Monday, April 30, 2007

Obligasi Pemerintah Paska Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipol dan Ekosob

Tak ada perhelatan besar, orasi atau parade pawai pada 30 September 2005. Dihari itu, Parlemen dan Pemerintah menyetujui 2 kovenan induk hak asasi manusia. Pada sidang paripurna DPR di Gedung DPR/MPR, Ketua Komisi I DPR RI Theo L Sambuaga membacakan hasil pembahasan dua kovenan itu. Lengkaplah the bill of human rights menjadi norma hukum di negeri ini: Deklarasi Hak Asasi Manusia; Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Kovenan Ekosob) dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol).[1] Artikel singkat ini akan memberikan catatan sekaligus menganalisis perihal obligasi Negara (baca: terutama Pemerintah) paska peratifikasian Kovenan.


Tabel
Status Ratifikasi Negara-negara ASEAN

Pilihan mereservasi pasal 1 Kovenan Sipol didasari pilihan politik. Reservasi merupakan sebuah deklarasi formal yang dinyatakan Negara Pihak tidak menerima atau tidak mengikatkan diri pada bagian tertentu dari perjanjian (treaty). Pasal ini memuat sebuah jaminan dan pengakuan “all peoples” berhak untuk menentukan nasib sendiri”, yang boleh jadi oleh sebagian besar anggota DPR lebih memilih tidak memberikan persetujuan untuk meratifikasi, apabila pasal ini tidak direservasi. Hak kolektif ini mempunyai makna adanya “kebebasan menentukan status politik dan kebebasan untuk mengupayakan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya”. Pembahasan RUU pengesahan kovenan ini, secara intensif dilakukan Komisi I DPR dengan Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Pertahanan.

Reservasi yang dilakukan Indonesia terhadap pasal tersebut tidak mengejutkan, namun sekaligus juga disayangkan. Sebagai contoh, Filipina – yang mempunyai pengalaman hingga hari ini meyakinkan penduduk Moro yang sebagian besar tinggal di wilayah Mindanau, untuk tetap menjadi bagian dari negeri ini - tercatat telah meratifikasi Kovenan Hak Sipol pada 23 Januari 1987 tanpa mereservasi satupun pasal. Negara ini mempunyai Bahkan, sebelum dokumen Vienna Declaration and Programme of Action diadopsi pada 25 Juni 1993.[2] Dokumen ini sangat sering dirujuk oleh diplomat banyak Negara untuk menjelaskan batas lingkup “the right to self determination”, termasuk diplomat Indonesia.[3] Dengan merujuk “the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation Among States” dan Piagam PBB, dijelaskan dalam dokumen ini bahwa implementasi hak untuk menentukan nasib sendiri:

“… shall not be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent States conducting themselves in compliance with the principle of equal rights and self-determination of peoples and thus possessed of a Government representing the whole people belonging to the territory without distinction of any kind.”

Merujuk pada penjelasan tersebut, standar internasional ini hak menentukan nasib sendiri tidak dapat dipahami atau ditafsirkan sebagai otorisasi atau mengupayakan segala tindakan yang dapat memisahkan atau memecah belah, seluruhnya atau sebagian, integritas wilayah atau kesatuan politik dari kedaulatan dan kemerdekaan Negara. Dalam konteks ini maka Dalam konteks eksaminasi “the right to self-determination”, Pemerintah dan DPR justru dituntut menjawab persoalan ekonomi, sosial, politik termasuk menjawab persoalan-persoalan kejahatan hak asasi manusia yang masih terjadi di wilayah-wilayah khusus, seperti Nanggroe Aceh Darusallam dan Papua: karena jawaban mengenai persoalan hukum secara internasional sudah terang. Dengan kata lain, tuntutan yang sudah sejak lama dikemukakan: Negara segera mewujudkan keinginan dan kerinduan rakyat atas keadilan, kesejahteraan dan kebebasan-kebebasan sipil.


Obligasi (Kewajiban) Negara Paska Ratifikasi

Penyusunan laporan

Implikasi yang paling praktis, Indonesia secara otomatis terikat untuk membuat laporan awal perihal implementasi semua ketentuan dalam kovenan, termasuk faktor-faktor yang menghambat pemenuhan hak asasi dan kebebasan fundamental yang dijamin dalam kovenan.[4] Dalam implementasi dan pelaporan kovenan Hak ekosob, dimungkinkan Negara Pihak mendapat bantuan teknis dari lembaga dan komunitas internasional, sebagaimana dimuat dalam pasal 22 Kovenan Ekosob. Dalam laporannya, Negara pihak dimungkinkan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kerjasama pembangunan dan bantuan teknis yang diperlukan dalam rangka pemenuhan hak-hak ekosob.[5] Kerjasama dan bantuan teknis, semacam ini dapat dikatakan juga sebagai implikasi lain, dari ratifikasi perjanjian.

Selanjutnya agar lebih “meningkatkan citra Indonesia dalam pergaulan internasional”,[6] perlu dipertimbangkan untuk mengadopsi protocol-protokol tambahan Kovenan Hak Sipol: protokol pertama memuat ketentuan yang memungkinkan Komite HAM – yang dibentuk berdasarkan Kovenan – menerima dan memeriksa komunikasi dari individu korban kejahatan hak sipol; sedangkan Protokol Kedua memuat ketentuan penghapusan hukuman mati yang diyakini memberikan kontribusi terhadap “enhancement of human dignity and progressive development of human rights”.[7] Di lingkungan ASEAN, Filipina telah menandatangani Protokol Pertama Kovenan Sipol pada 22 November 1989.

Dalam konteks penghapusan hukuman mati, walaupun sistem hukum Indonesia masih memberlakukan jenis pidana ini, aparat penegak hukum perlu dengan sangat merefer pada pasal 6 ayat (5) Kovenan Sipol yang melarang pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan dibawah usia 18 tahun dan terhadap perempuan yang sedang mengandung (hamil).


Penyusunan Rencana Aksi Pendidikan Dasar Wajib dan Cuma-cuma

Salah satu pesan yang perlu disampaikan paska ratifikasi Kovenan Ekosob: menteri pendidikan nasional semestinya bekerja lebih keras! Pasal 14 Kovenan Ekosob memuat ketentuan obligasi (kewajiban) Negara Pihak untuk mengimplementasikan pendidikan dasar (primary education) cuma-cuma atau gratis, dalam artian tidak ada lagi pungutan yang memberatkan orang tua murid/siswa: cuma bayar SPP, cuma bayar uang buku, uang gedung, dan seterusnya.[8]

Pasal 14 tersebut memandatkan kepada Negara Pihak dalam waktu 2 tahun untuk menyusun kebijakan dan mengadopsi rencana aksi yang rinci agar hak setiap orang menikmati pendidikan dasar dapat diwujudkan. Rencana aksi ini termasuk penjelasan jadwal waktu dan cara pengimplementasiannya secara bertahap. Dalam konteks inilah Menteri Pendidikan kita mesti bekerja lebih keras, termasuk memikirkan dan berkoordinasi dengan seluruh pejabat legislatif dan eksekutif untuk pengalokasian dana Anggaran Pendapatan Belanja Belanja ditingkat Nasional dan Daerah.

Dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sudah dinyatakan prinsip pemenuhan pendidikan dasar yang diwajibkan (compulsory) – sama seperti prinsip yang dimuat dalam Kovenan Ekosob. Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan “(s)etiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar: Ketentuan ini seharusnya mempunyai implikasi Negara bertanggungjawab untuk memastikan keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan dasar cuma-cuma untuk anak usia sekolah. Hal ini berkesesuaian dengan pembukaan UUD 1945 – yang dijadikan konsideran Menimbang UU Sisdiknas – yang mengamanatkan agar Pemerintah Indonesia “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dalam UU Sisdiknas dikenal istilah program wajib belajar, yakni “pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga Negara Indonesia atas tanggungjawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah”.[9] UU ini juga pada dasarnya sudah mengadopsi prinsip pemenuhan pendidikan dasar secara cuma-cuma. Adapun tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam pemenuhan hak atas pendidikan, seperti:

- Wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi;[10]
- Wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun;[11]
- Menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya;[12]
- Wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu;[13]
- Wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah Daerah;[14]
- Wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga pendidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat;[15]
- Menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) UUD 1945;[16]
- Menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional;[17]
- Melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah;[18]
- Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal;[19]


Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 hasil amandemen konstitusi ke-4 secara tegas mewajibkan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Dengan diratifikasinya Kovenan Hak Ekosob, maka Pemerintah sebaiknya mengadopsi prinsip-prinsip pemenuhan hak setiap orang untuk menikmati pendidikan, seperti yang dimuat dalam pasal 14 Kovenan. Komite Ekosob pada 1999 telah merinci dan memberikan penjelasan mengenai definisi dari istilah kunci dan elemen pokok berkaitan dengan pemenuhan hak atas pendidikan dasar. Nantinya elemen inilah yang menjadi salah satu bahasan pada saat Komisi Ekosob memeriksa laporan yang disusun Pemerintah. Elemen-elemen yang dimaksud, sebagai berikut:[20]

Pertama, pendidikan dasar wajib (compulsory). Dalam prinsip ini akan dilihat apakah terdapat hambatan bagi anak usia sekolah untuk menikmati pendidikan dasar. Penilaian juga dilihat apakah terjadi bentuk dan praktik diskriminasi terjadi dalam hal persamaan akses antara anak perempuan dan laki-laki dalam memperoleh pendidikan dasar. Program wajib belajar yang dirumuskan dan diimplementasikan mesti memperhatikan kualitas yang baik, relevan untuk anak dan berkontribusi pada realisasi hak-hak anak yang lain.

Kedua, pendidikan dasar cuma-cuma/gratis (free of charge). Prinsip ini dipenuhi dengan cara: memastikan ketersediaan pendidikan dasar yang dikelola Negara, dilaksanakan tanpa memungut biaya dari anak, orang tua atau walinya. Karenanya, sekecil apa pun tuntutan pungutan, secara praktik dapat membahayakan pemenuhan hak ini, terutama bagi keluarga miskin. Sebagai contoh pungutan uang prakarya Rp 2500 terhadap anak, untuk keluarga miskin sangat memberatkan. Sejumlah media memuat berita tidak jarang pungutan-pungutan semacam ini menjadi salah satu faktor aksi bunuh diri siswa/murid karena merasa malu tidak dapat berpartisipasi. Upaya pencegahan praktik-praktik pungutan semacam ini, mesti dirinci dalam Rencana Aksi yang disusun pemerintah, termasuk cara pengawasannya. Komite Ekosob sendiri dapat memeriksa iuran langsung (direct costs) dan pungutan lain (other indirect costs) berdasarkan kasus per kasus.

Ketiga, pengadopsian rencana rinci (adoption of a detailed plan). Paska ratifikasi Kovenan Ekosob, Pemerintah diminta untuk merumuskan dan selanjutnya menetapkan rencana aksi yang rinci untuk pemenuhan pendidikan dasar bagi setiap anak usia sekolah. Diberikan waktu maksimal 2 tahun untuk perumusan rencana aksi ini, yang mesti memuat semua upaya untuk merealisasikannya. Partisipasi publik (masyarakat) menjadi prasyarat dalam proses perumusan dan secara periodic terlibat dalam review dan evaluasi rencana aksi. Memastikan pemenuhan asas akuntabilitas dalam perumusan dan pengawasan implementasi rencana aksi juga menjadi tanggungjawab Pemerintah.

Keempat, kewajiban/obligasi (obligations). Dalam praktik, Negara Pihak tidak dapat lari dari tanggung jawabnya untuk menetapkan rencana aksi tidak dapat dilanggar hanya karena alasan tidak mempunyai sumber daya. Jika memang benar-benar tidak ada sumber daya, maka Pemerintah dapat mengupayakan “international assistance and cooperation" seperti dimuat dalam pasal 23 Kovenan Ekosob.

Kelima, implementasi secara terus menerus (progressive implementation). Dalam rencana aksi ditetapkan dalam rencana jadwal untuk memastikan pemenuhan hak atas pendidikan secara cuma-cuma dapat terlaksana secara nasional. Sebagai contoh terdapat deklarasi bahwa semua anak akan mendapatkan pendidikan dasar cuma-cuma pada tahun 2010, disertai dengan bagaimana cara merealisasikannya. Realisasinya dapat secara bertahap dengan prioritas wilayah atau prioritas anggaran, sehingga benar-benar bebas dari segala macam pungutan yang memberatkan siswa dan keluarganya. Sehingga terealisasi pendidikan gratis yang bukan sekedar lips service.

Akhirnya, keputusan politik Pemerintah dan DPR untuk meratifikasi Kovenan Hak Sipol dan Hak Ekosob perlu disambut dengan kerja keras. Pelibatan masyarakat sipil diperlukan untuk bersama-sama Pemerintah mengupayakan realisasi katalog hak asasi dan kebebasan fundamental dalam perjanjian ini. Pastinya, implementasi dari ketentuan-ketentuan baik dalam Kovenan Sipol maupun Kovenan Ekosob sangat bukan bertujuan “menyenangkan hati” dan “menyegarkan mata” para anggota Komite HAM dan Komite Ekosob PBB saat memeriksa laporan yang disusun pemerintah: tapi merupakan perwujudan konstitusional tanggungjawab Negara kepada warga negaranya, praktik tanggungjawab Pemerintah untuk memenuhi hak asasi manusia di negeri ini. Semoga cepat terwujud.

Catatan Belakang:

[1] Berita tentang ratifikasi 2 kovenan ini, lihat antara lain: Kompas. 1 Oktober 2005. “Dua Kovenan HAM Diratifikasi. Dengan Reservasi pada Hak Menentukan Nasib Sendiri”; Suara Pembaruan, 1 Oktober 2005. “RI Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik”

[2] UN doc. A/CONF.157/23, 12 July 1993.World Conference on Human Rights Vienna, 14 – 25 June 1993. Vienna Declaration and Programme of Action.

[3] Antara lain dinyatakan Juru Bicara Deplu Yuri Oktavarian Thamrin lihat Kompas. 1 Oktober 2005. Media Indonesia Online. 30 September 2005. “Deplu Bantah Ratifikasi Kovenan Mungkinkan Referendum di Aceh”. Teks di http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=76709

[4] Mengenai obligasi (kewajiban) Negara Pihak dan mekanisme pelaporan dalam kovenan, lihat Kovenan Hak Ekosob, Bagian IV, pasal 16 – 25; Kovenan Hak Sipol, Bagian IV, pasal 28 – 45; lihat juga UN doc. E/1989/22. CESCR. General Comment No. 1. Reporting by State parties, 24/02/89 (Third session, 1998).

[5] Lihat UN Doc. E/1990/23. CESCR General Comment No. 2 International technical assistance measures (Art. 22): 02/02/90, terutama art. 2,3 dan 10.

[6] Meminjam pendapat Jubir Deplu mengenai salah satu tujuan ratifikasi, lihat Media Indonesia Online. 30 September 2005. Op.cit.

[7] Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at the abolition of the death penalty. Adopted and proclaimed by GA Res. 44/128 of 15 December 1989.

[8] Soal prinsip-prinsip hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar gratis dapat dilihat antara lain dalam A. Patra M. Zen. 2005. Tak Ada Hak Asasi yang Diberi. Jakarta: YLBHI, hal. 27 – 32. Dalam buku ini juga dimuat deskripsi dan analisis tentang hak asasi manusia secara umum.

[9] UU No. 30/2003, pasal 1 angka (18).

[10] Ibid., pasal 11 ayat (1).

[11] Ibid., pasal 11 ayat (2).

[12] Ibid., pasal 34 ayat (2).

[13] Ibid., pasal 34 ayat (3).

[14] Ibid., pasal 44 ayat (1).

[15] Ibid., pasal 44 ayat (2).

[16] Ibid., pasal 46 ayat (2).

[17] Ibid., pasal 50 ayat (2).

[18] Ibid., pasal 50 ayat (4).

[19] Ibid., pasal 50 ayat (5).

[20] Lihat UN Doc. E/C.12/1999/4. CESCR General Comment No. 11 (1999) Plans of action for primary education (art. 12).


Daftar Pustaka

Zen, A. Patra M. 2005. Tak Ada Hak Asasi yang Diberi. Jakarta: YLBHI.


Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945

UU No. 30/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

UU Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

UU Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik


Dokumen Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)

GA Res. 44/128 of 15 December 1989. Second Optional Protocol to the ICCPR, aiming at the abolition of the death penalty.

A/CONF.157/23, 12 July 1993.World Conference on Human Rights Vienna, 14 – 25 June 1993. Vienna Declaration and Programme of Action.

E/1989/22. CESCR. General Comment No. 1. Reporting by State parties, 24/02/89 (Third session, 1998)

E/1990/23. CESCR General Comment No. 2 International technical assistance measures (Art. 22): 02/02/90.

E/C.12/1999/4. CESCR General Comment No. 11 (1999) Plans of action for primary education (art. 12).


Media

Kompas. 1 Oktober 2005. “Dua Kovenan HAM Diratifikasi. Dengan Reservasi pada Hak Menentukan Nasib Sendiri”;

Suara Pembaruan, 1 Oktober 2005. “RI Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik”

Media Indonesia Online. 30 September 2005. “Deplu Bantah Ratifikasi Kovenan Mungkinkan Referendum di Aceh”. Teks di http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=76709
Load Counter