Monday, April 30, 2007

RUU KUHP: Menguatnya Domain Kepentingan Kekuasaan Pemerintah dan Pejabat Negara

Berdasarkan pemantauan Tim Monitoring RUU KUHP, tercatat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaludin sempat menyatakan bahwa RUU KUHP akan diserahkan ke DPR pada bulan ini ke DPR RI. Muladi, Ketua Tim RUU KUHP Muladi, saat ini juga menjabat Gubernur Lemhanas, diperkirakan, pembahasan di DPR akan memakan waktu 1-2 tahun. Meminjam istilah Menhukham Hamid Awaludin, karya monumental ini, agaknya akan segera dibahas oleh DPR.

Saat ini draft RUU memuat 741 Pasal, hasil perumusan tidak kurang selama 25 tahun, yang dimulai pembahasannya saat Ali Said (almarhum) menjabat Menteri Kehakiman. Jika benar akan disampaikan ke DPR pada bulan Juli ini, maka tinggal 6 hari sebelum berganti bulan Agustus. Pengantar seminar ini merujuk pada draft KUHP yang memuat 741 Pasal ini. Sebelumnya, sempat beredar draft KUHP yang memuat 743 Pasal.

Apresiasi yang tinggi disampaikan kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses perumusan RUU KUHP. Tentu ikhtiar semua pihak, termasuk Depkumham yang telah memfasilitasi perumusan RUU KUHP ini patut diacungkan jempol dan diberi penghargaan. Sejumlah perbaikan signifikan antara lain RUU KUHP telah memasukan tindak pidana terhadap hak asasi manusia,[1] bahkan juga memuat pertanggungjawaban komando (militer) dan atasan baik polisi maupun atasan sipil lainnya.[2]

Dalam konsideran juga telah dapat ditemukan tujuan penetapan KUHP ini guna mewujudkan pembaruan hukum yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan guna menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.[3]

Pokok-pokok pikiran yang memuat identifikasi potensi masalah ini bertujuan agar sejumlah pasal dalam RUU benar-benar sejalan dengan alasan dirumuskan dan ditetapkannya UU pada harinya nanti.


Pokok-pokok Masalah: Sejumlah kekhawatiran

Sejumlah kekhawatiran KUHP nantinya malah melanggar hak asasi manusia cukup beralasan, karena akan bertolak belakang dengan upaya pembaruan hukum yang tengah dilakukan. Dibawah ini, sejumlah kekhawatiran yang perlu dicarikan solusinya agar terjadi keseimbangan antara kepentingan dan hak-hak individu dan hak-hak masyarakat (kepentingan umum) serta kepentingan penegakan hukum oleh Negara. Tiga hal ini, sebaiknya menjadi serangkaian nilai yang dilindungi dan dipilih (domain) dalam merumuskan pasal-pasal dalam RUU KUHP.

1. Hukuman mati

Muladi Ketua Tim RUU KUHP – yang juga Gubernur Lemhanas, yang sempat menyatakan latar belakang dirumuskannya pidana alternatif berupa kerja sosial[4] yakni adanya fakta yang menunjukkan tidak sedikit tepidana yang semakin bertambah jelek perbuatannya karena dipenjara di LP, karena lembaga pemasyarakatan dapat menjadi sekolah kejahatan.[5] Jika Muladi memberi perhatian yang begitu baik pada terpidana itu, tidak ada salahnya, Pemerintah juga memberi perhatian kepada terpidana hukuman mati. Sejumlah fakta menunjukkan, tidak ada bukti kuat tentang hukuman mati efektif sebagai upaya mencegah terjadinya kejahatan dan membuat efek jera. Dalam konteks ini, sebaiknya dihilangkan saja bentuk pidana mati sebagaimana masih dinyatakan dalam Pasal 66 RUU.[6]

Sebagai tambahan, dibentuknya lembaga pemasyarakatan, berlatar belakang dari sebuah ide, bahwa seorang terpidana suatu ketika akan dapat kembali ke masyarakat, setelah menjalankan pidananya.

2. Pasal ”penghinaan” dan ”keonaran”

Menarik untuk melihat sejumlah rumusan penggunaan pasal penghinaan terhadap pemerintah, kekuasaan umum dan lembaga negara, dirumuskan dalam RUU secara paralel dengan situasi ”keonaran” yang diakibatkannya. Masalahnya, pasal-pasal semacam ini yang mendapat banyak kritik, sebagai contoh rumusan Pasal 308 RUU yang berpeluang mengancam kebebasan pers. Pasal ini secara lengkap dirumuskan:

”Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berita yang berlebihan, atau berita yang tidak lengkap, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita tersebut akan atau mudah dapat mengakibatkan timbulnya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.”

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 308 RUU, dinyatakan tindak pidana yang dimaksud dengan ketentuan Pasal ini merupakan tindak pidana ”proparte dolus proparte culpa”. Prinsip mempunyai makna ”untuk sebagian kesengajaan untuk sebagian kealpaan. Dalam doktrin hukum dikenal bentuk kesalahan berwujud kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).[7]

Kebebasan pers yang bebas menyebarluaskan berita bukanlah tindak pidana. Karenanya rumusan tersebut mengundang penafsiran yang luas, terutama berkaitan dengan rumusan ”berita yang berlebihan” dan ”keonaran dalam masyarakat”. Kriteria ”berlebihan” dan ”keonaran” sebaiknya lebih dirinci atau sebaliknya, dihapus sama sekali.

Pasal-pasal tentang ”keonaran” yang perlu dicermati, sebagaimana tabel 1 dibawah ini, berkaitan langsung dengan hak dan kebebasan pers, berekspresi dan menyampaikan pendapat, selain Pasal 308 tersebut, setidaknya dapat ditemukan dalam: Pasal 284; Pasal 285 ayat (1); Pasal 307 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 308; Pasal 318 ayat (2); Pasal 319 ayat (2); Pasal 405.

Tabel 1

Pasal-pasal ”keonaran” dalam RUU KUHP
Pasal
Rumusan Ketentuan
Keterangan

284
Setiap orang yang dimuka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV
Pasal mengenai Penghinaan terhadap Pemerintah

285(1)
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV

307(1)
Setiap orang yang menyiarkan berita bohong atau pemberitahuan bohong yang mengakibatkan timbulnya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.
Pasal mengenai Penyiaran Berita Bohong dan Berita yang Tidak Pasti

307(2)
Setiap orang yang menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat mengakibatkan timbulnya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong, dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

308
Setiap orang yang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berita yang berlebihan, atau berita yang tidak lengkap, padahal diketahui atau patut diduga bahwa berita tersebut akan atau mudah dapat mengakibatkan timbulnya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

318(1)
Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi dijalan umum atau tempat umum, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.
Pasal mengenai Penyelenggaraan Pesta atau Keramaian

318(2)
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Kategori II.

319 (1)
Setiap orang yang tanpa izin mengadakan pesta atau keramaian untuk umum di jalam umum atau tempat umum, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I.

319(2)
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

405
Setiap orang yang dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.


Pasal mengenai Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara

Dari pasal-pasal ”keonaran” tersebut, Penjelasan Pasal 729 RUU dapat dikatakan sudah memenuhi prinsip clear and reasonable legal ground, yakni ”perbuatan yang dapat menggangu ketertiban dan tata tertib atau disiplin dalam pesawat udara, misalnya dengan sengaja mabuk, membuat onar atau kegaduhan.” Pasal 729 RUU sendiri memuat ketentuan tindak pidana dalam pesawat udara.

Sementara Pasal 284 dan 285(1) RUU tersebut merupakan duplikat dari Pasal 154 KUHP sekarang, mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, serta Pasal 155 ayat (1) perihal tindak pidana menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau lukisan dimuka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah.

Sedangkan Pasal 405 RUU perihal penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara, merupakan rumusan kreatif Tim Perumus RUU. Dapat dikatakan rumusan ini mengadopsi tindak pidana terhadap ”penguasa umum” sebagaimana dinyatakan dalam KUHP: Pasal 160 dan 161(1). Sebagai tambahan, KUHP saat ini tidak ”mengenal” tindak pidana penghinaan terhadap ”lembaga negara”.


3. Penghinaan Presiden dan Wapres

Dalam Pasal 265 tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dinyatakan, ”setiap orang yang dimuka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Walaupun sudah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 265 RUU, namun tetap perlu rincian kriteria ”menghina” tersebut.

”Menghina” dalam pasal tersebut, didefinisikan sebagai ”perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum.” Termasuk penghinaan, yakni ”menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.”[8] Sementara ”fitnah” diatur antara lain dalam Penjelasan Pasal 530, dimana dinyatakan, sebuah tindak pidana yang harus dibuktikan kebenarannya dari apa yang dituduhkan, jika ia tidak dapat membuktikannya, maka telah terjadi tindak pidana fitnah.

Rumusan tersebut, hampir sama dengan Pasal 134 KUHP sekarang, perihal tindak pidana penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden, serta Pasal 137(1) perihal tindak pidana menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan dimuka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.


4. Rahasia negara

RUU KUHP setidaknya memuat 4 pasal yang secara eksplisit mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia negara, sebagaimana dalam tabel 2.


Tabel 2

Pasal-pasal ”rahasia negara” dalam RUU KUHP
Pasal
Rumusan Ketentuan
Keterangan

222
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III, setiap orang yang:

a. memberi tempat menumpang kepada orang yang tanpa wewenang berusaha atau mencoba untuk mengetahui seluruh atau sebagian surat, peta bumi, rencana, gambar, atau barang yang bersifat rahasia negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 230 atau untuk mengetahui letak, bentuk, susunan persenjataan, perbekalan, perlengkapan amunisi atau kekuatan orang dari proyek pertahanan keamanan negara atau suatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan pertahanan keamanan negara
bTindak Pidana terhadap Pertahanan dan Keamanan Negara

230
Setiap orang yang mengumumkan, memberitahukan, atau memberikan kepada orang yang tidak berhak mengetahuinya, seluruh atau sebagian surat, peta bumi, rencana, gambar, atau barang yang bersifat rahasia negara yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan negara terhadap serangan dari luar, yang ada padanya atau yang diketahuinya mengenai isi, bentuk, atau cara membuat barang rahasia tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pengkhianatan terhadap Negara dan Pembocoran Rahasia negara

Penjelasan

Pasal 230
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk melindungi barang yang bersifat rahasia negara, misalnya peta bumi, rencana, gambar atau barang lain yang berhubungan dengan pertahanan keamanan. Oleh karena itu barang tersebut dilarang diumumkan, diberitahukan, atau diberikan kepada orang yang tidak berhak mengetahui.

231
Setiap orang yang karena tugasnya wajib menyimpan surat, peta bumi, rencana, gambar, atau barang yang bersifat rahasia negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230, karena kealpaannya menyebabkan isi, bentuk, atau cara membuatnya, seluruh atau sebagian diketahui oleh orang lain yang tidak berhak mengetahuinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II.

232
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV, setiap orang yang:
a. melihat atau mempelajari surat, peta bumi, rencana, gambar, atau barang yang bersifat rahasia negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230, seluruh atau sebagian yang diketahuinya atau patut diduga bahwa surat, peta bumi, rencana, gambar, atau barang yang bersifat rahasia negara tersebut tidak boleh diketahuinya;
b. membuat atau menyuruh membuat cetakan, gambar, atau tiruan dari surat, peta bumi, rencana, gambar, atau barang yang bersifat rahasia negara sebagaimana dimaksud pada huruf a; atau
c. tidak menyerahkan surat, peta bumi, rencana, gambar, atau barang yang bersifat rahasia negara tersebut kepada pejabat yang berwenang dalam hal surat, peta bumi, rencana, gambar, atau barang yang bersifat rahasia negara tersebut jatuh ke tangannya.

Merujuk pada pasal-pasal tersebut, maka tindak pidana yang berkaitan dengan rahasia negara dirumuskan sebagai tindak pidana terhadap pertahanan dan keamanan negara, serta tindak pidana pengkhianatan terhadap Negara. Tidak ada Penjelasan Pasal 222, 231 dan 232. Rumusan pasal tentang rahasia negara, disatu sisi, lebih baik dari rumusan definsi dan batas lingkup “rahasia negara” dalam RUU Rahasia Negara, yang mencakup tidak saja bidang pertahanan dan kemanan negara, tetapi juga mencakup hubungan internasional, proses penegakan hukum, ketahanan ekonomi nasional, sistem persandian negara, sistem intelijen negara dan aset vital negara.[9] Namun disisi lain, RUU KUHP ini memuat tindak pidana “rahasia negara” berkaitan denga “pengkhianatan terhadap negara”, yang sebelumnya “tidak dikenal” oleh UU KUHP.


5. “Hantu” Komunisme/Marxisme-Leninisme

“Komunisme/Marxisme-Leninisme”, dalam RUU KUHP didefinisikan sebagai “paham atau ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, yang mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila”.[10]

Penyebaran ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dalam RUU diklasifikasikan sebagai tindak pidana terhadap ideologi negara, jika dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara,[11] namun dikecualikan jika perbuatan itu dilakukan untuk semata-mata hanya kegiatan ilmiah.[12] Selanjutnya dalam Pasal 213 RUU KUHP, setiap orang dapat dipidana paling lama 10 (sepuluh) tahun jika mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme; mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam negara maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang bertujuan mengubah dasar negara atau dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah.[13]

Pasal-pasal tersebut pada dasarnya tidak relevan karena telah dimuat tindak pidana “Peniadaan dan Penggantian Ideologi Pancasila” yang dinyatakan dalam pasal 214 KUHP. Pasal ini sudah tepat, mengingat tindak pidana peniadaan dan penggantian Pancasila, tidak saja dapat dilakukan oleh penganut Komunisme/Marxisme-Leninisme, melainkan penganut ideologi politik lainnya diluar Pancasila, seperti liberalism, conservatism, anarchism, facism, termasuk ideologi politik yang berasal dari ajaran agama tertentu dengan tujuan mendirikan negara teokrasi (government by deity or priesthood ).[14]


Penutup

Tidak mudah untuk menemukan akurasi mempertemukan hak asasi dan kebebasan fundamental individu, kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan Negara, namun mengklaim kepentingan pejabat Negara atau penguasa umum selalu sama dengan kepentingan umum dan kepentingan Negara sangat keliru.

Harapannya dalam dikusi pada seminar ini dapat mempertemukan ketiga domain itu kedalam rumusan-rumusan pasal yang selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan negara demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Semoga.


* Pokok-pokok Pikiran dalam Seminar ”RUU KUHP: Arah Politik Hukum dan Demokrasi di Indonesia”. Kerjasama YLBHI dan PGRI, Jakarta, 26 Juli 2006


[1] Lihat Bab IX RUU.

[2] Lihat Pasal 400 RUU.

[3] Draft RUU KUHP, Konsideran Menimbang huruf a.

[4] Pidana kerja sosial ini dapat menjadi alternatif untuk pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari 6 bulan atau denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I. Lihat Pasal 86.

[5] Lihat Kompas. 16 Juni 2006. “Alternatif Kerja Sosial bagi Napi. Hamid: Ini Karya Monumental”.

[6] Lihat antara lain Siaran Pers YLBHI No. 032/SP/YLBHI/VII/2006 tentang Hukuman Mati. “Menghilangkan upaya koreksi dan melepas tanggungjawab Negara”. 17 Juli 2006.

[7] Dalam doktrin hukum pidana Belanda, macam kesengajaan (dolus), antara lain dolus eventualis; dolus generalis; dolus impetus; dolus indirectus; dolus malus; dolus praemeditatus; dolus repentinus; dolus semper praestatur; dan dolus subsequens. Sedangkan macam kealpan (culpa) terdiri dari culpa lata dan culpa levis.

[8] Penjelasan Pasal 265.

[9] Kritik terhadap RUU Rahasia Negara, antara lain lihat A. Patra M. Zen. “Membedah Sesat Pikir RUU Rahasia Negara. Laporan Pemantauan dan Analisa Rancangan Undang-undang Rahasia Negara”. Laporan YLBHI No. 9, November 2005; “Rahasia Negara: Rahasia untuk Apa? Tinjauan RUU Rahasia Negara dari Perspektif Disiplin Hukum Hak Asasi Manusia”, paper pada FGD ““Menyoal Kerahasiaan Negara secara Komprehensif dalam Sistem Negara Demokratik”, Imparsial, Jakarta 9 – 10 Februari 2006; “Mulai Senjata hingga Plastik: Untuk Siapa (R)UU Rahasaia Negara.” Paper pada Editors Meeting tentang RUU Rahasia Negara, YLBHI, Jakarta 16 Mei 2006.

[10] RUU KUHP, Penjelasan Pasal 212(1).

[11] Lihat RUU KUHP, Pasal 212(1).

[12] Lihat RUU KUHP, Pasal 212(5).

[13] Lihat RUU KUHP, Pasal 213.

[14] Mengenai ideologi politik, lihat antara lain Eatwell, Roger ‘Introduction: What are Political Ideologies’ in Roger Eatwell and Anthony Wright (eds.). 1999. Contemporary Political Ideologies. Pinter: London and New York, 2nd edition, p. 3, 14.
Load Counter