Monday, April 30, 2007

Hak Rakyat atas Perumahan: Membuat Kerangka Evaluasi terhadap Realisasi Pemenuhan Hak oleh Pemerintah

Updated version 3 November 2003

A. Pengantar

Rumah, bagi banyak orang tidak menjadi kata sakral. Namun bagi lebih banyak orang lagi, kata ‘rumah’ menjadi kata yang teramat mahal. Padahal, rumah adalah bangunan dasar, fundamental dan sekaligus menjadi prasyarat bagi setiap orang untuk bertahan dan hidup dan menikmati kehidupan bermartabat, damai, aman dan nyaman. Dengan kata lain, dampak negatif bahkan ancaman nyawa baik fisik maupun mental terbuka pada individu-individu yang tak punya rumah. Lebih jauh, tanpa mempunyai (akses) perumahan, kehidupan pribadi, pun sosial akan sulit dicapai. Tak berlebihan, hak atas perumahan menjadi variabel penting dan menjadi sebuah hak independen atau hak yang berdiri sendiri (independent or free-standing right) dalam mengukur apakah seseorang menikmati hak atas standar hidup yang layak (the right to a adequate standard of living).[1]

Hak rakyat atas perumahan dalam disiplin hak asasi manusia (HAM) seringkali dipersamakan dengan hak rakyat atas tempat untuk hidup. Karena hak ini berkaitan dengan hidup seseorang, maka rumah dalam pengertian ini mencakup makna perumahan yang memadai (adequate housing). Kata ‘memadai’ ini menjadi penting untuk membedakan pendefinisian kata ‘rumah’ menjadi tidak sekedar sebentuk bangunan persegi empat yang punya atap. Dari standar internasional HAM, kita dapat meminjam makna rumah yang memadai, yakni ketersediaan pelayanan, material, fasilitas dan infrastruktur. Memadai juga mengandung makna adanya pemenuhan prinsip-prinsip seperti affordability, habitability, accessibility.. Selanjutnya, ‘memadai’ juga mempertimbangkan faktor-faktor yang wajib dipertimbangkan dan dipenuhi seperti faktor lokasi (location) dan culturally adequate. Standard internasional menyatakan legal security of tenure sebagai sebuah prinsip yang erat kaitannya dengan pemenuhan hak rakyat atas perumahan.

Artikel ini mempunyai dua tujuan utama. Pertama, menelusuri kebijakan, prinsip umum, atau pun strategi (enabling policy) yang disusun, ditetapkan atau dikeluarkan Negara dalam kaitannya dengan pemenuhan hak rakyat atas perumahan. Penelusuran kebijakan ini akan menjawab beberapa prinsip pemenuhan hak atas perumahan, sebagaimana dimuat dalam rezim hukum internasional HAM. Kedua, memberikan ‘rapor’ pemerintahan Megawati dengan menggunakan parameter relevan merujuk norma-norma hukum internasional. Karenanya, bagian awal artikel ini akan dimulai dengan gambaran umum tentang rezim hukum internasional HAM yang berkaitan dengan hak atas perumahan yang layak (the right to adequate housing). Selanjutnya, dijelaskan, konsepsi tentang kejahatan terhadap hak atas perumahan, merupakan kejahatan HAM berat. Pada bagian ini juga dideskripsikan program komunitas internasional dalam mempromosikan dan mengupayakan perumahan untuk semua.

Bagian berikut, memuat hal-hal yang relevan bagi pemenuhan hak rakyat atas perumahan seperti ‘legal security of tenure’; penetrasi kapital; hak atas perumahan di wilayah konflik dan problem internally displace person (IDP).

Selanjutnya akan digambarkan hak rakyat atas perumahan di Indonesia. Dalam bagian ini, akan dideskripsikan sekaligus dievaluasi baik kebijakan negara termasuk program aksi dalam rangka negara untuk memenuhi obligasi hukumnya. Program Pembangungan Nasional (Propenas) akan dipergunakan untuk melacak enabling policies. Sedangkan produk perundang-undangan yang berkaitan dengan hak ini akan dipergunakan untuk memberikan penjelasan dan gambaran sampai sejauh mana hak ini telah menjadi hak konstitusi (constitutional right) maupun hak hukum (legal right).

Kondisi pemenuhan hak rakyat ini di tahun 2002 akan dideskripsikan untuk kemudian menjadi salah satu material penilaian atas pemerintahan Megawati dan Hamzah Haz. Dalam bagian ini akan disusun kategorisasi kejahatan-kejahatan HAM serta klasifikasi dari pelanggaran obligasi hukum negara dalam memenuhi dan melindungi hak atas perumahan. Data-data selama tahun 2002 atau selama pemerintahan Megawati dan Hamzah diolah dari berbagai laporan internal Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) - LBH dan media. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) akan dimuat sebagai data pembanding, utamanya juga bertujuan untuk melihat kategorisasi dalam isu ini. Selain data ditahun 2002, dimasukkan juga data kejahatan terhadap hak atas perumahan rakyat, khususnya di Ibukota Jakarta di tahun 2003 ini. Penggusuran paksa yang marak di Jakarta dapat dikategorisasikan sebagai kejahatan HAM berat. Di bagian akhir artikel ini akan memuat beberapa rekomendasi bagi upaya pemenuhan dan perlindungan hak rakyat atas perumahan yang memadai di Indonesia.


B. Hak atas Perumahan: Rezim hukum internasional HAM dan Program Komunitas Internasional

B.1. Prinsip-prinsip

Promosi dan upaya perlindungan hak atas perumahan telah dilakukan komunitas internasional sejak lama. Hak ini secara eksplisit dimuat dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).[2] Sejak 3 Januari 1976, Kovenan ini telah menjadi hukum internasional (entry into forced) dan lebih dari 140 negara didunia telah meratifikasi salah satu kovenan induk ini.

Penting untuk mengemukakan prinsip-prinsip dasar yang dimuat dalam General Comment[3] No. 4 United Nations (UN) Committee on Economic, Social and Cultural Rights - selanjutnya akan disebut Komite.[4] Hal ini dapat menjadi alat ukur (parameter) bagi perlindungan dan pemenuhan hak rakyat atas perumahan. Prinsip-prinsip utama dalam pemenenuhan hak rakyat atas perumahan, seperti[5]:

Prinsip aksesibilitas (accessibility). Prinsip ini bermakna bahwa perumahan mesti dapat dimiliki setiap orang. Dalam prinsip ini dikenal dengan pemenuhan perumahan berdasarkan prioritas, seperti akses perumahan untuk komunitas atau golongan yang tak beruntung (disadvantaged groups) dan komunitas yang rentan seperti individu lanjut usia (lansia), anak-anak, orang cacat, individu yang menderita penyakit kronis;

Prinsip keterjangkauan/afordabilitas (affordability). Prinsip ini secara singkat bermakna setiap orang dalam praktek dapat memiliki rumah. Harga rumah harus dapat terjangkau bagi setiap orang;
Prinsip habitabilitas (habitability). Prinsip ini juga merupakan prasyarat sebuah rumah dapat dikatakan ‘memadai’. Prinsip ini bermakna rumah yang didiami mesti memiliki luas yang cukup dan juga dapat melindungi penghuninya dari cuaca, seperti hujan, panas dan ancaman kesehatan bagi para penghuninya.

Selain prinsip-prinsip tersebut, konvensi-konvensi internasional juga memperkaya prinsip-prinsip pemenuhan hak atas perumahan ini, antara lain: pemenuhan hak ini mesti dilaksanakan tanpa pembedaan ras, warna kulit, atau kewarganegaraan, asal muasal etnis[6]; dipenuhi dengan beralas persamaan hak atara laki-laki dan perempuan[7]; difasilitasi dalam rangka membantu para orang tua untuk memberikan perlindungan hak anak-anak atas tempat tinggal yang memadai.[8] International Labour Organization (ILO) juga menetapkan dua konvensi yang memuat hak atas perumahan.[9] Sementara, perhatian pemenuhan hak atas perumahan bagi pengungsi dimuat dalam International Convention Relating to the Status of Refugees (1951).

B.2. Kejahatan terhadap Hak Atas Perumahan adalah Kejahatan HAM Berat

Penggusuran paksa, berkaitan dengan hak atas perumahan, dapat dikategorikan sebagai kejahatan berat HAM. Dilevel internasional, Komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (UNCHR) pernah mengeluarkan sebuah resolusi, tertanggal 10 Maret 1993. Dalam resolusi ini ditegaskan “praktek penggusuran paksa merupakan sebuah kejahatan HAM berat, terutama berkaitan dengan hak atas perumahan yang layak” (para. 1). Sebelumnya, Sub Komisi PBB juga mengeluarkan Resolusi 1992/14 (forced eviction), yang menegaskan hal yang sama.

B.3. Program Komunitas Internasional

Pada tahun 1982, Majelis Umum mengadopsi ‘Tahun Internasional Perumahan bagi Tuna Wisma’.[10] Selanjutnya, pada tahun 2000, sebuah resolusi yang dikeluarkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memuat global strategy for shelter.[11] Dalam resolusi ini dinyatakan perlunya sebuah strategi untuk memfasilitasi dan meningkatkan akses penduduk terhadap perumahan, terutama oleh dan bagi penduduk miskin. Dalam dokumen ini perumahan yang ‘memadai’ dielaborasi sebagai: “…adequate privacy, adequate space, adequate security, adequate lighting and ventilation, adequate basic infrastructure and adequate location with regard to work and basic facilities.”[12]

Ditahun yang sama, badan PBB, UN Center on Human Settlement (HABITAT)[13] pada September 2000 mengeluarkan untuk kampanye ‘pengakuan hak atas kepemilikan’ atau ‘Global Campaign for Secure Tenure’. Program ini bertujuan mempromosikan dan melakukan program-program kampanye hak kepemilikan penduduk atas tanah dan tempat tinggal. Dalam konteks ini, dikampanyekan kerangka hukum yang melindungi hak penduduk, baik individu maupun kolektif maupun hak komunal dari praktek-praktek penggusuran paksa (arbitrary foced eviction). Hak atas tanah dan properti dalam program Habitat dinyatakan sebagai hak yang justiciable. (dapat diklaim pemenuhannya dan dapat direview oleh mekanisme judisial).[14] Fungsi melakukan pengawasan terhadap pemenuhan hak atas perumahan dilakukan UN Commission on Human Settelements (UNCHS).[15] Selain UNCHS, UN Office of the High Commissioner for Human Rights dan Habitat melakukan UN Housing Rights Programme (UNHRP) untuk melakukan riset, monitoring dan aktivitas-aktivitas lain yang akan diberikan kepada badan-badan PBB untuk melakukan tindak lanjut untuk meningkatkan status hak atas perumahan secara global.


C. Hal-hal yang relevan

C.1. Legal Security of Tenure

Hak atas perumahan yang layak tidak dapat terpenuhi jika prasyarat-prasyarat tertentu tidak dipenuhi atau dilindungi negara. General Comment (Komentar Umum) Komite No. 4 secara eksplisit memuat hal penikmatan dan pengakuan hak hukum atas kepemilikan seperti tanah sebagai prinsip yang mesti dipenuhi. Boleh jadi prinsip ini dapat dikatakan sebagai prasyarat bagi pemenuhan hak rakyat atas perumahan. Penikmatan hak atas tanah berarti adanya kepastian akses dan perlindungan dari Negara bagi setiap orang untuk menggunakan lahan termasuk perlindungan dari praktek-praktek penggusuran paksa.

C.2. Pertumbuhan penduduk, penetrasi modal dan problem kemiskinan

Diprediksi pada tahun 2000, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 211 juta dan pada tahun 2005 mencapai 226 juta jiwa penduduk.[16] Pertumbuhan penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan penduduk atas perumahan. Masalah muncul saat sejumlah penduduk tidak mampu untuk mempunyai rumah yang layak untuk dihuni. Bagi si miskin, “rumah idaman” masihlah menjadi mimpi. Jika melihat statistik, tercatat, ditahun 2002, penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 37,7 jiwa. Dapat dipastikan, lebih dari angka ini, penduduk Indonesia mendiami perumahan yang tak layak untuk dihuni.

Program pembangunan yang dilakukan Negara hanya dapat bermanfaat bagi rakyat jika pemerintah mampu melaksanakan jurus-jurus andal. Dituntut adanya pemerintahan yang bersih dan efektif. Pemerintah yang seperti ini diharapkan mampu menahan serangan penetrasi modal asing yang dengan gencar mengekstrak sumber daya alam dan mengeksploitasi tenaga rakyat. Pemerintah ini pun diharapkan mampu melakukan pengelolaan sumber daya dan distribusi hasil secara adil. Tanpa adanya pemerintah sedemikian, niscaya pemenuhan hak rakyat atas perumahan dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) secara keseluruhan laksana “punguk merindukan bulan”.[17]

Tabel 1.
Jumlah Penduduk Dibawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Sumber: Indonesia Country Report. Population and Poverty (2002)., hal. iii.


Kembali ke problem hak rakyat atas perumahan, masalah muncul tidak saja berasal dari aparat negara tetapi secara paralel bersumber dari pelaku non-Negara atau entitas privat (non-state actors or private entities). Diperkotaan, terjadi apa yang disebut dengan gentrification, yakni proses kelas menengah menggerogoti tanah-tanah yang secara ‘tradisional’ dikuasai oleh penduduk asli dan penduduk kelas bawah. Hal ini seiring dengan meningkatnya nilai lahan atau ketidaksanggupan masyarakat kecil menyewa rumah dilokasi domisili sebelumnya.

Di negara-negara latin muncul gerakan yang memperjuangkan hak atas kota (el derecho a ciudad atau right to the city). Frasa ini digunakan untuk mengkampanyekan hak setiap orang terutama penduduk miskin untuk hidup di daerah perkotaan dan mendapatkan semua keuntungan yang dihasilkan oleh proses pembangunan diperkotaan.

Sementara di daerah pedesaan, terjadi proses penciptaan lahan sebagai komoditas bak cabe kriting. Pada kondisi inilah proses land administration project (LAP) mendapat banyak kritik. Proses pensertifikatan tanah telah menjadi alat penghancuran budaya-budaya kepemilikan komunitas masyarakat adat (indigenous people). Tahap berikutnya, pemilik kapital akan menggerogoti tanah dengan jalan jual beli. Tangga tahap selanjutnya, masyarakat adat pun tersingkir dari tanah leluhurnya, sama halnya dengan apa yang terjadi dalam situasi gentrification di daerah perkotaan.

Tabel 2.

Beberapa indikator demografi, Indonesia 1971 – 1999
Populasi (juta jiwa)
119.2
147.5
179.4
195.3
206.3

Pertumbuhan penduduk (persen)*
2,10
2.32
1.98
1.6
1.49

Kepadatan (penduduk/km2)*
62.4
77.0
93.0
92.0
91.0

Penduduk yang tinggal di perkotaan
17.3
22.3
30.9
34.0
42.0

*Dihitung menggunakan ‘compound interest formula’

Sumber: Indonesia Country Report. Population and Poverty (2002)., hal. 2.


Boleh jadi proses penciptaan lahan menjadi komoditas telah menyumbang jumlah peningkatan urbanisasi.[18] Menurut data dari Kementrian Kordinator Kesejahteraan Rakyat[19], saat ini 87 juta penduduk tinggal di perkotaan (41 persen dari total penduduk). Diprediksi, pada tahun 2030, penduduk diperkotaan akan mencapai 180 juta (lebih dari 2/3 total penduduk). Ditahun 1990, 8 kota berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa. Sebelumnya, hanya Jakarta yang berpenduduk mencapai lebih dari 1 juta jiwa ditahun 1950. Diprediksikan mulai tahun 2015, jumlah penduduk di kota akan lebih besar ketimbang penduduk yang tinggal dipedesaan.

Tabel 3.
Urbanisasi dan Pertumbuhan Penduduk di Indonesia, 1961-2000

Sumber: Indonesia Country Report. Population and Poverty (2002)., hal. 13.


Angka-angka penduduk urban tersebut dalam konteks isu perumahan sangat berpotensi meningkatkan jumlah penduduk atau keluarga yang mendiami rumah-rumah yang tidak layak untuk dihuni. Didaerah perkotaan, penduduk yang bependapatan rendah banyak mendiami daerah bantaran kali dan berinisiatif untuk mendirikan bangunan-bangunan tempat tinggal dilokasi-lokasi yang dapat dihuni. Problemnya, bangunan-bangunan seperti ini sangat rentan untuk digusur paksa oleh aparat negara – utamanya pemerintah lokal dan entitas privat, seperti developer. Penggusuran paksa oleh Negara seringkali dengan alasan “menegakkan hukum, aturan dan perundang-undangan” atau “menjaga kerapihan dan keindahan kota”. Sedangkan penggusuran paksa oleh pelaku non-negara berkaitan dengan klaim hak atas tanah. Biasanya pihak perusahaan atau developer bermaksud menggunakan lahan yang ditinggali oleh penduduk.

C.3. Hak Perumahan di Wilayah Konflik dan Problem Internally Displace Person (IDP)

Problem pengungsi domestik atau internally displaced person (IDP) penting juga dilihat dalam konteks pemenuhan hak rakyat atas perumahan, utamanya yang berkaitan dengan problem konflik yang terjadi di dalam negeri. Konflik internal terjadi di provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Maluku dan Maluku Utara, serta Papua Barat. Pemerintah pernah menyatakan bahwa jumlah pengungsi akibat konflik yang terjadi, pada tahun 2001 mencapai 1.7 juta jiwa yang menyebar diberbagai wilayah Indonesia.[20]


D. Hak Rakyat atas Perumahan di Indonesia

D.1. Kerangka, Standard Hukum Domestik dan Program Aksi

- Legal security of tenure

Problem legal security of tenure masih menjadi problem utama dalam isu hak rakyat atas perumahan. Di Indonesia, satu aturan domestik mengenai hak atas penguasaan tanah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5/1960). Banyak sekali aturan domestik yang mengelobarasi maupun merujuk UU ini sebagai konsiderannya. Hak atas tanah, baik berupa hak milik, hak guna bangunan maupun hak pakai diakui keberadaannya sebagai hak hukum. Lebih dari itu, dalam aturan agraria, mekanisme adverse possession juga diakui di Indonesia. Apabila individu menempati dan mengolah tanah selama 20 tahun, maka dia dapat mengajukan hak milik atas tanah.

Namun demikian, hingga hari ini masih tersisa problem yang tak terselesaikan di negeri ini: Hak Menguasai Negara atau setara dengan apa yang diisebut dengan eminent domain yang dijadikan alas pencabutan hak rakyat miskin atas tanahnya. Dalam prakteknya, eminent domein ini berlaku pada kelompok masyarakat bawah – secara ekonomi lemah - yang tidak memiliki relasi dan akses sosial dan politik dengan penguasa. Bagi siapa saja yang tidak memiliki relasi dan akses sedemikian sangat rentan terkena penggusuran!

Dalam konteks relasi tersebut, menarik untuk mencermati kasus pemukiman penduduk di daerah bantaran sungai/kali.[21] Pemerintah sendiri lewat PP No. 35/1991 tantang sungai dan Permen. PU No. 63/PRT/93 dengan tegas melarang pendirian bangunan untuk hunian di daerah bantaran. Di DKI Jakarta saja, penduduk yang tinggal di daerah bantaran tidak kurang 50.000 orang.[22] Hal yang menarik, aturan ini hingga sekarang toh tidak digunakan untuk warga atau penduduk kelas menengah atas yang mendiami bantaran kali Krukut dan Mampang. Bahkan masyarakat kelas menengah atas ini boleh jadi telah memiliki sertifikat dan izin mendirikan bangunan (IMB). Sebaliknya, bagi masyarakat kelas bawah yang masih tinggal di bantaran sungai/kali, sudah dapat dipastikan, proyek penggusuran tinggal menunggu hari.

- Eksaminasi kebijakan Negara

Penelitian sederhana terhadap aturan hukum yang dikompilasi oleh Kementerian Permukiman dan Pengembangan Wilayah[23] menemukan kebijakan-kebijakan yang dapat dipergunakan untuk mengeksaminasi obligasi Negara dalam promosi, perlindungan dan pemenuhan hak rakyat atas perumahan.[24] Setidaknya 15 kebijakan yang dapat diklasifikasi sebagai pemenuhan obligasi positif Negara yang memberikan arahan baik berupa strategi maupun pedoman dalam pemenuhan hak rakyat atas perumahan. Ditemukan juga 10 kebijakan yang sifatnya penyediaan dan pemfasilitasian hak atas perumahan (program aksi). Untuk kebijakan-kebijakan yang relevan dengan hak rakyat atas perumahan ditemukan 3 kebijakan yang menjamin legal security of tenure. Sebaliknya terdapat juga 2 kebijakan yang bersifat derogatif atas pengakuan dan jaminan hak ini. Sementara, terdapat juga dasar hukum atas badan yang berfungsi sebagai penanggulangan masalah pengungsi. Untuk isu pengurangan angka kemiskinan, terdapat dua kebijakan yang memuat keberadaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) dan Daerah (Bapeda) serta Komite Penanggulangan Kemiskinan. Problem urbanisasi dan penetrasi modal agaknya diluar fungsi dari Kementrian ini, sehingga tidak diketemukan kompilasi.

- Data statistik perumahan dan permukiman

BPS melakukan survei dan pemantauan perumahan dengan menyelenggarakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Pengumpulan data ini sudah dimulai sejak 1986 dengan modul per 3 tahun. BPS mendefinisikan bangunan fisik sebagai berikut:

“… tempat berlindung yang mempunyai dinding, lantai dan atap baik tetap maupun sementara, baik digunakan untuk tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal… luas lantainya kurang dari 10 m2 dan tidak digunakan untuk tempat tinggal dianggap bukan bangunan fisik”.[25]

Dalam dokumen survei pemantauan perumahan terdapat indikator-indikator yang digunakan yang secara khusus pada dasarnya mengelaborai prinsip habitabilitas dan lokasi[26] seperti indikator atap, lantai, dinding atau luas lantai, fasilitas tempat tinggal dan kondisi lingkungan. Namun demikian, tidak dapat diketemukan indikator-indikator yang relevan untuk memberikan gambaran terhadap pemenuhan prisip aksesibilitas dan afordibilitas.

Tabel 4.

Distribusi Presentase Rumah Tangga dan Status Penguasaan Bangunan Tempat Tinggal di Indonesia, Tahun 2001*

Lokasi
Milik Sendiri
Kontrak
Sewa
Rumah Dinas
Bebas Sewa
Milik Orang Tua
Lainnya
Jumlah

* Data tahun 2001 ini tidak termasuk data dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Maluku.

Sumber: Diolah dari BPS. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2001. Statistik Perumahan dan Permukiman. 2001., hal. 27 - 29.


Dari statistik diatas, presentase penguasaan bangunan dengan status milik sendiri lebih banyak terdapat didaerah pedesaan (88.46%) sedangkan di perkotaan (67.33%). Jika dihubungkan dengan statistik penduduk yang tinggal di perkotaan (tabel 3.) yakni sejumlah 82.851.0000 di tahun 2000, maka kemungkinan akan lebih banyak persentase penduduk perkotaan yang tidak memiliki sendiri rumahnya.


Tabel 5.

Presentase Rumah Tangga yang Menempati Rumah Miliki Sendiri menurut Status Hukum Tanah, dan Daerah, Tahun 2001*
* Data tahun 2001 ini tidak termasuk data dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Maluku.

Sumber: BPS (2002)., hal. 22.


Di Indonesia, cara-cara memperoleh tempat tinggal dikategorikan sebagai berikut: (1) membangun sendiri; (2) membeli dari pengembang (developer); (3) membeli baru dari perorangan; (4) membeli bukan baru; (5) membeli melalui koperasi; (6) alokasi administrasi; dan (7) lainnya, seperti warisan dan hibah.[27]

Dari statistik tersebut, perlu dicatat, klasifikasi yang digunakan BPS untuk kategori status ‘lainnya’ mempunyai makna “menyerobot dan menempati tanah negara”.[28] Karenanya, 5,2 persen rumah tangga berpotensi besar untuk menjadi korban penggusuran. Begitu pun 2,6 persen yang menyatakan tidak mengetahui status hukum tanah.

D.2. Kondisi Pemenuhan Hak Ditahun 2002

- Anggaran

Komunitas internasional meminta Negara mengalokasikan 20 persen anggaran belanja nasional untuk pembangunan dan fasilitas sosial.[29] Hal ini tidak dapat dilakukan. Negara dengan segala pertimbangan telah mengalokasikan anggaran utamanya untuk sector keuangan dan perbankan serta pembayaran tanggungan pemerintah (government’s bond payment). Ditahun fiscal periode 1998/1999, sektor ini menyedot 15 triliun dari total 52.1 triliun (30% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara - APBN). Tahun fiscal berikutnya 1999/2000, alokasi dana bertambah menjadi 18.7 triliun darti total 52.4 (35.7%). Celakanya, APBN ini berasal dari hutang luar negeri. Dengan kata lain, rakyat diminta menanggung beban untuk menanggung hutang-hutang para bankir dan pemilik bank. Belum lagi, jika dikompilasi dengan problem korupsi dilembaga-lembaga negara dan inefesiensi birokrasi dalam penggunaan anggaran yang memperparah kondisi pemenuhan hak ekosob rakyat.

Tabel 6.
Komposisi Sumber Internal – Ekternal 2002 dengan pengalokasian per sub-sektor anggaran pemerintah (dalam milyar rupiah/Rp)

Sumber: Diolah dari Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Indonesia Country Report. Population and Poverty (2002)., hal. 52.


Merujuk pada data komposisi sumber keuangan dan pengalokasian anggaran pemerintah, pemenuhan hak rakyat atas perumahan berada pada posisi ke-11. Sementara, alokasi untuk permukiman penduduk berada pada urutan ketujuh. Pemerintah mengklaim, tidak ada sumber dana dari luar negeri pada tahun anggaran 2002 untuk program-program perumahan. Sementara, untuk permukiman penduduk, sumber dari luar negeri sejumlah Rp 268.3 milyar. Sayangnya, tidak ditemukan data yang menjelaskan secara rinci dan detail pengalokasian dana-dana ini dalam pemenuhan hak rakyat atas perumahan.

- Ilustrasi bentuk-bentuk kejahatan dalam konteks hak rakyat atas perumahan yang (masih) terjadi ditahun 2002 – 2003


Pelanggaran kewajiban pemerintah untuk memfasilitasi perumahan rakyat

Terdapat sebuah contoh, pelanggaran obligasi pemerintah dalam pemenuhan perumahan bagi masyarakat. Kasus ini terjadi di Papua Barat dimana telah terjadi kejahatan atas kurang lebih 1349 anggota legiun veteran (LVRI) yang mempunyai hak untuk memiliki perumahan. Kasus ini dengan jelas mempertontonkan pelanggaran prinsip aksesibilitas dalam pemenuhan hak rakyat atas perumahan.

Kasus berawal dari pengucuran dana stimulan sebesar Rp 13 milyar dari Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) kepada LVRI untuk membangun fasilitas perumahan bagi ribuan pejuang kemerdekaan ini. Dana stimulan ini kemudian diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum. Masalah muncul ketika dana ini tidak digunakan untuk pembangunan perumahan, melainkan digunakan untuk proyek saran dan prasarana jalan dan pembuatan drainase. Tentu saja, proyek ini tidak dapat dinikmati secara langsung oleh semua anggota veteran – dikarenakan domisili mereka yang menyebar di Papua Barat, juga beberapa telah meninggal dunia, dan pindah domisili ke luar daerah. Perkembangan selanjutnya, Dinas PU bekerjasama dengan LVRI memberikan uang tunai Rp 4,5 juta kepada para anggota veteran. Hal ini mendapat kritik dan penolakan dari sebagian anggota lain, karena menurut penghitungan, dari total Rp 13 miliar seharusnya para anggota veteran ini dan ahli waris berhak memperoleh dana Rp 10 juta untuk membangun rumah-rumah mereka.[30]

Penggusuran paksa[31]

Penggusuran paksa dan melawan hukum (arbitrary and forced eviction). General Comment No. 7 Komite menguraikan problem ini. Individu dan komunitas digusur secara paksa tanpa ada peluang untuk mempertahankan hak-haknya. Kejahatan ini berkaitan erat dengan bentuk-bentuk kejahatan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara termasuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan tentara. Dalam banyak kasus, penggusuran paksa ini dilakukan seiring dengan tindak demolisi atau pembumi hangusan dan pembuldozeran rumah-rumah rakyat. Bentuk yang hampir sama, yakni kejahatan pemindahan (displacement) atas nama program dan proyek ‘pembangunan’ atau bahkan atas nama ‘kepentingan umum’ tanpa mekanisme yang berkeadilan.

Di Indonesia, pendefinisian rumah liar yang dibuat Negara ditujukan untuk rumah atau bangunan penduduk yang tidak mengikuti aturan hukum modern seperti si pemilik tidak dapat menunjukkan alas hak penguasaan tanah dan rumah atau bangunannya. Ilustrasi kejahatan ini, terjadi seperti kasus penggusuran paksa di Riau. Ditahun 2002, terjadi penggusuran paksa terhadap bangunan/rumah di banyak wilayah di Indonesia. Di Batam misalnya, di bulan Mei, tercatat tidak kurang 660 aparat keamanan dan militer diduga terlibat dalam proyek ini. Menariknya, kepolisian melibatkan Satuan Anti Bandit dan Huru Hara. Dengan kata lain, penduduk dipersamakan dengan para bandit dan distigma sebagai kelompok masyarakat yang melakukan kekacauan. Bahkan diduga satuan militer seperti dari TNI-AL dan Yon Arhanudse terlibat dalam proses demolisi ini.[32]

Seringkali dan sejak lama, juga proses penggusuran, diwarnai dengan tudingan bahwa penduduk yang mendiami lokasi diwilayah penggusuran adalah ‘warga liar’ atau ‘penduduk liar’.[33] Statemen semacam ini kerap dilontarkan pejabat. Perlu dicatat, dalam disiplin HAM, tidak dikenal istilah ini. Setiap orang yang hidup merupakan seorang warga Negara yang mempunyai hak yang sama – pun dengan orang yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Tabel dibawah ini dapat memberikan gambaran kasus-kasus penggusuran paksa yang terjadi selama tahun 2002 – Februari 2003 - data diambil dari laporan penanganan kasus di 9 kantor LBH. Tidak kurang dari 903 kepala keluarga (KK) di provinsi Sumatra Barat, Sumatra Selatan, D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara serta tidak kurang dari 2.050 jiwa di provinsi Jawa Timur menjadi korban penggusuran paksa yang diduga dilakukan baik entitas privat (perusahaan) maupun aparat sipil (pemerintah daerah - Pemda), kepolisian dan militer.

Di Provinsi Sumatra Selatan, penggusuran paksa terjadi berkaitan dengan rencana pelaksanaan Pekan Olah Raga Nasional (PON) yang ke-XVI tahun 2004.[34] Praktek-praktek penggusuran paksa di provinsi ini sebenarnya mulai marak terjadi sejak dicanangkannya tahun 2000 sebagai tahun persiapan PON ini. Perda No. 3/1981 tentang Bersih, Aman, Rapi, Indah (Perda BARI) menjadi alas hukum penggusuran perumahan rakyat. Perumahan dan permukiman masyarakat yang dianggap tidak bersih, tidak rapi dan tidak indah telah dan akan menjadi target praktek-praktek penggusuran paksa.

Tabel 7.
Perampasan dan Penggusuran Paksa Perumahan dan Permukiman Penduduk di Enam Provinsi (2002 – Februari 2003)

Sumber: Laporan penanganan kasus LBH 2002 – Febuari 2003


Dari data-data tersebut dapat ditarik tipologi kasus yang dapat mewakili kasus-kasus semacam di Indonesia. Pertama, penggusuran paksa diawali dengan penggunaan hukum positif sebagai alas legitimasi untuk melakukan pengusiran. Kedua, dengan dasar ini aparat lokal mengeluarkan surat formal atau pun statemen menyuruh penduduk meninggalkan lokasi. Untuk keperluan privat, pengusaha (pemilik modal) utamanya mengklaim lahan atau bangunan yang didiami penduduk akan dipergunakan. Ketiga, dalam praktek penggusuran, aparat kepolisian dan tentara digunakan untuk melakukan pengusiran paksa.

Pengabaian restitusi dan rehabilitasi yang memadai

Tidak ada restitusi[35] dan rehabilitasi[36] yang memadai. Di Indonesia, kompensasi seringkali diterjemahkan dengan istilah yang beragam menurut kebiasaan setempat, misalnya “uang paku”, “uang kerohiman”, atau “uang jasa pindah”. Tentu saja jumlah kompensasi ini tidak memadai, dalam artian, penduduk yang diberikan kompensasi tidak akan dapat memiliki rumah atau bangunan seperti semula. Keberatan inilah yang menyebabkan banyak penentangan kebijakan atau praktek-praktek penggusuran. Kasus penolakan untuk pindah misalnya terjadi di Jelambar. Pihak developer tidak memberikan solusi terhadap penduduk. Sementara, Pemerintah Daerah, khususnya Walikota Jakarta Barat gagal memberikan perlindungan kepada penduduk di Jembatan Besi ini, bahkan terlibat dalam upaya penggusuran.

Relokasi yang tidak sesuai

Kasus yang secara jelas menunjukkan kegagalan obligasi negara dalam dalam perlindungan hak perumahan berkaitan dengan problem relokasi, misalnya terjadi pada kasus nelayan di Ancol Timur. Sebanyak 206 kepala keluarga nelayan di wilayah Tanah Timbul dipaksa untuk pindah ke wilayah Sungai Tirem, Marunda, Jakarta Utara. Proses penggusuran yang melibatkan Pemerintah DKI Jakarta dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) ini, disebabkan lahan akan diperuntukkan untuk bangunan komersil (gedung Bahtera Jaya). Salah satu korban penggusuran sempat mengungkapkan keluhannya karena letak relokasi jauh dari laut, kurang lebih 5 km.[37] Kondisi ini mempersulit penduduk yang bermatapencarian sebagai nelayan. Kasus ini menunjukkan kegagalan negara memenuhi prinsip “location”. Konsep rumah yang memadai juga mesti mempertimbangkan akses pemiliknya terhadap mata pencaharian (pekerjaan), fasilitas kesehatan, sekolah dan fasilitas sosial lainnya serta berada dilokasi yang tidak berdekatan dengan sumber-sumber polusi.[38]

Pada intinya, relokasi maupun resetlement dapat saja dilakukan dengan parameter tidak akan mengurangi dan sebaliknya akan meningkatkan status dan perekonomian penduduk. Toh tuntutan masyarakat sangat sederhana, ingin hidup sejahtera: bisa punya rumah yang layak!

Kejahatan yang dilakukan entitas privat (pelaku non-negara)

Pelanggaran prinsip habitabilitas bisa dilihat dalam kasus penipuan konsumen perumahan di Lampung. LBH Bandar Lampung seringkali mendapat laporan dan pengaduan dari konsumen perihal ketidaktersediaan air bersih. Satu contoh kasus, tidak kurang dari 400 KK di perumahan Beringin Raya Langkapura – yang dipasarkan PT Sinar Waluyo -mengaku tidak mendapatkan sarana air bersih. Menurut, LBH Bandar Lampung kasus-kasus serupa terjadi dibanyak perumahan.

Kasus penipuan konsumen perumahan, terjadi juga di Bali. Sejumlah 450 dari 1200 konsumen merasa ditipu PT Kop Karya Samya – anak perusahaan Koperasi Jasa Usaha Bersama. Mereka telah memberikan tanda jadi dan uang muka Rp 10 – 15 juta untuk pembelian rumah. Namun setelah uang disetor, perumahan yang dijanjikan tidak pernah diserahkan kepada konsumen.

Tabel 8.
Dugaan Pelanggaran dan Penipuan oleh Entitas Privat (Pelaku Non-Negara) Dibidang Perumahan

Sumber: Laporan penanganan kasus LBH 2002 – Febuari 2003

Menariknya, penipuan atau kejahatan entitas privat ini seringkali melibatkan kepentingan-kepentingan dari pejabat pemerintahan lokal. Baik di Bali maupun di Lampung, pemerintah lokal menjadi pihak yang juga berkepentingan dalam problem yang dihadapi oleh konsumen dan pengembang.

D.2. Penggusuran paksa di Ibukota di tahun 2003: Kejahatan Berat HAM

Data YLBHI, menunjukkan penggusuran paksa (forced eviction) terhadap rakyat miskin kota di Ibukota DKI Jakarta, sepanjang 2002, menimbulkan korban tidak kurang 1.198 KK atau 4.792 jiwa. Tahun lalu, tercatat pemukiman masyarakat yang digusur paksa antara lain: perumahan di Kapuk Poglar (Jakarta Barat), Bantaran Kali Angke, Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Kelapa Gading Barat, Rawasari, Cilandak, Perumahan Mantan Guru Olahraga SMU Ragunan dan Mangga Dua. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya (2001), dengan jumlah korban tidak kurang dari 718 KK atau 2.872 jiwa – dengan korban antara lain perumahan nelayan Ancol Timur, Bantaran Kali Teluk Gong dan Pesing Poglar.

Ditahun 2003, penggusuran paksa kembali dilakukan berulang kali. Secara kronologis, penggusuran paksa sejak Agustus 2003, terjadi di kawasan Jembatan Besi, Jakarta Barat, tepatnya tanggal 26 Agustus, dengan korban mencapai 1.470 KK atau lebih 5.000 jiwa. Kemudian, selang 1 minggu, pada 2 September, apparatus Negara melakukan penggusuran paksa di wilayah Sunter Jaya, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Korbannya tidak kurang 550 jiwa. Penggusuran ini menghancurkan kurang lebih 189 bangunan permukiman. Kemudian, pada 17 September, kembali Pemda Jakarta Barat melakukan penghancuran dan penggusuran paksa 700 bangunan permukiman di wilayah Kampung Baru, Cengkareng Timur. Kali ini, korbannya tidak kurang dari 3.100 penduduk. Lagi, pada 2 Oktober, Pemda Jakarta Barat melakukan penggusuran paksa tidak kurang 2.500 penduduk yang tinggal di 520 bangunan permukiman di Kampung Sawah, Tanjung Duren.

Selain penggusuran ‘paket besar’ tersebut, sepanjang tahun 2003, tercatat juga praktek-pengusuran di wilayah Kemayoran, dengan korban 63 KK dan penggusuran diwilayah Senen Jakarta Pusat, menggusur tidak kurang dari 58 bangunan. Hingga tulisan ini disusun, data ini belum termasuk (rencana) penggusuran di kawasan Taman Pemakaman Umum Tegal Alur, Jakarta Barat; di wilayah Kali Angke dan Kapuk Muara Penjaringan.[39] Sebagai tambahan, pelaku non-Negara yang diduga terlibat dalam proses-proses penggusuran paksa, baik dalam posisi sebagai pelaku yang mengklaim hak atas tanah diwilayah-wilayah penggusuran maupun pihak yang diduga berkepentingan atas lahan antara lain: PT Cakrawira Bumi Mandala (kasus Jembatan Besi); Anton Tjahya Wikarta (kasus Sunter Jaya); Perumnas (kasus Kampug Baru); serta PT Sinar Slipi Sejahtera dan Agustina Munawar (kasus Jampung Sawah).[40]

D.2.1. Pengadilan HAM Bagi Tirani

Peristiwa penggusuran paksa yang berulang kali, sistematis, by design dan mengakibatkan korban mencapai ribuan jiwa merupakan tragedi kemanusiaan. Sebuah tragedi yang perlu disesalkan dan sekaligus harus diambil pelajaran darinya.

Dalam konteks kasus penggusuran, sebuah tajuk media mengajukan pertanyaan: “siapakah yang bertanggungjawab terhadap nasib orang-orang yang tergusur paksa? Nasib tidak kurang 7500 jiwa, nasib ribuan anak-anak yang hari ini tak dapat bersekolah karena rumahnya digusur paksa, nasib para bayi yang berteduh tanpa atap rumah yang layak?[41] Tanpa harus memperumit masalah, jawaban singkat siapa yang bertanggungjawab dalam tragedy kemanusiaan ini, tentu saja para elite Negara: Presiden, Gubernur, Walikota.

D.2.2. Penggusuran paksa perumahan sebagai kejahatan berat HAM

Perlu dicatat, diwilayah yang digusur paksa seperti di wilayah Jembatan Besi, sudah terbangun fasilitas umum dan fasilitas sosial. Merujuk data LBH[42], beberapa fasilitas yang sempat didata, sebagai berikut: wilayah berbatasan dengan pasar velbak, sejumlah mushola, paling tidak mushola Darussalam, Nurul Huda, Nurul Fallah dan Makbalul Huda, gedung majelis taklim Hidayatus Sibian dan Al-Iklas, bangunan SMP 159, Puskesmas Jembatan Besi, rumah bersalin, fasilitas MCK tidak kurang dari 4 buah, fasilitas olah raga: lapangan bola dan bulu tangkis, fasilitas tiang listrik dan telpon, jaringan air PAM. Perumahan di wilayah ini juga banyak yang permanen. Pendek kata, diwilayah ini berjalan denyut nadi kehidupan anak bangsa, ribuan warga Negara yang punya hak asasi dan kebebasan fundamental, termasuk hak atas perumahan.

Apa yang terjadi di Kelurahan Jembatan Besi dan di wilayah lainnya, dapat dikualifikasi sebagai contoh dari pelanggaran HAM berat, seperti yang dinyatakan dalam pasal kejahatan terhadap kemanusiaan, pasal 7 UU NO. 26/2000). Penggusuran paksa yang terjadi di Jembatan Besi, merupakan perbuatan sistematis dan berdampak meluas. Pasal 9 (d) secara tegas mengkategorikan pengusiran penduduk secara paksa, merupakan bentuk kejahatan berat HAM.

D.2.3. Peran Komnas HAM, Gubernur DKI Jakarta dan Walikota

Salah satu keberhasilan disiplin hukum HAM adalah keberhasilannya mendorong doktrin pertanggungjawaban pelaku kejahatan HAM. Doktrin ini didorong, antara lain lewat standard setting yang disusun dilevel internasional dan domestik. Di Indonesia, aturan tentang HAM dimuat, antara lain dalam Konstitusi UUD 1945, beserta Amandemennya, serta UU No. 39/1999 tentang HAM. Sedangkan dilevel internasional, norma-norma tentang HAM diatur, seperti dalam bentuk perjanjian (treaties) maupun rekomendasi-rekomendasi badan-badan internasional HAM.

Doktrin pertanggungjawaban pelaku kejahatan HAM, dilevel domestic, diadopsi dalam bab IX UU HAM, tentang Pengadilan HAM. Dalam pasal 104, ditegaskan Pengadilan HAM yang dibentuk dilingkungan Peradilan Umum dimaksudkan untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi – yang kemudian dielaborasi dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Komnas HAM pada dasarnya, bekerja melakukan eksaminasi terhadap para pejabat Negara yang memiliki otoritas untuk mecegah terjadinya kejahatan HAM berat. Berdasarkan doktrin HAM, Walikota Madya dimana praktek-praktek penggusuran terjadi dan dilakukan, merupakan salah satu pihak yang mempunyai obligasi perlindungan HAM Begitu juga Gubernur DKI Jakarta sebagai pemegang kendali otoritatif terhadap jabatan Walikota.

Aparat Negara (sipil dan militer), dilekatkan 3 level obligasi: promosi, perlindungan dan pemenuhan hak asasi warga negaranya. Kesengsaraan ribuan jiwa penduduk akibat penggusuran paksa saat ini, merupakan tanggungjawab pemerintah Jakarta, utamanya Walikota. Dengan otoritas yang dimilikinya, seharusnya ia mencegah terjadinya peristiwa berdarah ini.

Pada prinsipnya, Pemerintah Jakarta, wajib memberikan bukti, pihaknya telah mengupayakan implementasi dari obligasi yang melekat padanya. Sebagai contoh, apakah Pemda sudah berupaya untuk mencarikan solusi terbaik bagi ribuan jiwa penghuni lahan di wilayah-wilayah penggusuran? Apakah pemerintah telah merancang rencana yang bersifat progressive realization bagi pemenuhan hak atas perumahan warga? Apakah Pemda juga telah mengalokasikan dana untuk pemenuhan hak ini? Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan untuk menguji apakan minimum core obligation bagi pemenuhan hak-hak hak ekosob yang melekat pada Pemda diikhtiarkan dengan sunguh-sungguh. Sebagai catatan, dalam kasus penggusuran paksa di wilayah Kampung Baru, Cengkareng Timur, penduduk membangun permukiman atas dasar perintah Gubernur Sutiyoso untuk menggunakan lahan terlantar diwilayah itu.

Penggusuran paksa yang memicu tangis para bayi dan jerit ketakukan anak-anak, akan terus berulang, jika keadilan tidak ditegakkan lewat judisial process yang fair. Mungkin tidak pernah terbayang jika anak atau cucu para pejabat Pemda yang mengalami peristiwa seperti di Jembatan Besi baru-baru ini. Dilayar televisi jerit dan tangis bisa kita saksikan. Penulis yakin, jika ada solusi yang adil, manusiawi dan martabat bagi para penghuni lahan di wilayah-wilayah penggusuran, bentrokkan tidak akan terjadi. Haruskah kita diam akan tragedi kemanusiaan semacam ini? Sampah saja, oleh Pemda dicarikan tempatnya atau dikenal dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), di Bantar Gebang, misalnya. Seharusnya Pemda mencarikan solusi adil bagi para ribuan penduduk, komunitas miskin kota ini: mencarikan tempat untuk kelompok-kelompok miskin.

D.3. Menilai Pemerintahan Megawati – Hamzah

D.3.1. Gambaran Umum

Seringkali ketersediaan sumber daya yang maksimum (maximum of available resources) menjadi pokok bersandar argumen Negara untuk memperdebatkan pemenuhan hak rakyat atas perumahan.[43] Krisis ekonomi misalnya, atau ketidakadaan dana telah menjadi benteng untuk penegasian obligasi hukum negara untuk menyediakan perumahan yang layak bagi rakyat. Dalam hal ini perlu dikemukakan, General Comment No. 3. Penegasian ini dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan HAM (acts of omission). Bahkan kejahatan hak atas perumahan: praktek-praktek penggusuran paksa dibawah standar hukum internasional HAM saat ini diklasifikasikan sebagai kejahatan berat HAM.[44]

Standar internasional mewajibkan Negara dengan menunjukkan bahwa institusi dan aparatnya telah menggunakan semua sumber daya yang ada untuk memenuhi mimimum core obligation.[45] Dapat dikatakan, minimum obligasi yang semestinya dilakukan pemerintah Megawati yakni: melakukan pemberian, perlindungan dan pengakuan hak terhadap warga yang telah membangun rumah/tempat tinggal (lihat tabel 5). Dengan demikian, terdapat konkritisasi obligasi positif Negara.

Untuk menilai dan mengevaluasi realisasi progresif[46] pemerintahan Megawati menjadi sesuatu yang dapat dipedebatkan (debatabel). Penilaian terhadap kinerja Megawati menjadi relevan guna melihat sejauh mana Pemerintahannya menghormati konstitusi UUD 1945 beserta amandemennya, sejak ia dilantik menjadi Presiden RI pada 2 Juli 2001. Tentu saja, selama kepemimpinannya ada hal-hal yang boleh jadi positif. Namun secara kasat mata, sulit untuk penulis menjadi pengagumnya.

Dengan melakukan penilaian terhadap kebijakan-kebijakan yang dapat diklasifikasikan sebagai kebijakan sifatnya derogatif terhadap aturan dalam konstitusi, maka pemerintahan ini mendapat rapor merah. Kebijakan dan praktek-praktek derogatif – sekaligus melanggar hak-hak ekosob, termasuk hak rakyat atas perumahan, secara umum sebagai berikut:
1. Ketidakefisienan penyelenggaraan negara;
2. Kegagalan memberantas korupsi;
3. Kebijakan release and discharge obligor kelas kakap;
4. Peningkatan jumlah hutang luar negeri dan ketidakefeketifan penggunaan dana.

Hal-hal tersebut menunjukkan pemerintahan Megawati belum melakukan perlindungan dan pemenuhan serta belum memaksimalkan sumber daya yang ada. Untuk itu, gerakan sosial mesti juga mencari peluang untuk melakukan klaim-klaim hak sekaligus mempromosikan hak ekosob sebagai hak yang justiciable, dengan sandaran dan menggunakan hukum positif yang ada.

Merujuk pada UU No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, pemerintahan Megawati terikat obligasi untuk memenuhi hak rakyat ata perumahan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan merefer pada tujuan dan sasaran pembangunan nasional antara:

“terwujudnya kesejahteraan rakyat yang ditandai oleh meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar yaitu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja”[47]

Selanjutnya, dalam matriks kebijakan program pembangunan ekonomi dimuat beberapa hal yang berkaitan dengan obligasi pemerintah memenuhi hak masyarakat atas perumahan, sebagai berikut:
Arah kebijakan: mengupayakan kehidupan yang layak berdasarkan atas kemanusiaan yang adil bagi masyarakat, terutama bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan mengembangkan system dana jaminan sosial melalui program pemerintah serta menumbuhkembangkan usaha dan kreativitas masyarakat yang pendistribusiannya dilakukan dengan birokrasi yang efektif dan efisien serta ditetapkannya undang-undang;

Program nasional: penyediaan kebutuhan pokok untuk Keluarga Miskin;

Indikator kerja, angka 5: terpenuhinya kebutuhan air bersih, sanitasi dan permukiman dengan harga yang terjangkau bagi keluarga miskin.[48]

Tidak ada dalam Propenas tersebut untuk mengamanatkan kepada pemerintah berperilaku dan bertindak tidak efisien dalam penyelenggaraan negara; membiarkan korupsi merajalela; membela kepentingan obligor hitam, dan; meningkatkan jumlah hutang luar negeri dan menggunakannya secara tidak efektif.

Lebih, lanjut UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, juga mengamanatkan:

“pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam masyarakat yang adil dan makmur”[49]

Sebagai catatan, UU tentang Perumahan memuat sanksi pidana bagi setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 24 dan pasal 26 ayat (1) serta pasal 13 tentang ketentuang harga tertinggi sewa. Ketentuan dan sanksi pidana yang diatur dalam UU ini dapat dilihat dalam tabel.

Tabel 9.

Ketentuan Pidana dalam UU No. 4/1992
Pasal-pasal dalam UU
Ketentuan Pidana

Pasal 7 ayat (1):

(1) Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib :
a. mengikuti persyaratan teknis, ekologis dan administratif ;
b. melakukan pemantauan lingkungan yang terkena dampak berdasarkan rencana pemantauan lingkungan ;
c. melakukan pengelolaan lingkungan berdasarkan rencana pengelolaan lingkungan.


Pasal 36:

(1) Setiap orang atau badan yang sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan / atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap orang karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan / atau dengan setinggi-tinginya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) Setiap badan karena kelalaiannya mengakibatkan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 24, pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun dan / atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar dalam Pasal 12 ayat (1) dipidana dengan dana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan / atau denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 24

Dalam membangun lingkungan siap bangun selain memenuhi ketentuan pada Pasal 7, badan usaha di bidang pembangunan perumahan wajib :
a. melakukan pematangan tanah, penataan penggunaan tanah, penataan penguasaan tanah, dan penataan pemilikan tanah dalam rangka penyediaan kaveling tanah matang ;
b. membangun jaringan prasarana lingkungan mendahului kegiatan membangun rumah, memelihara dan mengelolanya sampai dengan pengesahan dan penyerahannya kepada pemerintah daerah ;
c. mengkoordinasikan penyelenggaraan persediaan utilitas umum ;
d. membantu masyarakat pemilik tanah yang tidak berkeinginan melepaskan hak atas tanah di dalam atau sekitarnya dalam melakukan konsolidasi tanah ;
e. melakukan penghijauan lingkungan
f. menyediakan tanah untuk sarana lingkungan ;
g. membangun rumah.

Pasal 26 ayat (1)

Badan usaha di bidang pembangunan perumahan yang membangun lingkungan siap bangun dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.

Pasal 13:

(1) Pemerintah mengendalikan harga sewa rumah yang dibangun dengan memperoleh kemudahan dari pemerintah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.


Pasal 37:

Setiap orang atau badan dengan sengaja melanggar ketentuan harga tertinggi sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Dengan alas konstitusi, UU tentang Propenas dan UU tentang Perumahan, berdasarkan doktrin hukum HAM, rakyat memiliki dapat mengklaim dan mempunyai hak untuk mempertanyakan hak atas perumahan. Masyarakat dapat mengeksaminasi kebijakan pemerintah lewat mekanime dan proses hukum. Dalam konteks ini, merupakan tantangan bagi advokat/pengacara untuk memfasilitasi klaim dan gugatan masyarakat miskin untuk mendapatkan haknya: perumahan.

D.3.2. Bola ‘Impeachement’ Untuk Megawati: Kasus Penggusuran Paksa

Bagian ini akan mengajukan eksaminasi awal penulis terhadap kemungkinan Parlemen untuk menggunakan hak interplasi dan melakukan ‘impeachment’ terhadap Megawati berkaitan dengan kasus penggusuran paksa yang terjadi di ibukota Jakarta sepanjang tahun 2002 – 2003 dalam periode jabatan Presiden.

Pertama, argumen yang hendak dikembangkan adalah Presiden Megawati dapat diduga telah melanggar konstitusi: melanggar sumpah jabatan dan melakukan perbuatan tercela. Adapun pasal-pasal konsitusi yang dilanggar yakni pasal 9 Amandemen ke-1 dan pasal-pasal yang berkaitan dengan hak atas perumahan dan hak-hak yang berkaitan dengan hak-hak ekosob yang dijamin dalam konstitusi.

Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Sumpah Presiden (Wakil Presiden), sebagai berikut:

"Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”[50]

Dengan melakukan pembiaran terhadap praktek-praktek penggusuran paksa tanpa solusi, maka Presiden Megawati dapat diduga telah melanggar pasal-pasal yang berkaitan dengan jaminan hak atas perumahan dan hak-hak ekosob, yakni: pasal 33 ayat 3; pasal 28 C ayat (1) dan ayat (2); pasal 28 J ayat (1) dan ayat (2); pasal 34 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).

Kedua, atas dasar dugaan terhadap pelanggaran konsitusi maka dapat MPR, DPR serta Mahkamah Konstitusi dapat melaksanakan tahapan dan prosedur ‘impeachment’ yang bermuara pada pemberhentian Presiden. Dalam pasal 7A UUD 1945 dinyatakan:

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan PErwakilan Rakyat, apabila terbukti terlah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Berdasarkan pasal 7B UUD 1945, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR. Usulan ini diajukan setelah Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum termasuk dugaan melakukan perbuatan tercela: melanggar sumpah jabatan Presiden; melakukan kejahatan HAM, yakni membiarkan praktek-praktek penggusuran paksa tanpa solusi, yang berakibat pada kesengsaraan ribuan jiwa warga Negara.


E. Rekomendasi

Sebagai penutup tulisan ini, rekomendasi yang hendak diusulkan, sebagai berikut:

1. Saatnya segenap warga Negara mempromosikan dan mendesak hak perumahan sebagai hak yang justiciable. Justisiabilitas hak rakyat atas perumahan mempunyai makna peluang bagi rakyat untuk menggunakan mekanisme judisial sebagai alat untuk perlindungan dan pemenuhan hak atas perumahan baik dengan melakukan gugatan atau megeksaminasi hak ini lewat pengadilan maupun mekanisme judisial lainnya atau pun mediasi. Dalam klasifikasi meta-legal, klaim rakyat atas perumahan dapat berwujud pendudukan rumah-rumah pejabat yang didapat dari hasil korupsi.

2. Semua lapisan masyarakat sebaiknya melakukan monitoring terhadap realisasi progresif Negara, seperti memantau penyelenggaraan pembangunan rumah-rumah rakyat (public housing) yang ditujukan pada kelompok masyarakat yang sangat terbatas penghasilannya serta mereview kebijakan-kebijakan Negara yang berkaitan dengan pemenuhan hak rakyat atas perumahan, seperti kebijakan kredit perumahan rakyat terutama kaitannya dengan penyelenggaraan perumahan sosial (social housing). Monitoring sebaiknya dikaitakan dengan isu sumber dana dan pengalokasian angaran baik nasional maupun lokal.

3. Sesuai dengan amanat UUD 1945, Amandemen ke-2, pasal 20A, sebaiknya DPR melaksankan fungsi pengawasan termasuk menggunakan hak interplasi dan hak menyatakan pendapat berkaitan dengan dugaan pembiaran praktek-praktek penggusuran paksa tanpa solusi yang terjadi di ibu kota Jakarta dan diseluruh wilayah Indonesia;

4. Saat ini diperlukan peran aktif dari Komnas HAM. Karena sesuai pasal 18 UU Pengadilan HAM, Komnas diberi otoritas untuk melakukan penyelidikkan kejahatan HAM berat. Komnas HAM dapat membentuk Tim untuk fungsi ini dengan melibatkan elemen masyarakat. Setidaknya, ada dua alasan pokok, mengapa Komnas HAM harus menyelidiki kasus-kasus penggusuran paksa pertama, peristiwa penggusuran paksa merupakan tragedi kemanusiaan. Fungsi dan peran Komnas HAM dalam konteks ini merupakan bagian dari promosi dan bentuk perlindungan HAM yang dilakukan lembaga ini; kedua, mencegah peristiwa lainnya, dimana orang-orang berduit dengan sewenang-wenang bisa menjadi tirani di antero wilayah Republik Indonesia.


Annex. 1.

Tabel 1.
Beberapa aturan yang dapat digunakan sebagai parameter penilaian realisasi progresif negara


Annex. 2.

Tabel 2.
Beberapa aturan yang dapat digunakan sebagai parameter penilaian realisasi progresif Negara dalam pemenuhan hak rakyat atas perumahan


Annex. 3.

Tabel 3.
Beberapa aturan yang dapat digunakan sebagai parameter penilaian realisasi progresif Negara dalam pemenuhan hak rakyat atas perumahan

Annex. 4.

Tabel 4
Aturan hukum yang berkaitan dengan Bidang Perumahan di Indonesia

Undang-undang:
4/1992 Perumahan dan Permukiman
16/1988 Rumah Susun


Peraturan Pemerintah No.:
41/1996 Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia

40/1994 Rumah Negara

44/1994 Penghunian Rumah oleh Bukan Pemilik

3/90 Perubahan atas PP No. 16/1974 tentang Penjualan Rumah Negara sebagaimana telah diubah dengan PP No. 38/1982

Peraturan Menteri

SKB Men Naker dan Men Kimbangwil No:
Kep. 33/Men/2000, 01/SKB/M/2000
Perumahan dan Permukiman Pekerja Perusahaan

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat
06/KPTS/1994
Pembangunan Perumahan Bertumpu pada Kelompok

Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No:
417/KPTS/1985
Sewa Rumah Negara

Catatan Belakang:

[1] UN doc. Universal Declaration of Human Rights., art. 25.

[2] UN doc. International Covenant on Economic. Social and Cultural Rights (ICESCR)., art. 11 (1) – yang kemudian dielaborasi dalam General Comment No. 4.

[3] General Comment adalah istilah yang dipakai untuk menyebut sebuah interpretasi atau elaborasi official atas hak-hak asasi spesifik yang diatur dalam rezim hukum internasional tentang HAM.

[4] Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR) adalah sebuah badan yang dibentuk dengan dasar sebuah treaty, dalam hal ini International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Badan ini dijalankan oleh 18 anggota yang terdiri dari para pakar yang diakui keahlian dan komitmennya dibidang perlindungan HAM, dengan fungsi: melakukan pengawasan terhadap implementasi Kovenan. Kampanye dilakukan juga untuk mempromosikan kebijakan kerangka hukum yang melindungi hak-hak penduduk baik individu, kolektif, dan hak komunal untuk mencegah praktek-praktek penggusuran paksa (arbitrary forced eviction).

[5] UN doc. CESCR. General Comment No. 4 (1991)., para. 8. Dalam dokumen ini juga dimuat prinsip yang mendasarkan pada pertimbangan lokasi (location) dan budaya (cultural adequacy). Penulis berpendapat, pemerintah sudah sangat berhasil saat ini jika telah melaksanakan obligasinya dengan (hanya) memenuhi tiga prinsip diatas.

[6] Lihat UN doc. Covention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD), art. 5(e) (iii).

[7] UN doc. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)., art. 14(2) (h). Lihat juga UN doc. Commission on Human Rights Res. 2000/13 yang memuat pengakuan persamaan perempuan dalam kepemilikan, akses dan kontrol hak atas tanah, properti dan perumahan.

[8] UN doc. Convention on the Rights of the Child (CRC)., art. 27 (3).

[9] ILO Convention No. 169 Concerning Indigenous and Tribal Peoples dan No. 161 concerning Occupational Health Services (1985).

[10] Diadopsi lewat UN GA res. No. 37/221 pada tahun 20 Desember 1982.

[11] UN doc. UNGA res. 43/181, diadopsi pada 20 Desember 2000.

[12] UN doc. CESCR. General Comment No. 4 (1991)., para. 7.

[13] Lembaga ini dibentuk pada tahun 1978 yang bekerja dalam UN system untuk melakukan aktivitas kordinasi dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat atas tempat tinggal. Fungsi Habitat termasuk mempromosikan ‘rumah untuk semua’, meningkatkan fasilitas perumahan yang mesti dilaksakan pemerintah utamanya di perkotaan. Habitat telah melaksanakan konferensi-konferensi dunia. Konferensi I di tahun 1978 (Vancouver, Canada). Konferensi ini mengadopsi ‘the Vancouver Declaration on Human Settelements and Plan of Action’; Konferensi II dilaksanakan pada tahun 1976 (Istambul, Turkey). Konferensi ini bertema ‘perumahan layak bagi semua’ dan ‘pembangunan perumahan’.

[14] Dalam pemenuhan hak-HAM dikenal prinsip dan mekanisme ‘justiciability’ yakni kemampuan untuk menggunakan judisial remedies sebagai sebuah alat untuk mengimplementasikan (enforcing) hak hukum, obligasi (kewajiban), standar dan norma-norma yang mengatur HAM baik dilevel domestik maupun internasional.

[15] Lembaga ini dibentuk atas dasar UN General Assembly resolution 32/162, 19 Desember 1977.

[16] Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Indonesia Country Report. Population and Poverty (2002)., hal. 2.

[17] Dalam konteks ini, sebenarnya terdapat opsi yang bisa dilakukan rakyat: membangun kapitalisme dari bawah dan/atau merebut kekuasaan untuk menjalankan kapitalisme dari atas. Pembangunan model kapitalisme semacam ini dilaksanakan dengan sistem dan prosedur punishment yang jelas dan tegas, dengan maksud untuk mempercepat proses peningkatan dan pembesaran kapital didalam negeri. Untuk soal ini, lihat tulisan E. Panca Pramudya, “Keajaiban-keajaiban Neo-liberalisme”, makalah pada kuliah hukum internasional HAM, YLBHI, Jakarta, 21 Februari 2003.

[18] Lihat pendapat King dan Colledge (1978) tentang empat proses utama keruangan (four major spatial process) urbanisasi dalam Prof. Drs. R. Bintarto (1986). Urbanisasi dan Permasalahannya, hal. 14. Proses urbanisasi menurut King dan Colledge antara lain dapat dilihat dari adanya arus modal dan investasi. Dalam konteks ini, arus modal yang masuk ke pedesaan telah menyebabkan petani kelihangan lahan dan keluarga petani mesti bekerja disektor nir/non-agraris.

[19] Lihat Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Op.cit., hal. 13.

[20] Ibid., hal. 14.

[21] Bantaran kali/sungai merupakan lahan yang berada di antara kali tanggul sebelah dalam dan palung sungai, dimana terdapat lahan yang pada dasarnya berfungi sebagai lokasi mengalirnya debit sungai.

[22] Data Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta. Suara Pembaruan, 20 Maret 2002.

[23] Lihat http://www.kimpraswil.go.id/

[24] Lihat Annex tulisan ini.

[25] BPS. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional. Statistik Perumahan dan Permukiman. 2001., hal. 5. Lihat juga, hal. 23. Menurut Departemen Kesehatan RI, sebuah rumah dikategorikan sebagai rumah sehat bila luas lantai minimum yang ditempati adalah 8 m2 per orang. Sedangkan World Health Organization (WHO) menyatakan ukuran rumah sehat adalah luas lantai per kapita sebesar 10 m2.

[26] Prinsip lokasi yang berkaitan dengan akses ke tempat pekejaan tidak dibuat. Namun demikian, statistik BPS memuat akses penghuni terhadap alat transportasi atau tempat fasilitas kendaraan umum. Lihat BPS. Ibid., hal. 139 – 141.

[27] Lihat BPS., hal. 8.

[28] Ibid., hal. 9.

[29] Lihat Hanoi Initiative 20/20.

[30] Dengan dasar Surat Kuasa ratusan anggota LVRI di Papua, LBH Jayapura saat ini telah menempuh upaya penyelesaian kasus ini. Beberapa langkah telah dilakukan seperti melaporkan dan meminta klarifikasi masalah ini kepada Gubernur Provinsi Papua, serta melaporkan secara tertulis ke Kejaksaan Tinggi Papua. Laporan ke instansi Kejaksaan disebabkan LBH menduga telah terjadi tindak pidana korupsi dan penggelapan. Pihak Kejaksaan kemudian menyerahkan kasus ini kepada instansi Kepolisian. LBH Jayapura juga melakukan dialog dan diskusi dengan pengurus LVRI.

[31] Lihat juga bagian D.3 tentang studi kasus penggusuran paksa di ibu kota Jakarta, sebagai kejahatan HAM berat.

[32] Lihat Sijori Pos. 27 Mei 2002. “Tim Terpadu Bongkar 42 Rumah Liar”.

[33] Lihat antara lain: Suara Merdeka. 7 Agustus 2001. “225 Gubuk Liar Dirobohkan”; Kompas. 14 Oktober 2003. “Gusur Menggusur, Sesuaikan dengan Asas Pembangunan Berkelanjutan?”.

[34] Kasus ini menujukkan kesaamaan kondisi dan situasi yang telah diungkapkan dalam General Comment ICESCR No. 7. Komite berpendapat bahwa praktek-praktek penggusuran yang terjadi antara lain dilatar belakangi oleh kegiatan-kegiatan atau pesta olah raga. Lihat ICESCR, Sixteenth Session (1997). General Comment No. 7. The right to adequate housing (art. 11 (1) of the Covenant): forced eviction., para. 7.

[35] Restitusi merupakan kompensasi yang diberikan atas kehilangan dan kerugian yang diderita, sedapat mungkin sesuai dengan apa yang dimiliki atau pada posisi sebelumnya. Restitusi ini merupakan sebuah bentuk dari pengembalian keadilan.

[36] Rehabilitasi merupakan upaya untuk memulihkan sesorang atau benda atau properti seperti sediakala baik fisik, mental, sosial maupun kemampuannya.

[37] Tempo Interaktif, 30 September 2002. “Kuasa Hukum Penggusuran di Ancol Timur Tolak Bukti Sutiyoso.”

[38] UN doc. CESCR. General Comment No. 4., para. 8 (f).

[39] Lihat Siaran Pers Bersama tentang Penggusuran Paksa Penduduk di Jakarta. “DPRD DKI Jakarta Harus Segera Menggunakan Hak Interplasi Meminta Pertanggungjawaban Gubernur Sutiyoso”. Yayasan LBH Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Partisipatif, Perwakilan Korban Penggusuran Jembatan Besi Tambora, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Perhimpunan Rakyat Jakarta untuk Pemberantasan Korupsi (Berantas), LBH Jakarta. 7 Oktober 2003.

[40] Diolah dari berbagai sumber dan kliping media cetak.

[41] Lihat Media Indonesia, 28 Agustus 2003.

[42] Diolah dari laporan wawancara dengan warga Jembatan Besi dan laporan fact finding Divisi Hak-hak Ekosob Yayasan LBH Indonesia, Juli 2003.

[43] ICESCR, art. 2 (1).

[44] Lihat Scott Leckie. 2001. “The Right to Housing” in Eide, Krause and Rosas (eds.) , p. 165.

[45] Lihat CESCR. Fifth session (1990). General Comment No. 3. The nature of states parties’ obligation (art. 2, para. 1, of the Covenant).

[46] istilah untuk pemberian arah agar melakukan upaya dengan sedapat mungkin cepat dan efektif memenuhi secara penuh hak-hak warga negara (rakyat) yang tercantum dalam Kovenan. Negara diberikan mandat untuk menyusun strategi berikut jangka waktu pencapaiannya.

[47] Garis tebal oleh penulis. UU No. 25/2000., Lampiran, Pendahuluan huruf B angka 9.

[48] UU No. 25/200., Lampiran. Matriks kebijakan program pembangunan ekonomi.

[49] UU No. 4/1992. Konsideran Menimbang huruf (a).

[50] Amandemen ke-1 UUD 1945, pasal 9 ayat (1).
Load Counter