Monday, April 30, 2007

Undang-Undang Intelijen Negara: Pasal tentang Kewenangan Penangkapan, Dilarang Masuk!

Pengantar

Paper singkat ini akan mendeskripsikan sekaligus menganalisis peran badan intelijen dalam sistem negara demokrasi, khususnya berkaitan dengan adanya keinginan memasukan kewenangan penangkapan dalam UU tentang Intelijen Negara. Analisis terhadap tema ini menggunakan disiplin hukum pidana dan hukum hak asasi manusia.

Paper yang akan disusun, dengan merujuk pada RUU Intelijen Negara versi 10 Maret 2006, yang akan disusun menjadi 3 bagian utama:

Pertama, mendeskripsikan masalah “penangkapan” dalam hukum yang berlaku saat ini. Sehingga didapat gambaran mengenai kewenangan dan prosedur yang berlaku tentang urusan menangkap seseorang.

Kedua, selanjutnya, dideskripsikan praktik dan problem berkaitan dengan wewenang lembaga intelijen, jika memainkan peran sebagai aparat polisionil dan yudisial, sebagaimana dimuat dalam 12 RUU Intelijen Negara. Serta menganalisis pro dan kontra tentang kewenangan ini, termasuk wewenang lembaga intelijen untuk melakukan penangkapan.

Ketiga, memuat rekomendasi terhadap rumusan dalam Rancangan Undang-undang Intelijen.

Berdasarkan, hasil seminar dan lokakarya (Semiloka) yang diselenggarakan Yayasan LBH Indonesia di 3 kota membahas rancangan undang-undang Intelijen[1], dihasilkan sejumlah pointers yang mengkritik RUU ini.[2] Dalam isu kerangka paradigmatik, yang mencakup asas, filosofis, Kelembagaan, fungsi dan wewenang, serta dampak dan implikasi UU – yang nantinya ditetapkan terhadap peraturan perundang-undangan lain, hasil Semiloka mencatat sejumlah hal yang masih perlu diklarifikasi, antara lain, apakah undang-undang ini nantinya dijadikan sebagai undang-undang yang akan mengatur seluruh badan intelijen yang ada saat ini. Selanjutnya, hal-hal yang perlu dibenahi antara lain:

- Perlunya UU memuat jaminan dan perlindungan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi, terutama dalam konsideran Menimbang dan Mengingat;
- Perumusan dan sinkronisasi lembaga intelijen yang sudah ada saat ini;
- Posisi “badan intelijen negara” dalam ketatanegaraan;
- Penghapusan wewenang intelijen dalam melakukan penangkapan dan kewenangan-kewenangan lain yang bersifat pro-justisia;
- Fungsi pengawasan terhadap “badan intelijen”.

Dari luasnya spektrum isu yang dimuat dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen, maka paper ini akan dibatasi hanya terhadap isu tentang pembatasan atau penghapusan kewenangan badan intelijen dalam melakukan tindakan penangkapan dan penahanan seseorang. Walaupun sempat dinyatakan As’ad Said, selaku Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), bahwa draf RUU Intelijen versi BIN tidak akan memuat kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan[3], dalam perkembangannya, RUU tentang Intelijen Negara, Draf 10 Maret 2006, memuat kewenangan “illegal” ini. Pasal 12 ayat (1), RUU Intelijen Negara, menyatakan:

“…berdasarkan Undang-Undang ini BIN dalam melakukan aktivitas intelijen memiliki kewenangan khusus untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang dalam rangka interogasi, menyadap, memeriksa rekening dan membuka surat setiap orang berdasarkan laporan intelijen membahayakan kepentingan dan keamanan nasional serta keselamatan Warga Negara Indonesia.”

RUU tersebut semestinya tidak memasukan pasal yang memberi “kewenangan khusus” tersebut. Artikel ini akan menguraikan argumen mengapa kewenangan khusus ini harus dihapus. Secara singkat dapat dikatakan, wewenang khusus yang hendak diberikan kepada intelijen negara bukan menyelesaikan persoalan melainkan menambah persoalan dinegeri ini. Jika merujuk pada teori hukum, peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi subyek sebuah prosedur yang memenuhi prinsip-prinsip pokok, antara lain aturannya mesti dapat dijalankan dikemudian hari serta konsisten dengan aturan hukum yang lain.[4]


A. Tindakan Penangkapan dalam Hukum Positif di Indonesia

Terdapat prinsip yang diikuti, sejak zaman Belanda, kasus-kasus yang dapat diproses dalam sistem peradilan pidana, hanya melalui aparat kepolisian.[5] Sementara, berdasarkan standar hukum internasional, penangkapan dan penahanan tersangka hanya dapat dilakukan oleh otoritas yang berwenang dan penggunaan kekuasaan ini mesti diawasi petugas peradilan atau badan yang berwenang menurut hukum untuk memastikan jaminan terhadap kompetensi kemandirian (independensi) dan ketidakberpihakan (imparsialitas).[6]

Sebagai contoh, prinsip tersebut juga berlaku dalam UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Dalam pasal 38 ayat (1), kewenangan KPK yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, termasuk kewenangannya untuk melakukan penangkapan.[7] Namun, untuk melaksanakan kewenangan penangkapan ini, KPK tetap meminta bantuan kepolisian, untuk melakukan penangkapan dalam perkara pidana korupsi yang sedang ditangani.[8]

Sebelum masuk dalam pembahasan tentang “penangkapan”, perlu diuraikan terlebih dulu beberapa definisi. Pertama, penyelidikan, yakni “serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan…”.[9] Kedua, penyidikan, yakni: “serangkaian tindakan penyidik…untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”[10] Selanjutnya, ketiga, penyelidik, yakni “pejabat polisi negara RI”.[11] Keempat, penyidik, yakni “pejabat polisi negara RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.[12] Kelima, penyidik pembantu, yakni “pejabat kepolisian negara RI yang karena diberikan wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan”.[13]

Dalam hukum acara pidana, dikenal juga “penyidik” yang bukan berasal dari aparat kepolisian, seperti pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat kehutanan, yang menjalankan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus berdasarkan Undang-Undang yang mengatur khusus dan menjadi dasar hukumnya masing-masing.[14] Sebagai catatan, dalam konteks ini, dalam praktik, pegawai negeri sipil tertentu melakukan tindakan penangkapan dalam kasus pelaku kejahatan “tertangkap tangan”. Diluar kasus “tertangkap tangan”, dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan, pejabat pegawai negeri sipil tertentu, melakukan kewenangannya, dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian, sesuai dengan KUHAP.[15] Sebagai tambahan, dalam kasus kejahatan berat hak asasi manusia, Jaksa Agung sebagai penyidik, juga dapat melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan kejahatan hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.[16] Prosedur penangkapan juga serupa dengan prosedur yang berlaku dalam KUHAP.

Dalam hukum positif yang berlaku, dasar untuk melakukan penangkapan yakni: KUHAP, Undang-Undang (UU) No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI dan Laporan Polisi. Semestinya RUU Intelijen Negara tidak menabrak aturan-aturan ini. Memasukan ide atau konsep “wewenang khusus” bagi intelijen negara dapat mengakibatkan kegagalan dan kesalahan dalam sistem hukum.[17]

Tabel 1

Aturan tentang Penangkapan dalam KUHAP

5 ayat (1)b

angka 1
Penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan

7 ayat (1)d
Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan

11
Penyidik pembantu mempunyai wewenang dalam pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik

16
(1) Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang untuk melakukan penangkapan

17
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

18
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

19
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama 1 hari.
(2) Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.


Dalam tindakan pro-justisia berupa penangkapan untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan, paling tidak ada 2 alasan yang biasanya dijadikan dasar pertimbangan untuk Surat Perintah Penangkapan, yakni: (1) untuk kepentingan penyelidikan dan atau penyidikan tindak pidana, dan atau bagi pelaku pelanggaran yang telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak datang tanpa alasan yang sah”. Pertimbangan lain, (2) untuk kepentingan penyidikan tindak pidana, perlu untuk melakukan tindakan penangkapan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Surat perintah ini dibuat secara khusus, dan dikeluarkan sebelum penangkapan dilakukan.[18] Pengecualian hanya berlaku pada kasus seseorang tertangkap tangan melakukan tindak pidana, yang dapat ditangkap tanpa adanya Surat Perintah Penangkapan, sebagaimana ketentuan Pasal 18 ayat (2) KUHAP.[19]

Bukti permulaan yang cukup, mempunyai arti, bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana yang dilakukan tersangka.[20] Selanjutnya, definisi tersangka, yakni: seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan diduga sebagai pelaku tindak pidana.[21] M. Karjadi dan R. Soesilo menyatakan:

“Menurut bunyi pasal 17 ini orang tidak boleh dengan gegabah melakukan penangkapan terhadap seseorang. Untuk itu perlu adanya “dugaan keras” bahwa orang itu melakukan tindak pidana berdasarkan “bukti permulaan yang cukup”. Atas dugaan saja tanpa bukti misalnya orang tidak boleh ditangkap…Walaupun sudah ada petunjuk untuk mendakwa seseorang, akan tetapi orang itu dibiarkan saja bebas, sementara penyidikan terus dilakukan. Jikalau bukti-buktinya telah cukup terkumpul, barulah terhadapnya dilakukan penangkapan”[22]

Penangkapan yang dilakukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dilakukan berdasarkan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan instansi kepolisian, dalam hal ini ditandatangani oleh Penyidik. Sehingga, tidak semua aparat kepolisian, dapat melakukan penangkapan. Hanya aparat kepolisian selaku penyelidik atau penyidik, yang nama-namanya diberikan wewenang berdasarkan surat perintah, yang dapat melakukan penangkapan terhadap seseorang yang namanya juga dicantumkan dalam surat perintah penangkapan. Surat Perintah Penangkapan, wajib diserahkan kepada tersangka atau 1 (satu) lembar tembusannya kepada keluarga tersangka. Surat penangkapan, berlaku pada tanggal surat perintah dikeluarkan. Selanjutnya, setelah penangkapan dilakukan, mesti dibuat Berita Acara Penangkapan.

Dengan menggunakan proses hukum semacam itu, maka diharapkan tidak terjadi penangkapan dan penahanan sewenang-wewenang. Dalam konteks tersebut, maka peran intelijen adalah membantu pihak kepolisian, selaku penyelidik, untuk mengumpulkan informasi atau bukti permulaan (yang cukup) sehingga penyidik dapat melakukan tindakan penangkapan.


B. Kewenangan Penangkapan oleh Intelijen Mesti Ditiadakan

Dapat dikatakan, argumen pro terhadap kewenangan badan intelijen negara untuk melakukan penangkapan, didukung oleh pejabat Badan Intelijen Negara (BIN). Sebagai contoh, argumen yang dikemukakan Abdullah Mahmud Hendropriyono saat menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), yang menyatakan bahwa penangkapan seseorang oleh aparat intelijen bukan untuk dihukum melainkan orang tersebut akan digunakan untuk menyusup.[23] Sementara, Syamsir Siregar malah meminta kewenangan melakukan penangkapan untuk 3 x 24 jam, melebihi aturan dalam KUHAP yang hanya diperbolehkan 1 x 24 jam.[24] Selebihnya, tentu pandangan dan pendapat yang berisi kekhawatiran serta argumen menolak adanya kewenangan ini.

Salah satu argumen yang juga seringkali dikemukakan, mengapa “intelijen negara” perlu diberi wewenang penangkapan yakni dalam rangka “mencegah” atau “menanggulangi” kejahatan terorisme.[25] Argumen ini, sangat mudah ditolak, mengapa? Solusinya adalah meningkatkan kualitas aparat kepolisian. Struktur komando dan infrastruktur kepolisian (Polri) sudah terbentuk, dari tingkat pusat (Markas Besar) Kepolisian RI; ditingkat I (Mapolda); ditingkat II (Mapoltabes; Polresta dan Mapolres), selanjutnya ditingkat yang lebih rendah lagi (Mapolsekta dan Polsek). Selain itu, kepolisian RI paling tidak telah memiliki 2 badan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan “terorisme”, yakni Direktorat VI/Anti Teror, yang dipimpin seorang Brigadir Jenderal (Pol) dan Detasemen Khusus 88 Anti Teror, yang juga dikepalai Brigadir Jenderal (Pol).

Selanjutnya, setidaknya ada 3 problem pokok yang dikandung dalam kewenangan penangkapan oleh “intelijen negara” dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Wewenang penangkapan merupakan bagian dari proses penegakan hukum, diluar itu penangkapan yang dilakukan dapat disebut sebagai penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention).[26] Problemnya, pokok pertama, karena aparat badan intelijen bukanlah aparat penegak hukum, maka kewenangan ini bertentangan prinsip due process of law.[27] Karenanya, tidak mengherankan praktik badan intelijen yang menangkap orang secara sewenang-wenang dan tanpa adanya pertanggungjawaban selalu terjadi, sejak zaman Orde Baru – sebagaimana juga dinyatakan Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta[28] dan advokat senior Adnan Buyung Nasution[29], hingga kasus penangkapan Umar Al-Faruq dan Muhammad Saad Iqbal Madni, warga Mesir yang ditangkap pejabat BIN, yang kemudian langsung diserahkan kepada pihak asing, tanpa pertanggung jawaban.[30]

Kedua, masalah dualisme kewenangan antara kepolisian dengan badan intelijen. Masalah ini, pernah disampaikan oleh Wakil Presiden Hamzah Haz pada masa pemerintahan Megawati. Hamzah ketika itu sempat menyatakan kewenangan melakukan penangkapan, jika diberikan kepada badan intelijen, akan melahirkan kontroversi yang dapat meresahkan masyarakat serta menimbulkan ketidakpastian hukum.[31] Pendapat yang sama juga pernah dikemukakan Yusril Ihza Mahendra saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; ketika itu, Yusril menyatakan kewenangan menangkap dan menahan seseorang hanya dimiliki kepolisian.[32]

Problem pokok ketiga, masalah akuntabilitas. Badan intelijen, bukanlah aparat yang berstatus penegak hukum. Di Indonesia, berdasarkan UU, penegak hukum adalah status yang diberikan kepada perangkat dalam proses peradilan dan/atau fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman: hakim, jaksa, polisi dan advokat.[33]


C. Bukan Perkara Menangkap “Ayam” Di Jalanan

Dalam KUHAP, walaupun penyelidik adalah semua aparat kepolisian, namun hanya penyidik dan aparat kepolisian yang diberi perintah penyidik dapat melakukan penangkapan.[34] Urusan penangkapan dalam tubuh kepolisian, dilakukan oleh aparat yang memang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan penyidikan serta mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk melakukan tugas penyidikan, dalam hal ini aparat kepolisian yang dididik sebagai “reserse”.[35] Hal ini diatur agar tidak terjadi penangkapan sewenang-wenang, terkecuali penangkapan saat pelaku kejahatan tertangkap tangan.[36]

Tindakan penangkapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, merupakan tindakan yang hanya diperbolehkan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Tindakan penangkapan yang sewenang-wenang merupakan kejahatan hak asasi manusia, khususnya berkaitan dengan hak semua orang atas keamanan dan kebebasan pribadi (the right to liberty and security of person).[37]

Secara singkat, hukum internasional hak asasi manusia, memberikan jaminan hak asasi manusia: “tidak seorang pun dapat ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang”. Karenanya, disiplin hukum hak asasi manusia baik hukum internasional dan regional, banyak menetapkan instrumen hak asasi manusia berkaitan dengan penangkapan seseorang (lihat antara lain tabel 2).

Hanya petugas penegak hukum yang berkompeten dan yang diberikan otoritas – memiliki code of conduct – yang dapat melakukan penangkapan, serta kewenangan yang diberikan mesti dapat dipertanggungjawabkan melalui prosedur hukum.[38] Di Indonesia, pengadilan negeri, yang diberikan kewenangan untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan penyelidik dan penyelidik serta memutus ganti kerugian terhadap korban penangkapan yang sewenang-wenang yang telah dilakukan aparat penegak hukum.[39]


Tabel 2
Standar Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa
Berkaitan dengan Tindakan Penangkapan oleh Aparat Penegak Hukum
Ketentuan
Sumber

UN doc. General Assembly resolution 34/169, 17 December 1979. Code of Conduct for Law Enforcement Officials

The term "law enforcement officials", includes all officers of the law, whether appointed or elected, who exercise police powers, especially the powers of arrest or detention.
Art. 1 (Commentary)

This provision emphasizes that the use of force by law enforcement officials should be exceptional; while it implies that law enforcement officials may be authorized to use force as is reasonably necessary under the circumstances for the prevention of crime or in effecting or assisting in the lawful arrest of offenders or suspected offenders, no force going beyond that may be used.
Art. 3 (Commentary)

UN doc. General Assembly resolution 43/173, 9 December 1988. Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment

"Arrest" means the act of apprehending a person for the alleged commission of an offence or by the action of an authority
Use of terms (a)

Arrest, detention or imprisonment shall only be carried out strictly in accordance with the provisions of the law and by competent officials or persons authorized for that purpose.
Principle 2

The authorities which arrest a person, keep him under detention or investigate the case shall exercise only the powers granted to them under the law and the exercise of these powers shall be subject to recourse to a judicial or other authority
Principle 9

Anyone who is arrested shall be informed at the time of his arrest of the reason for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him
Principle 10

There shall be duly recorded:
( a ) The reasons for the arrest;
( b ) The time of the arrest and the taking of the arrested person to a place of custody as well as that of his first appearance before a judicial or other authority;
( c ) The identity of the law enforcement officials concerned;
( d ) Precise information concerning the place of custody.
Principle 12 (1)

Such records shall be communicated to the detained person, or his counsel, if any, in the form prescribed by law
Principle 12(2)

Any person shall, at the moment of arrest and at the commencement of detention or imprisonment, or promptly thereafter, be provided by the authority responsible for his arrest, detention or imprisonment, respectively with information on and an explanation of his rights and how to avail himself of such rights
Principle 13

A person who does not adequately understand or speak the language used by the authorities responsible for his arrest, detention or imprisonment is entitled to receive promptly in a language which he understands the information referred to in principle 10, principle 11, paragraph 2, principle 12, paragraph 1, and principle 13 and to have the assistance, free of charge, if necessary, of an interpreter in connection with legal proceedings subsequent to his arrest
Principle 14

Promptly after arrest and after each transfer from one place of detention or imprisonment to another, a detained or imprisoned person shall be entitled to notify or to require the competent authority to notify members of his family or other appropriate persons of his choice of his arrest, detention or imprisonment or of the transfer and of the place where he is kept in custody
Principle 16 (1)

If a detained or imprisoned person is a foreigner, he shall also be promptly informed of his right to communicate by appropriate means with a consular post or the diplomatic mission of the State of which he is a national or which is otherwise entitled to receive such communication in accordance with international law or with the representative of the competent international organization, if he is a refugee or is otherwise under the protection of an intergovernmental organization
Principle 16 (2)

If a detained or imprisoned person is a juvenile or is incapable of understanding his entitlement, the competent authority shall on its own initiative undertake the notification referred to in the present principle. Special attention shall be given to notifying parents or guardians
Principle 16 (3)

Any notification referred to in the present principle shall be made or permitted to be made without delay. The competent authority may however delay a notification for a reasonable period where exceptional needs of the investigation so require.
Principle 16 (4)

A detained person shall be entitled to have the assistance of a legal counsel. He shall be informed of his right by the competent authority promptly after arrest and shall be provided with reasonable facilities for exercising it
Principle 17(1)

If a detained person does not have a legal counsel of his own choice, he shall be entitled to have a legal counsel assigned to him by a judicial or other authority in all cases where the interests of justice so require and without payment by him if he does not have sufficient means to pay
Principle 17(2)

The arrest or detention of such a person pending investigation and trial shall be carried out only for the purposes of the administration of justice on grounds and under conditions and procedures specified by law. The imposition of restrictions upon such a person which are not strictly required for the purpose of the detention or to prevent hindrance to the process of investigation or the administration of justice, or for the maintenance of security and good order in the place of detention shall be forbidden
Principle 36

A person detained on a criminal charge shall be brought before a judicial or other authority provided by law promptly after his arrest. Such authority shall decide without delay upon the lawfulness and necessity of detention. No person may be kept under detention pending investigation or trial except upon the written order of such an authority. A detained person shall, when brought before such an authority, have the right to make a statement on the treatment received by him while in custody
Principle 37


Sebagai tambahan, instrumen regional hak asasi manusia, seperti Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental (1950) juga memuat aturan yang bertujuan untuk mencegah penangkapan sewenang-wenang yang merupakan kejahatan terhadap kebebasan dan keamanan pribadi.[40]


D. Rekomendasi

Rekomendasi singkat, untuk menutup artikel ini: kewenangan khusus untuk melakukan penangkapan seseorang mesti dihapus! Tugas pokok intelijen yakni memberikan informasi, bukan untuk melakukan penangkapan.[41]

Apapun argumen pro, “menyetujui adanya kewenangan intelijen negara dapat melakukan penangkapan” sangat tidak relevan. Lantas apa solusinya? Lebih rasional, dalam konteks “klaim pemberantasan “terorisme”, saat ini adalah meningkatkan kemampuan dan profesionalisme aparat kepolisian, secara umum, dalam menegakkan hukum. Peningkatan kapabilitas, khususnya ditujukan kepada Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Republik Indonesia: Direktorat VI/Anti Teror; Detasemen Khusus 88 Anti Teror. Tentu saja, peningkatan kemampuan dan profesionalisme, mencakup juga peningkatan implementasi tugas dengan memberikan penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia!


[1] Draft RUU yang digunakan pada saat penyelenggaraan Semiloka, versi 25 Januari 2005 dan versi 5 September 2003.

[2] Lihat YLBHI. “Menggagas Peran TNI dan Badan Intelijen dalam Sistem Negara Demokrasi”. Laporan Proyek Kerjasama antara Kemitraan (PGRI) dan YLBHI. Teks dapat dilihat di http://ylbhi.or.id/index.php?cx=3&cy=1&op=13

[3] As’ad sempat menyatakan draf RUU Intelijen tidak satu pun yang memuat ketentuan penahanan dan penangkapan seseorang. Bahkan ia menyatakan adanya draft liar atau palsu yang beredar dimasyarakat. Ditegaskannya, kewenangan penahanan dan penangkapan hanya dimiliki oleh kepolisian. Lihat Bali Post. 7 Maret 2003. “RUU Intelijen bisa Menghalalkan segala Cara....Ibarat Kopkamtib Gaya Baru di Era Demokrasi”.

[4] Lihat antara lain Lon Fuller. 1964. The Morality of Law. New Haven, CT: Yale University Press, p. 38 – 39.

[5] Lihat antara lain M.L. Hc. Hulsman. 1984. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum. Soedjono Dirdjosisworo (penyadur). Jakarta: Rajawali., h. 27.

[6] Kumpulan Prinsip-prinsip PBB untuk Perlindungan Semua Orang dalam Penahanan dan Pemenjaraan, Prinsip ke-4. GA Resolution 43/173, 9 December 1988. Body of Principle for the Protection under Any Form of Detention or Imprisonment.

[7] Lihat UU No. 30/2002, Penjelasan Pasal 38 ayat (1).

[8] UU No. 30/2002, Pasal 12 huruf h.

[9] UU No. 8/1981 tentang KUHAP, Pasal 1 angka 5.

[10] Ibid, Pasal 1 angka 2.

[11] Ibid., Pasal 1 angka 4.

[12] Ibid, Pasal 1 angka 1. Penyidik, sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua. Lihat M. Karjadi dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Cetak Ulang. Bogor: Politeia, h. 16.

[13] UU No. 8/1981, Pasal 1 angka 3. Penyidik Pembantu, berpangkat Sersan Dua sampai dengan Sersan Mayor dan anggota kepolisian yang diangkat oleh Kapolri. Lihat M. Karjadi dan R. Soesilo. Ibid.

[14] Lihat juga M. Karjadi dan R. Soesilo. Ibid. , h. 18.

[15] Lihat antara lain, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan , Pasal 77 ayat (2) huruf f.

[16] UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Pasal 11.

[17] Lon Fuller sempat menyatakan bahwa kertepenuhan prosedur penyusunan peraturan hukum mesti dilakukan agar mampu mewujudkan sebuah sistem hukum. Sebuah sistem hukum yang tidak dapat berjalan dengan maksimal, sebenarnya tidak dapat disebut sebuah sistem hukum sama sekali. Lihat Leon Fuller. Op.cit., h. 39.

[18] Lihat M. Karjadi dan R. Soesilo. Op.cit., h. 25.

[19] Periksa juga UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 36 ayat (4) huruf a; UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 106 ayat (4).

[20] UU No. 8/1981, Pasal 17.

[21] Ibid., Pasal 1 angka 14.

[22] M. Karjadi dan R. Soesilo. Op.cit., h. 26.

[23] Tempo Interaktif. 23 September 2004. “Intelijen Minta Kewenangan Menangkap”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/09/23/brk,20040923-01,id.html

[24] Lihat Kompas. 25 November 2005. “BIN Desak UU Intelijen”; Tempo Interaktif. 24 November 2005. “BIN Minta Kewenangan Menangkap Orang”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/11/24/brk,20051124-69674,id.html

[25] Lihat antara lain komentator pro-kewenangan penangkapan, seperti pernyataan Syamsir Siregar, Kepala BIN, pengamat intelijen Wawan H. Purwanto. Lihat Tempo Interaktif, 24 November 2005“BIN Minta Kewenangan Menangkap Orang”; Kompas. 25 November 2005. “BIN Desak UU Intelijen”; Republika Online. 25 November 2005. “BIN Minta Diberi Kewenangan Memeriksa”; Kompas. 8 Oktober 2004. “BIN Jangan Diberikan Wewenang Menangkap”

[26] Lihat UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik, Pasal 9. Lihat juga UN doc. GA Resolution 40/144 of 13 December 1985. Declaration on the Human Rights of Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live, art. 5(1)a.

[27] Prinsip “due process of law”, secara singkat didefinisikan prosedur hukum yang semestinya. Prinsip ini mempunyai lingkup pengertian hak semua orang untuk mendapat jaminan dan perlindungan oleh hukum dan proses hukum yang diberlakukan terhadapnya. Jaminan hukum ini antara lain hak setiap orang untuk dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat Negara. Prinsip ini juga seringkali dikaitkan dengan, hak untuk hidup dan kebebasan individual. Lihat antara lain John V. Orth. 2003. Due Process of Law. A Brief History. Kansas: University Press of Kansas, pp. i-ix.

[28] Menurut Sutiyoso, banyak pihak mempersoalkan kehadiran intelijen, antara lain karena trauma intelijen kerap menangkapi orang. Di era Orde Baru, pelaksanaan "intelijen" oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Bakorstanas sangat kuat dengan kekuasaan menangkap, memeriksa dan menahan orang. Lihat Kompas. 20 Juni 2005. “Gubernur DKI: Intelijen Efektif Cegah Teroris”; Komisi Hukum Nasional. Oktober 2005. “RUU Intelijen Negara, Rahasia Negara, KMIP dan Prinsip Negara Demokrasi”. Teks di http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?mode=detil&id=125

[29] Tempo Interaktif. 7 Oktober 2004. “Buyung Tolak BIN Diberi Kewenangan Menangkap”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/10/07/brk,20041007-44,id.html

[30] Lihat Tempo Interaktif. 24 November 2005. “BIN Minta Kewenangan Menangkap Orang”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/11/24/brk,20051124-69674,id.html

[31] Lihat antara lain Sinar Harapan. 5 Maret 2003. “Jangan Ada Dualisme Kewenangan Polri dan BIN”.

[32] LIN Online. 6 Maret 2003. “Menkeh dan HAM Tak Setuju Intelijen Punya Wewenang Menangkap” Teks di http://www.lin.go.id/news.asp?kode=060303HUKT0002

[33] Periksa UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Penjelasan Pasal 1; UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Konsideran Menimbang, huruf b; UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 34 ayat (1); UU No. 18/2003 tentang Advokat, Penjelasan Pasal 5 ayat (1).

[34] Lihat M. Karjadi dan R. Soesilo. 1997. Op.cit., h. 13. Reserse polisi yang tergabung dalam Badan Reserse dan Kriminal, mempunyai tugas pokok mencari dan menemukan pelaku kejahatan untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk melakukan penangkapan. Lihat juga Situs Polri. “Bareskrim”. Teks di http://www.polri.go.id/serse/serse1.php Mengenai sejarah Bareskrim di Indonesia, lihat http://www.polri.go.id/serse/serse.php. Reserse merupakan salah satu unsur kepolisian yang menjalankan fungsi teknis operasional, selain intelijen dan pengamanan, samapta, lalu lintas dan bimbingan masyarakat, dan fungsi teknis yang bersifat administratif. Tugas pokok utama reserse yakni melakukan penyidikan. Namun, memang banyak kritik dan perlunya reformasi dan pembenahan didalam tubuh Bareskrim ini. Lihat antara lain Kompas. 6 Maret 2006. “Mencari Harapan Tersisa untuk Polisi”; Kompas. 8 Januari 2006. “Sebuah Momentum untuk Mereformasi Reserse?”

[35] Lihat Ibid.

[36] Lihat Hukumonline. 17 Oktober 2004. “RUU Intelijen Dinilai Bertentangan dengan Prinisp Due Process of Law”. Teks di http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11387&cl=Berita

[37] Lihat UN doc. GA Resolution 217A(III), 10 December 1948. Universal Declaration of Human Rights, art. 3; Lihat juga UN doc. General Assembly resolution 2200A (XXI), 16 December 1966. International Covenant on Civil and Political Rights, entry into force 23 March 1976, in accordance with Article 49, art. 9. Kovenan ini sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik; UN doc. General Assembly Resolution 45/158, 18 December 1990, International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, art. 16; UN doc. CCPR. Sixteenth session (1982). General Comment No. 8: Article 9 (Right to liberty and security of persons), paras 1, 2; UN doc. General Assembly resolution 48/104, 20 December 1993. Declaration on the Elimination of Violence against Women, art. 3(c); Periksa OHCHR. Fact Sheet No. 26. The Working Group on The Arbitrary Detention.

[38] UN doc. UN doc. GA Resolution 34/169, 17 December 1979.Code of Conduct for Law Enforcement Officials, Commentary, art. 1; UN doc. GA Resolution 43/173 of 9 December 1988. Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment, Principles 2; 9.

[39] UU No. 8/1981 tentang KUHAP, Pasal 77.

[40] CE doc. ETS No. 005. Rome 4.XI.1950. Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms as amended by Protocol No. 11, art. 5.

[41] Lihat antara lain wawancara Andi Widjajanto, Kelompok Kerja Indonesia untuk Reformasi Intelijen Negara dalam Bali Post Online, 23 April 2006. “Tugas Intel adalah Memberi Informasi”.


Daftar Pustaka

Fuller, Lon. 1964. The Morality of Law. New Haven, CT: Yale University Press.

Hulsman, M.L. Hc. 1984. Sistem Peradilan Pidana Dalam Perspektif Perbandingan Hukum. Soedjono Dirdjosisworo (penyadur). Jakarta: Rajawali.

Karjadi, M. dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Cetak Ulang. Bogor: Politeia

Orth, John V.. 2003. Due Process of Law. A Brief History. Kansas: University Press of Kansas


Undang-undang

UU No. 12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik.

UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.

UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.

UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


Rancangan Undang-Undang

RUU tentang Intelijen Negara versi 10 Maret 2006

RUU tentang Badan Intelijen Negara versi 25 Januari 2005

RUU tentang Badan Intelijen Negara versi 5 September 2003


UN documentations

CCPR. Sixteenth session (1982). General Comment No. 8: Article 9 (Right to liberty and security of persons).

General Assembly Resolution 48/104, 20 December 1993. Declaration on the Elimination of Violence against Women.

----------- 45/158, 18 December 1990, International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families.

----------- 43/173, 9 December 1988. Body of Principle for the Protection under Any Form of Detention or Imprisonment.

----------- 40/144 of 13 December 1985. Declaration on the Human Rights of Individuals Who are not Nationals of the Country in which They Live.

----------- 34/169, 17 December 1979.Code of Conduct for Law Enforcement Officials.

----------- 2200A (XXI), 16 December 1966. International Covenant on Civil and Political Rights, entry into force 23 March 1976, in accordance with Article 49.

----------- 217A(III), 10 December 1948. Universal Declaration of Human Rights

OHCHR. Fact Sheet No. 26. The Working Group on The Arbitrary Detention.


Council of Europe Documentation

ETS No. 005. Rome 4.XI.1950. Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms as amended by Protocol No. 11, art. 5.


Berita/Artikel Media

Bali Post. 23 April 2006. “Tugas Intel adalah Memberi Informasi”.

----------- 7 Maret 2003. “RUU Intelijen bisa Menghalalkan segala Cara....Ibarat Kopkamtib Gaya Baru di Era Demokrasi”.

LIN Online. 6 Maret 2003. “Menkeh dan HAM Tak Setuju Intelijen Punya Wewenang Menangkap” Teks di http://www.lin.go.id/news.asp?kode=060303HUKT0002

Hukumonline. 17 Oktober 2004. “RUU Intelijen Dinilai Bertentangan dengan Prinisp Due Process of Law”. Teks di http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11387&cl=Berita

Kompas. 8 Januari 2006. “Sebuah Momentum untuk Mereformasi Reserse?”

----------. 25 November 2005. “BIN Desak UU Intelijen”.

----------. 6 Maret 2006. “Mencari Harapan Tersisa untuk Polisi”

----------. 20 Juni 2005. “Gubernur DKI: Intelijen Efektif Cegah Teroris”

----------. 8 Oktober 2004. “BIN Jangan Diberikan Wewenang Menangkap”.

Republika Online. 25 November 2005. “BIN Minta Diberi Kewenangan Memeriksa”

Sinar Harapan. 5 Maret 2003. “Jangan Ada Dualisme Kewenangan Polri dan BIN”.

Situs Komisi Hukum Nasional. “RUU Intelijen Negara, Rahasia Negara, KMIP dan Prinsip Negara Demokrasi”. Oktober 2005. Teks di http://www.komisihukum.go.id/article_opinion.php?mode=detil&id=125

Situs Polri. “Bareskrim”. Teks di http://www.polri.go.id/serse/serse1.php

Situs YLBHI, “Menggagas Peran TNI dan Badan Intelijen dalam Sistem Negara Demokrasi”. Laporan Proyek Kerjasama antara Kemitraan (PGRI) dan YLBHI, Teks dapat dilihat di http://ylbhi.or.id/index.php?cx=3&cy=1&op=13

Tempo Interaktif. 23 September 2004. “Intelijen Minta Kewenangan Menangkap”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/09/23/brk,20040923-01,id.html

Tempo Interaktif. 24 November 2005. “BIN Minta Kewenangan Menangkap Orang”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/11/24/brk,20051124-69674,id.html

----------. 7 Oktober 2004. “Buyung Tolak BIN Diberi Kewenangan Menangkap”. Teks di http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2004/10/07/brk,20041007-44,id.html
Load Counter