 7/1994

4.

CRC

Keppres No. 36/1990

5.

Hak-hak Perempuan

UU No. 68/1959



B. Menyusun Buku Panduan Umum HAM Bagi Polisi

Langkah Depkeh HAM yang memfasilitasi penyusunan Buku Panduan Umum HAM Bagi Kepolisian merupakan langkah penting, fenomenal sekaligus patut dipuji. Hal lain, komposisi keangotaaan tim penyusun pun sangat apik karena berasal dari beragam latar belakang baik dari aspek asal lembaga maupun aspek latar belakang pengetahuan dan akademik, seperti terlihat dalam tabel 2. Karenanya, alangkah lebih baik jika Buku Panduan yang disusun dapat benar-benar menjadi “Panduan” bagi Kepolisian kita.

Buku Panduan ini, sebaiknya dapat digunakan bagi aparat kepolisian, sekaligus dapat digunakan untuk menjawab problem-problem yang ada di masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia, tentu saja yang berkaitan dengan tugas, peran, wewenang dan fungsi kepolisian. Dengan demikian, selain merujuk pada norma dan standard internasional, sangat baik kita menggali dari norma dan standar domestik (nasional) yang kita miliki.

Setidaknya ada 2 problem dapat muncul dalam penyusunan Buku Panduan jika merujuk pada norma (hukum) positif saat ini, sebagai berikut:
1. Beberapa perundang-undangan mempunyai kelemahan, seperti KUHAP (Kitab
Undang-undang Hukum Pidana)(9) oleh banyak komentator mestinya direvisi – termasuk
UU 39/1999 tentang HAM;
2. Bisa saja norma dan standar domestik belum mengatur tentang ideal kepolisian
menyangkut pemenuhan hak asasi manusia;(10)

Tabel 2
Partisipan dalam Penyusunan Buku Panduan

No.

Nama

Jabatan/Asal Lembaga

1.

Prof. DR. Harkristuti Harkrisnowo

FHUI

2.

Lies Sugondo, S.H.

Ketua Sub Pengkajian Komnas HAM

3.

Kombes Pol. Drs. Ichwanto Harijadi

PTIK

4.

AKBP Soedjojo Sam, S.H., M.H.

Mabes Polri

5.

AKBP DR. R.M. Panggabean

Mabes Polri

6.

A. Patra M. Zen, S.H., LL.M

YLBHI

7.

DR. Adhi Santika MS

Kapus. Pengkajian Hak-hak Ekosob, Balitbang HAM

8.

Drs. Edi Ichwanto

Kabid. PMP. Pusat Pengkajian Hak-hak Ekosob

9.

Cuntoko, S.E., MM.

Kasubid. Lokal, Bidang PMP, Pusat Pengkajian Hak-hak Ekosob

10.

Markus Harjanto, S.H.

Balitbang HAM

11.

Ir. Maruahal Simanjuntak, M.M.

Pimpro. Penelitian dan Pengembangan HAM

12.

Ir. Bresman Sianipar, MSc.

Koordinator Penyusunan Buku Panduan

Sumber: Lampiran Surat Undangan Ka. Balitbang Depkeh HAM No. K1-UM.02.10-472

Membaca dokumen internasional, seperti telah dibahas dibagian sebelumnya, tentu saja memuat standard dan norma ideal. Dalam konteks ini, jika Buku Panduan disusun berdasarkan ideal tersebut, tentu saja sangat baik. Namun, tentu saja bisa muncul pernyataan-pernyataan sinis, seperti: “untuk apa disusun buku panduan yang sangat ideal, tapi tidak bisa dilaksanakan” atau malah pernyataan brutal, semisal: “untuk apa disusun buku panduan yang sangat ideal, kalau tidak dipakai dan hanya untuk dilanggar”.

Buku Panduan yang hendak kita susun, sebaiknya menjadi suatu ideal standar dan praktek yang diiktiarkan bersama. Karenanya, tidak menutup kemungkinan, Buku Saku ini malah menjadi inspirasi, bahan masukan, dan dokumen rujukan bagi rancangan perundang-undangan yang akan disusun dan/atau perundangan-undangan yang (akan) direvisi. Selain itu, tidak menutup kemungkinan Pimpinan Kepolisian menjadi inspirasi pimpinan lembaga Negara lain menjadi tauladan melaksanakan Buku Panduan, dan menjadi pimpinan berhasil melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan praktek-praktek promosi, perlindungan dan pemenuhan hak asasi oleh Polisi.


C. Rekomendasi

Beberapa rekomendasi untuk penyusunan Buku Panduan, sebagai berikut:

1. Sebaiknya Buku Panduan disusun dengan merujuk pada norma dan standar internasional Hak Asasi Manusia, dengan memberikan elaborasi yang lebih mendetail untuk menjawab persoalan-persoalan konteks Indonesia, seperti panduan untuk polisi yang bertugas di daerah konflik komunal, seperti di Maluku; diwilayah-wilayah dimana masyarakat adat (indigenous people) berdiam; dan di wilayah-wilayah “khusus” lainnya;
2. Sebaiknya Buku Panduan disusun juga untuk menjawab problem korupsi dilingkungan kepolisian – karena korupsi merupakan satu kejahatan yang berkaitan juga dengan kejahatan terhadap hak asasi manusia, terutama hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemberantasan kejahatan korupsi ini pada hakikatnya menjadi kewajiban polisi untuk memberantasnya.
3. Buku Panduan ini sebaiknya menjamin aksesibilitas publik untuk memberikan masukan, mengetahui dan memperolehnya. Dengan demikian, publik dapat berpartisipasi dalam proses penyusunannya, hingga pada saat Buku Panduan ini selesai dicetak. Distribusi buku panduan kepada publik, dengan beragam cara termasuk penyebarluasan di internet, sebaiknya dilakukan, dengan harapan masyarakat luas dapat berpartisipasi untuk membantu para pimpinan kepolisian untuk melakukan pengawasan (monitoring) pelaksanaan Buku Panduan.

Dengan demikian, kuisioner yang disusun sebaiknya menuju dan mencakup semua ideal standard dan praktek hak asasi manusia yang seharusnya dilaksanakan polisi – walau pun dengan sifat “umum”, yang bisa menjawab problem-problem “spesifik” dan “khusus” Indonesia.

Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.

* Artikel ini disusun untuk keperluan “tanggapan draft” dalam Pembahasan Draft Akhir Kuisioner untuk Konsep Penyusunan Buku Panduan Umum HAM Bagi Kepolisian Negara RI. Depkeh HAM. Jakarta, 8 Juni 2004.

Catatan Belakang
(1) CHR. General Comment No. 20. Forty-fourth session (1992), para. 10.
(2) Ibid, para. 2.
(3) Lihat pasal 10 ICCPR.
(4) UN doc. A/48/18. CHR. General Recommendation XIII on the training of law enforcement officials in the protection of human rights. Forty-second session (1993), para. 2.
(5) Lihat CERD. General Recommendation XXVII on Discrimination against Roma. Fifty-seventh session (2000) , para. 12
(6) CHR. General Comment No. 25. Fifty-seventh session 1996 (Article 25 ICCPR), para. 18.
(7) Office of the UN High Commissioner for Human Rights. 2004. Human Rights Standards and Practice for the Police. Expanded Pocket Book. New York and Geneva.
(8) Lihat Ibid., p. v.
(9) Lihat Depkeh HAM “Kuisioner untuk Konsep Penyusunan Buku Panduan Umum Hak Asasi Manusia Bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia”, h. 2. Pertanyaan dalam Bagian I Umum, no. 8.
(10) Lihat Ibid., no. 5.

-----
Standar dan Praktek Hak Asasi Manusia untuk Polisi Addendum 1*

Pengantar

Dalam pertemuan yang membahas Buku Panduan HAM Bagi Kepolisian RI di Depkeh HAM pada 8 Juni 2004, penulis mencatatat beberapa hal:
Pertama, Buku Panduan ini, ditujukan untuk “konsumsi” aparat polisi dilevel Tamtama;
Kedua, mode of presentation dari buku panduan ini disusun dengan model yang “dapat dipahami” oleh para Tamtama.
Ketiga, buku panduan ini tidak ditujukan sebagai pedoman yang berkaitan dengan internal control kepolisian, melaikan pedoman bagi para Tamtama dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya “dilapangan”.


A. Tentang Buku Panduan

A.1. Buku Panduan untuk para Tamtama Polisi

Penulis berpendapat bukan pada tempatnya untuk mereduksi kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan para Tamtama polisi. Karenanya, tidak diskusi tentang “rumit” atau “tidak rumit” isi buku panduan, ataupun “bisa dipahami” atau “tidak bisa dipahami” buku panduan yang hendak disusun hanya relevan diuji lewat proses dan metode yang tepat, seperti wawancara mendalam kepada responden polisi, yang hendak menggunakan buku panduan itu sendiri.

A.2. Buku Panduan yang Mudah dipahami

Penulis sangat sependapat dengan ajuan argumen bahwa buku panduan yang hendak disusun harus bermanfaat dan berdaya guna. Karena, pendapat bahwa isi, substansi dan cara penulisan sebaiknya disesuikan dengan para polisi yang akan menggunakannya. Menurut penulis, bahkan, bila perlu menggunakan “bahasa” para polisi.

A.3. Buku untuk Panduang bagi para polisi melaksanakan fungsi dan tugas di lapangan

Dalam konteks ini, setidaknya ada dua pokok fungsi dan tugas polisi, yakni dibidang yudisial, utamanya berkaitan dengan tugas-tugas penyelidikan, penahanan, penangkapan serta dibidang keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Sebaiknya, buku panduan yang hendak disusun paling tidak – dan tidak terbatas – memberikan panduan 2 bidang pokok ini.


B. Tentang Kuisioner

Agar mencapai tujuan buku panduan menjadi efektif dan berdaya guna, penulis berpendapat sebaiknya, rumusan kuisioner memuat pertanyaan ‘apa yang boleh’ dan ‘apa yang tidak boleh’ dilakukan oleh polisi. Tentu saja benchmark atau ukuran ‘apa yang boleh’ dan ‘apa yang tidak’ boleh dilakukan polisi dalam menjalankan tugas dan fungsinya mesti dirumuskan terlebih dahulu, sehingga secara konsep dan praktik menjadi jelas. Dalam konteks ini ‘ukuran’ bisa berasal ‘buku-buku saku’ ‘buku-buku pedoman’ yang sudah ada dan dipakai di kepolisian. Dapat juga merujuk pada hukum internasional dan hukum domestik, termasuk petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis yang disusun Kepolisian RI – sepanjang tidak bertentangan dengan norma dan standar hak asasi manusia.

C. Harapan

Merujuk rekomendasi sebelumnya, tentang penyusunan buku panduan diharapkan juga mempertimbangkan dan/atau merujuk pada norma dan standar internasional HAM; memberikan perhatian kepada pelaksanaan tugas dan fungsi diwilayah-wilayah “khusus” serta rekomendasi perihal perlunya memastikan partisipasi publik dalam perumusan buku panduan ini, selanjutnya penulis dalam kesempatan ini hanya berharap buku panduan ini tidak diproduksi dengan tergesa-gesa, an sich hanya ditopang dengan argumen keterbatasan waktu (time constraint). Tentu saja harapan ini tanpa sedikit pun mengurangi penghargaan penulis terhadap upaya positif dan kerja keras yang dilakukan Depkeh HAM dalam memfasilitasi penyusunan Buku Pedoman ini.

Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.
Load Counter