Monday, April 30, 2007

Tanggungjawab dan Akuntabilitas Korporasi dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia

“…transnational corporations become increasingly important in the economies of most countries an international economic relationships, unique opportunities may be significantly greater for transnational and other companies that have larger amounts of resources and therefore greater ability to use those resources for the benefit of society as well as for their shareholders…”

(UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1., para. 5)


Banyak argumen yang telah menunjukkan banyaknya keuntungan bagi masyarakat dan penduduk lokal jika pelaku non-Negara (sektor privat) memberikan kontribusi bagi pemenuhan hak asasi manusia. Kutipan tersebut diambil dari laporan yang disusun David Weissbrodt yang diberi mandat Komisi HAM, Sub-Komisi Promosi dan Perlindungan HAM untuk melakukan penelitian berkaitan dengan metode kerja dan aktivitas korporasi transnasional.[1]

Namun, boleh dibilang tidak banyak argumen yang menunjukkan keuntungan yang diperoleh korporasi jika turut berkontribusi dalam penghormatan, pemajuan (promosi) dan pemenuhan HAM.

Fenomena menarik, sekaligus memunculkan pertanyaan yang menggelitik saat ini, mengapa sejumlah korporasi, secara suka rela, mau mengadopsi prinsip-prinsip penghormatan HAM dan mempertimbangkan dampak bagi pemenuhan HAM dalam setiap aktivitasnya? Beberapa contoh korporasi trans-nasional yang melakukan hal ini, seperti: 3M, Body Shop, BP Amoco, British Telecom, Cargill, C&A, Carlson Companies, Gap, H&m, ING Group, Levi Strauss, Medtronic, Nokia, Novo Nordisk, Numico, PepsiCo, PetroCanada, Reebok International, RioTinto, Sara Lee Corporation, Royal Dutch/Shell Group Companies, Starbucks, Statoil, Tata Iron and Steel Co., Volkswagen, dan Xerox.[2]

Tulisan singkat ini akan menggambarkan trend saat ini untuk menarik korporasi kedalam pusaran obligasi untuk pemenuhan HAM. Dus, artikel kecil ini akan memaparkan sekaligus menganalisis setidaknya tiga alasan kuat mengapa isu corporate social accountability/responsibility (CRA/S) tengah bersemai saat ini, termasuk manfaat yang diperoleh korporasi sendiri jika terlibat dalam dan mengikatkan diri pada standard setting yang ada. Sekaligus tulisan ini juga akan memancing sebuah pertanyaan untuk para pemilik korporasi: mengapa anda tidak mengupayakan penghormatan hak asasi manusia dan melaksanakan program CRA/S sekarang juga?


Meningkatnya kesadaran konsumen

Setidaknya ada kasus yang mendorong tindakan boikot para konsumen terhadap produk-produk korporasi. Liubicic (1998) menulis kasus boikot konsumen berang karena mengetahui bola-bola yang dipakai untuk pertandingan sepakbola diproduksi oleh korporasi dengan menggunakan tenaga buruh anak.[3] Sementara Zelman (1990) mempresentasikan kasus perusahan Nestle yang memproduksi makanan/formula bayi yang telah mempertinggi angka kematian bayi di Negara-negara Miskin.[4] Promosi yang dilakukan Nestle di Negara Ke-3 telah menyebabkan menurunya para ibu untuk menyusui bayinya. Penurunan angka ibu menyusui, diperparah dengan buruknya kualitas air di Negara ke-3 – yang digunakan mereka sewaktu menggunakan produk-produk Nestle. Alasan lain, para ibu tidak diberikan petunjuk yang memadai dalam menggunakan produk perusahaan ini. Situasi ini kemudian memicu para konsumen di Negara ke-3 memboikot produk-produk Nestle.


Pelanggaran HAM, Turunnya Nilai Jual Korporasi dan SRI

“Why would commercially successful companies …give up their activities in foreign states? High production costs? An unstable economy? Inadequate infrastucture? No: in each of these cases, the company’s decision to pull out was because of the grave human rights abuses occurring in the host state.”
(Margaret Jungk. 2001:1)

Jungk memberi tiga contoh korporasi yang akhirnya menghentikan operasi akibat kejahatan-kejahatan yang terjadi di Negara dimana mereka melakukan investasi: Shell menghentikan operasinya di Nigeria; Heineken di Birma; serta Levi Strauss di Cina.[5]

Di Indonesia, terdapat satu contoh yang baik untuk menunjukkan kaitan erat antara pelanggaran HAM dan nilai jual korporasi: kasus PT. Newmont Minahasa Raya yang beroperasi di Sulawesi Utara. Newmont, sebuah korporasi yang berpusat di Denver (US) yang mengoprasikan pertambangan emas, diduga telah mencemari teluk Buyat, dengan zat-zat berbahaya seperti arenicum, hydrargirum, zyncum dan plumbum. Sebelumnya, para penduduk lokal mencari nafkah dari teluk ini sebagai nelayan. Hasil tangkapan para nelayan tidak laku dijual karena telah tercemar – dalam banyak kasus, ikan-ikan hasil tangkapan berpenyakit seperti terdapat benjolan ditubuhnya. Akibatnya, setelah pencemaran, derajat kesejateraan penduduk menurun, termasuk penyebaran penyakit yang diderita penduduk lokal.[6] Kasus yang paling baru: tidak lain kasus lumpur panas PT Lapindo Brantas di Jawa Timur.

Sebagai tambahan, terdapat trend korporasi diwajibkan untuk mengupayakan apa yang disebut socially responsible investment (SRI). SRI mencakup tiga tipe aktivitas utama: indexes, ratings and funds. Merujuk laporan ILO, investasi yang menggunakan criteria social investment (screening, shareholder advocacy and community investing) telah meningkat dari US$40 billion in 1984 menjadi US$2.34 trillion di tahun 2001.[7] Angka ini hanya dihitung social investment di Negara US saja. Di negara berkembang, seperti Afrika Selatan, bursa efek Johannesburg diwajibkan untuk menyusun laporan yang memuat ‘Code of Corporate Practices and Conduct’ sebagai bagian dari laporan ke publik dalam rangka penjualan saham sebuah perusahaan.[8]


Trend International: Mulai bertemunya Rezim HAM dan Rezim Perdagangan (?)

Global Compact diajukan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Anan pada Forum Ekonomi Dunia pada 31 Januari 1999. Saat itu, Anan meminta para pemilik korporasi untuk bergabung dengan badan-badan PBB, organisasi/serikat buruh, dan organisasi masyarakat sipil lain bekerjasama dan melakukan aksi-aksi menjawab tantangan global, termasuk menjawab problem-problem yang ditimbulkan ekonomi global. Sejak dilaunching, sejumlah korporasi trans-nasional yang dapat dikategorisasikan ‘korporasi pelopor’, menyatakan kesediaannya untuk bergabung secara sukarela, antara lain DuPont, Amazon Caribbean Guyana Ltd, SAP; British Telecom (BT), Statoil, BASF, Shell International Ltd., Hennes & Mauritz AB, William E. Connor & Associates Ltd., Deloitte Touche Tohmatsu (DTT), Nexen Inc., Yawal System, British Petroleum (BP), Nokia, STMicroelectronics (ST), Novartis International AG. Perusahaan anda akan menyusul?


Norma dan Tanggungjawab Korporasi

Terdapat satu dokumen penting yang dikeluarkan Komisi HAM (CHR) Sub Komisi Promosi dan Perlindungan HAM PBB. Dokumen ini berjudul “Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business enterprises with regard to human rights”[9] – selanjutnya disebut dengan Norma tentang Tanggungjawab TNCs.

Membaca dokumen CHR ini, maka ‘corporate crime’ secara sederhana, dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan (crime) yang dilakukan korporasi (badan usaha) mencakup kejahatan HAM, humaniter, perburuhan, kejahatan terhadap hak konsumen serta praktik-praktik yang luas dari definisi korupsi.

Sally S. Simpson menyatakan “(c)orporate crime is a type of white-collar crime”.[10] Simpson, mengutip John Braithwaite, mengambil the simplest definition dari kejahatan korporasi sebagai “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law.”[11] Selanjutnya Simpson, menyatakan 3 ide kunci dari definisi Braitwaite. Pertama, tindakan illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan prilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah (lower socio-economic class) dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, kejahatan korporasi tidak hanya tindakan (acts) kejahatan atas hukum pidana (criminal law), tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons”) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional, dan mungkin saja ditopang oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.[12]

Norma tentang Tanggungjawab TNCs, menjadi penting karena 2 alasan pokok: pertama, dokumen ini dianggap oleh banyak komentator merupakan sebuah langkah maju yang diambil PBB – dalam hal ini Komisi HAM – untuk menegaskan prinsip-prinsip hukum internasional (international legal principle) yang (dapat) diterapkan pada sektor bisnis. Hukum internasional yang dimaksud, meliputi hukum hak asasi manusia, humaniter, perburuhan, lingkungan hidup, konsumen, dan hukum anti-korupsi. Kedua, dokumen ini memberikan norma sekaligus alat analisis untuk menilai apakah sebuah korporasi

Secara singkat, merujuk pada dokumen Global Compact, penilaian HAM atas kinerja korporasi meliputi 9 isu[13], sebagai berikut:

(1) dukungan dan penghormatan HAM yang diterima secara internasional (internationally proclaimed human rights) berdasarkan pengaruh yang dimilikinya;

(2) aktivitas yang dilakukan dipastikan tidak melanggar dan menyebabkan timbulnya kejahatan HAM (human rights abuses);

(3) mewujudkan kebebasan berserikat dan pengakuan terhadap hak atas posisi tawar kolektif buruh (the right to collective bargaining);

(4) turut serta menghapus segala bentuk perbudakkan dan pemaksaan kerja (forced and compulsory labor);

(5) berpartisipasi menghapus buruh anak;

(6) menghapus praktek-praktek diskriminasi dalam pekerjaan dan lapangan kerja;

(7) mendukung pendekatan pencegahan kerusakan lingkungan;

(8) mengambil inisiatif mempromosikan tanggungjawab lingkungan yang lebih besar;

(9) mendorong pengembangan dan difusi teknologi yang ramah lingkungan.

Dokumen yang diadopsi CHR, merupakan langkah berani melampaui inisiatif yang dipelopori Koffi Annan. Perkembangan mengarah pada standar hukum internasional yang sifatnya legally binding, setidaknya sudah dimulai secara sistematis pada 1999, utamanya dibidang hukum HAM, saat working group on the working methods and activities of transnational corporations of the Sub-Commission, menetapkan perlunya perumusan sebuah code of conduct bagi korporasi (perusahaan) berbasis standar hak asasi manusia.[14] Namun demikian

Dalam dokumen ini, CHR mengembangkan argumen, dengan merefer pada pasal 1, 2, 55 dan 56 Piagam PBB inter alia untuk mempromosikan penghormatan universal terhadap HAM dan kebebasan-kebebasan dasar. Kemudian, CHR merefer UDHR, dengan menegaskan kewajiban semua penduduk dan bangsa, pemerintah dan organ masyarakat lainnya serta individu untuk mempromosikan penghormatan HAM dan kebebasan fundamental.

CHR mengembangkan argumen, dengan memposisikan TNCs dan business enterprises lainnya, sebagai “organs of society”, dan selanjutnya ditegaskan:

“transnational corporations and other business enterprises, their officers and persons working for them are also obligated to respect generally recognized responsibilities and norms contained in United Nations treaties and other international instruments…”[15]

Dalam pembukaan (preamble) CHR mencontohkan sejumlah UN treaties, sebagai berikut:

§ the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide;

§ the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;

§ the Slavery Convention and the Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery;

§ the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination;

§ the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women; the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights;

§ the International Covenant on Civil and Political Rights;

§ the Convention on the Rights of the Child;

§ the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families;

§ the four Geneva Conventions of 12 August 1949 and two Additional Protocols thereto for the protection of victims of war;

§ the Declaration on the Right and Responsibility of Individuals, Groups and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms; the Rome Statute of the International Criminal Court;
§
the United Nations Convention against Transnational Organized Crime;

§ the Convention on Biological Diversity; the International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage;

§ the Convention on Civil Liability for Damage Resulting from Activities Dangerous to the Environment;

§ the Declaration on the Right to Development;

§ the Convention against Discrimination in Education of the United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization;

§ conventions and recommendations of the International Labour Organization;
the Convention and Protocol relating to the Status of Refugees.


CHR juga menyatakan treaties dilevel regional, yakni:
§ the African Charter on Human and Peoples' Rights;
§ the American Convention on Human Rights;
§ the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms;
§ the Charter of Fundamental Rights of the European Union;
§ the Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions of the Organization for Economic Cooperation and Development; and other instruments.


Sedangkan, UN non-treaty, dicontohkan CHR sebagai berikut:
§ the Rio Declaration on the Environment and Development;
§ the Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable Development;
§ the United Nations Millennium Declaration;
§ the Universal Declaration on the Human Genome and Human Rights;
§ the International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes adopted by the World Health Assembly;
§ the Ethical Criteria for Medical Drug Promotion and the "Health for All in the Twenty-First Century" policy of the World Health Organization.


Secara singkat, obligasi umum (general obligations) TNCs dinyatakan CHR, sebagai berikut:

”States have the primary responsibility to promote, secure the fulfilment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law, including ensuring that transnational corporations and other business enterprises respect human rights. Within their respective spheres of activity and influence, transnational corporations and other business enterprises have the obligation to promote, secure the fulfilment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law, including the rights and interests of indigenous peoples and other vulnerable groups.”[16]


Apa yang Menjadi Tanggungjawab Korporasi?

CHR menyatakan sebagai langkah awal untuk mengimplementasikan “Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business enterprises with regard to human rights”, TNCs dan business enterprises lainnya mesti (shall) mengadopsi, mendiseminasi dan mengimplementasikan aturan operasi internalnya sesuai dengan norma-norma yang dinyatakan CHR, termasuk menginkorporasikan kedalam kontak bisnis atau perjanjian dengan kontraktor, sub-kontraktor, suppliers, licensees, distributor, dan seterusnya. Selanjutnya, TNCs mesti menyusun laporan periodik.[17] Selanjutnya, CHR menyatakan setidaknya 2 obligasi pokok TNCs, sebagai berikut:

Pertama, TNCs menjadi subyek monitoring dan verifikasi periodik oleh PBB, dan mekanisme domestik dan internasional – baik yang sudah dibentuk maupun yang akan dibentuk dimasa datang.[18]

Kedua, TNC mempunyai obligasi untuk menyediakan reparasi efektif dan memadai bagi individu (persons), entitas (entities) dan komunitas (communities) yang menjadi korban kejahatan dan pelanggaran norma-norma HAM, termasuk reparasi, restitusi, kompensasi dan rehabilitasi, termasuk bertanggungjawab atas sanksi pidana yang dijatuhkan pengadilan domestik dan internasional (national courts/international tribunals) sesuai dengan hukum domestik dan internasional.[19]

Sebagai catatan, CHR juga meminta kepada Negara untuk menyusun dan me-reinforce legal dan administrative framework yang dianggap perlu untuk memastikan norma internasional dan domestik diimplementasikan oleh TNCs.[20]


Kasus Shell

Menarik untuk sedikit membahas Shell. TNCs ini tercatat sebagai salah satu korporasi global yang mengklaim telah mengimplementasikan “corporate social responsibility’ yang mengadopsi prinsip-prinsip promosi dan pemenuhan HAM. [21] Shell juga tercatat pernah ‘minggat’ dari Nigeria karena menganggap rezim yang berkuasa tidak menghormati HAM dan melakukan kejahatan terhadap rakyatnya. [22]

Lantas mengapa muncul problem, korporasi seperti Shell memimpin kampanye bisnis internasional menentang norma HAM PBB? Baik CSR – “corporate citizenship”; “sustainable growth”; “triple bottom line” – istilah-istilah yang diadopsi dalam trend bisnis saat ini – atau pun UN’s Global Compact, mencakup “a wide range of economic, social and environmental initiatives by enterprises that go beyond legal requirements and are mostly voluntarily in nature”.[23] Definisi CRS yang lain, seperti dirumuskan European Commission, sebagai: “a concept whereby companies integrate social and environmental concern in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis.[24] Dari kedua definisi ini, maka satu benang merah muncul: CRS merupakan inisiatif yang bersifat sukarela (voluntarily in nature atau a voluntary basis). Berbeda jauh dengan proposal yang hendak dipromosikan Komisi HAM PBB, yang sifatnya legally binding, mengikat secara hukum.

Dengan membaca Norms, yang disusun CHR, kita menjadi makfum dan maklum mengapa TNCs menjadi ‘kepanasan’ dan bersatu untuk menentang proposal CHR ini. Istilah ‘proposal’ disebabkan, saat ini memang sedang dikembangkan dan dipromosikan sebuah badan internasional, yang diharapkan dapat mengadili “Si Pemilik Modal Global.” Dalam hukum internasional, criminal responsibility ‘masih terbatas untuk subyek negara dan individu atas kasus-kasus gross violation of human rights dengan preseden keputusan (judgment) of Nuremberg International Military Tribunal; International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia; the International Criminal Tribunal for Rwanda.[25]

Dengan membaca norma tersebut, kita juga menjadi lebih paham mengapa the Alliance for a Corporate-Free United Nations mengirim surat pada pertengahan Januari tahun ini, kepada pimpinan 5 badan PBB (UNEP, UNDP, UNHCHR, UNIDO dan ILO) untuk segera mengakhiri keterlibatannya dalam Global Compact PBB. Surat aliansi ini ditandatangani oleh 14 perwakilan NGOs terkemuka, yakni Kenny Bruno (Earth Rights International); Alison Linnecar (International Baby Food Action Network); Chee Yake Ling (Third World Network); John Cavanagh (Institute for Policy Studies); Millon Kothari (Habitat International Coalition); Pratap Chatterjee (CorpWatch); Anuradha Mittal (Food First); Fiona Dove (Transnational Institute); Susan George (ATTAC); Tom Goldtooth (Indigenous Environment Network); June Zeiline (Women’s Environment and Development Organization); Rob Weissman (Essential Action); Bobby Peek (groundWork) dan Victor Menotti (International Forum on Globalization). Dalam suratnya mereka meminta kepada badan-badan PBB tersebut untuk mengakhiri partisipasi dalam Global Compact, dengan menyatakan:

“…We believe that the Global Compact, though started with good intentions by Secretary General Kofi Annan, is counterproductive. The Global Compact allows the name and reputation of the UN to be abused by corporations whose practices are in contradiction with the values of the UN. Partnerships with these corporations damage the integrity and mission of your agency and of the United Nations.”

Dibagian akhir surat, Aliansi ini menyatakan:

“Therefore, again, we call on you to end your agency’s participation in the Global Compact, in favor of initiatives that emphasize cooperation with groups that share the aims of the United Nations, and in favor of measures to hold powerful corporations accountability in an international legal framework.”

Jika kita membaca penuh surat dari Aliansi tersebut, argumen-argumen yang dikembangkan dapat diadopsi untuk NGOs (jika mau) untuk tetap mempertahankan “the name and reputation” dan secara filosofis tidak kontradiksi-antagonis dengan nilai-nilai yang ditanam ditubuh NGOs sendiri. Dalam praktik untuk mempertahankan ‘integrity’ dan ‘mission’ lembaga, tantangan dan ancaman ‘gila-gila-an’ pasti mesti dihadapi.


C. Apa yang kita bisa lakukan?: Evaluasi Konteks Indonesia

”States have the primary responsibility to promote, secure the fulfilment of, respect, ensure respect of and protect human rights recognized in international as well as national law…”

Kasus Shell memunculkan problem ‘corporate crime’. Kedua-duanya mesti disadari, tak dapat beroperasi sewenang-wenang jika apparatus Negara punya komitmen kuat terhadap pemenuhan HAM warga negaranya, sebagaimana doktrin hukum internasional dan domestik: Negara mempunyai tanggungjawab utama dalam soal HAM. Karenanya, masyarakat sipil tidak dapat melepaskan tanggungjawabnya untuk terus mendorong Negara menghargai hak warga negara secara genuine. Dalam konteks prilaku Negara, Indonesia tertinggal dengan Afrika Selatan misalnya.

Afrika Selatan, lagi-lagi, sebagai sebuah Negara berkembang yang progresif melakukan terobosan. bursa efek Johannesburg diwajibkan untuk menyusun laporan yang memuat ‘Code of Corporate Practices and Conduct’ sebagai bagian dari laporan ke publik dalam rangka penjualan saham sebuah perusahaan.[26]


D. Catatan Penutup

Pertama, dalam laporan dan evaluasi periodik tentang impak aktivitasnya terhadap HAM, TNC diwajibkan untuk memperhatikan input dari stakeholders, termasuk NGOs dan komplain tentang kejahatan atas norma-norma yang berlaku.[27] Selanjutnya mendorong mekanisme domestik untuk melakukan monitoring dan verifikasi atas operasi TNCs – dalam konteks Indonesia, bisa mendorong institusi-institusi yang sudah ada, seperti Komnas HAM, dan seterusnya. Disamping itu, mendorong judicial mechanism: gugatan di pengadilan domestik untuk mengeksaminasi kasus-kasus kejahatan yang dilakukan TNCs dan other business enterprises. Menyontoh pengalaman negara lain yang sudah melakukan praktik-praktik positif juga baik, untuk didorong dilevel domestik.

Kedua, mengeksaminasi beberapa peraturan perundang-undangan (hukum positif) Indonesia. Eksaminasi didorong menuju pencapaian hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) diimplementasikan tidak saja sebagai hak konstitusional melainkan juga hak hukum, serta mendorong klaim judicial remedies dalam mekanisme yudisial (justiciability).[28]

Selain UU HAM, beberapa norma domestik, secara tegas menyatakan obligasi korporasi. Dalam UU No. 41/1999 pasal 32 tentang Kehutanan, dinyatakan korporasi sebagai pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan hutan “berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya”. Demikian juga, antara lain kewajiban korporasi dalam UU No. 39/1997, pasal 35 ayat (1), yang menyatakan:

“Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

Eksaminasi juga dapat dilakukan dengan metode sosiologi dan analogi hukum berkaitan dengan hukum kebiasaan di masyarakat, dengan konsep hukum yang dikemukakan Prof. Soetandyo Wignjosoebroto sebagai “pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial empiris.” [29]


Terima kasih.


Lampiran:

Tanggungjawab Korporasi dibidang K3

Keselamatan dan Kesehatan Kerja Peraturan Perundang-undangan

• Keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia (Pasal 2 UU No. 1/1970 tentang Keselamatan Kerja)

• Kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja (Pasal 23 UU No. 23/1992 tentang Kesehatan)

• Upaya Kesehatan Kerja adalah upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri maupun masyarakat di sekelilingnya, agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal (Penjelasan Pasal 23 UU No. 23/1992)


Fokus tema

• Keselamatan dan kesehatan Pekerja;

• Keselamatan dan kesehatan dilingkungan kerja pekerja maupun (dampak) bagi masyarakat sekitar;

• Berbagai bentuk risiko kerja yang dapat menimbulkan kerugian.


Diskusi Kasus

• Lumpur Panas PT. Lapindo Berantas di Sidoarjo Surabaya

• Pencemaran Teluk Buyat disekitar PT Newmont Minahasa Raya (NMR)

• Pencemaran yang terjadi di pesisir Indramayu, Jawa Barat disekitar PT Pertamina (Persero)

• Ledakan Pipa gas yang terjadi di Proyek Langit Biru PT Pertamina UP VI Balongan, Indramayu


Tantangan dan Peluang

• Inkorposasi dengan norma dan standar internasional hak asasi manusia

• Peningkatan sumberdaya dan mekanisme pengawasan, i.e: monitor dan kendali, nilai ambang batas dan standar K3, termasuk keselamatan lingkungan dan masyarakat;

• Memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi



Rekomendasi

• Pertama: Penegakan Hukum dan pengawasan oleh birokrasi;

• Kedua: Pelaksanaan Sistem Manajemen dan pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;

• Ketiga: menggunakan pelajaran dari musibah, bencana, serta peristiwa yang telah terjadi, i.e. bencana gempa, lumpur panas, dst.


[1] David Weissbrodt. “Principles relating to the Human Rights Conduct of Companies”. UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1. 25 May 2000.

[2] Lihat Weissbrodt, fn. 23.

[3] Robert J. Liubicic, “Corporate Codes of Conduct and Product Labeling Schemes: The Limits and Possibilities of Promoting International Labor Rights Standards Through Private Initiatives”. 30 Law and Policy International Bussiness 111 (1998)., Lihat Weissbrodt, fn. 7.

[4] Nancy E. Zelman, “The Nestle Infant Formula Controversy: Restricting the Marketing Practice of Multinational Corporations in Third World”, 3 Transnational Law. 697 (1990). Lihat Weissbrodt, fn. 7.

[5] Margaret Jungk. 2001. Deciding whether to do Business in States with Bad Government. The Confederation of Danish Industries, The Danish Centre for Human Rights, the Danish Industrialization Fund for Developing Countries. Lihat juga Maria de los Angeles Villacis Paredes.2000. Supplementary Guide to ‘Deciding Whether to do Business in State with Bad Governments’. Danish Centre for Human Rights.

[6] Lihat YLBHI. 2002. An Indonesian Legal Aid Foundation Paper. Human Rights from Below. Potrait of Economic, Social and Cultural Rights Violation in Indonesia. YLBHI: Jakarta., p. 8.

[7] ILO doc. GB.286/WP/SDG/4(Rev.). Information Note on Corporate Social Responsibility and International Labour Standards. ILO: Geneva. March 2003., para. 18.

[8] Lihat Ibid., para. 19.


[9] UN doc. E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2. 26 August 2003. Dokumen ini diadopsi Commission on Human Rights Sub-Commission on the Promotion and Protection of Human Rights diadopsi pada pertemuan ke-22 pada 13 Agustus 2003. Sebagai catatan Indonesia, merupakan salah satu anggota CHR, hingga tahun 2006.

[10] Sally S. Simpson. 2002. Corporate Crime, Law, and Social Control. Cambridge: Cambridge University Press., p. 6; supra f.n. 23.

[11] Ibid., p. 6 – 7.

[12] Lihat Ibid., p. 7.

[13] Teks prinsip-prinsip bagi korporasi dan pelaku bisnis yang dirumuskan dalam Global Compact dapat dilihat di: www.unhchr.ch/global.htm. Lihat juga Guide to the Global Compact. A Practical Understanding of the Vision and Nine Principles.

[14] Lihat UN doc. E/CN.4/Sub.2/1999/9. Sebagai catatan, perumusan sebuah code of conduct sendiri, sudah dimulai sejak 1976, dimana the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menetapkan “Guidelines for Multinational Enterprises to promote responsible business conduct consistent with applicable law.”

[15] UN doc. E/CN.4/Sub.2/2003/12/Rev.2. Opcit. Preamble.

[16] Ibid., para. 1.

[17] Ibid., para. 15.

[18] Ibid., para. 16.

[19] Ibid., para. 18.

[20] Ibid., para. 17.

[21] Lihat David Weissbrodt. “Principles relating to the Human Rights Conduct of Companies”. UN doc. E/CN.4/Sub.2/2000/WG.2/WP.1. 25 May 2000. fn. 23. Selain Shell, contoh lain: 3M, Body Shop, BP Amoco, British Telecom, Cargill, C&A, Carlson Companies, Gap, H&m, ING Group, Levi Strauss, Medtronic, Nokia, Novo Nordisk, Numico, PepsiCo, PetroCanada, Reebok International, RioTinto, Sara Lee Corporation, Royal Dutch/Shell Group Companies, Starbucks, Statoil, Tata Iron and Steel Co., Volkswagen, dan Xerox.

[22] Margaret Jungk. 2001. Deciding whether to do Business in States with Bad Government. The Confederation of Danish Industries, The Danish Centre for Human Rights, the Danish Industrialization Fund for Developing Countries. Jungk memberi tiga contoh korporasi yang akhirnya menghentikan operasi akibat kejahatan-kejahatan yang terjadi di Negara dimana mereka melakukan investasi: Shell menghentikan operasinya di Nigeria; Heineken di Birma; serta Levi Strauss di Cina. Lihat juga Maria de los Angeles Villacis Paredes.2000. Supplementary Guide to ‘Deciding Whether to do Business in State with Bad Governments’. Danish Centre for Human Rights.

[23] ILO doc. GB. 286/WP/SDG/4(Rev). March 2003. “Information note on corporate social responsibility and international labor standards”., para. 2.

[24] Commission of the European Communities doc. COM (2002) 347 Final. July 2002. “Communication from the Commission concerning corporate responsibility: A business contribution to sustainable development”., p. 5

[25] Lihat D.J. Harris. 1998. Fifth Edition. Cases and Materials on International Law. London: Sweet and Maxwell., p. 487 – 490; 738 – 764.

[26] Lihat Ibid., para. 19.

[27] Lihat Ibid., para. 16.
[28] Untuk tema ini, lihat A. Patra M. Zen “Justisiabilitas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Menarik Pengalaman Internasional, Mempraktikannya di Indonesia.” Jurnal HAM Komnas HAM. Vol. 1 No. 1 Oktober 2003., pp. 36 – 47; Lihat juga “Justisiabilitas: Hak Klaim Masyarakat Dalam Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.” Paper pada diskusi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta, 10 Februari 2003. Teks dapat dibaca di website Jatam.

[29] Dikutip dari Dr. Abdurrahman “Peran Prof. Soetandyo Wigjosoebroto, M.P.A. Dalam Penelitian Hukum dan Kajian Hukum di Indonesia” dalam Winaryo, dkk. Sosok Guru dan Ilmuwan yang Kritis dan Konsisten. Kumpulan Tulisan Peringatan 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Jakarta: ELSAM, HUMA dan WALHI., h. 156
Load Counter