Monday, April 30, 2007

Memenuhi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua

Apa makna dana pembangunan bagi rakyat Papua? Ungkapan sarkastik sempat diungkapkan Oentarto, Dirjen Otonomi Daerah Depdagri. Menurutnya, Otonomi Khusus di Papua sudah meningkatkan kesejahteraan sebagian penduduk: para birokrat dan pejabat DPRD.[1] Tapi rakyat, penduduk Papua? Mungkin ungkapan ini terlalu berlebihan. Namun, kebenarannya mendekati 100 persen.

Tercatat, periode 2002 lalu, Depkeu telah menyalurkan Dana Otonomi Khusus ke Papua sejumlah Rp 1,382 triliun pada 2002.[2] Berdasarkan Kepmenkeu No. 47 KMK 07/2002 tentang Tata Cara Penyaluran Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua, 21 Februari, pembagian dana berasal dari persentase setara 2% Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional per tahun. Nilai ini belum termasuk, alokasi yang diberikan dari dana perimbangan, yang terdiri dari DAU, dana bagi hasil, dan dana alokasi khusus. Sedangkan persentase pembagian hasil tambang minyak dan gas, sama dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Jadi, perbandingannya 70:30, yakni 70 untuk daerah dan 30 untuk pusat.

Selanjutnya, apa makna otonomi khusus bagi rakyat Papua? Otonomi khusus merupakan satu contoh: bentuk kreativitas pemerintah di wilayah paling timur ini. Otonomi khusus wilayah Papua diperkuat dengan instrumen legal UU No. 21/2001. Dari segi teks, terdapat perbedaan-perbedaan fundamental dengan UU No 22/1999 dan UU No. 22/1999 yang mengatur semua provinsi di Indonesia – terkecuali Papua dan NAD. Perbedaan ini antara lain, soal sistem pemerintahan dan institusi lokal serta kebijakan keuangan.

Kebetulan atau tidak, dua provinsi khusus, Papua dan Aceh, diberikan pembedaan karena bekerjanya aspirasi sebagian rakyat untuk mengeksaminasi hak atas menentukan nasib sendiri (the right to self determination). Karenanya, bentuk kreativitas pemerintah yang memberikan otonomi khusus di Papua, sebaiknya dioperasikan dan dilaksanakan dengan tujuan menciptakan keadilan bagi rakyat, distribusi hasil pembangunan dan pemenuhan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, menarik untuk mengutip pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Polkam – didepan Muspida provinsi dan kabupaten/kota se-Papua di Jayapura:

“Aktivitas separatis bersenjata di Papua ,,, harus diatasi secara lebih adil dan bermartabat. Caranya adalah membangun dan menata sistem kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan hukum. Separatis di Papua tidak perlu diatasi dengan menggelar darurat militer ,,,”[3]

Selanjutnya, Yudhoyono menjelaskan:

“…setelah sekitar lima tahun merefleksi dan mengevaluasi apa persoalan sesungguhnya yang terjadi di Papua bersama tokoh masyarakat, DPRD, pejabat Papua, unsur pemuda, dan mahasiswa Papua ternyata ditemukan akar persoalan sesungguhnya di daerah ini, yakni keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan keterisolasian yang dialami masyarakat di Papua.”[4]


Pernyataan tersebut lebih tepat jika diberikan tambahan informasi, bahwa persoalan yang fundamen, ketiadaan proteksi Negara selama ini. Bahwa inilah yang menjadi akar persoalan sesungguhnya. Karenanya, otonomi khusus di wilayah ini mesti dimaknai juga oleh proteksi apa yang hendak diberikan Negara terhadap rakyat di provinsi ini? Ketiadaan proteksi inilah yang memunculkan untaian kata menyayat dari rakyat Papua tentang penindasan dan pembodohan yang dialami, seiring dengan perampasan sumber daya alam di provinsi yang begitu kaya.[5] Penindasan yang teramat payah mesti dipikul seluruh rakyat, perempuan dan anak-anak.

Ketiadaan proteksi ini juga, boleh dikatakan, yang telah memunculkan pemberontakan rakyat sepihak – Amungme – pada 1977, meledakkan jalur pipa Freeport – yang kemudian diikuti dengan bencana pembunuhan massal oleh militer terhadap penduduk asli.[6] Ketiadaan proteksi, yang menyebabkan cadangan emas dan tembaga tidak bermakna bagi pemenuhan hak bagi mayoritas rakyat di wilayah ini terhadap standar hidup yang layak (the right to adequate standard of living). Merujuk Kompas, hasil tambang di teritori Amungme ini bernilai tidak kurang dari $US 40 milyar dengan perincian ditaksir memiliki cadangan 25 milyar pon tembaga, 20 juta ons emas dan 70 ons perak.[7]

Artikel singkat ini akan mengidentifikasi beberapa prinsip, mekanisme dan pendekatan dalam disiplin hak asasi manusia yang berguna bagi Negara, utamanya pemerintah dalam menjalankan obligasinya: mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) rakyat di Papua. Pada bagian selanjutnya, akan dianalisis peran strategis Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam mendorong promosi dan proteksi kebebasan-kebebasan fundamental dan hak asasi rakyat di Papua.

Human Rights based Approach

Dalam pembangunan, manusia merupakan subyek sentral dalam pembangunan.[8] Dengan demikian, kebijakan Negara yang mengatasnamakan dan mengklaim ditujukan untuk kepentingan pembangunan dipagari dengan pendekatan ini.[9] Sebagai ilustrasi, soal kontroversial pemekaran wilayah Papua yang oleh beberapa pejabat Negara[10] diklaim sebagai upaya mengefektifkan pembangunan dapat dieksaminasi dengan pendekatan hak asasi manusia: siapa yang (paling) diuntungkan dengan pelaksanaan kebijakan ini? Apakah militer, karena peluang pendirian Kodam baru? Apakah pemerintah? Atau rakyat di wilayah ini? Apakah dengan pemekaran wilayah, obligasi negara dibidang hak asasi manusia menjadi lebih efektif? Pendekatan hak asasi inilah yang mesti diperkuat dalam otonomi khusus – sebagai pedoman bagi pejabat Negara. Pendekatan inilah yang akan mengurai satu persatu dimensi pemenuhan hak-hak ekosob: hak atas pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan, lahan dan seterusnya.


Mekanisme Judicial Remedies dan Hak Klaim

Mekanisme judicial remedies dan hak klaim korban dari pelanggaran hak-hak ekosob sebaiknya diatur secara ketat dalam kerangka otonomi khusus. Semestinya dicarikan mekanisme yang nantinya juga bersifat dan memiliki dampak horisontal secara langsung (horizontal direct effect) kepada pelaku non-negara (non-state actors), seperti entitas privat dan korporasi (perusahaan). Mekanisme ini guna memberikan peluang kepada rakyat secara langsung untuk menguji apakah anggaran-anggaran pembangunan, utamanya APBD, dirancang, dikelola dan didistribusikan sesuai dengan pendekatan hak asasi. Mekanisme ini juga dirancang agar dilaksanakan prinsip accountability dan responsibility aparat Negara dan pelaku Non-Negara dalam pemenuhan hak ekosob.


Peran Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam promosi dan perlindungan hak ekosob

Majelis Rakyat Papua (MRP) sebuah lembaga yang dilahirkan UU No. 21/2001. Lembaga ini merupakan representasi kultural orang asli Papua yang dibentuk untuk upaya perlindungan hak-hak orang asli.[11] Wewenang yang diberikan pada MRP berpeluang mempercepat pemenuhan hak-hak ekosob penduduk.[12] Lembaga ini bisa dibilang institusi quasi-judicial yang strategis untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada Negara berkaitan dengan implementasi obligasi Negara dibidang pemenuhan hak ekosob.[13] Dengan demikian, mesti diberikan peluang dan dibentuk mekanisme efektif untuk MRP dalam mengimplementasikan justiciability hak-hak ekosob orang asli Papua. MRP juga dapat berperan dalam mendorong mekanisme judicial remedies berjalan efektif serta memastikan keputusan-keputusan badan peradilan dilaksanakan oleh Negara maupun pelaku non-Negara, memastikan adanya proteksi Negara atas hak-hak ekosob rakyat dari Sorong hingga Samara!

Cara kerja Sehari-hari

Sebagai ilustrasi ambil contoh alokasi anggaran Rp 1,382 triliun pada 2002 untuk Papua. Dana ini akan bermakna untuk Ny. Beatriks Nggapulu, seorang perempuan suku Dani, Jayawijaya[14] jika Ny. Beatriks dan komunitasnya memiliki peluang untuk menguji apakah dana ini dapat ia peroleh guna pemenuhan hak ekosobnya lewat mekanisme judicial. Lewat mekanisme ini, Ny Beatriks bersama-sama komunitas mengeksaminasi perencanaan, pelaksanaan, audit dan distribusi hasil anggaran dan hasil pembangunan. Ny Beatriks dan komunitasnya dapat mengklaim sebagai korban pelanggaran hak-hak ekosob jika dana ini tidak dirasakan manfaatnya, demikian juga jika pelaku Non-Negara yang beroperasi di wilayah domisilinya melakukan tindakan yang dikuantifikasi sebagai pelanggaran hak ekosob. Jika ada klaim dari korban, maka perlu disediakan mekanisme judicial remedies baik lewat badan peradilan maupun institusi administratif.

Ny Beatriks dapat juga mengadukan problem atau kasusnya kepada MRP. Selanjutnya, MRP sesuai tugas, wewenang dan haknya – seperti termuat dalam pasal 20 – 22 UU No. 21/2002 dapat saja mengeksaminasi kasus Ny Beatriks, dkk. Ambil contoh, setelah diidentifikasi, ternyata di wilayah domisili Ny Beatriks diperlukan fasilitas pendidikan bagi anak-anak. MRP sebagai lembaga quasi-judicial dapat membuat rekomendasi bahwa sarana pendidikan di wilayah Ny. Beatriks, dkk sebagai sebuah prioritas program pembangunan. Untuk seterusnya rekomendasi ini diharapkan mempunyai direct effect.

Ilustrasi diatas, sangat sederhana. Dan begitulah pemenuhan hak ekosob. Tidak rumit dan sangat sesulit yang dibayangkan. Pertanyaannya hanya apa pemerintah mau? Pertanyaan, apakah pemerintah bisa memenuhi hak ekosob rakyat menjadi irrelevant, karena secara de facto ada anggaran. Apakah ini mengada-ada. Tidak juga. Prinsip-prinsip dan mekanisme ini sudah berjalan, diuji, digunakan ditingkat domestik – seperti Afrika Selatan dan Brasil, maupun regional mekanisme hak asasi manusia Amerika, Afrika dan Eropa. Kalau pemerintah Indonesia tidak mau menjalankan obligasinya memenuhi penduduk asli Papua? Lalu maunya apa sih?

* Artikel ini dibuat untuk keperluan pengantar diskusi Working Group on Papua (WGP). Masih berupa draft untuk menggambarkan beberapa isu yang dapat menjadi ruang lingkup pekerjaan WGP.

** Kepala Divisi Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya pada Yayasan LBH Indonesia.


Catatan Belakang:

[1] Tempo Online. 8 Januari 2003. “Otonomi Khusus Papua Belum Menyejahterakan Rakyat”. Soal alokasi dana, lihat juga Gatra Online. 24 Oktober 2001. “DPR dan Pemerintah Alokasikan Rp 1.38 Trilyun untuk Papua”.

[2] Tempo Online. 8 Januari 2003. “Otonomi Khusus Papua Belum Menyejahterakan Rakyat”.

[3] Kompas, 10 Juli 2003. “Menko Polkam: Atasi OPM dengan Lebih Adil dan Bermartabat”.

[4] Ibid.

[5] Mengutip Tom Beanal, Ketua Lembaga Musyawarah Adat (LMA) Papua. Lihat Kompas. 2 Juni 2003. “Mendekonstruksi Makna Kemerdekaan.”

[6] Kompas. 23 Februari 2003. “Sekilas Kata Dunia tentang Freeport”.

[7] Ibid.

[8] The Decalaration on the Right to Development. UN doc. GA Res. 41/128., art. 2(1).

[9] Lihat antar lain komentar, Dominggus Mandacan, Bupati Manokwari. Gatra Online. 4 Februari 2003. “Buka Isolasi Warga. Penting, Pemekaran Provinsi Papua”. Sementara pihak pemerintah yang diwakili Hari Sabarno, Mendagri dan Oentarto, Dirjen Otda Depdagri malah seringkali mengusung argumen legal posivistik, bahwa pemekaran provinsi karena sesuai dengan amanat UU No. 45/1999. Lihat antara lain: Kompas. 14 Februari 2003. “Sidang Kabinet Terbatas di Istana. Rancangan Peraturan Pemerintah mengenai Majelis Rakyat Papua Belum Selesai Dibahas.”; Tempo Interaktif. 6 Februari 2003. “Tak Ada Pertentangan Yuridis pada Pemberlakuan Inpres Pemekaran Papua”; Kompas. 8 Februari 2003. “Pemekaran Papua Tidak Salahi Otonomi Khusus”.

[10] Pemekaran wilayah Irian Jaya Barat dan Tengah, dialaskan Inpres No.1/2003 – sebagai tindakan provokatif dari Pemerintah dalam pelaksanaan UU No. 45/1999.

[11] UU No. 21/2001., pasal 1 huruf (g) inter alia pasal 5 (2).

[12] Ibid.Tugas dan wewenang MRP diatur dalam pasal 20.

[13] Ibid. Lihat pasal 20 huruf e dan f dan pasal 21 tentang hak yang melekat pada MRP.

[14] Sosok ini diambil dari sebuah feature di Kompas. 2 September 2002. “Pekerjaan Rumah untuk MRP”. Feature ini mengisahkan betapa perempuan Papua menjalankan peran berlipat mulai mengurus rumah tangga, mengurus anak, mencari makanan ternak, kayu bakar dan pendapatan bagi keluarga.
Load Counter