Monday, April 30, 2007

Pendidikan Dasar Bukan Hak Hukum? Addendum artikel Asvi Warman Adam

Dr. Asvi Warman Adam telah mengajak kita kembali merenungkan situasi bangsa ini, dengan mengetengahkan dua fakta: miskinnya kebanyakan orang Indonesia dan mahalnya biaya pendidikan di Negeri ini. Dalam artikelnya di Media Indonesia (3/9) ia menulis ulang kisah Haryanto (12 tahun), pelajar kelas VI SD di Kabupaten Garut, yang nekad gantung diri karena tidak mampu membayar Rp 2.500 untuk kegiatan ekstrakulikuler. Anak ini malu karena ibunya tak ada uang untuk membayar kegiatan membuat sulaman burung disekolahnya. Sehari-hari, sang Ayah, bermata pencaharian buruh pikul di Pasar Garut, hanya memperoleh pendapatan Rp 20.000 sehari.

Menurut penulis, setidaknya ada 2 upaya pencegahan agar tragedi tersebut tidak terjadi. Pertama, peristiwa tragis semacam kasus Haryanto, dapat dipecahkan antara lain dengan kemauan Negara untuk memproteksi setiap warga negaranya. Lingkaran setan di bidang pendidikan seperti yang dikemukakan Asvi, menuntut obligasi Negara yang aktif. Dalam disiplin HAM, obligasi dibidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak-hak ekosob) mewajibkan Negara melakukan implementasi dari 3 jenis obligasi HAM yakni promosi, perlindungan dan pemenuhan. Pemenuhan hak asasi manusia, mempunyai dua makna: memfasilitasi dan menyediakan hak asasi bagi setiap warga Negara. Keberlakuan ini melekat juga pada issu hak atas pendidikan setiap individu.

Kedua, tragedi “Haryanto” bisa dicegah kalau korupsi diberantas di Negeri ini. Katarina Tomasevski, pelapor khusus PBB untuk hak atas pendidikan sempat memberikan catatan untuk isu ini. Selama seminggu, 1 – 7 Juli 2002, ia menjalankan tugasnya untuk melakukan pengamatan tentang pemenuhan hak atas pendidikan di Indonesia. Hasil kunjungannya, ditulis dalam sebuah laporan resmi, dimana salah satu paragraf menegaskan, problem keuangan untuk pemenuhan hak atas pendidikan tidak relevan dibahas, karena alokasi anggaran pendidikan di Indonesia masih menghadapi masalah serius: korupsi, kolusi dan nepotism (para. 62). Di negeri ini, pendidikan dasar, diterjemahkan dengan adanya wajib belajar 9 tahun, yang secara konsep difasilitasi oleh Negara, seperti ada ketentuan SPP gratis. Dalam praktek, yang terjadi seperti apa yang dikemukakan Tomasevski, dan juga sempat dijabarkan Asvi. Menurut Asvi, di Indonesia, korupsi paling banyak terjadi dibidang pendidikan karena melibatkan seluruh anggota masyarakat. Asvi mencontohkan proses berantai praktek korupsi dibidang ini: ''Kanwil memeras kepala sekolah, kepala sekolah memeras guru, guru memeras murid, dan murid memeras orang tua.''

Tulisan ini akan membahas upaya tindakan pencegahan yang pertama, dimaksudkan sebagai catatan pelengkap untuk isu penting yang sama dimunculkan Asvi Warman Adam, dengan menggunakan perspektif disiplin hukum hak asasi manusia. Penulis akan mendiskusikan pendidikan dasar sebagai hak konstitusional dan hak hukum.

Pendidikan sebagai hak konstitusional

Dalam konstitusi, UUD 1945, terdapat 2 pasal yang dengan tegas menyatakan hak atas pendidikan sebagai hak konstitusional: pasal 28E – Amendemen ke-2 dan, pasal 31 – Amandemen ke-4. Dalam pasal 31 ayat (2) ditegaskan, “(s)etiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Selanjutnya, ayat (4) dinyatakan “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Kedua pasal ini, pada hakikatnya, yang dikenal dengan obligasi positif Negara dalam hukum HAM, dimana Negara mempunyai kewajiban memfasilitasi dan menyediakan, antara lain anggaran pendidikan untuk terlaksananya pendidikan dasar bagi setiap warga Negara.

Karena hak atas pendidikan, diadopsi dalam konstitusi, hak asasi ini boleh dikatakan menjadi hak konstitusional. Karenanya, di banyak Negara, hak atas pendidikan ini secara praktek difasilitasi Negara. Di Amerika Latin, seperti Argentina, pendidikan dasar difasilitasi Negara dengan cuma-cuma. Ambil contoh lain, penulis sempat berdiskusi dengan aktivis HAM dari Bangladesh, yang menceritakan di Negerinya, masih dapat ditemui universitas yang gratis, tentu saja untuk dapat masuk melalui proses seleksi yang ketat. Dibanyak Negara, pendidikan secara cuma-cuma bagi warga negaranya, dianggap investasi yang paling efektif dan sangat berguna.

Kalimat pemerintah wajib membiayai pendidikan dasar, seperti tercantum dalam pasal diatas, mempunyai implikasi pertanggungjawaban (responsibility and accountability) pemerintah. Dalam hal ini, Menteri Pendidikan mesti melakukan klarifikasi terhadap kasus-kasus seperti yang menimpa keluarga Haryanto. Secara lebih luas, Menteri Pendidikan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat (public) mengenai pelaksanaan minimum core obligation dalam pemenuhan pendidikan dasar di Indonesia, sebagai jabaran dari kewajiban konstitusional Pemerintah. Secara sederhana, semisal, apa yang akan atau tengah dilakukannya untuk mencegah hal yang sama terulang? Upaya positif (positive measures) apa yang tengah dan sedang dilakukan? Tentu jawaban dan penjelasan tentang hal ini ditunggu masyarakat.

Pendidikan dasar sebagai hak hukum?

Dapat dikatakan, promosi dan upaya pengadopsian hak atas pendidikan, sebagai hak hukum (legal rights) belum begitu banyak dilakukan. HAM menjadi hak hukum saat pemenuhannya dapat diklaim lewat proses yudisial (judicial process) dan pemenuhannya menjadi justiciable – dapat diklaim lewat mekanisme yudisial.

Sebagai contoh, dalam kasus Haryanto, pertanyaan yang muncul: bisakah orangtuanya mengupayakan judicial remedies ke Pengadilan atau lembaga-lembaga lainnya atas dasar telah terjadi pelanggaran hak atas pendidikan dasar yang seharusnya menjadi tanggungjawab Pemerintah, sesuai dengan UUD 1945? Bisakah sang Ibu mengklaim restitusi dan kompensasi? Untuk hari ini, kalau pun orang tua Haryanto atau advokat dan aktivis HAM mengajukan gugatan berkaitan dengan kematian Haryanto, besar kemungkinan, akan ditertawakan Hakim di Pengadilan.

Trend pengadopsian justisiabilitas (justiciability) hak-hak ekosob sedang berkembang dilevel internasional dan domestic. Dengan kata lain, upaya pengadopsian hak-hak ini menjadi hak hukum tengah marak. Beberapa preseden, bisa dirujuk, seperti kasus hak atas kesehatan – yang juga dimasukkan ke dalam rumpun hak-hak ekosob, seperti hak atas pendidikan. Preseden , seperti di Argentina dan Turki. Di Turki, salah satu Pengadilan Tingginya di tahun 1997, memerintahkan proyek pertambangan emas dihentikan karena dinilai melanggar konstitusi. Hakim yang memeriksa kasus ini memutuskan bahwa pengoperasian pertambangan ini melanggar salah satu pasal konstitusi Turki yang melindungi setiap orang untuk menikmati lingkungan yang sehat dan utuh. Sedangkan di Argentina, Pengadilan Banding, di tahun 1999, mengharuskan Negara memproduksi vaksin untuk mengobati dan melindungi warganegaranya dari ancaman penyakit serius: Argentine Haemorrhagic Fever. Setelah keluar keputusan ini, Pemerintah menyediakan dana dan fasilitas laboratorium untuk membuat vaksin, dan selanjutnya pembangunan pabrik.

Dari pengalaman Argentina dan Turki, terlihat ada kemauan Negara memberikan perlindungan, sekaligus pemenuhan hak-hak ekosob. Perlu digarisbawahi kemauan ini dilaksanakan karena ada keterlibatan luas masyarakat. Di Argentina, masyakarat umum mendesak Negara untuk menghormati hak asasi mereka. Seperti di Argentina, di Turki, perjuangan dilakukan dengan demonstrasi damai, melibatkan tidak kurang 10.000 orang dan 1000 traktor para petani yang merasa hak atas kesehatannya terganggu atas operasi tambang.

Kembali melihat realitas di Negeri ini. Wajib belajar 9 tahun, merupakan kebijakan positif Negara, yang tentu saja menggembirakan. Namun demikian, diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas untuk memastikan bahwa kebijakan pendidikan dasar gratis dilaksanakan Negara. Promosi terhadap hak atas pendidikan dasar cuma-cuma sebagai hak hukum perlu digalang luas. Dengan cara seperti ini, tragedi yang menimpa keluarga Haryanto diberikan peluang untuk mendapatkan judicial remedies. Justisiabilitas hak ini, bertujuan juga agar kasus-kasus serupa dapat dicegah agar tidak terulang dan keluarga-keluarga miskin, dapat mengklaim haknya atas pendidikan dasar gratis lewat judicial process.

Lewat justisiabilitas hak atas pendidikan, dibuka peluang untuk pertanggungjawaban pemerintah secara hukum, pertanggungjawaban Menteri Pendidikan, pertanggungjawaban pemerintah lokal, dan seterusnya. Semoga terwujud di Negeri ini.
Load Counter